Home , , , � Bangsa yang mempunyai beragam warisan budaya ini mesti belajar etika keluar negeri??? Seandainya duitnya untuk tambahan kesejahteraan rakyat!!!hiks..

Bangsa yang mempunyai beragam warisan budaya ini mesti belajar etika keluar negeri??? Seandainya duitnya untuk tambahan kesejahteraan rakyat!!!hiks..



Beginilah DPR, Belajar Etika Pun Tak Etis

Amat menyedihkan bila anggota Dewan Perwakilan Rakyat benar-benar masih harus belajar etika politik. Mereka tentu belum bisa membedakan perbuatan yang pantas dari yang tidak. Untuk membuat politikus Senayan lebih pintar, celakanya, rakyat harus membiayainya karena mereka ingin belajar etika ke Yunani.

Orang yang berpikiran sehat hanya bisa geleng-geleng kepala. Apalagi yang akan melakukan studi banding itu bukanlah anggota biasa DPR, melainkan anggota Badan Kehormatan lembaga tinggi itu. Kenapa pula sampai harus ke Yunani? Seandainya saja mereka pergi ke sana 2.500 tahun silam, mungkin akan bertemu dengan Socrates. Lalu, sang filsuf akan mengajari mereka soal moral dan filosofi politik. Tapi, pada 2010 ini, siapa yang akan mereka temui di sana untuk belajar etika dan disiplin?

Wakil Ketua Badan Kehormatan, Nudirman Munir, mengatakan mereka akan menemui badan kehormatan parlemen Yunani untuk menimba pengalaman agar tak menjadi katak dalam tempurung. Masalahnya, apakah studi banding seperti ini berguna? Bukankah DPR telah memiliki kode etik dan tata tertib? Kalaupun parlemen Yunani punya pengalaman menarik dalam mendisiplinkan anggotanya, belum tentu hal itu bisa diterapkan di Indonesia.

Yang mendesak untuk dilakukan oleh anggota Badan Kehormatan justru menegakkan kode etik dan tata tertib Dewan. Banyak politikus Senayan yang membolos tapi dibiarkan saja. Tak sedikit pula anggota Dewan yang terjerat masalah suap namun tak diberi sanksi apa pun, dengan dalih proses hukum belum selesai. Padahal masalah etika sungguh berbeda dengan penegakan hukum.

Tindakan tegas terhadap mereka bisa dilakukan oleh anggota Badan Kehormatan tanpa harus belajar jauh-jauh ke Eropa. Studi banding dengan biaya Rp 2,2 miliar itu malah menjadi contoh yang buruk bagi anggota DPR lainnya. Tidaklah mungkin Badan Kehormatan menganjurkan politikus Senayan berdisiplin dan menghemat anggaran negara jika mereka juga melakukan hal yang sama.

Masyarakat bahkan sudah hafal jawaban para anggota DPR yang dikritik ketika mengadakan studi banding. Mereka selalu berdalih bahwa kegiatan ini telanjur dianggarkan. Padahal pembatalan bukan perkara besar. Mereka bisa saja mengembalikan uang itu ke Kementerian Keuangan. Lagi pula belajar etika ke luar negeri tidaklah termasuk janji-janji yang sering dilontarkan para calon anggota legislatif dalam masa kampanye dulu. Bukankah mereka sering berjanji, antara lain, akan menyerap aspirasi masyarakat, lalu memperjuangkannya menjadi kebijakan pemerintah?

Jika benar-benar ingin memahami etika politik, politikus Senayan mestinya mendengarkan pandangan masyarakat bahwa studi banding bukanlah kegiatan yang pantas dilakukan DPR. Lawatan ke luar negeri itu hanya menghambur-hamburkan anggaran negara, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk proyek yang berguna bagi rakyat. Mereka seolah ingin belajar etika tapi dengan cara menabrak etika. (Tempointeraktif/irib/20/10/2010)

Pemerintah Jangan Salahkan Budaya Rakyat!

Pemerintah mengimbau kepada masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi maupun produksi sumber pangan pokok. Hal ini terkait dengan cuaca ekstrem karena lanina melanda Indonesia.

Sebagaimana dilansir situs Republika.co.id, Sekretaris Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Sesmenko), Indroyono Soesilo saat temu media di Jakarta, Selasa (19/10) menyatakan, ''Akibat La Nina tidak ada musim kemarau hingga Februari 2011 mendatang. Jika terus mengandalkan padi sebagai bahan pangan pokok akan sulit. Karenanya kami mengimbau kepada masyarakat untuk melakukan diversifikasi pangan".

Padahal dijelaskan oleh Indroyono terdapat 77 jenis sumber karbohidrat lainnya. Diantaranya ubi jalar, jagung, sagu dan kentang.Masyarakat bisa mencoba sumber karbohidrat lainnya.

Sementara Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian, Tjuk Eko Hari Basuki menjelaskan pula proporsi konsumsi karbohidrat masyarakat Indonesia yang berasal dari padi diatas 60 persen."Jika konsumsi padi bisa dikurangi bisa memberi kesempatan sumber pangan lainnya untuk dikonsumsi tubuh," tutur dia.

Tjuk pun menegaskan bahwa sampai saat ini cadangan sagu di wilayah Indonesia bagian timur masih cukup untuk beberapa generasi. Diversifikasi sumber bahan makanan pokok bisa dilakukan tanpa harus tergantung dengan tepung gandum bahan dasar roti dan mi instan.

Sementara itu menanggapi himbauan pemerintah soal perlunya diversifikasi pangan, dua fraksi di DPR mengingatkan kepada Pemerintah bersama jajarannya agar jangan mudah menyalahkan rakyat terkait krisis beras.

"Pemerintah sebaiknya jangan selalu bersikap `apologize` atau mencari pembenaran diri sendiri, lalu mengkambinghitamkan rakyat, terutama terkait krisis beras. Jujur saja menyatakan, ada yang keliru dalam kebijakan penanganan pangan nasional," kata juru bicara Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, di Jakarta, Senin.

Ia juga menyatakan, pernyataan sembarangan mengenai masalah beras, bisa berdampak kurang bagus terhadap citra serta kinerja pemerintahan ini.

"Ingat, politik beras itu sangat resisten. Ini menyangkut mayoritas warga. Dan jika mereka (Pemerintah) sadar bahwa `fox populi fox dei` (suara rakyat adalah suarat Tuhan), maka akan ngeri juga jika kita dengan gampang mempersalahkan rakyat dalam soal kegagalan menangani politik beras, terutama menyangkut stabilisasi dan pengamanan stok," katanya.

Sementara itu, juru bicara Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, mengingatkan Pemerintah agar jangan menutupi kegagalan memenuhi target produksi beras dengan mempermasalahkan budaya makan sebagian besar warga bangsa.

"Lebih produktif jika Pemerintah segera membuat kepastian program pengamanan stok beras di dalam negeri," kata Bambang Soesatyo yang mengaku berbicara selaku Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Baik Aria Bima (Pimpinan Komisi Pangan DPR RI) maupun Bambang Soesatyo, mengatakan itu secara terpisah, menanggapi beberapa pernyataan pihak berkompeten, yang seolah menyalahkan rakyat, terutama budaya makan sebagian besar rakyat, sehingga berimbas pada terjadinya krisis beras nasional.

Aria Bima juga `berang` ketika berbicara soal gampangnya seseorang menuding persoalan budaya makan beras sebagai bilang krisis beras yang terus terjadi belakangan ini

Karena itu, Aria Bima menyarankan, agar Pemerintah lebih terbuka menerima saran dari rakyat mengenai bagaimana upaya mengelola manajemen pangan nasional, sebagaimana sudah sering disuarakan melalui DPR RI.

Sementara itu, Bambang Soesatyo mengatakan, penguatan dan stabilisasi beras merupakan masalah strategis bangsa ini. "Hal itu berkait langsung dengan strategi pengendalian harga. Makanya, Pemerintah harus memberi pesan yang jelas kepada pasar dan konsumen tentang stok beras," ujarnya.

Menurut Bambang, bagi Rakyat, isu diversifikasi pangan itu kuno dan tak lebih dari "pepesan kosong".

Lalu ia pun mengeritik upaya mengambinghitamkan terjadinya krisis stok beras dengan menuding soal budaya makan beras. "Makan nasi itu budaya mayoritas rakyat Indonesia, sama seperti budaya warga di belahan dunia lain mengonsumsi roti atau mie. Jangan menyalahkan budaya konsumsi rakyat kalau Anda gagal menjalankan tugas," kata Bambang Soesatyo, Anggota Badan Anggaran DPR RI dan Wakil Bendahara Umum DPP Partai Golkar. (Antara/Republika/irib/19/10/2010)

Indeks Kebebasan Pers Indonesia Jeblok

Di tengah pujian dunia internasional atas demokrasi Indonesia, indeks kebebasan pers Indonesia justru melorot. Dari urutan 100 tahun 2009, tahun ini kebebasan pers Indonesia berada di urutan 117.

Demikian hasil riset yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) dalam situsnya www.rsf.org, Rabu (20/10/2010). Riset dilakukan berdasarkan pelanggaran kebebasan pers di 178 negara dari 1 September 2009 sampai 1 September 2010.

"Juga di Asia Tenggara, Indonesia (117) tidak bisa lewat di bawah halangan simbolis yang memisahkannya dengan negara-negara top 100, meski terjadi perkembangan media yang luar biasa," demikian pernyataan RSF.

Skor kebebasan pers Indonesia saat ini 35,83. Angka itu adalah angka terendah atau sama saat kepemimpinan Megawati Soekarno Putri yakni di peringkat 117 dengan skor 37,75

"Prestasi" Indonesia itu bahkan kalah dengan negara-negara kecil sepert Timor Leste (peringkat ke-94), Mauritania (95), dan Kuwait (86). Bahkan, Indonesia kalah dalam soal kebebasan pers dengan negara-negara Afrika Selatan seperti Niger (peringkat ke-106), Djibouti (110), Kenya (74).

Organisasi itu juga menyebut beberapa poin yang membuat rangking Indonesia melorot, yakni dua jurnalis yang dibunuh dan beberapa lainnya yang menerima ancaman pembunuhan.

"Utamanya mereka yang menulis tentang lingkungan," tulis organisasi yang menjadi konsultan PBB ini.

Dalam catatan detikcom, dua jurnalis yang tewas tersebut adalah Ridwan Salamun (kontributor Sun TV) dan Ardiansyah (wartawan TV lokal Merauke). Ridwan tewas dikeroyok saat meliput bentrokan massa di Tual Maluku, sementara Ardiansyah ditemukan tewas di sungai Gudang Arang, Merauke.

Kasus pelemparan bom molotov di kantor Majalah Tempo Juli lalu juga belum terungkap hingga kini. Polisi belum berhasil menangkap pelaku.

Di Asia, bukan hanya Indonesia yang menurun. Kekerasan politik di Thailand membuat negara ini bertengger di posisi 153 dari 178 negara. Filipina melorot ke ranking 156 akibat pembunuhan massal jurnalis di Mindanao. Malaysia, Singapura dan Timor Leste juga melorot, masing-masing berada di nomor 141, 136 dan 93.

Negara Asia Tenggara yang indeks kebebasan persnya lebih tinggi yakni, Timor Lestes (93). Sementara yang masih di bawah Indonesia, yakni Kamboja (128), Singapura (136), Malaysia (141), Brunei (142), Thailand (153), Filipina (156), Vietnam (165), Laos (168).

Laporan itu juga menyebutkan bahwa negara-negara yang memiliki kebebasan pers yang bagus adalah negara-negara di kawasan Eropa utara. Finlandia, Islandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss adalah negara paling bebas persnya. Indeks Kebebasan Pers enam negara itu paling tinggi. Skornya 0,00. Tahun lalu negara-negara itu juga menjadi negara paling bebas pernya. Mereka melindungi wartawan, media dari gugatan hukum. Di Swedia, misalnya, mereka punya Press Freedom Act yang melindungi wartawan.

Survei itu juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah jaminan persnya akan bebas. Cina misalnya ada di peringkat 171 meskipun pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. Cina masih melakukan sensordan memenjarakan wartawan. (Detik/Tempo/Vivanews)

Tanggung Jawab Sosial Media Pers

Menanggai kondisi kebebasan pers di Indonesia saat ini, Iddy Muzayyad, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menulis sebuah opini soal tanggung jawab sosial media pers yang diangkat laman harian Jurnal Nasional.

Dalam opininya itu, Muzayyad menegaskan kembali jaminan kebebasan yang digariskan UU Pers. Ia menjelaskan, dalam UU Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. Yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Poin ini menegaskan kemerdekaan menyatakan pendapat, termasuk melalui pers, diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, kemerdekaan pers bukan menyebarkan kebohongan. Apalagi pembodohan melalui content yang tidak sesuai kepentingan publik secara luas.

Dengan begitu, pers di samping memiliki kebebasan yang harus dipertahankan juga tanggung jawab yang wajib dilekatkan. Dinyatakan dalam UU Pers, bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.

Sejatinyam, pers, baik cetak maupun elektronik, merupakan elemen strategis seharusnya memberikan kemanfaatan berupa pencerahan bagi bangsa dan masyarakat. Apalagi media penyiaran memanfaatkan spektrum frekuensi yang merupakan sumber daya terbatas dan ranah publik. Fruekensi ini milik negara, bukan pemilik stasiun yang sebatas diberi izin berjangka untuk mengelola.

Pers penyiaran bukanlah sebatas pabrik suatu benda yang dipakai masyarakat. Melainkan produsen pesan yang punya dampak dan implikasi serius bagi pemirsa. Pasal 3 UU Pers menyatakan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Senada, Pasal 4 UU No 32 tentang Penyiaran menyatakan, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.

Lalu siapakah yang seharusnya menjamin pers menjalankan fungsi itu secara baik dan benar? Pertama, tentu lembaga pers dan penyiaran yang bersangkutan secara internal. Itu belum cukup. Karena itu, terlebih terhadap pers penyiaran diperlukan kontrol. Kontrol itu tidak oleh pemerintah, karena berpretensi akan dimanfaatkan untuk politik kekuasaan status quo.

KPI lahir sebagai amanat publik dan wujud peran serta masyarakat dalam mengatur dunia penyiaran. Termasuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap isi siaran. Pasal 8 Ayat UU Penyiaran menyebutkan, KPI berkewajiban "menjamin masyarakat memperoleh informasi layak dan benar sesuai hak asasi manusia". Jadi, dapat ditegaskan jaminan itu bukan hanya terletak level "masyarakat memperoleh informasi", tetapi "masyarakat memperoleh informasi layak dan benar".

Terkait kekerasan yang sedang merebak di masyarakat, media harus punya peran sebagai perekat dan pengontrol sosial. Perekat artinya media harus mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan serta harmoni masyarakat Indonesia yang pluralistik. Pengontrol bermakna media harus berperan menjadi pengendali terhadap hal-hal yang tidak baik bukan malah mendorong masyarakat makin terjerumus. Walhasil, pengawasan itu termasuk oleh masyarakat secara langsung diperlukan. Namun, harus tidak dalam konteks membungkam kebebasan pers. Kontrol diperlukan untuk menjamin kebebasan pers berjalan sesuai rel, penuh tanggung jawab. Bila tidak, alih-alih menjadi perekat sosial, media malah bisa berperan sebagai provokator perpecahan. Semoga tidak.(irib/21/10/2010)

0 comments to "Bangsa yang mempunyai beragam warisan budaya ini mesti belajar etika keluar negeri??? Seandainya duitnya untuk tambahan kesejahteraan rakyat!!!hiks.."

Leave a comment