Trenggiling memiliki kekurangan pada penglihatan dan pendengarannya. Namun, hewan tak bergigi ini terbukti dapat membunuh manusia. Dan telah dilaporkan adanya kematian yang disebabkan oleh binatang berhidung panjang ini.
Mereka hidup di sabana seperti Amerika Selatan dan Amerika Tengah, merupakan yang terbesar dari empat spesies trenggiling yang hidup. Mereka dapat tumbuh hingga 213 sentimeter di masa dewasa. Mereka memiliki empat cakar yang tajam pada kedua kaki depan yang digunakan untuk menghancurkan gundukan sarang semut dan sarang rayap, dan dapat menimbulkan luka pada manusia. Posisi berdiri dengan kedua kaki depan terbentang adalah pertanda buruk yang ditunjukkan seekor trenggiling.
Dalam jurnal Wilderness and Environmental Medicine, tercatat pada 1 Agustus 2012, seorang pria 47 tahun yang tinggal di perkebunan karet di Guajara County, Brasil, pergi berburu dengan kedua putranya. Anjing mereka memojokkan seekor trenggiling raksasa dewasa yang berdiri dengan kedua kaki depannya dibentangkan. Si pemburu kemudian memilih untuk menggunakan pisaunya ketimbang senapan karena takut menembak anjingnya. Sebelum dapat menyerangnya, si pemburu diserang lebih dulu oleh trenggiling raksasa kemudian meninggal kehabisan darah. Salah satu anaknya yang mengalami luka ringan menembak trenggiling itu sampai mati.
Ketika dokter dan peneliti forensik memeriksa korban, mereka menemukan adanya memar dan luka di sisi kiri leher sepanjang 4 cm, luka tusukan di lengan kiri, delapan luka tusukan di paha kiri, dan lecet pada paha kanan. Autopsi mengungkapkan kerusakan parah pada arteri femoral kiri, arteri besar di paha. Kejadian serupa terjadi pada 2010 ketika sebuah trenggiling menyerang seorang pria 75 tahun yang sedang berburu di Brasil, para ilmuwan mencatat.
Insiden tragis yang terjadi pada 2012 ini, kata para ilmuwan, harus menjadi peringatan untuk menghormati batas-batas antara satwa liar dan manusia, terutama ketika mereka sama-sama mendiami daerah tertentu.
Trenggiling raksasa diklasifikasikan "rentan" oleh IUCN. Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup spesies di alam liar adalah hilangnya habitat. Hewan-hewan yang memiliki pendengaran dan penglihatan yang buruk, cenderung terbunuh karena tertabrak di jalan yang membelah wilayah mereka. Ketika perkebunan tebu dibakar sebelum panen, kadang-kadang trenggiling tewas atau luka bakar parah. Mereka juga diburu untuk makanan dan dalam perdagangan hewan peliharaan ilegal.
(Monika Dhita Adiati. Sumber: Live Science) Sumber: http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/07/trenggiling-bisa-membunuh-manusia
Ini Rahasia Sisik Trenggiling Jadi Obat Kuat Pria dan Anti Ejakulasi Dini
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Sisik trenggiling (Paramanis javanica) sering diselundupkan ke luar negeri karena harganya sangat mahal, bisa Rp 25.000 per sisik. Kabarnya, sisik trenggiling bisa diolah menjadi obat kuat dan juga bahan pembuat narkoba jenis sabu-sabu.
(BACA JUGA: Sisik Trenggiling Diolah Jadi Sabu-sabu)
Bagaimana sisik trenggiling diolah menjadi obat kuat, dan juga obat anti ejakulasi dini? Itu tak lepas dari senyawa yang dikandungnya.
Pakar lingkungan hidup dan kesehatan Universitas Riau, Ariful Amri, sebagaimana dikutip dari Antaranews, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, sisik trenggiling mengandung zat aktif Tramadol Hcl.
''Tramadol HCl juga merupakan zat aktif salah satu obat analgesik yang digunakan untuk mengatasi nyeri hebat, baik akut atau kronis dan nyeri pascaoperasi,'' ujarnya.
Keberadaan Tramadol CHL inilah yang menjadi rahasia dari khasiat sisik trenggiling. Tramadol dikenal luas sebagai obat antiinflamasi dan obat pereda rasa nyeri.
Suatu uji klinik mengenai intravaginal ejaculation latency time (IELT) menunjukkan, Tramadol akan mampu mengatasi ejakulasi dini.
Seseorang disebut menderita ejakulasi dini jika kemampuan penetrasinya kurang dari 2 menit pada 80% hubungan intim yang dilakukan.
Salem dkk, sebagaimana dikutip dari berbagai sumber, melakukan uji klinik dengan memberikan Tramadol HCL 25 mg pada 30 pasien sebelum melakukan hubungan intim.
Rata-rata IELT atau lama ejakulasi sebelum dilakukan terapi adalah 1.17± 0.39 menit. Setelah dilakukan terapi menggunakan Tramadol HCL, maka IELT meningkat menjadi 7.37± 2.53 menit. Intinya, tramadol bisa membuat pasien sampel tahan lama dalam berhubungan intim.
Studi lainnya dilakukan oleh Safarinejad dan Hosseini, menggunakan Tramadol 50 mg. Hasilnya, IELT rata-rata meningkat dari 19 detik menjadi 243 detik setelah pemberian tramadol. Frekuensi rata-rata hubungan intim dalam seminggu meningkat dari 1.07 menjadi 2.3 setelah pemberian tramadol.
Itulah rahasia mengapa sisik trenggiling, yang mengandung zat tramadol, menjadi komoditas berharga mahal di luar negeri sehingga kerap diselundupkan.
Tapi, awas, penyelundupan trenggiling melanggar UU tentang Kepabeanan dan UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pelanggaran pasal 102A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 5 miliar. (*/berbagai sumber/http://lampung.tribunnews.com/2015/01/20/ini-rahasia-sisik-trenggiling-jadi-obat-kuat-pria-dan-anti-ejakulasi-dini?page=2)
Benarkah Sisik Trenggiling Bisa Diolah Jadi Sabu-sabu
Ilustrasi Trenggiling
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Binatang bersisik trenggiling (Paramanis javanica) kerap kali diselundupkan ke luar negeri, terutama ke Tiongkok. Harganya di pasaran internasional sangat menggiurkan, bisa mencapai 2 dolar AS atau Rp 25.000 per sisik.
Mengapa sisik trenggiling jadi primadona di pasar luar negeri? Sudah lama santer terdengar, sisik trenggiling mengandung senyawa tertentu yang bisa diolah menjadi obat kuat, dan bahkan jadi bahan untuk pembuatan narkotika jenis sabu-sabu.
(BACA JUGA: Sisik Trenggiling Bisa Jadi Obat Kuat Pria)
Trenggiling merupakan binatang yang ditemukan di Asia Tenggara, dengan makanan utama semut dan rayap. Bentuk tubuhnya memanjang, dengan lidah yang dapat dijulurkan hingga sepertiga panjang tubuhnya untuk mencari semut di sarangnya.
Rambutnya termodifikasi menjadi semacam sisik besar yang tersusun membentuk perisai berlapis sebagai alat perlindungan diri. Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula mengebatkan ekornya, sehingga "sisik"nya dapat melukai kulit pengganggunya.
Penggunaan sisik trenggiling untuk membuat sabu-sabu pernah diungkapkan oleh pakar lingkungan hidup dan kesehatan Universitas Riau, Ariful Amri, sebagaimana dikutip dari Antaranews, beberapa waktu lalu.
Ariful menyatakan, sisik trenggiling mengandung zat aktif Tramadol Hcl. Ini merupakan partikel pengikat zat yang terdapat pada bahan psikotropika jenis sabu-sabu.
''Tramadol HCl juga merupakan zat aktif salah satu obat analgesik yang digunakan untuk mengatasi nyeri hebat, baik akut atau kronis dan nyeri pascaoperasi,'' ujarnya.
Di dalam tubuh trenggiling terdapat unsur yang dapat menjaga kekebalan tubuh (antibodi) yang sangat tinggi. Ariful mengatakan, hal itu bisa dilihat dari sisik trenggiling yang dapat melindungi tubuh binatang tak bergigi itu.
''Percaya atau tidak, di negara asing seperti Singapura, sisik trenggiling dijual dengan harga jutaan, bahkan puluhan juta per kilogramnya. Ada kabar kalau di sana sisik trenggiling digunakan sebagai bahan dasar obat-obatan berdosis tinggi, termasuk psikotropika jenis sabu-sabu,'' ujarnya.
Petugas Bea dan Cukai berkali-kali menggagalkan upaya penyelundupan trenggiling ke luar negeri. Penyelundupan trenggiling melanggar UU tentang Kepabeanan dan UU tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pelanggaran pasal 102A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 5 miliar. Sumber : http://lampung.tribunnews.com/2015/01/20/benarkah-sisik-trenggiling-bisa-diolah-jadi-sabu-sabu?page=2
Nurwahyudi Si Pemburu Trenggiling: Tergiur Harga Sisik Rp3 Juta Per Kg
Nurwahyudi memang berprofesi sebagai pemburu Trenggiling. Sama seperti beberapa warga Desa Hayaping. Meski Trenggiling tergolong mahal harganya di pasaran, tetapi kehidupan keluargsa Nurwahyudi biasa-biasa saja.
Diperkirakan, Trenggiling yang hendak ia tangkap malam itu cukup besar. Beratnya bisa mencapai lebih 5 kg. Karena itu jelas, binatang itu melawan ketika ditangkap. Cara melawannya adalah masuk kembali ke dalam sarang. Tentu saja, Nurwahyudi tidak mau melepaskan tangkapannya itu. Namun nahas, binatang itu terlalu kuat. Sehingga dalam sekejap Nurwahyudi terserat ke dalam lobang. Tubuh Nurwahyudipun seperti masuk perangkap. Ia tak bisa bernafas di dalam lobang yang diameternya pas sebesr badannya itu. Tubuhnyapun tak dapat bergerak.
“Menangkap binatang jenis trenggiling ini memang susah, membutuhkan tenaga, sebab daya cengkaraman binatang ini sangat kuat ketika berada di atas tanah walau beratnya hanya mencapai tiga kilo gram, badan kita bisa terseret,” tutur Ali, tetangga Nurwahyudi.
Ia menceritakan, bisnis trenggiling memang menggiurkan. Meski mereka harus hati-hati, karena binatanng itu dilindungi. “ Saat ini harga perkilo hewan trenggiling sekitar Rp750 ribu . Dan harga sisiknya perkilo Rp3 juta.”
Ali dan kerabat Nurwahyudi menduga, hewan trenggiling yang mau ditangkap Nurwahyudi saat ini masih berada di dalam lobang-sarangnya itu. “ Kemungkinan, berat trenggiling tersebut mencapai lima sampai enam kilo gram.”
Sekitar tiga meter dari tempat ditemukannya Nurwahyudi, tergeletak sebuah tas. Isinya ternyata hasil buruan Nurwahyudi, yaitu seekor trenggiling yang berarnya sekitar 3 kg. “Kemudian di samping tas ada senapan angin, telepon seluler yang masih aktif serta sandal korban.”
Sekitar tiga meter dari tempat ditemukannya Nurwahyudi, tergeletak sebuah tas. Isinya ternyata hasil buruan Nurwahyudi, yaitu seekor trenggiling yang berarnya sekitar 3 kg. “Kemudian di samping tas ada senapan angin, telepon seluler yang masih aktif serta sandal korban.”
Kapolsek Awang Iptu Ali Mahmuni yang ada di lokasi, turut membantu kelancaran evakuasi. Ia menduga, Nurwahyudi meninggal karena tidak bisa bernafas saat terseret ke dalam sarang Trenggiling yang diduga besarnya lebih dari 6 kg itu. “Di tubuh korban tidak ada luka. Ini tampaknya murni kecelakaan.” (amar/*/http://borneonews.co.id/berita/21079-nurwahyudi-si-pemburu-trenggiling-tergiur-harga-sisik-rp3-juta-per-kg)
Nurwahyudi Si Pemburu Trenggiling: Tewas Di Sarang Trenggiling (1)
Nurwahyudi Si Pemburu Trenggiling: Tewas di Sarang Trenggiling (1)
Bapak lima anak itu ditemukan tewas di lobang yang menjadi sarang hewan Trenggiling. Tewasnya Nurwahyudi, 33, diduga karena diseret binatang Trenggiling itu ke dalam sarang binatang yang termasuk kategori hewan langka yang dilindungi oleh negara. Ia diduga terseret Trenggiling yang melawan ketika Nurwahyudi berusaha menangkapnya. Dan, karena lobang-sarang itu begitu dalam, maka si pemburu itu terjebak, tak bisa keluar.
Nur wahyudi merupakan warga Desa Hayaping, Rt 03. Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur (Bartim).Ia dinyatakan hilang sejak rabu malam, (2/9) dan ditemukan tewas pada jumat, (4/9) sekitar pukul 12 siang oleh iparnya sendiri. Ia ditemukan dengan kondisi badan korban masuk hingga lutut ke dalam lubang sarang Trenggiling. Yang nampak dari luar hanya bagian lutut, betis dan telapak kakinya saja. (amar iswani/*/http://borneonews.co.id/berita/21048-nurwahyudi-si-pemburu-trenggiling-tewas-di-sarang-trenggiling-1)
Nurwahyudi Si Pemburu Trenggiling: Ditelepon Tidak Menjawab (2)
Kejadian ini terjadi di Hutan Mungkur Benteng, yang jaraknya dari permukiman warga sekitar empat kilo meter. Wantar, 31, dan Ateng, 35, yang merupakan adik ipar korban sendiri menuturkan, Nurwahyudi pada Rabu (2/9/2015) malam berangkat hendak berburu Trenggiling dengan Juan, 31, yang berprofesi sama dengan Nurwahyudi.
Malam aitu, karena asyik dengan buruannya masing-masing, keduanya terpisah saat tiba di Sungai Mariang. Selesai berburu, malam itu Juan pulang ke rumah. Sementara korban Nurwahyudi tampaknya bersikeras melanjutkan perburuannya.
Kepada Borneonews, Wantar menjelaskan, korban tidak menjawab saat ditelepon istrinya. Pihak keluarga memutuskan untuk melakukan pencarian.
Menurut Wanter, 31, dia bersama kakaknya melakukan pencarian sekitar jam I0 pagi ke lokasi yang biasa korban berburu.
Nurwahyudi ditemukan sudah tidak bernyawa lagi. Ia melesak masuk ke dalam lobang-sarang Trenggiling. Ia tewas diduga karena tidak bisa bernafas saat terseret ke sarang Trenggiling sedalam hampir dua meter tersebut. Mereka langsung melaporkan kejadian ini kepada pihak Polsek setempat dan keluarga serta perangkat desa. (amar/*/http://borneonews.co.id/berita/21056-nurwahyudi-si-pemburu-trenggiling-ditelepon-tidak-menjawab-2)
Ironi Pemburu Trenggiling, Tewas Di Sarang Trenggiling!
Malang betul Nurwahyudi (33 tahun), warga Desa Hayaping, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Pemburu trenggiling ini ditemukan tewas di sarang trenggiling.
Ia terseret masuk ke dalam lobang hewan langka yang dilindungi itu. Lobang tersebut dalamnya sekitar dua meter, dengan diameter sekitar 40 sentimeter (cm). Badan Nurwahyudi terseret ke dalam, hingga hanya kelihatan betis serta telapak kakinya.
Maklumlah, trenggiling harganya cukup menggiurkan, mencapai Rp750 ribu per kg. Sedangkan sisiknya bisa mencapai Rp3 juta per kg. Menurut sesama pemburu yang ada di desa itu, diperkirakan trenggiling yang menghuni lobang (sarang) sebesar itu beratnya mencapai lebih dari 5 kg.
Tak pulang
Dikisahkan, malam itu, Rabu (2/9/2015), Nurwahyudi berangkat berburu trenggiling ke Hutan Mungkur Benteng bersama Juan. Di tengah hutan itu, mereka terpisah. Singkat cerita, malam itu pula Juan pulang ke rumah. Sedangkan Nurwahyudi bertahan.
Keesokan harinya, ia dicari keluarga dan kerabatnya. Baru ketemu dua hari kemudian, Jumat (4/9/2015) pukul 12.00 WIB. Kondisinya tak bernyawa, dengan kedua kaki sebatas lutut terjulur di atas permukaan tanah, sedangkan badannya masuk ke dalam lobang trenggiling.
Sekitar tiga meter dari tempat itu, ditemukan tas milik korban berisi hasil buruan, yaitu seekor trenggiling seberat 3 kg. Di sampingnya tergeletak senapan, telepon genggam, dan sandal.
Desa Hayaping pun gempar. Nurwahyudi dievakusi ramai-ramai. (AI/B-1/http://borneonews.co.id/berita/21078-ironi-pemburu-trenggiling-tewas-di-sarang-trenggiling)
Flora dan Fauna Kalsel
Kucing hutan
Kokang
ayam utan betina
ayam utan jantan
Ayam Hutan Kalimantan
Ini Kijang Kalimantan yang masih sering ditemukan di hutan
biawak
burung hantu yang disebut kukulai
binatang luak
Bekantan
Anak macan yang tertangkap warga di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) Kalimantan Selatan yang menandakan satwa ini banyak banyak terdapat di wilayah ini (foto Yan HSU)
Kita hanya tahu nama burung punai, nah inilah burung punai itu, sebab ada istilah mengharap burung terbang punai ditangandilepaskan
Kera (warik)
Belibis
burung bubut
Burung kuntul
Burung Serindit
POPULASI TIMPAKUL KIAN MENURUN DI SUNGAI BANJARMASIN
Satwa sejenis ikan namun lebih banyak hidup di daratan ini disebut timpakul, atau bahasa lain disebut belodok atau gelodok senang melompat-lompat ke daratan, terutama di daerah berlumpur atau berair dangkal di sekitar hutan bakau ketika air surut.
Hanya saja binatang dengan nama lain belacak atau dalam bahasa Inggris disebut mudskipper, sudah mulai menghilang di Kota Banjarmasin, akibat rusaknya kondisi sungai di wilayah yang berjuluk Kota seribu Sungai ini.
“Dulu era tahun 60-an mudah sekali menangkap timpakul di sungai Banjarmasin tetapi sekarang jangankan menangkap untuk melihat saja sudah sulit, setelah banyaknya pencemaran limbah rumah tangga dan industri mengotori sungai mengganggu habitat ikan darat ini,”kata penduduk Sungai Lulut Banjarmasin.
Dulu bukan hanya disungai tetapi dipersawahanpun mudah disaksikan kehidupannya, kata warga Banjarmasin.
Ikan ini sangatlah khas. Kedua matanya menonjol di atas kepala seperti mata kodok, wajah yang dempak, dan sirip-sirip punggung yang terkembang menawan. Badannya bulat panjang seperti torpedo, sementara sirip ekornya membulat. Panjang tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter hingga mendekati 30 cm.
Hanya saja binatang dengan nama lain belacak atau dalam bahasa Inggris disebut mudskipper, sudah mulai menghilang di Kota Banjarmasin, akibat rusaknya kondisi sungai di wilayah yang berjuluk Kota seribu Sungai ini.
“Dulu era tahun 60-an mudah sekali menangkap timpakul di sungai Banjarmasin tetapi sekarang jangankan menangkap untuk melihat saja sudah sulit, setelah banyaknya pencemaran limbah rumah tangga dan industri mengotori sungai mengganggu habitat ikan darat ini,”kata penduduk Sungai Lulut Banjarmasin.
Dulu bukan hanya disungai tetapi dipersawahanpun mudah disaksikan kehidupannya, kata warga Banjarmasin.
Ikan ini sangatlah khas. Kedua matanya menonjol di atas kepala seperti mata kodok, wajah yang dempak, dan sirip-sirip punggung yang terkembang menawan. Badannya bulat panjang seperti torpedo, sementara sirip ekornya membulat. Panjang tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter hingga mendekati 30 cm.
Berdasarkan catatan wikipedia keahlian yang dimiliki ikan yang satu ini, selain dapat bertahan hidup lama di daratan (90% waktunya dihabiskan di darat), ikan gelodok dapat memanjat akar-akar pohon bakau, melompat jauh, dan ‘berjalan’ di atas lumpur. Pangkal sirip dadanya berotot kuat, sehingga sirip ini dapat ditekuk dan berfungsi seperti lengan untuk merayap, merangkak dan melompat.
Daya bertahan di daratan ini didukung pula oleh kemampuannya bernafas melalui kulit tubuhnya dan lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya bisa terlaksana dalam keadaan lembab. Oleh sebab itu gelodok setiap beberapa saat perlu mencelupkan diri ke air untuk membasahi tubuhnya. Ikan gelodok Periophthalmus koelreuteri setiap kalinya bisa bertahan sampai 7-8 menit di darat, sebelum masuk lagi ke air. Di samping itu, gelodok juga menyimpan sejumlah air di rongga insangnya yang membesar, yang memungkinkan insang untuk selalu terendam dan berfungsi selagi ikan itu berjalan-jalan di daratan.
Hidup di wilayah pasang surut, gelodok biasa menggali lubang di lumpur yang lunak untuk sarangnya. Lubang ini bisa sangat dalam dan bercabang-cabang, berisi air dan sedikit udara di ruang-ruang tertentu. Ketika air pasang naik, gelodok umumnya bersembunyi di lubang-lubang ini untuk menghindari ikan-ikan pemangsa yang berdatangan.
Ikan jantan memiliki semacam alat kopulasi pada kelaminnya. Setelah perkawinan, telur-telur ikan gelodok disimpan dalam lubangnya itu dan dijaga oleh induk betinanya. Telur-telur itu lengket dan melekat pada dinding lumpur. Gelodok Periophthalmodon schlosseri dapat bertelur hingga 70.000 butir.
Gelodok memangsa aneka hewan, mulai dari ketam binatu (Uca spp.), udang, ikan, kerang, cumi-cumi, sampai ke semut ngangrang dan lalat. Ikan ini juga diduga memakan sedikit tumbuhan.
Ketika menjelajah daratan, gelodok juga sering menyerang dan mengusir gelodok yang lainnya, untuk mempertahankan teritorinya.
Gelodok Periophthalmus gracilis (dari Malaysia hingga Australia utara)
Ikan gelodok hanya dijumpai di pantai-pantai beriklim tropis dan subtropis di wilayah Indo-Pasifik sampai ke pantai Atlantik Benua Afrika.
Saat ini telah teridentifikasi sebanyak 35 spesies ikan gelodok. Terbagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu Boleophthalmus, Periophthalmus dan Periophthalmodon. Beberapa spesies contohnya adalah Pseudapocryptes elongatus, Periophthalmus gracilis, Periophthalmus novemradiatus, Periophthalmus barbarus, Periophthalmus argentilineatus dan Periophthalmodon schlosseri.
Belum banyak terkuak nilai dari ikan ini. Namun di Tiongkok dan Jepang, ikan gelodok menjadi santapan, selain juga digunakan sebagai obat tradisional, terutama sebagai peningkat tenaga lelaki.
Biawak masih banyak berkeliaran di belakang rumah penduduk di Desa Inan, Kabupaten Balangan
TUPAI RAKSASA BALANGAN MULAI PUNAH
Banjarmasin,27/5 (ANTARA)- Bagi masyarakat ingin menyaksikan lagi tupai raksasa disebut penduduk pedalaman Kalimantan Selatan sebagai Tengkarawak kini sudah tak mudah lagi pasalnya populasi hewan tersebut kemungkinan terus menyurut dan dikhawatirkan punah.
Padahal jenis tupai raksasa yang disebut pula di berbagai wilayah lain di Pulau Kalimantan ini sebagai Kerawak, mudah terlihat di era tahun 60-an hingga tahun 70-an, demikian keterangan yang diperoleh ANTARA di wilayah pedalaman, Kabupaten Balanganan, Kalsel, Minggu.
Menurut, Husni (40 tahun) penduduk Desa Inan, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan 220 Kilometer Utara Banjarmasin, Tangkarawak hampir tak pernah terlihat lagi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Padahal, tambahnya Tangkarawak dulunya merupakan hewan yang sering menganggu tanaman buah penduduk setempat, dan berlompatan dari batang kayu yang satu kebatang kayu yang lain.
Tangkarawak yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Pale Giant Sguirrel itu memang dikenal sebagai pengganggu buah-buahan penduduk setempat yang rakus.
Padahal jenis tupai raksasa yang disebut pula di berbagai wilayah lain di Pulau Kalimantan ini sebagai Kerawak, mudah terlihat di era tahun 60-an hingga tahun 70-an, demikian keterangan yang diperoleh ANTARA di wilayah pedalaman, Kabupaten Balanganan, Kalsel, Minggu.
Menurut, Husni (40 tahun) penduduk Desa Inan, Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan 220 Kilometer Utara Banjarmasin, Tangkarawak hampir tak pernah terlihat lagi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Padahal, tambahnya Tangkarawak dulunya merupakan hewan yang sering menganggu tanaman buah penduduk setempat, dan berlompatan dari batang kayu yang satu kebatang kayu yang lain.
Tangkarawak yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Pale Giant Sguirrel itu memang dikenal sebagai pengganggu buah-buahan penduduk setempat yang rakus.
Karena bila beberapa ekor Tangkarawak datang kesebuah batang pohon yang lagi berbuah, misalnya buah sawu maka bisa jadi buah sawu satu pohon itu ludes dimangsa hewan mamalia ini.
Bukan hanya buah sawu kesukaan hewan ini, tetapi buah-buahan lain, seperti binjai (kemang), jambu, mangga, rambutan, langsat, kuwini, durian, bahkan kelapa pun mereka embat.
Akibat kerakusan hewan menganggu tanaman buah-buahan penduduk itulah maka warga setempat kemudian memburu hewan tersebut.
Tadinya memburu hewan itu hanya menggunakan katapel, dengan peluru batu, sehingga hewan itu mudah saja mengelak bidikan warga.
Tetapi belakangan setelah menjamurnya senjara penjualan senapan angin dengan peluru runcing, akirnya warga yang tidak senang kehadiran hewan penggangu tanaman buah itu lalu memburu dengan jenis senjata baru tersebut.
Akhirnya hewan itu satu per satu bisa dilumpuhkan warga, dan bagi hewan yang masih ada tidak mau lagi tinggal di dekat pemukiman penduduk, sekarang hewan itu kalau masih ada yang hidup berada di pedalaman yang jauh jangkauan penduduk.
Beberapa warga di kawasan hutan lereng Pegunungan Meratus Kabupaten Balangan ini sekali-sekali memang masih pernah menemui hewan tersebut, tetapi sulit dilihat karena bila hewan itu melihat kedatangan manusia maka akan lari kencang dengan berlomopatan di pohon yang tinggi.
Tak sukanya warga di kawasan ini terhadap hewan yang berwarna putih kuning dengan panjang sekitar satu hingga satu setengah meter tersebut karena juga dianggap sebagai pemangsa hewan peliharaan, khsusnya anak ayam.
Konon hewan ini selain suka buah ternyata juga makan daging, khususnya anak ayam peliharaan masyarakat.
Citi-ciri hewan ini bekulit-putih kuning badan dan ekor hampir saja panjangnya, beryiulang belakang (vertebrat) tergolong dalam keluarga tupai dan termasuk hewan berdarah panas.
Kalangan pencinta alam menyayangkan hilangnya jenis fauna yang langka tersebut, padahal kehadiran hewan tersebut menambah khasanah kekayaan alam setempat.
Makanya diimbau kepada masyarakat, kalau masih melihat adanya hewan tersebut, supaya dilindungi dan biarlah hewan itu hidup di habitat hutan Kalimantan ini agar anak cucu di masa mendatang bisa menyaksikan hewan tersebut
Binatang kukang, kini kian langka di hutan
Kalimantan.
Binatang ini selalu hidup berpasang-pasangan dan kalau pasangannya di pisah konon salah satunya akan mati.
Ular sanca lagi kekenyangan setelah menelan seekor kambing, ular semacam ini masih banyak berkeliaran di Kalsel (foto Yen2 FB)
SADU, SATWA PEDALAMAN KALSEL YANG MAMPU BERKENTUT DENGAN BAU MENYENGAT
Bagi masyarakat wilayah banua Anam ( enam kabupaten utatara Kalsel) atau kawasan hulu sungai sudah begitu kenal dengan jenis binatang yang suka kentut kalau diganggu, dan baunya bisa belakat berhari-hari bahkan berminggu-minggu di pakaian.
Kerena itu warga kawasan ini enggan sekali mendekati jenis binatang tersebut apalagi untuk menangkapnya sehingga populasi binatang yang disebut sado atau saad itu hingga kini masih ada di kawasan Banua Anam Kalsel.
Binatang ini sembunyi di kala siang hari tetapi akan muncul di saat senja hingga malam hari dan berkeliaran bukan saja di hutan dan semak belaukar tetapi sado suka berkeliaran di pemukiman penduduk.
Bentuk binatang ini tidak besar tetapi juga tidak kecil seperti seekor kucing, bentuk tubuhnya menyerupai babi kecil hanya saja bulu binatang ini berbelang, abu-abu tetapi ada garis putih di atas punggung binatang ini.
Bila binatang ini diganggu, biasanya anak-anak kampung sering menggangu binatang ini dengan melempari dengan batu atau dengan potongan kayu, sehingga bila terkena binatang ini maka ia akan kentut mengeluarkan bau kentut yang sangat menyengat hampir tak ada orang yang sanggub mengirup bau kentut tersebut akhirnya siapapun orangnya akan menghindar dari kentut binatang.
Karena bila terkena kentut ini maka sarung atau pakaian yang melekat dibadan akan terus berbau kentut ini yang baunya benar-benar enak bahkan kalau menciumnya perut terasa mual bahkan ada orang yang tak tahan lalu muntah dan kepala pusing-pusing.
Menurut orang tua di bilangan Desa Inan, Kecamatan Paringin Balangan, saat binatang ini berkentut saat malam hari tampak dari dubur binatang ini mengeluarkan semacam cahaya walau tidak terang tetapi tampak, setelah keluar vahaya itulah kemudian bau menyengat akan menyebar seantero kampung dan biasanya bila binatang ini sudah kentut maka satu kampung akan terganggu.
Menurut tetuha masyarakat, kentut yang dikeluarkan binatang ini bukan sembarang kentut tetapi binatang ini mengeluarkan semacam gas beracun maksudnya untuk mengusir musuh khususnya binatang pemangsa atau siapa yang berani menganggunya termasuk manusia.
Di masyarakat setempat ada seorang pawang binatang ini bukan mampu menjinakan tetapi hanya mampu mengobati bila warga terkena kentut binatang ini agar badan dan seluruh pakaian terhindari dari bau kentut menyengat ini, tetapi sayang pawang itu sudang meninggal dunia dan tidak ada lagi yang sempat berguru sebagai pawang tersebut.
Bagi masyarakat wilayah banua Anam ( enam kabupaten utatara Kalsel) atau kawasan hulu sungai sudah begitu kenal dengan jenis binatang yang suka kentut kalau diganggu, dan baunya bisa belakat berhari-hari bahkan berminggu-minggu di pakaian.
Kerena itu warga kawasan ini enggan sekali mendekati jenis binatang tersebut apalagi untuk menangkapnya sehingga populasi binatang yang disebut sado atau saad itu hingga kini masih ada di kawasan Banua Anam Kalsel.
Binatang ini sembunyi di kala siang hari tetapi akan muncul di saat senja hingga malam hari dan berkeliaran bukan saja di hutan dan semak belaukar tetapi sado suka berkeliaran di pemukiman penduduk.
Bentuk binatang ini tidak besar tetapi juga tidak kecil seperti seekor kucing, bentuk tubuhnya menyerupai babi kecil hanya saja bulu binatang ini berbelang, abu-abu tetapi ada garis putih di atas punggung binatang ini.
Bila binatang ini diganggu, biasanya anak-anak kampung sering menggangu binatang ini dengan melempari dengan batu atau dengan potongan kayu, sehingga bila terkena binatang ini maka ia akan kentut mengeluarkan bau kentut yang sangat menyengat hampir tak ada orang yang sanggub mengirup bau kentut tersebut akhirnya siapapun orangnya akan menghindar dari kentut binatang.
Karena bila terkena kentut ini maka sarung atau pakaian yang melekat dibadan akan terus berbau kentut ini yang baunya benar-benar enak bahkan kalau menciumnya perut terasa mual bahkan ada orang yang tak tahan lalu muntah dan kepala pusing-pusing.
Menurut orang tua di bilangan Desa Inan, Kecamatan Paringin Balangan, saat binatang ini berkentut saat malam hari tampak dari dubur binatang ini mengeluarkan semacam cahaya walau tidak terang tetapi tampak, setelah keluar vahaya itulah kemudian bau menyengat akan menyebar seantero kampung dan biasanya bila binatang ini sudah kentut maka satu kampung akan terganggu.
Menurut tetuha masyarakat, kentut yang dikeluarkan binatang ini bukan sembarang kentut tetapi binatang ini mengeluarkan semacam gas beracun maksudnya untuk mengusir musuh khususnya binatang pemangsa atau siapa yang berani menganggunya termasuk manusia.
Di masyarakat setempat ada seorang pawang binatang ini bukan mampu menjinakan tetapi hanya mampu mengobati bila warga terkena kentut binatang ini agar badan dan seluruh pakaian terhindari dari bau kentut menyengat ini, tetapi sayang pawang itu sudang meninggal dunia dan tidak ada lagi yang sempat berguru sebagai pawang tersebut.
macan dahan Kalimantan
Melacak Jejak Macan Dahan Kalimantan
SIANG hari seperti biasa Suta pergi ke hutan di sekitar tempat tinggalnya di Desa Butong Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah melihat perangkap (jerat) yang dipasang untuk menangkap babi.
Berburu babi dengan jebakan merupakan pekerjaan rutinnya selain sebagai petani karet, namun saat melihat alat perangkap tradisional yang disebut warga setempat jipah itu bukannya hewan babi yang terkena perangkap melainkan seekor binatang yang kulitnya bercorak awan (bulat-bulat) berwarna abu-abu dengan panjang tubuh satu meter.
“Saat saya melepas dari jerat perangkap, binatang itu tanpa meronta padahal taringnya cukup panjang sekitar 10 cm,” kata Suta lelaki berusia 40 tahun itu yang tinggal di RT 5 Desa Butong. Binatang itu kemudian dibawanya ke desanya berjarak tiga kilometer menggunakan tas terbuat dari rotan yang ditaruh di punggung (lanjung) biasa dijadikan alat untuk mengangkut hasil kebun warga setempat.
Tertangkapnya binatang liar yang ternyata macan dahan (neofelis diardi) itu langsung membuat gempar masyarakat di sekitar tempat tinggalnya yang tidak jauh dari SDN-1 Butong. Macan dahan hidup dari pohon ke pohon di dalam hutan lebat. Semula binatang itu akan diserahkan kepada Pemkab Barito Utara untuk dipelihara, namun tiga hari setelah ditangkap, macan itu telah melarikan diri dengan cara merusak papan kayu yang dijadikan kurungan dan diletakkan di bawah rumah.
Padahal, Suta tengah mempersiapkan sangkar yang dibuat dari besi namun binatang itu hilang tanpa diketahui keberadaannya lagi. Sementara Alwis Gandrung seorang warga Muara Teweh mengatakan, kepercayaan masyarakat setempat tertangkapnya hewan langka berjenis kelamin jantan yang disebut satua panjang buntut atau binatang panjang ekor oleh warga suku Dayak setempat sebagai tanda kenaasan atau sial baik bagi penemu maupun binatang tersebut.
Menurut dia, binatang ini sulit ditemukan sehingga bagi orang yang bisa mendapatkannya berarti binatang tersebut mengalami sial atau disebut warga setempat dengan nama kepuhunan. Bahkan kepercayaan orang Dayak binatang ini merupakan hewan jadi-jadian atau makhluk halus dan baru kali ini macan dahan bisa ditangkap, kata Alwis.
Sesuai kepercayaan suku Dayak, macan dahan yang berhasil ditangkap warga berarti binatang itu mengalami sial. Sementara orang yang melihat binatang tersebut juga akan kena naas atau musibah seperti terjangkit penyakit.
Terancam
Terancam
Kepala Kantor Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah IV Muara Teweh, Yusuf Trismanto, mengatakan, populasi salah satu binatang buas ini sudah mulai terancam karena hutan yang selama ini menjadi habitatnya sudah banyak tergusur dijadikan kawasan perkebunan, kegiatan perusahaan HPH maupun pertambangan.
Mungkin karena kelaparan tidak menemukan binatang lain yang biasa menjadi santapannya sehingga macan dahan yang selalu hidup di atas pohon itu harus turun ke tanah guna mencari makanan.
Ia mengatakan, kalau memang binatang itu terancam habitatnya bukan berarti akibat perburuan atau dibunuh, karena selama ini macan dahan sulit ditemukan dan keberadaannya tidak terlacak.
Ia mengatakan, kalau memang binatang itu terancam habitatnya bukan berarti akibat perburuan atau dibunuh, karena selama ini macan dahan sulit ditemukan dan keberadaannya tidak terlacak.
“Kalau binatang itu terancam punah, tidak disebabkan perburuan karena selama ini tidak pernah terdengar orang menemukan binatang tersebut lalu membunuhnya,” jelas Yusuf. Menurut dia, populasi macan dahan di Kabupaten Barito Utara saat ini ada di kawasan perkebunan kelapa sawit PT Antang Ganda Utama terutama di wilayah kebun kemitraan di Desa Rarawa Kecamatan Gunung Timang.
Di wilayah itu warga sering melihat macan dahan, bahkan masyarakat takut pergi ke hutan seorang diri, karena binatang itu tubuhnya cukup besar, bahkan binatang itu akan memangsa ternak babi warga setempat jika kelaparan. Macan dahan juga pernah terlacak di kawasan perkebunan sawit PT Berjaya Agro Kalimantan dan kawasan Cagar Alam Pararawen wilayah Desa Lemo Kecamatan Teweh Tengah.
Sulit dilacak
Sulit dilacak
Yusuf Trismanto menyatakan secara ekologi keberadaan macan dahan di daerah ini memang ada, namun sekarang sulit ditemukan. “Hewan ini sangat langka karena kita biasanya hanya menemukan jejak atau laporan petugas dan warga masyarakat yang pernah melihatnya,” katanya.
Namun Yusuf sangat terkejut dengan ditangkapnya macan dahan oleh warga Desa Butong yang selama ini lebih banyak mendengar kisahnya baik melalui petugas di lapangan maupun masyarakat ketimbang melihat sendiri.
“Setelah saya melihat foto yang diambil melalui kamera ponsel oleh warga setempat ternyata memang besar dan hal ini memang kejadian langka apalagi sampai bisa ditangkap,” paparnya. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalteng, Mega Haryanto menyatakan pihaknya masih berupaya menelusuri populasi macan dahan yang diperkirakan semakin jarang ditemukan.
Di Kalteng macan dahan masih bisa ditemukan seperti di Taman Nasional Sebangau, Taman Nasional Tanjung Puting, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kabupaten Kotawaringin Timur. Selain itu di daerah lain juga diketahui memiliki habitat macan dahan dalam jumlah kecil seperti di Cagar Alam Sapat Hawung, Pararawen, Suaka Margasatwa Lamandau, Hutan Lindung Bukit Bantikap, dan Blok E kawasan Pengembangan Lahan Gambut.
“Secara pasti belum diketahui habitat dan jumlahnya. Kami masih melakukan penelusuran jejak, karena macan dahan termasuk hewan langka,” ujarnya.
Terekam
Terekam
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalteng memasang kamera di lokasi lembaga penelitian di dalam hutan Taman Nasional Sebangau, Kalteng dan belum lama ini merekam foto seekor macan dahan. Foto serupa di habitat aslinya, juga sempat beberapa kali terekam, termasuk kemunculan macan dahan di daerah hutan dan jembatan kanal air yang biasa dilintasi manusia di wilayah itu.
“Populasinya dari dulu tidak diketahui, meski keberadaannya sering terlihat di sejumlah daerah konservasi di Kalteng,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalteng, Mega Haryanto.
Macan dahan termasuk dari ratusan jenis hewan langka yang dilindungi UU No 55/1995 tentang Konservasi dan Sumber Daya Hayati. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 40 mengatur jelas semua orang dilarang menangkap dan memiliki hewan-hewan langka.
Macan dahan termasuk dari ratusan jenis hewan langka yang dilindungi UU No 55/1995 tentang Konservasi dan Sumber Daya Hayati. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 40 mengatur jelas semua orang dilarang menangkap dan memiliki hewan-hewan langka.
Macan dahan Kalimantan sebelumnya disebut dengan nama spesies Neofelis nebulosa, namun sejak tahun lalu diubah menjadi Neofelis diardi karena hasil tes DNA menunjukkan, macan dahan asal Indonesia itu memiliki banyak perbedaan sifat genetik dengan macan dahan sejenis yang tersebar di Benua Asia.
Mengacu data World Wildlife Fund (WWF), macan dahan yang baru diklasifikasikan sebagai spesies baru itu diperkirakan tersisa antara 5.000 hingga 11.000 di Kalimantan dan antara 3.000 hingga 7.000 di Sumatera. Hewan langka itu memiliki corak seperti awan yang kecil, corak bergaris ganda di punggung, dan warna rambut berwarna abu-abu yang lebih gelap daripada spesies sejenisnya.
Neofelis diardi merupakan predator utama di hutan Kalimantan, dengan makanan monyet, rusa, burung, dan kadal. Ukuran gigi taring terhadap tubuhnya tergolong paling panjang di antara kucing lainnya.
Harapan hidupnya kini hanya tersisa di kawasan Heart of Borneo, hutan tropis di bagian tengah Borneo seluas 220 ribu kilometer persegi yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam sebagai kawasan konservasi. (kasriadi/Mb)
KALSEL MILIKI MADU BUKAN DARI LEBAH, TAPI KALULUT
Banjarmasin,10/6 (ANTARA)- Masyarakat yang tinggal di pedalaman Propinsi Kalimantan Selatan persisnya di lereng Pegunungan Meratus Kabupaten Balangan menemukan sejenis madu yang bukan dari hasil pembuatan lebah.
Binatang yang mengolah madu tersebut bentuk kecil lebih kecil dari lalat disebut masyarakat setempat sebagai binatang kalulut, sehingga madu yang dihasilkannya itu disebut madu kelulut, demikian keterangan dari warga di Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan,Kalsel, Minggu.
Madu kalulut kini mulai digandrungi masyarakat bukan sekedar untuk kesehatan tubuh sebagaimana madu lebah, juga sebagai teman makan kue, atau makanan pisang rebus dan ubi rebus.
Menurut, Aliansyah yang dikenal sebagai pencari madu kalulut di Desa Inan, Kecamatan Paringin, madu tersebut dianggap lebih berkhasiat dibandingkan madu lebah.
Masalahnya binatang kelulut lebih kecil dibandingkan lebah sehingga binatang ini pasti lebih teliti dalam mengekstrak madu untuk makanan anak-anaknya.
Binatang yang mengolah madu tersebut bentuk kecil lebih kecil dari lalat disebut masyarakat setempat sebagai binatang kalulut, sehingga madu yang dihasilkannya itu disebut madu kelulut, demikian keterangan dari warga di Kecamatan Paringin, Kabupaten Balangan,Kalsel, Minggu.
Madu kalulut kini mulai digandrungi masyarakat bukan sekedar untuk kesehatan tubuh sebagaimana madu lebah, juga sebagai teman makan kue, atau makanan pisang rebus dan ubi rebus.
Menurut, Aliansyah yang dikenal sebagai pencari madu kalulut di Desa Inan, Kecamatan Paringin, madu tersebut dianggap lebih berkhasiat dibandingkan madu lebah.
Masalahnya binatang kelulut lebih kecil dibandingkan lebah sehingga binatang ini pasti lebih teliti dalam mengekstrak madu untuk makanan anak-anaknya.
moncong sarang kelulut di pohon besar
Hanya saja, bagi sebagian orang di wilayah ini kurang suka terhadap jenis madu ini, lantaran rasanya sedikit asam dibandingkan madu lebah, tetapi bentuk warna atau kekentalan sama saja dibandingkan madu lebah.
Untuk mencari madu kalulut ini memang rlatif lebih sulit dibandingkan madu lebah, karena setiap satu sarang kalulut hanya sedikit sekali menghasilkan madu.
“Makanya untuk mendapatkan satu liter madu kalulut, itu harus mampu mengambil madu untuk beberapa sarang kalulut, sementara kalau mengambil madu lebah hanya satu sarang bisa mencapai puluhan liter” kata Aliansyah.
Apalagi sarang kalulut itu bukan berada bergelantungan di dahan pohon seperti layaknya sarang lebah, tetapi sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar.
Biasanya sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar, Untuk mengenali batang pohon itu ada atau tidak sarang kalulut, ditandai dengan sekelompok binatang kalulut yang beterbangan di sekitar itu.
Untuk mendapatkan madu kalulut tersebut pencari madu ini harus menebang dulu pohon itu, kemudian baru membelahnya pakai kampak, setelah itu baru kelihatannya sarang kalulut lengkap dengan wadah-wadah madunya.
Wadah madu ini persis seperti balon-balon kecil menggelembong, balon itu terbuat dari bahan yang diproduksi binatang ini menyerupai lilin hitam. Bila gelembong itu pecah sedikit saja maka madu akan ngocor dari gelembong tersebut.
Makanya cara mengambil madu tersebut terlebih dahulu mengumpulkan balon-balon kecil itu ke dalam wadah, setelah terkumpul baru balon itu dipecah atau diperas hingga madunya terkumpul.
Enaknya mengambil madu itu karena gigitan binatang ini tidak sakit dibandingkan gigitan lebah, paling banter sakitnya seperti gigitan nyamuk, tetapi kalau binatang ini marah biasanya secara berkelompok menyerang bagian rambut orang hingga seringakali binatang ini banyak nyangkut dirambut orang.
Binatang ini selain banyak bersarang di dalam pohon besar, juga ada yang bersarang dalam gondokan tanah merah semacam gunung kecil atau yang disebut penduduk setempat tanah balambika.
Bila madu kalulut yang bersarang dalam tanah merah ini diambil maka warna madu kalulut agak merah keputih-putihan, sedangkan madu dalam pohon agak merah ke hitam-hitaman.
Lantaran sulit diperoleh maka kalau ada yang menjual madu inipun harganya lebih mahal ketimbang harga madu lebah, bila harga madu lebah asli rp50 ribu per liter di pedalaman Kalsel, maka harga madu lebah ini bisa Rp60 ribu per liter.
Konon agar madu ini lebih berkhasiat kalau didiamkan lebih lama dulu, sehingga dikenal ada madu kalulut usianya tahunan di tangan masyarakat.
Konon pula madu banyak sekali khasiatnya, selain bisa untuk kejantanan laki-laki atau awet muda, atau untuk obat demam, atau obat luka
Hanya saja, bagi sebagian orang di wilayah ini kurang suka terhadap jenis madu ini, lantaran rasanya sedikit asam dibandingkan madu lebah, tetapi bentuk warna atau kekentalan sama saja dibandingkan madu lebah.
Untuk mencari madu kalulut ini memang rlatif lebih sulit dibandingkan madu lebah, karena setiap satu sarang kalulut hanya sedikit sekali menghasilkan madu.
“Makanya untuk mendapatkan satu liter madu kalulut, itu harus mampu mengambil madu untuk beberapa sarang kalulut, sementara kalau mengambil madu lebah hanya satu sarang bisa mencapai puluhan liter” kata Aliansyah.
Apalagi sarang kalulut itu bukan berada bergelantungan di dahan pohon seperti layaknya sarang lebah, tetapi sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar.
Biasanya sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar, Untuk mengenali batang pohon itu ada atau tidak sarang kalulut, ditandai dengan sekelompok binatang kalulut yang beterbangan di sekitar itu.
Untuk mendapatkan madu kalulut tersebut pencari madu ini harus menebang dulu pohon itu, kemudian baru membelahnya pakai kampak, setelah itu baru kelihatannya sarang kalulut lengkap dengan wadah-wadah madunya.
Wadah madu ini persis seperti balon-balon kecil menggelembong, balon itu terbuat dari bahan yang diproduksi binatang ini menyerupai lilin hitam. Bila gelembong itu pecah sedikit saja maka madu akan ngocor dari gelembong tersebut.
Makanya cara mengambil madu tersebut terlebih dahulu mengumpulkan balon-balon kecil itu ke dalam wadah, setelah terkumpul baru balon itu dipecah atau diperas hingga madunya terkumpul.
Enaknya mengambil madu itu karena gigitan binatang ini tidak sakit dibandingkan gigitan lebah, paling banter sakitnya seperti gigitan nyamuk, tetapi kalau binatang ini marah biasanya secara berkelompok menyerang bagian rambut orang hingga seringakali binatang ini banyak nyangkut dirambut orang.
Binatang ini selain banyak bersarang di dalam pohon besar, juga ada yang bersarang dalam gondokan tanah merah semacam gunung kecil atau yang disebut penduduk setempat tanah balambika.
Bila madu kalulut yang bersarang dalam tanah merah ini diambil maka warna madu kalulut agak merah keputih-putihan, sedangkan madu dalam pohon agak merah ke hitam-hitaman.
Lantaran sulit diperoleh maka kalau ada yang menjual madu inipun harganya lebih mahal ketimbang harga madu lebah, bila harga madu lebah asli rp50 ribu per liter di pedalaman Kalsel, maka harga madu lebah ini bisa Rp60 ribu per liter.
Konon agar madu ini lebih berkhasiat kalau didiamkan lebih lama dulu, sehingga dikenal ada madu kalulut usianya tahunan di tangan masyarakat.
Konon pula madu banyak sekali khasiatnya, selain bisa untuk kejantanan laki-laki atau awet muda, atau untuk obat demam, atau obat luka
FLORA DAN FAUNA KALSEL
Kekayaan flora dan fauna di Kalimantan Selatan sedapat mungkin dipelihara sebagai bagian dari kekayaan sumber daya alam. Dalam hal ini dilakukan upaya konservasi sumber daya alam yang meliputi konservasi di dalam kawasan hutan dan konservasi diluar kawasan hutan. Khususnya konservasi didalam kawasan hutan dilakukan dengan melalui pembangunan suaka margasatwa, suaka alam, dan taman wisata serta taman hutan raya.
Berbagai fauna yang tergolong satwa langka yang dilindungi yang tersebar pada Hutan Suaka Alam dan Wisata yaitu :
Berbagai fauna yang tergolong satwa langka yang dilindungi yang tersebar pada Hutan Suaka Alam dan Wisata yaitu :
bekantan
1. Bekantan ( Nasalis Larvatus )
2. Kera Abu – Abu ( Maccaca Irrus )
3. Elang ( Butatstur sp )
4. Beruang Madu ( Hylarotis Malayanus )
5. Kijang Pelaihari ( Muntiacus Salvator )
6. Owa – Owa ( hylobatus Mullerii )
7. Elang Raja Udang ( Palargapais Carpusis )
8. Cabakak ( Hakyan Chalaris )
9. Rusa sambar ( Cervus Unicular )
10. Biawak ( Varanus spesi )
11. Kuau ( Argusianus Argus )
12. Pecuk Ular ( Prebytus Rubicusida )
2. Kera Abu – Abu ( Maccaca Irrus )
3. Elang ( Butatstur sp )
4. Beruang Madu ( Hylarotis Malayanus )
5. Kijang Pelaihari ( Muntiacus Salvator )
6. Owa – Owa ( hylobatus Mullerii )
7. Elang Raja Udang ( Palargapais Carpusis )
8. Cabakak ( Hakyan Chalaris )
9. Rusa sambar ( Cervus Unicular )
10. Biawak ( Varanus spesi )
11. Kuau ( Argusianus Argus )
12. Pecuk Ular ( Prebytus Rubicusida )
Pusat-pusat konservasi flora dan fauna seperti disebutkan diatas dapat lebih diperincikan sebagai berikut :
1. Cagar Alam Pulau Kaget
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi Bekantan ( nasalis Larvatus ), Kera Abu-Abu ( Macaca fasicularis ) dan lain-lain.
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi Bekantan ( nasalis Larvatus ), Kera Abu-Abu ( Macaca fasicularis ) dan lain-lain.
2. Cagar Alam Gunung Kentawan
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi angrek alam, owa-owa ( hylobatus Muelleri ), bekantan dan beberapa jenis burung.
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi angrek alam, owa-owa ( hylobatus Muelleri ), bekantan dan beberapa jenis burung.
3. Suaka Margasatwa Peleihari – Martapura
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi Beruang Madu ( helarctus malayanus ), Kuwau ( Argusianus Argus ), Pecuk ular ( Cervus unicolor ), dan Kijang Peleihari ( Muntiacus Pleiharicus )
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi Beruang Madu ( helarctus malayanus ), Kuwau ( Argusianus Argus ), Pecuk ular ( Cervus unicolor ), dan Kijang Peleihari ( Muntiacus Pleiharicus )
4. Suaka Alam Pelaihari Tanah Laut
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi bekantan, burung raja udang ( Palargopsis capengis ), rusa sambar, dan biawak ( Varanus Salvator ).
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi bekantan, burung raja udang ( Palargopsis capengis ), rusa sambar, dan biawak ( Varanus Salvator ).
5. Taman Wisata Pulau Kembang
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi bekantan , kera abu-abu, bajing tanah ( Laricus insignis ) dan elang abu-abu ( Butartur sp )
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi bekantan , kera abu-abu, bajing tanah ( Laricus insignis ) dan elang abu-abu ( Butartur sp )
6. Taman Hutan Raya Sultan Adam
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi berbagai jenis flora dan fauna, sekaligus sebagai kawasan Hutan Pendidikan Fakultas kehutanan Universitas lambung Mangkurat.
Terdapat tiga buah reservant masing-masing di Danau bangkau, Danau panggang, dan Sungai Buluh, sebagai kawasan untuk melindungi satwa air khususnya pada saat hewan tersebut berkembang biak. Hewan-hewan yang dilindungi dikawasan ini antara lain ikan haruan ( ophiocephalus striatus ), betok ( Anabas testudineus ), sepat Siam ( trichogaster pectoralis ), tambakan ( helostoma temmincki ), dan buaya taman ( Crocodile sp )
Sebagai kawasan konservasi untuk melindungi berbagai jenis flora dan fauna, sekaligus sebagai kawasan Hutan Pendidikan Fakultas kehutanan Universitas lambung Mangkurat.
Terdapat tiga buah reservant masing-masing di Danau bangkau, Danau panggang, dan Sungai Buluh, sebagai kawasan untuk melindungi satwa air khususnya pada saat hewan tersebut berkembang biak. Hewan-hewan yang dilindungi dikawasan ini antara lain ikan haruan ( ophiocephalus striatus ), betok ( Anabas testudineus ), sepat Siam ( trichogaster pectoralis ), tambakan ( helostoma temmincki ), dan buaya taman ( Crocodile sp )
Selain itu, dalam usaha menjaga kelestariaan tumbuh-tumbuhan yang sudah mulai langka telah dikembangkan penanaman tumbuhan langka khas Kalimantan Selatan di Lingkungan Universitas Lambung mangkurat yang dikelola oleh fakultas Pertanian.
Wilayah propinsi Kalsel akan akan sumber plasma nutfah dan dianggap sebagai tempat asal dari berbagai tumbuhan seperti :
1. Durian ( Duriospesi )
2. Tebu ( Sacharum Officinarum )
3. Kasturi ( Mangifera Delmiana )
4. Rambutan ( Nephelium Lappocum )
1. Durian ( Duriospesi )
2. Tebu ( Sacharum Officinarum )
3. Kasturi ( Mangifera Delmiana )
4. Rambutan ( Nephelium Lappocum )
Hutan Daratan rendah dan tinggi didominasi oleh spesies :
1. Meranti (Dipterocorpus Spesi )
2. Hopea ( Hopea spesia )
3. Ulin ( Eusideroxlyon )
4. Kempos ( Komposia Spesi )
5. Damar ( Agathis bornensis )
6. Sindor ( Sindora Spesi )
1. Meranti (Dipterocorpus Spesi )
2. Hopea ( Hopea spesia )
3. Ulin ( Eusideroxlyon )
4. Kempos ( Komposia Spesi )
5. Damar ( Agathis bornensis )
6. Sindor ( Sindora Spesi )
Didaerah hutan tanah bergambut pepohonan utamanya meliputi :
1. Ramin ( Gonostylus Bancadud )
2. Jeluntung ( Dura Spesi )
3. Ebony ( Displyros Spesi )
1. Ramin ( Gonostylus Bancadud )
2. Jeluntung ( Dura Spesi )
3. Ebony ( Displyros Spesi )
Didaerah hutan rawa dibagian barat Kalimantan Selatan banyak ditemui
1. Xylopia Spesi :
2. Tarantang ( Comnaperma Spesi )
4. Nipah ( Nipahfruitcans )
1. Xylopia Spesi :
2. Tarantang ( Comnaperma Spesi )
4. Nipah ( Nipahfruitcans )
Didaerah hutan air payau banyak terdapat :
1. Bakau ( Rhizospora spesi )
2. Prapat ( Soneratia spesi )
3. Api – Api ( Avicenia spesi )
4. Bruguira spesi
1. Bakau ( Rhizospora spesi )
2. Prapat ( Soneratia spesi )
3. Api – Api ( Avicenia spesi )
4. Bruguira spesi
Dua spesi rotan yaitu spesi dan Daemonorps adalah tanaman memanjat terpenting. Tanaman memanjat lainnya adalah ficus spesi. Diatas pohon-pohon besar di dalam hutan terdapat berbagai anggrek. (Sumber: Dishut Kalsel)
PRODUKSI BUAH-BUAHAN LOKAL PEDALAMAN KALSEL MENURUN DRASTIS
Banjarmasin,30/3 (ANTARA)- Produksi buah-buahan lokal Pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) beberapa tahun belakangan ini mengalami penurunan drastis lantaran pohon buah-buahan itu tidak banyak yang dibudidayakan sementara tanaman yang ada sebagian besar sudah tua-tua dan tidak berproduksi dengan baik lagi.
Wartawan ANTARA yang melakukan perjalanan ke wilayah Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan seperti dilaporkan Minggu memperoleh keterangan dari warga bahwa produksi buah-buahan itu menurun tidak seperti beberapa tahun yang lalu.
“Biasanya saat musim buah seperti sekarang ini, produksi buah-buahan lokal melimpah, seakan tak ada harganya lagi, tetapi sekarang produksi yang ada jumlahnya sedikit, akhirnya buah-buahan lokal itu berharga mahal,”kata Nahlian Noor menuturkan.
Nahlian Noor yang dikenal sebagai pedagang buah di kawasan tersebut mengakui untuk memperoleh buah-buahan dengan jumlah besar untuk dibawa ke kota sekarang sudah sulit sekali, untuk kebutuhan masyarakat setempat saja hampir tak mencukupi apalagi harus dibawa ke luar daerah.
Sebagai contoh buah Pampakin (sejenis durian warna kuning kemerahan) sekarang satu biji sudah seharga antara Rp5 ribu hingga Rp10 ribu di tempat, walau harganya dinilai cukup mahal tetapi kalau dijual di kawasan ini saja sudah rebutan karena produksinya yang sedikit itu.
Padahal tahun-tahun sebelumnya produksi buah Pampakin selalu saja memludak dan banyak dibawa ke Banjarmasin serta kota-kota lain di Kalsel, bahkan dibawa ke Balikpapan dan Samarinda (Kaltim).
Menurunnya produksi buah lokal tersebut karena banyak pohon buah itu tidak dipelihara dengan baik, apalagi dibudidayakan dengan pembibitan yang baru sama sekali hampir tak pernah terlihat lagi.
Bahkan banyak pohon buah lokal yang berpohon besar bukannya dipelihara melainkan justru ditebang karena kayu dari pohon buah ternyata belakangan laku dijual untuk dibuat bahan bangunan seperti papan, kasau, gelagar, dan kayu gergajian yang lain.
Selain itu kayu pohon buah lokal ini juga laku dijual ke berbagai perusahaan vener (bahan pelapis plywood) dengan harga yang menggiurkan, akhirnya banyak warga pemilik buah-buahan lokal tidak mau repot memelihara pohon itu, tetapi dijual dengan harga mahal ke berbagai perusahaan itu, kata seorang warga yang lain.
Di Pedalaman Kalsel, khususnya di kaki Pegunungan Meratus Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) serta Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dikenal sebagai sentra buah-buahan lokal Kalsel.
Kawasan ini setiap musim buah memproduksi buah lokal seperti tiwadak (cempedak), durian yang kalau di kawasan setempat terdapat sekitar 30 spicies durian, rambutan sekitar 40 spicies, dan mangga-manggaan yang juga puluhan spicies.
Jenis buah yang biasanya selalu melimpah, adalah langsat terdapat beberapa spicies,rambai beberapa spicies.
Di kawasan tersebut terdapat beberapa jenis buah lokal yang khas dan unik, seperti lahung sejenis durian tetapi durinya panjang-panjang dan lancip warna kulit merah kehitaman, bentuknya bulat dan rasanya sangat khas. Buah lahung kebanyakan dipergunakan sebagai penyedap penganan.
Kemudian juga ada buah maritam, mungkin pamily rambutan tetapi tidak berbulu, kulitnya keras warna kulit hijau kemerahan, rasanya seperti rambutan.
Buah khas lain yang berdasarkan data terdapat di Kalsel tetapi terus menurun populasinya adalah Kasturi (Mangifera casturi), Hambuku (Mangifera spp), Hambawang (Mangifera foetida), Pampakin (Durio kutejensis), Mundar (Garcinia spp), Pitanak (Nephelium spp), Tarap (Arthocarpus rigitus), Kopuan (Arthocarpus spp), Gitaan (Leukconitis corpidae), serta Rambai (Sonneratia caseolaris)
Banjarmasin,30/3 (ANTARA)- Produksi buah-buahan lokal Pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) beberapa tahun belakangan ini mengalami penurunan drastis lantaran pohon buah-buahan itu tidak banyak yang dibudidayakan sementara tanaman yang ada sebagian besar sudah tua-tua dan tidak berproduksi dengan baik lagi.
Wartawan ANTARA yang melakukan perjalanan ke wilayah Kecamatan Awayan, Kabupaten Balangan seperti dilaporkan Minggu memperoleh keterangan dari warga bahwa produksi buah-buahan itu menurun tidak seperti beberapa tahun yang lalu.
“Biasanya saat musim buah seperti sekarang ini, produksi buah-buahan lokal melimpah, seakan tak ada harganya lagi, tetapi sekarang produksi yang ada jumlahnya sedikit, akhirnya buah-buahan lokal itu berharga mahal,”kata Nahlian Noor menuturkan.
Nahlian Noor yang dikenal sebagai pedagang buah di kawasan tersebut mengakui untuk memperoleh buah-buahan dengan jumlah besar untuk dibawa ke kota sekarang sudah sulit sekali, untuk kebutuhan masyarakat setempat saja hampir tak mencukupi apalagi harus dibawa ke luar daerah.
Sebagai contoh buah Pampakin (sejenis durian warna kuning kemerahan) sekarang satu biji sudah seharga antara Rp5 ribu hingga Rp10 ribu di tempat, walau harganya dinilai cukup mahal tetapi kalau dijual di kawasan ini saja sudah rebutan karena produksinya yang sedikit itu.
Padahal tahun-tahun sebelumnya produksi buah Pampakin selalu saja memludak dan banyak dibawa ke Banjarmasin serta kota-kota lain di Kalsel, bahkan dibawa ke Balikpapan dan Samarinda (Kaltim).
Menurunnya produksi buah lokal tersebut karena banyak pohon buah itu tidak dipelihara dengan baik, apalagi dibudidayakan dengan pembibitan yang baru sama sekali hampir tak pernah terlihat lagi.
Bahkan banyak pohon buah lokal yang berpohon besar bukannya dipelihara melainkan justru ditebang karena kayu dari pohon buah ternyata belakangan laku dijual untuk dibuat bahan bangunan seperti papan, kasau, gelagar, dan kayu gergajian yang lain.
Selain itu kayu pohon buah lokal ini juga laku dijual ke berbagai perusahaan vener (bahan pelapis plywood) dengan harga yang menggiurkan, akhirnya banyak warga pemilik buah-buahan lokal tidak mau repot memelihara pohon itu, tetapi dijual dengan harga mahal ke berbagai perusahaan itu, kata seorang warga yang lain.
Di Pedalaman Kalsel, khususnya di kaki Pegunungan Meratus Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) serta Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dikenal sebagai sentra buah-buahan lokal Kalsel.
Kawasan ini setiap musim buah memproduksi buah lokal seperti tiwadak (cempedak), durian yang kalau di kawasan setempat terdapat sekitar 30 spicies durian, rambutan sekitar 40 spicies, dan mangga-manggaan yang juga puluhan spicies.
Jenis buah yang biasanya selalu melimpah, adalah langsat terdapat beberapa spicies,rambai beberapa spicies.
Di kawasan tersebut terdapat beberapa jenis buah lokal yang khas dan unik, seperti lahung sejenis durian tetapi durinya panjang-panjang dan lancip warna kulit merah kehitaman, bentuknya bulat dan rasanya sangat khas. Buah lahung kebanyakan dipergunakan sebagai penyedap penganan.
Kemudian juga ada buah maritam, mungkin pamily rambutan tetapi tidak berbulu, kulitnya keras warna kulit hijau kemerahan, rasanya seperti rambutan.
Buah khas lain yang berdasarkan data terdapat di Kalsel tetapi terus menurun populasinya adalah Kasturi (Mangifera casturi), Hambuku (Mangifera spp), Hambawang (Mangifera foetida), Pampakin (Durio kutejensis), Mundar (Garcinia spp), Pitanak (Nephelium spp), Tarap (Arthocarpus rigitus), Kopuan (Arthocarpus spp), Gitaan (Leukconitis corpidae), serta Rambai (Sonneratia caseolaris)
ramania
pampakin buah kapul Buah Kasturi (Mangefera Delmiyana Kasturi) buah jenis mangga-manggaan yang hanya ada di Kalsel, dan menjadi maskot Kalsel bidang flora , buah ini rasanya manis dan khas, baunya menyengat, warna kulit merah kehitaman kalau matang dan hijau bila mentah, warna isi kuning keemasan.
rasanya sangat manis dan aromanya menyengat
buah katapi, selain dimakan begitu saja katapi juga biasa bahan untuk pembuatan sambal terasi, agar sambal lebih enak
Limau (jeruk) Sungai Madang, buah unggulan Kalsel yang banyak diantar pulaukan ke Jawa dan Daerah lain di Tanah Air, jeruk ini dengan nama Jeruk Siam Banjar
Ada istilah mabuk kepayang, yaitu kalau memakan buah kepayang maka keenakan sehingga mabuk memakannya, inilah yang namanya buah kepayang yang berada di Desa Inan, Kecamatan Paringin Kabupaten Balangan
Buah lahung, sejenis durian tapi durinya panjang dan lancip wanra kulit dan duri merah kehitaman , rasanya enak biasanya selain dimakan begitu saja isinya, juga sebagai bahan campuran pembuatan kue agar kue punya aroma buah
KAYU ULIN KALSEL KIAN LANGKA
Banjarmasin,11/4 (ANTARA)- Keberadaan jenis kayu khas Kalimantan yang disebut kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) belakangan ini kian langka dan sulit diperoleh di wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel).
Padahal keberadaan kayu tersebut banyak dicari masyarakat khususnya untuk bahan bangunan rumah, kantor, gedung, serta bangunan lainnya, kata Haji Sandri penduduk Jalan Sultan Adam Banjarmasin, Rabu.
Haji sandri yang dikenal sebagai pedagang kayu ulin tersebut menyebutkan akibat sulitnya memperoleh kayu tersebut maka harga bahan bangunan terbuat dari kayu itupun kini melambung.
Menurutnya, jenis bahan bangunan yang terbuat dari kayu ulin yang belakangan masih banyak ditemukan di Banjarmasin atau daerah lain di Kalsel, bukan lagi hasil tebangan baru melainkan kayu ulin bekas hasil tebangan lama yang sudah tersimpan bertahun-tahun.
“Dulu kayu ulin yang masih berupa balokan atau berbentuk pohon di potong-potong dengan panjang sekitar tiga hingga empat meter lalu balokan itu potong-potong lagi sehingga menjadi persegi empat dengan panjang tetap sekitar tiga hingga empat meter,” katanya.
Nah sisa-sisa potongan kayu itulah yang sekarang dibuat lagi menjadi bahan bangunan seperti ini, katanya seraya memperlihatkan beberapa kayu gergajian hasil olahan kayu sisa tersebut.
Bukti kayu ulin ini sisa, lihat saja warna kayunya sudah ada yang agak kehitaman, ada bekas tanaman lumut (tumbuhan air) ada bekas gergajian, bekas terbakar dan tanda-tanda lainnya.
Walau kayu ini kayu ulin bekas olahan tetapi tetap saja diminati karena kualitas kayu ini kuat dan baik, sehingga untuk jenis bahan bangunan papan saja harganya sekarang sudah mencapai Rp52 ribu per keping, padahal dulu paling banter hanya Rp20 ribu per keping.
Mahalnya harga itu selain memang kian langka juga untuk mengangkut kayu tersebut dari lokasi penggergajian di Bilangan Liang Anggang sekitar 60 kilometer dari Banjarmasin ke arah Banjarmasin sering dipersoalkan pihak kepolisian, akibatnya banyak pedagang yang takut membawa kayu tersebut.
Berdasarkan keterangan yang ia peroleh kayu lin tersebut, berasal dari tebangan lama di wilayah Kabupaten tanah Laut, Tanah Bumbu, serta Kabupaten Kotabaru atau wlayah pesisir Timur Kalsel.
Berdasarkan catatan, kayu ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di wilayah Sumatera Bagian Selatan dan Kalimantan.
Jenis ini dikenal dengan nama daerah ulin, bulian, bulian rambai, onglen, belian, tabulin dan telian.
Pohon ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter samapi 120 cm, tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 m.
Kayu ulin banyak digunakan sebagai konstruksi bangunan berupa tiang bangunan, sirap (atap kayu), papan lantai,kosen, bahan untuk banguan jembatan, bantalan kereta api dan kegunaan lain yang memerlukan sifat-sifat khusus awet dan kuat.
Banjarmasin,11/4 (ANTARA)- Keberadaan jenis kayu khas Kalimantan yang disebut kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) belakangan ini kian langka dan sulit diperoleh di wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel).
Padahal keberadaan kayu tersebut banyak dicari masyarakat khususnya untuk bahan bangunan rumah, kantor, gedung, serta bangunan lainnya, kata Haji Sandri penduduk Jalan Sultan Adam Banjarmasin, Rabu.
Haji sandri yang dikenal sebagai pedagang kayu ulin tersebut menyebutkan akibat sulitnya memperoleh kayu tersebut maka harga bahan bangunan terbuat dari kayu itupun kini melambung.
Menurutnya, jenis bahan bangunan yang terbuat dari kayu ulin yang belakangan masih banyak ditemukan di Banjarmasin atau daerah lain di Kalsel, bukan lagi hasil tebangan baru melainkan kayu ulin bekas hasil tebangan lama yang sudah tersimpan bertahun-tahun.
“Dulu kayu ulin yang masih berupa balokan atau berbentuk pohon di potong-potong dengan panjang sekitar tiga hingga empat meter lalu balokan itu potong-potong lagi sehingga menjadi persegi empat dengan panjang tetap sekitar tiga hingga empat meter,” katanya.
Nah sisa-sisa potongan kayu itulah yang sekarang dibuat lagi menjadi bahan bangunan seperti ini, katanya seraya memperlihatkan beberapa kayu gergajian hasil olahan kayu sisa tersebut.
Bukti kayu ulin ini sisa, lihat saja warna kayunya sudah ada yang agak kehitaman, ada bekas tanaman lumut (tumbuhan air) ada bekas gergajian, bekas terbakar dan tanda-tanda lainnya.
Walau kayu ini kayu ulin bekas olahan tetapi tetap saja diminati karena kualitas kayu ini kuat dan baik, sehingga untuk jenis bahan bangunan papan saja harganya sekarang sudah mencapai Rp52 ribu per keping, padahal dulu paling banter hanya Rp20 ribu per keping.
Mahalnya harga itu selain memang kian langka juga untuk mengangkut kayu tersebut dari lokasi penggergajian di Bilangan Liang Anggang sekitar 60 kilometer dari Banjarmasin ke arah Banjarmasin sering dipersoalkan pihak kepolisian, akibatnya banyak pedagang yang takut membawa kayu tersebut.
Berdasarkan keterangan yang ia peroleh kayu lin tersebut, berasal dari tebangan lama di wilayah Kabupaten tanah Laut, Tanah Bumbu, serta Kabupaten Kotabaru atau wlayah pesisir Timur Kalsel.
Berdasarkan catatan, kayu ulin merupakan salah satu jenis kayu hutan tropika basah yang tumbuh secara alami di wilayah Sumatera Bagian Selatan dan Kalimantan.
Jenis ini dikenal dengan nama daerah ulin, bulian, bulian rambai, onglen, belian, tabulin dan telian.
Pohon ulin termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter samapi 120 cm, tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 400 m.
Kayu ulin banyak digunakan sebagai konstruksi bangunan berupa tiang bangunan, sirap (atap kayu), papan lantai,kosen, bahan untuk banguan jembatan, bantalan kereta api dan kegunaan lain yang memerlukan sifat-sifat khusus awet dan kuat.
TRENGGILING SI SATWA “JELMAAN SETAN” ITU KINI JADI BARANG DAGANGAN
Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 20/4 (ANTARA)- Jangankan memakan, menangkap binatang Trenggiling saja hampir dipastikan tidak ada yang berani, setidaknya bagi warga pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) era tahun 60 hingga tahun 80-an.
Pasalnya, binatang trenggiling bukanlah binatang seperti binatang lainnya, tetapi binatang yang memiliki nilai mistis, bahkan dianggap sebagai jelmaan setan atau hantu.
Bahkan banyak yang percaya keberadaan trenggeling disuatu desa bertanda kurang baik, akhirnya binatang itu diburu jauh ke dalam hutan atau ditangkap untuk dimusnahkan dengan cara membakarnya, agar roh jahat yang ada di dalam tubuh binatang itu itu ikut musnah terbakar dan tidak menganggu manusia.
Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin, 20/4 (ANTARA)- Jangankan memakan, menangkap binatang Trenggiling saja hampir dipastikan tidak ada yang berani, setidaknya bagi warga pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) era tahun 60 hingga tahun 80-an.
Pasalnya, binatang trenggiling bukanlah binatang seperti binatang lainnya, tetapi binatang yang memiliki nilai mistis, bahkan dianggap sebagai jelmaan setan atau hantu.
Bahkan banyak yang percaya keberadaan trenggeling disuatu desa bertanda kurang baik, akhirnya binatang itu diburu jauh ke dalam hutan atau ditangkap untuk dimusnahkan dengan cara membakarnya, agar roh jahat yang ada di dalam tubuh binatang itu itu ikut musnah terbakar dan tidak menganggu manusia.
pemusnahan trenggiling di Kalsel (foto:metro Banjar)
Tetapi tak jarang, binatang sudah tertangkap dibuat ke dalam karung atau diikat dengan tali ternyata hilang begitu saja, akhirnya anggapan trenggiling sebagai jelmaan setan kian kuat.
Dengan anggapan demikian di era tahun-tahun tersebut populasinya cukup terpelihara di hutan tidak ada yang berani memburunya, tetapi kemudian populasi itu terus menurun hingga sekarang ini, karena bukan saja ditangkap untuk dikonsumsi dan diperdagangkan tetapi juga akibat hutan yang kian rusak seperti gundul atau terbakar.
Apalagi belakangan daging binatang ini ternyata di lidah sebagian orang dinilai lezat bagaikan daging bebek dan dinilai memiliki berbagai khasiat akhirnya binatang ini kian diburu dan diperdagangkan bukan saja diperdagangkan di pasar lokal tetapi tak sedikit yang diantarpulaukan bahkan di ekspor ke luar negeri.
Seperti yang terjadi di Banjarmasin Kalsel sebanyak 360 ekor trenggiling (Manis Javanica) disita Polsekta Banjarmasin Selatan dari rumah warga Banjarmasin, kemudian dimusnahkan aparat Dinas Kehutanan dan BKSDA Kalsel di Tahura Sultan Adam Mandiangin, Kabupaten Banjar, Kamis (17/4).
Penemuan barang bukti perdagangan ilegal satwa tersebut merupakan yang kedua kalinya di rumah warga di bilangan Kampung Pekauman tersebut, karena sebelumnya petugas juga telah menemukan 10 ekor trenggiling dan 25 buah tanduk rusa untuk diperdagangkan.
Menurut isteri tersangka kepada petugas bahwa suaminya hanya sebagai pengumpul dan pengolah.
Trenggiling-trenggiling itu dipasok oleh beberapa orang dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan/Kalimantan Selatan) serta daerah lainnya di wilayah Kalsel dan Kalteng ini. Biasanya, binatang tersebut dihargai Rp 50 ribu per ekor.
Kemudian, trenggiling diolah dengan cara dibedah dan dikuliti, lalu dijual dagingnya itu kepada para pembeli yang datang ke rumah.
“Untuk yang sudah dikuliti dijual dengan harga Rp 200 ribu, sedang jika ada yang masih hidup bisa laku sampai Rp 400 ribu. Biasanya yang datang orang Jakarta.” kata isteri tersangka seperti dikutip sebuah surat kabar di Banjarmasin.
Trenggiling itu kemudian diolah jadi makanan. Langganan makanan daging trenggiling itu katanya orang China dan Jepang.
Atau tambahnya, setelah dibedah, sisiknya dikelupas, dagingnya diawetkan kemudian bisa sudah terkumpul banyak, barulah dikirim ke China.
Lakunya daging binatang untuk dijual lantaran diyakini dapat menyembuhkan penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan ada yang percaya bisa menjadi obat kuat. Sedang kulitnya, bisa dimanfaatkan untuk kosmetik. Satu kilogram sisik, bisa laku sampai Rp 350 ribu.
Tetapi tak jarang, binatang sudah tertangkap dibuat ke dalam karung atau diikat dengan tali ternyata hilang begitu saja, akhirnya anggapan trenggiling sebagai jelmaan setan kian kuat.
Dengan anggapan demikian di era tahun-tahun tersebut populasinya cukup terpelihara di hutan tidak ada yang berani memburunya, tetapi kemudian populasi itu terus menurun hingga sekarang ini, karena bukan saja ditangkap untuk dikonsumsi dan diperdagangkan tetapi juga akibat hutan yang kian rusak seperti gundul atau terbakar.
Apalagi belakangan daging binatang ini ternyata di lidah sebagian orang dinilai lezat bagaikan daging bebek dan dinilai memiliki berbagai khasiat akhirnya binatang ini kian diburu dan diperdagangkan bukan saja diperdagangkan di pasar lokal tetapi tak sedikit yang diantarpulaukan bahkan di ekspor ke luar negeri.
Seperti yang terjadi di Banjarmasin Kalsel sebanyak 360 ekor trenggiling (Manis Javanica) disita Polsekta Banjarmasin Selatan dari rumah warga Banjarmasin, kemudian dimusnahkan aparat Dinas Kehutanan dan BKSDA Kalsel di Tahura Sultan Adam Mandiangin, Kabupaten Banjar, Kamis (17/4).
Penemuan barang bukti perdagangan ilegal satwa tersebut merupakan yang kedua kalinya di rumah warga di bilangan Kampung Pekauman tersebut, karena sebelumnya petugas juga telah menemukan 10 ekor trenggiling dan 25 buah tanduk rusa untuk diperdagangkan.
Menurut isteri tersangka kepada petugas bahwa suaminya hanya sebagai pengumpul dan pengolah.
Trenggiling-trenggiling itu dipasok oleh beberapa orang dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan/Kalimantan Selatan) serta daerah lainnya di wilayah Kalsel dan Kalteng ini. Biasanya, binatang tersebut dihargai Rp 50 ribu per ekor.
Kemudian, trenggiling diolah dengan cara dibedah dan dikuliti, lalu dijual dagingnya itu kepada para pembeli yang datang ke rumah.
“Untuk yang sudah dikuliti dijual dengan harga Rp 200 ribu, sedang jika ada yang masih hidup bisa laku sampai Rp 400 ribu. Biasanya yang datang orang Jakarta.” kata isteri tersangka seperti dikutip sebuah surat kabar di Banjarmasin.
Trenggiling itu kemudian diolah jadi makanan. Langganan makanan daging trenggiling itu katanya orang China dan Jepang.
Atau tambahnya, setelah dibedah, sisiknya dikelupas, dagingnya diawetkan kemudian bisa sudah terkumpul banyak, barulah dikirim ke China.
Lakunya daging binatang untuk dijual lantaran diyakini dapat menyembuhkan penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan ada yang percaya bisa menjadi obat kuat. Sedang kulitnya, bisa dimanfaatkan untuk kosmetik. Satu kilogram sisik, bisa laku sampai Rp 350 ribu.
Usaha bisnis ilegal warga Banjarmasin itu akhirnya tercium petugas yang akhirnya digrebek petugas gabungan Polsekta Banjarmasin Selatan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan yang hasilnya ditemukan 360 ekor trenggiling yang sudah dibedah dan dikuliti di dalam delapan lemari pendingin.
Daging binatang yang ditemukan di rumah warga Banjarmasin seberat 1,5 ton itu dimasukkan ke dalam lubang besar di Tahura Sultan Adam Mandiangin Kabupaten Banjar, kemudian dibakar.
Menurut seorang petugas, binatang ini tak boleh dijualbelikan karena ada peraturan yang menyatakan hal itu seperti Undang-undang RI No 5/1990, Peraturan Pemerintah RI No 17/1999.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Banjarmasin, Nurani kepada wartawan mengatakan, mereka yang memperjualbelikan trenggiling diancam dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Berdasarkan sebuah literatur bahwa binatang ini ditemukan oleh seorang bernama Desmarest pada 1822, binatang ini disebut juga ant eater (pemakan semut) wakil dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia Tenggara.
Tubuh trenggiling lebih besar dari kucing. Berkaki pendek dengan ekor panjang dan berat. Yang unik adalah tubuhnya bersisik tersusun seperti genting rumah. Sisik pada bagian punggung dan bagian luar kaki berwarna cokelat terang. Binatang berambut sedikit ini tidak mempunyai gigi.
Untuk memangsa makanannya yang berupa semut dan serangga, trenggiling menggunakan lidah yang terjulur dan bersaput lendir. Panjang juluran lidahnya dapat mencapai setengah panjang badan.
Pada siang hari trenggiling tidur di dalam tanah. Sarang ini biasanya dibuat sendiri atau merupakan bekas sarang binatang lain yang tidak lagi ditinggali.
Untuk melindungi diri dari serangan musuh, trenggiling menyebarkan bau busuk. Ia memiliki zat yang dihasilkan kelenjar di dekat anus yang mampu mengeluarkan bau busuk, sehingga musuhnya lari. Musuh trenggiling adalah anjing dan harimau.
Binatang unik ini berkembang biak dengan melahirkan. Hanya ada satu anak yang dilahirkan seekor trenggiling betina. Lama buntingnya hanya dua sampai tiga bulan saja.
Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula mengebatkan ekornya, sehingga “sisik”nya dapat melukai kulit pengganggunya.
Trenggiling yang hidup di tanah mempunyai ekor berotot kuat. Panjangnya kira-kira sama dengan tubuhnya dan seluruhnya bersisik. Trenggiling yang hidup di pohon mempunyai ekor yang lebih panjang dari tubuhnya.
Pada ujung ekor itu terdapat bagian yang gundul. Ekor digunakan sebagai lengan untuk berpegang waktu memanjat pohon.
Ada tujuh jenis Trenggiling yang masih hidup yaitu Trenggiling India (Manis crassicaudata) terdapat di India dan Srilangka, Trenggiling Cina (M. pentadactyla) terdapat di Taiwan dan RRC Selatan, Trenggiling Pohon (M. tricuspis), Trenggiling Berekor Panjang (M. tetradactyla), Trenggiling Raksasa (M.gigantea) dan Trenggiling Temmick (M. Temmicki) terdapat di Afrika serta yang terakhir adalah Trenggiling Jawa (M. javanica) terdapat di Semenanjung Malaysia, Birma, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja) dan pulau-pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa.
Binatang ini memakan semut, telur semut, dan rayap. Untuk menggantikan fungsi gigi, lalu ia akan memakan kerikil untuk melumatkan makanannya.
Apakah hal ini tidak berbahaya bagi lambungnya, menurut literatur tersebut tentu saja tidak, karena lambung trenggiling telah dilapisi oleh epitel pipih berlapis banyak dan mengalami keratinisasi cukup tebal.
Epitel yang mengandung keratin ini akan melakukan adaptasi terhadap jenis makanan keras. Gesekan mekanik antara rangka semut atau rayap yang dimakan dapat diminimalisir dengan adanya keratin tersebut.
Aneka jenis burung Pegunungan Meratus
Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang tersisa di Propinsi Kalimantan Selatan, terbentang dari arah Tenggara sampai Utara yang berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Timur. Daerah ini berupa daerah yang berbukit-bukit dengan berbagai formasi ekosistem, sebagian besar kawasannya masih ditutupi oleh hutan, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi yang didominasi oleh hutan Dipterocarpaceae dan hutan hujan pegunungan. Secara administratif, kawasan ini mencakup 10 dari 13 Kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan, yaitu: Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, sebagian yang lain termasuk wilayah Propinsi Kalimantan Timur. Semua wilayah adminsitratif tersebut sangat bergantung kepada kondisi kesehatan kawasan pegunungan Meratus, diantaranya sebagai daerah tangkapan air yang vital untuk pertanian, industri, sumber energi, sumber air minum dan kebutuhan domestik lainnya.
Pegunungan Meratus juga menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang sangat menarik. Salah satu potensi keanekaragaman hayati yang menarik adalah Burung. Dalam sebuah survey (Meratus Expedition 2005) yang dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari perwakilan YCHI, BICONS serta masyarakat lokal (dari PIM, Malaris – Loksado), dengan tajuk Mountain Meratus Conservation Management (MMCM), dijumpai sedikitnya 316 jenis burung dari 47 suku. Namun 316 jenis ini masih belum menggambaran secara keseluruhan keanekaan jenis burung di kawasan Pegunungan Meratus, oleh karena cakupan wilayah survey yang tidak terlalu luas serta survey dilakukan pada satu musim saja dan belum pada musim migrasi burung.
Lima suku yang paling sering dijumpai di daerah ini, antara lain: Muscicapidae (Burung sikatan) sebanyak 24 jenis ,Timaliidae (Burung pengoceh) sebanyak 24 jenis, Pycnonotidae (Burung cucak) sebanyak 23 jenis, Nectariniidae (Burung madu dan Pijantung) sebanyak 18 jenis dan Accipitridae (Burung Elang) sebanyak 17 jenis. Dan yang menarik adalah lima dari jenis dari suku Muscicapidae merupakan jenis migran, yaitu Sikatan kerongkongan – merah Ficedula parva, Sikatan emas Ficedula zanthopygia, Sikatan bubik Muscicapa dauurica, Sikatan burik Muscicapa griseisticta dan Sikatan sisi-gelap Muscicapa sibirica.
Survey (Meratus Expedition) yang dilaksanakan dalam dua tahap yaitu pada bulan Mei dan bulan Agustus, menjumpai 18 jenis burung migran pada expedisi pertama (bulan Mei), diantaranya Trinil ekor-kelabu Tringa brevipes, Kecici siberia Locustella ochotensis dan Elang-alap cina Accipiter soloensis dan pada expedisi kedua dijumpai sebanyak 11 jenis diantaranya Elang tiram Pandion haliaetus, Elang paria Milvus migrans dan Kecici lurik Locustella lanceolata, jumlah keseluruhan jenis burung migran yang dijumpai sebanyak 25 jenis.
Selain banyaknya jenis burung migran yang terlihat, 29 jenis burung (dari 316 jenis burung yang dijumpai) masuk dalam kategori IUCN dengan status Endangered (Betet-Kelapa filipina Tanygnathus lucionensis, Bangau storm Ciconia stormi), Vulnerable (Elang wallace Spizaetus nanus, Sempidan kalimantan Lophura bulweri, Pergam kelabu Ducula pickeringii, Julang dompet Aceros subruficollis, Cucak rawa Pycnonotus zeylanicus, Pelanduk kalimantan Malacocincla perspicillata dan Tepus dada-putih Stachyris grammiceps) dan 20 jenis dengan status Near-Threatened, disamping itu dua puluh sembilan jenis masuk dalam daftar CITES Appendix II.
Selain banyaknya jenis burung migran yang terlihat, 29 jenis burung (dari 316 jenis burung yang dijumpai) masuk dalam kategori IUCN dengan status Endangered (Betet-Kelapa filipina Tanygnathus lucionensis, Bangau storm Ciconia stormi), Vulnerable (Elang wallace Spizaetus nanus, Sempidan kalimantan Lophura bulweri, Pergam kelabu Ducula pickeringii, Julang dompet Aceros subruficollis, Cucak rawa Pycnonotus zeylanicus, Pelanduk kalimantan Malacocincla perspicillata dan Tepus dada-putih Stachyris grammiceps) dan 20 jenis dengan status Near-Threatened, disamping itu dua puluh sembilan jenis masuk dalam daftar CITES Appendix II.
Jenis burung yang ditemui juga banyak jenis yang dilindungi oleh perundangan Nasional (UU No 5 Tahun 1990 dan PP No 7 tahun 1999). Dari 316 jenis, 72 jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi, antara lain Alap-alap dahi-putih Microhierax latiforns, Paok kepala-biru Pitta baudii dan Enggang klihingan Anorrhinus galeritus. Jenis burung endemik Kalimantan, juga banyak ditemui, 25 jenis burung di jumpai pada dua kali survey, antara lain Luntur whitehead Harpactes whiteheadi dan Buntut-tumpul kalimantan Urosphena whiteheadi.
Sangat disayangkan bahwa keberadaan burung-burung di kawasan ini berada di bawah ancaman sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Mengapa? Daerah-daerah tempat habitat burung yang menyukai tutupan hutan lebat dan sering beraktivitas di lantai hutan kini mulai hilang dikarenakan konversi lahan, fragmentasi dan alterasi habitat akibat dari kebijakan yang tidak pro lingkungan dan lemahnya penegakan hukum. Pemberian ijin konsesi perkebunan skala besar, penambangan dan HPH semakin meningkat di daerah ini. Bahkan, lokasi konsesi tidak jarang berada dalam kawasan lindung dan kawasan (hak ulayat) masyarakat adat Dayak Meratus. Apa yang bisa kita lakukan? Apakah kita hanya berdiam diri?
Diambil dari tulisan Ahmad Pahdi (YCHI – Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia).
EKSPEDISI KHATULISTIWA HST CATAT 72 TEMUAN
Banjarmasin,12/5 (ANTARA)- Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan selama sekitar selama sebulan penjelajahan berhasil mencatat 72 temuan.
Mayor Sus Komaruddin, perwira sejarah TNI AU kepada wartawan yang tergabung dalam jurnalis pena hijmau, di lokasi pos Kotis Desa Murung B Kecamatan Hantakan, HST, Sabtu mengatakan hal tersebut.
Komaruddin yang didampingi para peneliti, dan anggota tim ekspedisi lainnya menyebutkan 72 temuan tersebut 50 temuan diantaranya adalah bidang fauna, 18 temuan bidang flora, dan empat temuan bidang kehutanan.
Sedangkan potensi bencana terangkum dalam bentuk pengamatan secara langsung dikaitkan dengan faktor adat istiadat,pendidikan, dan ekonomi warga Dayak di Pegunungan Meratus kawasan tersebut.
Menurut Komaruddin, saat ini tim korwil 08/HST sedang melaksanakan persiapan untuk penjelajah tahap kedua yang direncanakan mulai tanggal 15 Mei 2012 akan melaksanakan penjelajahan dan penelitian di daerah Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Disebutkannya, timnyamulai melaksanakan penjelajahan dan penelitian mulai Rabu 11 April 2012 selama tiga minggu di sebelah Selatan PegununganMeratus dengan objek penelitian dan penjelajahan di Gunung Tindihan, Gunung Paku, Gunung Periuk, balai adat Tamburasak dan balai adat Mancatur.
Tim terdiri tim jelajah 2 sebanyak 13 personil dan tim peneliti 1 sebanyak 15 personil, sementara tim jelajah 1 sebanyak 11 personil dan tim peneliti 2 sebanyak 14 personil.
Dengan daerah penjelajahan dan penelitian di desa Kiyu, Datar Hampakan, Juhu, Batu Perahu, Sumbai, Hinas Kiri, dan Gunung Halau-halau.
Sementara timlainnya, yang disebut Tim Komsos melaksanakan kegiatan sosial di Tempat Pemakaman Umum (TPU),Masjid Jami Al Mujahid Desa Besar Kecamatan Batang Alai Selatan.
Selain itu melakukan penanaman pohon di Natih Kecamatan Batang Alai Timur, pengobatan massaldi Desa Timan Kecamatan Batu Benawa,penanaman 1000 pohon di Kabupaten Tapin, dan donor darahdi Kodim 1002 Barabai.
Banjarmasin,12/5 (ANTARA)- Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan selama sekitar selama sebulan penjelajahan berhasil mencatat 72 temuan.
Mayor Sus Komaruddin, perwira sejarah TNI AU kepada wartawan yang tergabung dalam jurnalis pena hijmau, di lokasi pos Kotis Desa Murung B Kecamatan Hantakan, HST, Sabtu mengatakan hal tersebut.
Komaruddin yang didampingi para peneliti, dan anggota tim ekspedisi lainnya menyebutkan 72 temuan tersebut 50 temuan diantaranya adalah bidang fauna, 18 temuan bidang flora, dan empat temuan bidang kehutanan.
Sedangkan potensi bencana terangkum dalam bentuk pengamatan secara langsung dikaitkan dengan faktor adat istiadat,pendidikan, dan ekonomi warga Dayak di Pegunungan Meratus kawasan tersebut.
Menurut Komaruddin, saat ini tim korwil 08/HST sedang melaksanakan persiapan untuk penjelajah tahap kedua yang direncanakan mulai tanggal 15 Mei 2012 akan melaksanakan penjelajahan dan penelitian di daerah Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Disebutkannya, timnyamulai melaksanakan penjelajahan dan penelitian mulai Rabu 11 April 2012 selama tiga minggu di sebelah Selatan PegununganMeratus dengan objek penelitian dan penjelajahan di Gunung Tindihan, Gunung Paku, Gunung Periuk, balai adat Tamburasak dan balai adat Mancatur.
Tim terdiri tim jelajah 2 sebanyak 13 personil dan tim peneliti 1 sebanyak 15 personil, sementara tim jelajah 1 sebanyak 11 personil dan tim peneliti 2 sebanyak 14 personil.
Dengan daerah penjelajahan dan penelitian di desa Kiyu, Datar Hampakan, Juhu, Batu Perahu, Sumbai, Hinas Kiri, dan Gunung Halau-halau.
Sementara timlainnya, yang disebut Tim Komsos melaksanakan kegiatan sosial di Tempat Pemakaman Umum (TPU),Masjid Jami Al Mujahid Desa Besar Kecamatan Batang Alai Selatan.
Selain itu melakukan penanaman pohon di Natih Kecamatan Batang Alai Timur, pengobatan massaldi Desa Timan Kecamatan Batu Benawa,penanaman 1000 pohon di Kabupaten Tapin, dan donor darahdi Kodim 1002 Barabai.
Diantara foto2 temuan Tim Ekspedisi Khatulistiwa di Pegunungan Meratus
MENGUNGKAP MISTERI KIJANG EMAS PEGUNUNGAN MERATUS
Posted on Juni 2, 2012 by hasanzainuddin | Sunting
Oleh Hasan Zainuddin
Gonjang ganjing adanya kehidupan kijang emas atau juga disebut kijang kuning (Muntiacus atherodes) di kawasan Pegunungan Meratus wilayah Kalimantan Selatan sering terdengar, tetapi agak sulit membuktikan keberadaan satwa tersebut.
Walau dari cerita dari mulut ke mulut konon berasal dari tetua warga setempat membenarkan adanya satwa khas tersebut, namun pihak instansi yang berwenang di provinsi ini tak ada satu yang mengulas tentang kijang tersebut.
Bahkan sebuah tulisan yang dilansir oleh media Dinas Kehutanan Tabalong Kalimantan Selatan, yang mengutip keterangan menteri kehutanan menyebutkan bukan tidak ada tetapi tak terbukti ada binatang yang banyak membuat orang penasaran ingin melihatnya itu.
Pernyataan tersebut segera ditindaklanjuti oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel yang menugaskan tim kecil untuk mencari keberadaan kijang kuning di bagian selatan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam dan tidak ditemukan jejak ataupun wujudnya.
Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan tentunya mendapat perhatian bagi sekelompok kecil masyarakat yang berusaha untuk menemukan jejak atau wujudnya.
Upaya pencarian dilakukan secara bertahap di kawasan Tahura dan berhasil menemukan seekor kijang kuning Kalimantan yang mati terjerat oleh jebakan yang dipasang para pemburu dan juga ditemukan adanya tanduk yang dipajang di rumah seorang penduduk.
Dari upaya pencarian di beberapa lokasi kawasan hutan setidaknya telah menunjukkan bahwa keberadaan kijang kuning Kalimantan tersebar di kawasan hutan Kalsel, meskipun status dan keberadaan salah satu satwa liar endemik Pulau Kalimantan yang sampai saat ini adalah tidak termasuk dalam daftar satwa liar dilindungi di Indonesia.
Kelompok pencinta alam Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin mencoba melakukan suatu kegiatan lapangan yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan kijang kuning di bagian selatan kawasan Tahura guna mengumpulkan informasi lapangan secara berkala selama dua bulan (Agustus-September 1998) lalu.
Dari hasil observasi di lapangan ditemukan jejak kijang kuning Kalimantan yang terjebak tali jerat dan dikonsumsi oleh penduduk. Dengan adanya temuan ini, menunjukkan bahwa peranan kawasan Tahura Sultan Adam sangatlah penting bagi hunian berbagai jenis satwa liar.
Berdasarkan sebuah catatan, kijang kuning Kalimantan termasuk kelas mamalia, ordo (bangsa) Artiodactyla, famili (suku) Cervidae, subfamili Muntiacinae, genus (marga) Muntiacus, species (jenis) Muntiacus muntjak dan Muntiacus atherodes.
Secara morfologi, pada bagian atas (punggung) satwa liar ini berwarna merah kekuning-kuningan dengan sebaran kepirang-kepirangan di sepanjang bagian tengah terutama leher / tengkuk, bagian bawah (perut) pucat kekuning-kuningan, oranye agak keputih-putihan.
Ekor bagian atas berwarna coklat gelap dan kuning agak kecil dan ramping dengan tinggi bahu ± 50 cm, ukuran panjang dari kepala dan badan (tidak termasuk panjang ekor) 86-92 cm dengan berat 13,5-17,7 kg. Tanduknya tidak memiliki cabang dengan panjang 1,6-4,2 cm dan panjang tangkai tanduk 6,5-8,7 cm.
Walau dari cerita dari mulut ke mulut konon berasal dari tetua warga setempat membenarkan adanya satwa khas tersebut, namun pihak instansi yang berwenang di provinsi ini tak ada satu yang mengulas tentang kijang tersebut.
Bahkan sebuah tulisan yang dilansir oleh media Dinas Kehutanan Tabalong Kalimantan Selatan, yang mengutip keterangan menteri kehutanan menyebutkan bukan tidak ada tetapi tak terbukti ada binatang yang banyak membuat orang penasaran ingin melihatnya itu.
Pernyataan tersebut segera ditindaklanjuti oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel yang menugaskan tim kecil untuk mencari keberadaan kijang kuning di bagian selatan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam dan tidak ditemukan jejak ataupun wujudnya.
Meskipun demikian, upaya yang telah dilakukan tentunya mendapat perhatian bagi sekelompok kecil masyarakat yang berusaha untuk menemukan jejak atau wujudnya.
Upaya pencarian dilakukan secara bertahap di kawasan Tahura dan berhasil menemukan seekor kijang kuning Kalimantan yang mati terjerat oleh jebakan yang dipasang para pemburu dan juga ditemukan adanya tanduk yang dipajang di rumah seorang penduduk.
Dari upaya pencarian di beberapa lokasi kawasan hutan setidaknya telah menunjukkan bahwa keberadaan kijang kuning Kalimantan tersebar di kawasan hutan Kalsel, meskipun status dan keberadaan salah satu satwa liar endemik Pulau Kalimantan yang sampai saat ini adalah tidak termasuk dalam daftar satwa liar dilindungi di Indonesia.
Kelompok pencinta alam Kompas Borneo Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin mencoba melakukan suatu kegiatan lapangan yang bertujuan untuk mengetahui keberadaan kijang kuning di bagian selatan kawasan Tahura guna mengumpulkan informasi lapangan secara berkala selama dua bulan (Agustus-September 1998) lalu.
Dari hasil observasi di lapangan ditemukan jejak kijang kuning Kalimantan yang terjebak tali jerat dan dikonsumsi oleh penduduk. Dengan adanya temuan ini, menunjukkan bahwa peranan kawasan Tahura Sultan Adam sangatlah penting bagi hunian berbagai jenis satwa liar.
Berdasarkan sebuah catatan, kijang kuning Kalimantan termasuk kelas mamalia, ordo (bangsa) Artiodactyla, famili (suku) Cervidae, subfamili Muntiacinae, genus (marga) Muntiacus, species (jenis) Muntiacus muntjak dan Muntiacus atherodes.
Secara morfologi, pada bagian atas (punggung) satwa liar ini berwarna merah kekuning-kuningan dengan sebaran kepirang-kepirangan di sepanjang bagian tengah terutama leher / tengkuk, bagian bawah (perut) pucat kekuning-kuningan, oranye agak keputih-putihan.
Ekor bagian atas berwarna coklat gelap dan kuning agak kecil dan ramping dengan tinggi bahu ± 50 cm, ukuran panjang dari kepala dan badan (tidak termasuk panjang ekor) 86-92 cm dengan berat 13,5-17,7 kg. Tanduknya tidak memiliki cabang dengan panjang 1,6-4,2 cm dan panjang tangkai tanduk 6,5-8,7 cm.
Perbedanaan Tengkorak Kijang Emas Kiri dan Kijang Biasa Kanan
Ekspedisi
Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan berusaha menemukan kijang kuning.
“Saya sudah dengar informasi adanya kijang kuning di Pegunungan Meratus HST Kalsel, makanya kita berusaha menemukan satwa langka tersebut,” kata Peneliti flora dan fauna Dr.Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. yang ikut dalam tim di lokasi pos tim Desa Murung B Hantakan HST, pertengahan Mei 2012 lalu.
Dosen Fakultas Kehutanan IPB tersebut juga merasa tertarik keberadaan kijang kuning di kawasan tersebut, dan cerita masyarakat setempat yang dulunya sering menemukan binatang itupun menambah ketertarikan dirinya untuk menemukan binatang tersebut.
Ia berharap timnya berhasil menemukan kijang emas untuk menjawab teka teki masih adanya atau betul adanya binatang yang unik tersebut.
Setelah sekian lama menjelajah kawasan Kabupaten HST dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) mensinyalir populasi dan habitat Kijang Emas masih ada di Pegunungan Maratus.
Keberadaan Kijang Emas di Kawasan Pegunungan Maratus diperkuat dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas di area perkebunan milik warga.
Menurut Pajarah Sub Korwil 08 HST, Mayor Sus Komaruddin melalui emailnya disampaikan ke LKBN Antara Banjarmasin, Sabtu (2/6) tengkorak kijang emas tersebut ditemukan saat tim penjelajah dan peneliti 2 yang dipimpin oleh Kapten Psk Efendi Hermawan sedang melaksanakan penelitian pada Senin (28/5) pukul 09.00 WITA di Desa Haratai Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Kijang Emas yang oleh warga setempat disebut Kijang Hilalang merupakan salah satu jenis kijang endemik Kalimantan yang sangat langka dan sulit ditemukan, karena sering diburu warga untuk dikonsumsi.
Kijang Mas diburu warga di area Gunung Haung Haung, sekitar lima jam perjalanan dari Desa Haratai dengan berjalan kaki.
Warga setempat menganggap Kijang Mas sebagai kijang biasa, sehingga kepala Kijang Emas dibuang tidak disimpan seperti halnya kijang lainnya yang memiliki nilai seni tersendiri.
“Saya dapat Kijang ini sekitar tiga bulan yang lalu di Gunung Haung Haung, disana kami sering memasang Jipah (jerat tali), tapi kepalanya saya buang di Huma, karena tidak menarik untuk dipajang di rumah,” kata Uncau (46), salah satu warga di Desa Haratai seperti dikutip Komaruddin.
Dari tengkorak yang ditemukan, salah satu anggota Tim Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Dr Ir Abdul Haris Mustari, M.Sc, yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian dan menemukan tengkorak tersebut mengatakan penemuan tengkorak kijang di Desa Haratai, dapat dikatakan sebagai Kijang Emas yang oleh warga sini disebut Kijang Hilalang.
Selanjutnya ia katakan, dari hasil perbandingan dengan tengkorak kijang biasa, terdapat perbedaan yang menyolok, Kijang Mas tidak terdapat sendi pada pangkal rangganya, masing-masing rangga memiliki satu cabang, ramping dan sedikit melengkung serta pedisel (tulang dibawah rangga) ramping dan melengkung.
Sedangkan kijang biasa mempunyai dua cabang pendek, lebih besar dan terdapat sendi pada pangkal rangga serta pedisel tebal dan lurus.
“Kijang Emas memiliki warna merah kekuningan dan terdapat garis gelap di sepanjang garis punggungnya, sementara kijang biasa berwarna kemerahan tua,” jelas Haris.
“Kijang Emas memang tergolong langka dan belum terdaftar, karena kekurangan dan sangat terbatasnya data-data tentang kijang tersebut, namun saat ini keberadaan Kijang Emas semakin langka dan hampir punah, daerah penyebarannya berada di hutan pegunungan yang sulit diakses manusia,” tambah Haris.
Sementara Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana mengatakan dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas oleh tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 yang bergerak di daerah Loksado HSS, mudah-mudahan akan menjadi masukan bagi semua pihak, terutama warga Kalimantan Selatan untuk meneliti lebih lanjut.
Ekspedisi
Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Koordinator Wilayah 08 Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalimantan Selatan berusaha menemukan kijang kuning.
“Saya sudah dengar informasi adanya kijang kuning di Pegunungan Meratus HST Kalsel, makanya kita berusaha menemukan satwa langka tersebut,” kata Peneliti flora dan fauna Dr.Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc. yang ikut dalam tim di lokasi pos tim Desa Murung B Hantakan HST, pertengahan Mei 2012 lalu.
Dosen Fakultas Kehutanan IPB tersebut juga merasa tertarik keberadaan kijang kuning di kawasan tersebut, dan cerita masyarakat setempat yang dulunya sering menemukan binatang itupun menambah ketertarikan dirinya untuk menemukan binatang tersebut.
Ia berharap timnya berhasil menemukan kijang emas untuk menjawab teka teki masih adanya atau betul adanya binatang yang unik tersebut.
Setelah sekian lama menjelajah kawasan Kabupaten HST dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) mensinyalir populasi dan habitat Kijang Emas masih ada di Pegunungan Maratus.
Keberadaan Kijang Emas di Kawasan Pegunungan Maratus diperkuat dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas di area perkebunan milik warga.
Menurut Pajarah Sub Korwil 08 HST, Mayor Sus Komaruddin melalui emailnya disampaikan ke LKBN Antara Banjarmasin, Sabtu (2/6) tengkorak kijang emas tersebut ditemukan saat tim penjelajah dan peneliti 2 yang dipimpin oleh Kapten Psk Efendi Hermawan sedang melaksanakan penelitian pada Senin (28/5) pukul 09.00 WITA di Desa Haratai Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Kijang Emas yang oleh warga setempat disebut Kijang Hilalang merupakan salah satu jenis kijang endemik Kalimantan yang sangat langka dan sulit ditemukan, karena sering diburu warga untuk dikonsumsi.
Kijang Mas diburu warga di area Gunung Haung Haung, sekitar lima jam perjalanan dari Desa Haratai dengan berjalan kaki.
Warga setempat menganggap Kijang Mas sebagai kijang biasa, sehingga kepala Kijang Emas dibuang tidak disimpan seperti halnya kijang lainnya yang memiliki nilai seni tersendiri.
“Saya dapat Kijang ini sekitar tiga bulan yang lalu di Gunung Haung Haung, disana kami sering memasang Jipah (jerat tali), tapi kepalanya saya buang di Huma, karena tidak menarik untuk dipajang di rumah,” kata Uncau (46), salah satu warga di Desa Haratai seperti dikutip Komaruddin.
Dari tengkorak yang ditemukan, salah satu anggota Tim Peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Dr Ir Abdul Haris Mustari, M.Sc, yang terlibat langsung dalam kegiatan penelitian dan menemukan tengkorak tersebut mengatakan penemuan tengkorak kijang di Desa Haratai, dapat dikatakan sebagai Kijang Emas yang oleh warga sini disebut Kijang Hilalang.
Selanjutnya ia katakan, dari hasil perbandingan dengan tengkorak kijang biasa, terdapat perbedaan yang menyolok, Kijang Mas tidak terdapat sendi pada pangkal rangganya, masing-masing rangga memiliki satu cabang, ramping dan sedikit melengkung serta pedisel (tulang dibawah rangga) ramping dan melengkung.
Sedangkan kijang biasa mempunyai dua cabang pendek, lebih besar dan terdapat sendi pada pangkal rangga serta pedisel tebal dan lurus.
“Kijang Emas memiliki warna merah kekuningan dan terdapat garis gelap di sepanjang garis punggungnya, sementara kijang biasa berwarna kemerahan tua,” jelas Haris.
“Kijang Emas memang tergolong langka dan belum terdaftar, karena kekurangan dan sangat terbatasnya data-data tentang kijang tersebut, namun saat ini keberadaan Kijang Emas semakin langka dan hampir punah, daerah penyebarannya berada di hutan pegunungan yang sulit diakses manusia,” tambah Haris.
Sementara Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana mengatakan dengan diketemukannya tengkorak Kijang Emas oleh tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 yang bergerak di daerah Loksado HSS, mudah-mudahan akan menjadi masukan bagi semua pihak, terutama warga Kalimantan Selatan untuk meneliti lebih lanjut.
BERBURU MADU KELULUT, JENIS MADU YANG BUKAN DARI LEBAH
Posted on April 13, 2010 by hasanzainuddin | Sunting
Banjarmasin, 14/4 (ANTARA)- Dengan membawa kampak, parang, serta peralatan lainnya dua pemuda Desa Inan, Kecamatan Paringin Selatan, kabupaten Balangan, provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) bergegas masuk hutan dalam upaya pencarian sesuatu yang termasuk barang atau minuman langka.
Aliansyah dan Nahli dua pmuda tersebut seakan sudah hapal lokasi yang mereka tuju di belantara hutan Pegunungan Meratus kawasan tersebut, tak lain yang mereka lakukan adalah berburu (mencari) sejenis madu yang bukan dari lebah tetapi justru dari binatang Kelulut.
Kedua pemuda tersebut sudah terbiasa mencari madu ini lantaran kebiasaan untuk mengkonsumsi madu itu karena terbukti berkhasiat bagi kesehatan.
Apalagi di wilayah ini termasuk kawasan yang berhawa dingin, terutama di pagi hari, dengan meminum madu kalulut maka badan jadi angat dan sehat. Akibat kebiasaan mengkonsumsi madu tertebut walau harus mencarinya ke dalam hutan sekalipun.
Berdasarkan keterangan binatang yang mengolah madu tersebut bentuk kecil lebih kecil dari lalat disebut masyarakat setempat sebagai binatang kalulut, sehingga madu yang dihasilkannya itu disebut madu kelulut.
Madu kalulut kini mulai digandrungi masyarakat bukan sekedar untuk kesehatan tubuh sebagaimana madu lebah, juga sebagai teman makan kue, atau makanan pisang rebus dan ubi rebus.
Menurut, Aliansyah yang dikenal sebagai pencari madu kalulut di Desa Inan, Kecamatan Paringin, madu tersebut dianggap lebih berkhasiat dibandingkan madu lebah.
Masalahnya binatang kelulut lebih kecil dibandingkan lebah sehingga binatang ini pasti lebih teliti dalam mengekstrak madu untuk makanan anak-anaknya. Hanya saja, bagi sebagian orang di wilayah ini kurang suka terhadap jenis madu ini, lantaran rasanya sedikit asam dibandingkan madu lebah, tetapi bentuk warna atau kekentalan sama saja dibandingkan madu lebah.
Untuk mencari madu kalulut ini memang relatif lebih sulit dibandingkan madu lebah, karena setiap satu sarang kalulut hanya sedikit sekali menghasilkan madu. “Makanya untuk mendapatkan satu liter madu kalulut, itu harus mampu mengambil madu untuk beberapa sarang kalulut, sementara kalau mengambil madu lebah hanya satu sarang bisa mencapai puluhan liter” kata Aliansyah.
Apalagi sarang kalulut itu bukan berada bergelantungan di dahan pohon seperti layaknya sarang lebah, tetapi sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar. Biasanya sarang kalulut itu berada dalam rongga batang pohon besar, Untuk mengenali batang pohon itu ada atau tidak sarang kalulut, ditandai dengan sekelompok binatang kalulut yang beterbangan di sekitar itu. Untuk mendapatkan madu kalulut tersebut pencari madu ini harus menebang dulu pohon itu, kemudian baru membelahnya pakai kampak, setelah itu baru kelihatannya sarang kalulut lengkap dengan wadah-wadah madunya.
Wadah madu ini persis seperti balon-balon kecil menggelembong, balon itu terbuat dari bahan yang diproduksi binatang ini menyerupai lilin hitam. Bila gelembong itu pecah sedikit saja maka madu akan ngocor dari gelembong tersebut.
Makanya cara mengambil madu tersebut terlebih dahulu mengumpulkan balon-balon kecil itu ke dalam wadah, setelah terkumpul baru balon itu dipecah atau diperas hingga madunya terkumpul. Enaknya mengambil madu itu karena gigitan binatang ini tidak sakit dibandingkan gigitan lebah, paling banter sakitnya seperti gigitan nyamuk, tetapi kalau binatang ini marah biasanya secara berkelompok menyerang bagian rambut orang hingga seringakali binatang ini banyak nyangkut dirambut orang.
Binatang ini selain banyak bersarang di dalam pohon besar, juga ada yang bersarang dalam gondokan tanah merah semacam gunung kecil atau yang disebut penduduk setempat tanah balambika. Bila madu kalulut yang bersarang dalam tanah merah ini diambil maka warna madu kalulut agak merah keputih-putihan, sedangkan madu dalam pohon agak merah ke hitam-hitaman.
Lantaran sulit diperoleh maka kalau ada yang menjual madu inipun harganya lebih mahal ketimbang harga madu lebah, bila harga madu lebah asli rp50 ribu per botol di pedalaman Kalsel, maka harga madu lebah ini bisa Rp60 ribu per botol. Konon agar madu ini lebih berkhasiat kalau didiamkan lebih lama dulu, sehingga dikenal ada madu kalulut usianya tahunan di tangan masyarakat.
Konon pula madu banyak sekali khasiatnya, selain bisa untuk kejantanan laki-laki atau awet muda, atau untuk obat maag, demam, atau obat luka, serta obat lainnya.
Berdasarkan perkiraan, madu ini lebih berkhasiat ketimbang madu lebah, lantaran hasil pengektrakkan dari binatang yang kecil kelulut yang mampu mengambil sari pati bunga-bungaan yang kecil pula, dengan demikian madu yang dihasilkan lebih berkualitas.
Macan Dahan
MACAN DAHAN KALIMANTAN SATWA DENGAN SEJUTA CERITA Oleh Hasan Zainuddin
Hampir semua warga di bilangan Pedalaman Kalimantan Selatan, khususnya warga di kaki, dilereng, atau pun di Pegunungan Meratus pernah mendengar keberadaan macan dahan.
Berbagai cerita berbau magis pun kerap kali muncul ditengah masyarakat berkenaan dengan keberadaan binatang yang termasuk jenis kucing besar tersebut.
Macan dahan disebut sebagai satwa jelmaan setan, macan dahan disebut sebagai satwa yang bisa mengilang, dan berubah-rubah bentuk, bisa berubah menjadi seorang nenek tua, seorang kakek, bisa berubah menjadi kucing biasa, bahkan macan dahan dipercaya bisa berubah menjadi bahan makanan.
Oleh Karena itu jangan heran bila ada sesisir pisang di tengah hutan tak seorang pun berani menjamahnya, ada anggapan bila makanan yang tak jelas di tengah hutan bisa jelmaan seekor macan dahan.
Maka siapa yang berani memakannya diyakini bisa membinakanan yang memakan makanan tersebut.
Warga di pedalaman Kalimantan Selatan seperti di kawasan Kabupaten Balangan yang termasuk kaki Pegunungan Meratus, percaya sekali keberadaan macan dahan dengan sejuta cerita tentang keanehan binatang tersebut.
Oleh karena itu, bila ada satu bunyi yang tak pernah didengar sebelumhya ke luar dari hutan atau di perkebunan karet setempat dipercaya pula itu suara macan dahan.
Walau begitu yakin keberadaan macan dahan tetapi hampir dipastikan sebagian besar penduduk setempat tak pernah melihat sosok binatang tersebut.
Sehingga seringkali pula warga yang melihat seekor kucing hutan (kucing liar di hutan) disebut sebagai macan dahan, apalagi jenis kucing liar tersebut punya kulit juga berbelang dan suka di atas pohon pula sebagai layaknya macan dahan.
Sulitnya ditemukan sosok satwa ini lantaran populasinya yang terus berkurang bahkan mendekati kepunahan.
Hanya saja saat tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 melakukan penelitian dan penjelasan di kawasan Pegunungan Meratus dilapori warga adanya penemuan binatang tersebut.
Minggu (10/06) pukul 15.00 WITA, Aliudin (19) warga Kampung Juhu melaporkan keberadaan Macan Dahan kepada Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Poskotis Sub Korwil 08/HST Desa Murung B Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Keberadaan Macan Dahan dilaporkan Aliudin dengan menunjukan beberapa foto yang diambil menggunakan telepon seluler.
“Foto ini saya ambil Hari Minggu (10/6), pakai handpone kakak saya, saya sengaja datang kesini untuk menyampaikannya kepada bapak-bapak” kata Aliudin kepada para tentara dan para peneliti tim ekspedisi khatulistiwa tersebut.
Menurut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc, dosen pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, yang tergabung dalam tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST mengatakan, foto yang ditunjukan warga Juhu itu merupakan Macan Dahan (Neofelis nebulosa).
Macan dahan tersebut penyebaranya meliputi Pegunungan Himalaya, Cina bagian selatan dan Taiwan ke Selatan menuju semenanjung Malaysia, sedangkan di Indonesia sendiri ada di Sumatera dan Kalimantan, yang ada di foto itu merupakan Macan Dahan sub spesies endemik Kalimantan yang sangat langka dan dilindungi pemerintah.
Macan dahan tersebutmenurut peneliti muda tersebut dengan nama latinnya adalah Neofelis nebulosa diardi.
Selanjutnya dijelaskan Haris,macan dahan adalah jenis kucing terbesar di Kalimantan, sehingga menjadi predator puncak (top predator) di pulau ketiga terbesar di dunia ini.
Karena itu peran ekologisnya sangat penting karena berperan menjaga keseimbangan populasi satwa mangsa seperti Babi Hutan Berjanggut (Sus barbatus), Kijang Muncak (Muntiacus muntjak), Sambar/Payau (Rusa unicolor).
Jenis mangsa lainnya yaitu berbagai jenis primata seperti Lutung (Presbytis cristata), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelasi Merah (Presbytis rubicunda).
Macan dahan juga memangsa berbagai jenis satwa pengerat (Rodentia), seperti Landak, Tupai, dan Tikus hutan.
Macan dahan memiliki ukuran tubuh panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 1,5 meter atau lebih.
Warna macan dahan cukup bervariasi dari coklat pasir sangat pucat sampai sangat gelap dan memiliki pola bercak-bercak seperti awan pada sisi tubuh, sehingga disebut Clouded Leopard.
Macan dahan memiliki kharakteristik khas dibandingkan dengan jenis kucing lainnya (Famili Felidae), yaitu gigi-gigi taring atas relatif sangat besar dibandingkan dengan ukuran tengkoraknya.
Terdapat tiga ras macan dahan yaitu pola umum (foto di Juhu), dimana pola tubuh coklat pasir bercak-bercak seperti awan, kedua warna agak pucak, dan ketiga warna sangat gelap, meskipun dengan pola bercak/loreng yang sama dengan ras pertama dan kedua, jelas Haris.
Haris menambahkan, macan dahan aktif terutama malam hari (nocturna l) dan hidup di tajuk-tajuk pohon (arboreal), meskipun juga kadang dijumpai aktif siang hari dan mencari mangsa di lantai hutan.
Habitat utama macan tutul adalah hutan primer, yaitu hutan yang relatif belum terjamah manusia dan memiliki pohon-pohon yang tinggi sebagai tempat berlindungnya (cover).
Macan Dahan hidup soliter dan kadang dijumpai berpasangan, karena itu keberadaan macan dahan sangat tergantung akan adanya hutan primer yang masih sehat, seperti yang ada di Pegunungan Meratus.
Populasi satwa ini sangat langka karena kerusakan habitat, konversi hutan menjadi peruntukan lain (pemukiman, pertanian, pertambangan), serta perburuan liar untuk diambil taring, kulit dan menjadi koleksi/spesiemen.
Macan dahan dilindungi oleh Pemerintah RI berdasarkan PP 7 Tahun 1999, mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah.
Karena itu satwa ini harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Macan dahan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and Fauna), dan termasuk dalam Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Dengan status itu Macan Dahan tidak boleh diburu, diperdagangkan, baik hidup maupun mati, baik utuh maupun bagian-bagiannya, ujar Haris.
Menyikapi laporan warga tersebut, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana membentuk tim khusus untuk mencari informasi tentang keberadaan Macan Dahan di Kampung Juhu.
Tim khusus yang dibentuk sebanyak 7 personel yaitu Mayor Sus Komaruddin, Kapten Ctp Sumbali, Kapten Chb Suryani, Sertu Agus Alwi, Serda Kusmayadi, Serda Anggi dan Prada Kasim W.
Bertepatan dengan persiapan tim khusus untuk menuju Kampung Juhu, pada Selasa (12/06/2012) pukul 15.00 WITA, Bapak Darmawi (35) warga Kampung Juhu yang telah menangkap Macan Dahan berkunjung ke Poskotis Sub Korwil 08/HST dengan didampingi Aliudin.
Di Poskotis, Darmawi menuturkan kepada tim tentang proses penangkapan macan dahan di Gunung Tabing Palawan.
“Saya dapat binatang itu di Gunung Tabing Palawan, gunung itu antara Batu Perahu dan Kampung Juhu, itu wilayah kami berburu, sekitar 3 (tiga) jam dari Juhu”, kata Darmawi.
Selanjutnya ia katakan “Saya ketemu binatang itu hari Minggu (27/05/2012) pagi sekitar jam 05.00 WITA, sewaktu saya mau pulang ke Juhu, setelah dua hari berburu di hutan Tabing Palawan, binatang buas itu saya tombak, saya ikuti sekitar 1 pal (1 Km), saya tombak lagi di dalam lubang pohon sampai meninggal, beratnya sekitar 30 Kg, panjang ekornya 1 meter lebih”.
“Dari kecil, baru sekarang saya bisa ketemu, dari dulu saya hanya dengar suaranya saja, sekarang juga masih ada suaranya, kadang-kadang ada tiga, tapi pindah-pindah, saya tidak tahu kalau binatang itu tidak boleh ditangkap,” tambah Darmawi.
“Sekarang kulit, kepala dan ekor binatang itu saya simpan di rumah untuk kenang-kenangan anak cucu saya nanti”, jelas Darmawi.
Sedangkan Wadan Sub Korwil 08/HST berharap agar penduduk tidak menangkap kembali macan dahan yang sudah dilindungi pemerintah.
“Sekarang satwa ini sudah di lindungi pemerintah, kami dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 mengajak semua warga di Kawasan Pegunungan Maratus untuk sama-sama menjaga dan melindungi macan ini, sehingga kelestariannya tetap terjaga dan anak cucu kita nanti masih dapat mengetahui hewan-hewan yang ada disekitar kita”, kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.
Hampir semua warga di bilangan Pedalaman Kalimantan Selatan, khususnya warga di kaki, dilereng, atau pun di Pegunungan Meratus pernah mendengar keberadaan macan dahan.
Berbagai cerita berbau magis pun kerap kali muncul ditengah masyarakat berkenaan dengan keberadaan binatang yang termasuk jenis kucing besar tersebut.
Macan dahan disebut sebagai satwa jelmaan setan, macan dahan disebut sebagai satwa yang bisa mengilang, dan berubah-rubah bentuk, bisa berubah menjadi seorang nenek tua, seorang kakek, bisa berubah menjadi kucing biasa, bahkan macan dahan dipercaya bisa berubah menjadi bahan makanan.
Oleh Karena itu jangan heran bila ada sesisir pisang di tengah hutan tak seorang pun berani menjamahnya, ada anggapan bila makanan yang tak jelas di tengah hutan bisa jelmaan seekor macan dahan.
Maka siapa yang berani memakannya diyakini bisa membinakanan yang memakan makanan tersebut.
Warga di pedalaman Kalimantan Selatan seperti di kawasan Kabupaten Balangan yang termasuk kaki Pegunungan Meratus, percaya sekali keberadaan macan dahan dengan sejuta cerita tentang keanehan binatang tersebut.
Oleh karena itu, bila ada satu bunyi yang tak pernah didengar sebelumhya ke luar dari hutan atau di perkebunan karet setempat dipercaya pula itu suara macan dahan.
Walau begitu yakin keberadaan macan dahan tetapi hampir dipastikan sebagian besar penduduk setempat tak pernah melihat sosok binatang tersebut.
Sehingga seringkali pula warga yang melihat seekor kucing hutan (kucing liar di hutan) disebut sebagai macan dahan, apalagi jenis kucing liar tersebut punya kulit juga berbelang dan suka di atas pohon pula sebagai layaknya macan dahan.
Sulitnya ditemukan sosok satwa ini lantaran populasinya yang terus berkurang bahkan mendekati kepunahan.
Hanya saja saat tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 melakukan penelitian dan penjelasan di kawasan Pegunungan Meratus dilapori warga adanya penemuan binatang tersebut.
Minggu (10/06) pukul 15.00 WITA, Aliudin (19) warga Kampung Juhu melaporkan keberadaan Macan Dahan kepada Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Poskotis Sub Korwil 08/HST Desa Murung B Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Keberadaan Macan Dahan dilaporkan Aliudin dengan menunjukan beberapa foto yang diambil menggunakan telepon seluler.
“Foto ini saya ambil Hari Minggu (10/6), pakai handpone kakak saya, saya sengaja datang kesini untuk menyampaikannya kepada bapak-bapak” kata Aliudin kepada para tentara dan para peneliti tim ekspedisi khatulistiwa tersebut.
Menurut Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc, dosen pada Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, yang tergabung dalam tim peneliti Ekspedisi Khatulistiwa 2012 Sub Korwil 08/HST mengatakan, foto yang ditunjukan warga Juhu itu merupakan Macan Dahan (Neofelis nebulosa).
Macan dahan tersebut penyebaranya meliputi Pegunungan Himalaya, Cina bagian selatan dan Taiwan ke Selatan menuju semenanjung Malaysia, sedangkan di Indonesia sendiri ada di Sumatera dan Kalimantan, yang ada di foto itu merupakan Macan Dahan sub spesies endemik Kalimantan yang sangat langka dan dilindungi pemerintah.
Macan dahan tersebutmenurut peneliti muda tersebut dengan nama latinnya adalah Neofelis nebulosa diardi.
Selanjutnya dijelaskan Haris,macan dahan adalah jenis kucing terbesar di Kalimantan, sehingga menjadi predator puncak (top predator) di pulau ketiga terbesar di dunia ini.
Karena itu peran ekologisnya sangat penting karena berperan menjaga keseimbangan populasi satwa mangsa seperti Babi Hutan Berjanggut (Sus barbatus), Kijang Muncak (Muntiacus muntjak), Sambar/Payau (Rusa unicolor).
Jenis mangsa lainnya yaitu berbagai jenis primata seperti Lutung (Presbytis cristata), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Kelasi Merah (Presbytis rubicunda).
Macan dahan juga memangsa berbagai jenis satwa pengerat (Rodentia), seperti Landak, Tupai, dan Tikus hutan.
Macan dahan memiliki ukuran tubuh panjang dari ujung hidung sampai ujung ekor 1,5 meter atau lebih.
Warna macan dahan cukup bervariasi dari coklat pasir sangat pucat sampai sangat gelap dan memiliki pola bercak-bercak seperti awan pada sisi tubuh, sehingga disebut Clouded Leopard.
Macan dahan memiliki kharakteristik khas dibandingkan dengan jenis kucing lainnya (Famili Felidae), yaitu gigi-gigi taring atas relatif sangat besar dibandingkan dengan ukuran tengkoraknya.
Terdapat tiga ras macan dahan yaitu pola umum (foto di Juhu), dimana pola tubuh coklat pasir bercak-bercak seperti awan, kedua warna agak pucak, dan ketiga warna sangat gelap, meskipun dengan pola bercak/loreng yang sama dengan ras pertama dan kedua, jelas Haris.
Haris menambahkan, macan dahan aktif terutama malam hari (nocturna l) dan hidup di tajuk-tajuk pohon (arboreal), meskipun juga kadang dijumpai aktif siang hari dan mencari mangsa di lantai hutan.
Habitat utama macan tutul adalah hutan primer, yaitu hutan yang relatif belum terjamah manusia dan memiliki pohon-pohon yang tinggi sebagai tempat berlindungnya (cover).
Macan Dahan hidup soliter dan kadang dijumpai berpasangan, karena itu keberadaan macan dahan sangat tergantung akan adanya hutan primer yang masih sehat, seperti yang ada di Pegunungan Meratus.
Populasi satwa ini sangat langka karena kerusakan habitat, konversi hutan menjadi peruntukan lain (pemukiman, pertanian, pertambangan), serta perburuan liar untuk diambil taring, kulit dan menjadi koleksi/spesiemen.
Macan dahan dilindungi oleh Pemerintah RI berdasarkan PP 7 Tahun 1999, mengenai jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi oleh pemerintah.
Karena itu satwa ini harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Macan dahan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade on Endangered Species of Wild Flora and Fauna), dan termasuk dalam Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature).
Dengan status itu Macan Dahan tidak boleh diburu, diperdagangkan, baik hidup maupun mati, baik utuh maupun bagian-bagiannya, ujar Haris.
Menyikapi laporan warga tersebut, Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana membentuk tim khusus untuk mencari informasi tentang keberadaan Macan Dahan di Kampung Juhu.
Tim khusus yang dibentuk sebanyak 7 personel yaitu Mayor Sus Komaruddin, Kapten Ctp Sumbali, Kapten Chb Suryani, Sertu Agus Alwi, Serda Kusmayadi, Serda Anggi dan Prada Kasim W.
Bertepatan dengan persiapan tim khusus untuk menuju Kampung Juhu, pada Selasa (12/06/2012) pukul 15.00 WITA, Bapak Darmawi (35) warga Kampung Juhu yang telah menangkap Macan Dahan berkunjung ke Poskotis Sub Korwil 08/HST dengan didampingi Aliudin.
Di Poskotis, Darmawi menuturkan kepada tim tentang proses penangkapan macan dahan di Gunung Tabing Palawan.
“Saya dapat binatang itu di Gunung Tabing Palawan, gunung itu antara Batu Perahu dan Kampung Juhu, itu wilayah kami berburu, sekitar 3 (tiga) jam dari Juhu”, kata Darmawi.
Selanjutnya ia katakan “Saya ketemu binatang itu hari Minggu (27/05/2012) pagi sekitar jam 05.00 WITA, sewaktu saya mau pulang ke Juhu, setelah dua hari berburu di hutan Tabing Palawan, binatang buas itu saya tombak, saya ikuti sekitar 1 pal (1 Km), saya tombak lagi di dalam lubang pohon sampai meninggal, beratnya sekitar 30 Kg, panjang ekornya 1 meter lebih”.
“Dari kecil, baru sekarang saya bisa ketemu, dari dulu saya hanya dengar suaranya saja, sekarang juga masih ada suaranya, kadang-kadang ada tiga, tapi pindah-pindah, saya tidak tahu kalau binatang itu tidak boleh ditangkap,” tambah Darmawi.
“Sekarang kulit, kepala dan ekor binatang itu saya simpan di rumah untuk kenang-kenangan anak cucu saya nanti”, jelas Darmawi.
Sedangkan Wadan Sub Korwil 08/HST berharap agar penduduk tidak menangkap kembali macan dahan yang sudah dilindungi pemerintah.
“Sekarang satwa ini sudah di lindungi pemerintah, kami dari Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 mengajak semua warga di Kawasan Pegunungan Maratus untuk sama-sama menjaga dan melindungi macan ini, sehingga kelestariannya tetap terjaga dan anak cucu kita nanti masih dapat mengetahui hewan-hewan yang ada disekitar kita”, kata Wadan Sub Korwil 08/HST Mayor Inf Ardian Triwasana.
Foto Binatang kecil di kampung ku
—————————————————-
Sumber : https://hasanzainuddin.wordpress.com/flora-dan-fauna/