Jual Murah senjata kepada antek-antek Zionis di Timur Tengah.....
Arab Saudi Borong Jet Tempur dan Senjata AS
Arab Saudi telah menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat senilai 30 miliar dolar untuk membeli puluhan jet tempur baru AS dengan tujuan melindungi kerajaannya.
"Kesepakatan itu diambil guna memastikan bahwa Kerajaan Saudi memiliki kemampuan pertahanan sekuat mungkin untuk melindungi rakyat dan tanah airnya," kata seorang juru bicara Kementerian Pertahanan Saudi pada Jumat (30/12).
Pernyataan tersebut diungkapkan sehari setelah AS mengumumkan kesepakatan 29,4 miliar dolar, di mana Washington akan memasok 84 pesawat Boeing baru jenis F-15SA ke Riyadh dan memodernisasi 70 pesawat yang ada.
"Perjanjian ditandatangani pada Sabtu di Riyadh yang juga mencakup pasokan amunisi AS dan suku cadang serta pelatihan dan pemeliharaan kontrak, " kata seorang pejabat Amerika.
Kesepakatan itu pertama kali diumumkan pada bulan Oktober 2010 sebagai bagian dari penjualan senjata AS senilai 60 miliar dolar kepada Arab Saudi.
Menurut Departemen AS, pengiriman dari paket keseluruhan, yang juga mencakup Black Hawk dan helikopter tempur Apache, akan dikrim secara bertahap dalam kurun waktu 15 hingga 20 tahun.
Pengiriman pesawat pertama akan dimulai pada awal tahun 2015, sedangkan modernisasi pesawat yang ada akan dimulai pada tahun 2014.
Kesepakatan itu terjadi pada saat protes dan kritik terhadap pemerintah Riyadh meningkat. Hal itu akibat pelanggaran-pelanggara rezim Saudi terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Amnesty International menyatakan bahwa rezim Riyadh telah menahan ratusan orang di penjara tanpa tuduhan atau pengadilan.
Pada pertengahan Maret, Riyadh memimpin invasi Arab ke Bahrain atas permintaan rezim Manama untuk membantu memadamkan protes anti-pemerintah Bahrain.
Washington secara intensif mengancam Iran dengan embargo dan serangan militer jika tidak bersedia menghentikan program nuklirnya.
Amerika Serikat, Israel dan sekutunya di Barat menuduh Iran mengejar tujuan militer dalam kegiatan nuklirnya.
Tehran telah berulang kali menyatakan bahwa sebagai penandatangan Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran memiliki hak untuk mengembangkan dan memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai. (IRIB Indonesia/RA)
2011, Akhir Dari Sebuah Pendudukan
Setelah delapan tahun bertempur tanpa hasil di Irak, Amerika Serikat akhirnya menarik pasukannya dari Negeri Kisah 1001 Malam itu. Langkah tersebut merupakan sinyal lain atas skandal politik yang memalukan bagi Gedung Putih. Kebohongan dan tipu daya para politisi Washington dalam aksi yang disebut ‘perang melawan terorisme' itu, telah mengecewakan tidak hanya ribuan warga AS, tetapi jutaan orang di seluruh dunia.
Bagi para pembayar pajak AS, perang Irak hanyalah sebuah beban berat yang dipaksakan oleh pemerintahan George W. Bush kepada mereka. Para pembayar pajak harus menguras kocek untuk memuaskan dahaga Bush untuk pertumpahan darah dan perang.
Meskipun ada data yang berbeda soal biaya perang di Irak, tapi beberapa sumber telah menerbitkan angka fantastis atas aksi gila itu. Sebagai contoh, Universitas Brown dalam sebuah proyek tentang biaya perang, melaporkan bahwa total biaya perang AS di Irak, Afghanistan, dan Pakistan mungkin melebihi 3,2 triliun dolar. Laporan itu menyebutkan bahwa Departemen Pertahanan AS secara langsung telah menghabiskan dana 757,8 miliar dolar dalam perang Irak, dan ini adalah sesuatu yang hampir tak bisa dipercaya atau diterima oleh warga negara adidaya itu.
Invasi ke Irak diputuskan atas dasar kebohongan dan kebanyakan warga AS sekarang percaya bahwa klaim pemerintahan Bush tentang kepemilikan senjata pemusnah massal oleh rezim Saddam Hussein, sama sekali tidak berdasar dan omong kosong. Sejumlah hasil survei dan jajak pendapat menunjukkan warga AS sangat menentang perang dan mereka percaya itu hanyalah membuang-buang sumber daya nasional dan membahayakan kehidupan mereka di luar negeri.
Pada Agustus 2006, CNN merilis sebuah jajak pendapat yang menunjukkan sekitar 61 persen responden menentang perang Irak dan hanya 35 persen mendukung itu. Sementara pada April 2008, survei USA Today dan Gallup memperlihatkan 63 persen warga AS percaya bahwa pemerintah mereka telah membuat kesalahan dalam pengiriman serdadu ke Irak.
Menyangkut angka kematian, invasi Irak dianggap sebagai salah satu perang yang paling mematikan yang pernah dikobarkan oleh AS. Meskipun ada banyak versi tentang hal itu, Opinion Research Business yang berbasis di London mengungkapkan bahwa 1.033.000 warga Irak tewas dari Maret 2003 sampai Agustus 2007. Survei ini, bagaimanapun, tidak termasuk data terkait dengan tahun 2007 hingga 2011, yang dianggap menjadi salah satu tahun paling fatal.
Meskipun penarikan pasukan AS dari Irak menandai pemenuhan janji kampanye pemilu Barack Obama, namun tidak diragukan lagi bahwa kebijakan itu merupakan bencana bagi Washington, yang semakin kehilangan kredibilitas dan popularitas di seluruh dunia. Sekarang AS takut bahwa pengaruh Iran dapat tumbuh di Irak serta kemitraan dan koalisi antara dua negara bertetangga ini dapat membahayakan kepentingan mereka di kawasan.
Alhasil, kesenangan rakyat Irak tak terlukiskan dengan kata-kata. Nasib Irak akan diputuskan oleh mereka sendiri dan mulai sekarang pemerintah Nouri al-Maliki memiliki jalan panjang untuk menciptakan keamanan dan stabilitas serta membangun ekonomi Irak. Selamat berjuang! (IRIB Indonesia/RM)
Bisnis Senjata AS di Teluk Persia
Pemerintah Amerika Serikat dan Arab Saudi menandatangani kontrak penjualan senjata senilai 30 miliar dolar. Amerika Serikat melakukan penjualan pesawat jet tempur F-15A dengan nilai $ 30 miliar dollar kepada Arab Saudi. Penandatangan kontrak sudah selesai, antara pihak Saudi dengan Amerika. Arab Saudi merupakan sekutu permanen Amerika. Penjualan jet tempur itu diklaim oleh pejabat Amerika untuk meningkatkan kekuatan militer Saudi dan menghadapi ancaman dari Iran.
Berdasarkan perjanjian itu, Amerika Serikat akan mengirimkan 84 jet tempur terbaru kepada Saudi, dan mengupgrade 70 pesawat tempur Saudi lainnya. Produksi pesawat tempur, yang diproduksi oleh Boeing Co, akan menciptakan bagi 50.000 lapangan kerja dan memiliki dampak ekonomi yang sangat signifikan sebesar $ 3,5 miliar dollar setiap tahunnya.
Penjualan jet tempur itu bagian dari upaya AS yang lebih besar menyeimbangkan kekuatan militer di Teluk, khususnya kebijakan dibidang pertahanan di Teluk Persia, serta mengantisipasi kemungkinan terhadap kekuatan militer Iran. Pengumuman itu bersamaan dengan ancaman Iran yang akan menutup selat Hormuz.
Teheran memperingatkan pekan ini akan menutup Selat Hormuz. Selama ini, Teluk Persia merupakan jalur yang sangat penting mengangkut minyak dari kawasan itu. Jika Teheran menutup selat Hormuz akan menciptakan situasi kekacauan secara global, terutama pasokan minyak negara-negara Barat dan Jepang akan sangat terganggu.
Penjualan jet tempur adalah bagian dari kebijakan penjualan senjata antara Amerika Serikat dan Arab Saudi selama 10 tahun dengan nillai penjualan lebih dari $ 60 miliar dollar, yang mencakup jet tempur, helikopter, rudal balistik, radar sistem peringatan dini, dan senjata anti rudal. Kongres Amerika Serikat telah memberi persetujuan atas kebijakan pemerintah Amerika yang akan menjual senjata secara besar-besaran.
Dibagian lain, Obama juga menjual jet tempur F 16 kepada Irak, Nuri al-Maliki, senilai $ 11 miliar dollar, dalam rangka memperkuat kekuatan militer Irak, dan menghadapi ancaman kelompok Sunni di Irak. Gedung Putih mengumumkan perjanjian dengan Arab Saudi dari Hawaii, di mana Presiden Barack Obama berlibur.
Gedung Putih terus menciptakan konflik dan perang diantara negara-negara Arab, dan menjual senjata besar-besaran kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Sehingga keduanya hancur. Selain itu, Amerika mendapatkan keuntungan dengan penjualan senjata itu, dan ekonominya yang sudah bangkrut itu, bisa hidup lagi. (IRIB Indonesia/MF/NA)
Holocaust, Trik Yahudi Memeras Perbankan Swiss
Oleh: Wahyuni Susilowati
Tak ada gading yang tak retak,begitu kata pepatah lama dan perbankan Swiss yang terkenal ketat dalam menangani berbagai transaksi keuangannya ternyata bisa juga dibobol serta diporoti. Pada era 2000-an pembantaian kaumYahudi oleh rezim Nazi-Hitler (holocaust) dijadikan kartu truf untuk mengeruk dana dalam jumlah yang fantastis oleh World Jewish Congress (WJC).
Norman G Finkelstein (2000) dalam best seller-nya The Holocaust Industry mengungkap bagaimana sebuah tragedi kemanusiaan(?) dalam sejarah disulap sedemikian rupa menjadi komoditas penghasil uang oleh sekelompok orang Yahudi yang memiliki kekuatan lobi politik serta bisnis bak gurita dalam lembaga pemerintahan Amerika Serikat (AS).
Tekanan bertubi-tubi WJC yang menuntut penyelesaian segera klaim yang jatuh tempo dari para korban Holocaust yang selamat serta ahli waris mereka, membuat perbankan Swiss akhirnya secara formal pada tahun 1996 mengijinkan dilakukannya sebuah audit eksternal yang komperehensif (konon ini merupakan audit terluas dalam sejarah – pen.). WJC langsung merespon hal ini dengan mendesakkan permintaan penyelesaian finansial bahkan sebelum komite audit yang diketuai Paul Volcker sempat mengadakan pertemuan pertama. Intinya mereka mati-matian menghalangi pembentukan Komite Volcker dengan alasan ‘tidak bisa dipercaya' dan ‘para korban Holocaust miskin tidak bisa menunggu hingga Komite Volcker selesai mengaudit'.
WJC tidak main-main dalam upayanya mencegah pembentukan Komite Volcker, pada 1997 sebuah ‘Memorandum Hukum' melalui tangan Burt Neuborne mereka sodorkan yang isinya tuntutan pada perbankan Swiss untuk membiayai proses audit Holocaust senilai $500 juta (belakangan terbukti audit tersebut fiktif- pen.) dan menolak Komite Volcker yang menurut mereka hanya akal-akalan perbankan Swiss untuk mementahkan tuntutan ‘kritis' para korban Holocaust. Pada pertengahan tahun 1998, mereka sukses memaksa perbankan Swiss untuk menggelontorkan $1,25 miliar untuk pencairan dana yang tidak bisa ditunda pembayarannya untuk rekening orang Yahudi non aktif (dormant) di era Holocaust dan pengganti keuntungan (transaksi perbankan) yang bukan haknya karena berasal dari aset-aset jarahan maupun eksploitasi tenaga budak Yahudi oleh Nazi.
Pada akhirnya Komite Volcker berhasil mengatasi semua tekanan dan menjalankan semua tugas yang dibebankan sampai tuntas dalam menjawab empat dakwaan utama yang dialamatkan pada perbankan Swiss. Pertama, WJC menuduh bahwa perbankan Swiss mementahkan secara sistematis tuntutan para korban Holocaust dan pewaris mereka untuk mengakses rekening bank mereka paska Perang Dunia II. Penyelidikan Komite Volcker menyimpulkan bahwa terlepas dari beberapa pengecualian tertentu, tuduhan ini tak perlu ditanggapi secara serius.
Kedua, perbankan Swiss juga dituduh telah menghancurkan arsip pencatatan aset era Holocaust untuk menutupi jejak pengumpulan ‘keuntungan tidak sah' yang berasal dari rekening para korban Holocaust dan Komite Volcker sampai pada kesimpulan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Lalu ketiga, Swiss juga didakwa telah menggunakan uang milik korban Holocaust asal Polandia dan Hungaria sebagai kompensasi atas harta milik perbankan yang dinasionalisasikan oleh pemerintah Swiss. Komite Volcker tak terang-terangan menyanggah ini namun berargumen bahwa pemerintah Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama saat mendesakkan klaim kerusakan perang atas Jerman dibayar dengan aset-aset Jerman yang kemungkinan besar di dalamnya terdapat aset para korban Holocaust. Intinya, apa yang dilakukan oleh perbankan Swiss dinilai masih berada pada batas kewajaran dalam sudut pandang hubungan multilateral.
Keempat, WJC menuduh Swiss membeli emas hasil jarahan Nazi dari kantor-kantor perbendaharaan Eropa dan Komite Volcker kembali mementahkan ini dengan menyatakan ‘kemungkinan (adanya aset korban Holocaust -pen) yang sama bisa terjadi pula pada koin-koin dan batangan emas yang dibeli oleh Departemen Keuangan AS melalui Bank Sentral AS di New York selama dan paska Perang Dunia II'.
Perseteruan legal WJC versus perbankan Swiss memang berlangsung panjang, seru, dan mengasyikkan untuk diikuti namun yang lebih menarik adalah menyusuri ketulusan WJC memperjuangkan hak para korban Holocaust dihubungkan dengan gelontoran dana senilai $1,25 milyar yang telah disinggung sebelumnya. Tanggal 11 September 2000 WJC mengeluarkan ‘Usulan Rencana Induk Khusus untuk Alokasi dan Distribusi Uang Penyelesaian Bank Swiss' yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan Gribetz Plan (GP). Di sana tercantum bahwa $800 juta akan dialokasikan untuk menutup klaim atas rekening masyarakat Yahudi non aktif di masa Holocaust. Teks, lampiran, dan bagan pendukung untuk memperkuat argumen dipilihnya alokasi ini menghabiskan beratus-ratus halaman plus tambahan lebih dari seribu catatan kaki dalam GP; namun tak satupun yang dapat menjustifikasi secara dapat dipertanggungjawabkan alasan alokasi tersebut(Finkelstein,2000). Alokasi itu ditambah segala argumen penyokongnya hanya akal-akalan semata agar industri Holocaust bisa meraup bagian terbesar dari dana kompensasi untuk menggembungkan rekening pribadi para pengurus WJC dan kroni-kroni mereka. Fakta lain, masih menurut Finkelstein, nilai $800 juta untuk menutup rekening warga Yahudi era Holocaust juga merupakan hasil penggelembungan yang sangat fantastis dari kisaran angka sebenarnya yang tentu saja sangat jauh di bawah itu.
Kemudian sisa $400 juta lebih dari dana kompensasi dialokasikan khusus untuk kategori ‘aset yang dijarah', ‘tenaga kerja budak', dan ‘pengungsi' dengan catatan tak sepeser pun dana akan dicairkan kecuali bila semua permohonan dalam proses litigasi ini sudah diselesaikan. GP menyebutkan secara eksplisit bahwa pembayaran masih harus menunggu sementara waktu dan proses pengajuan akan memakan waktu tiga setengah tahun. Para korban Holocaust yang selamat menyadari betul bahwa hanya segelintir saja di antara mereka yang masih hidup saat permohonan dana itu dikabulkan.Tebak kemana akhirnya dana itu akan berlabuh? (IRIB Indonesia/Kompasiana)
Tak ada gading yang tak retak,begitu kata pepatah lama dan perbankan Swiss yang terkenal ketat dalam menangani berbagai transaksi keuangannya ternyata bisa juga dibobol serta diporoti. Pada era 2000-an pembantaian kaumYahudi oleh rezim Nazi-Hitler (holocaust) dijadikan kartu truf untuk mengeruk dana dalam jumlah yang fantastis oleh World Jewish Congress (WJC).
Norman G Finkelstein (2000) dalam best seller-nya The Holocaust Industry mengungkap bagaimana sebuah tragedi kemanusiaan(?) dalam sejarah disulap sedemikian rupa menjadi komoditas penghasil uang oleh sekelompok orang Yahudi yang memiliki kekuatan lobi politik serta bisnis bak gurita dalam lembaga pemerintahan Amerika Serikat (AS).
Tekanan bertubi-tubi WJC yang menuntut penyelesaian segera klaim yang jatuh tempo dari para korban Holocaust yang selamat serta ahli waris mereka, membuat perbankan Swiss akhirnya secara formal pada tahun 1996 mengijinkan dilakukannya sebuah audit eksternal yang komperehensif (konon ini merupakan audit terluas dalam sejarah – pen.). WJC langsung merespon hal ini dengan mendesakkan permintaan penyelesaian finansial bahkan sebelum komite audit yang diketuai Paul Volcker sempat mengadakan pertemuan pertama. Intinya mereka mati-matian menghalangi pembentukan Komite Volcker dengan alasan ‘tidak bisa dipercaya' dan ‘para korban Holocaust miskin tidak bisa menunggu hingga Komite Volcker selesai mengaudit'.
WJC tidak main-main dalam upayanya mencegah pembentukan Komite Volcker, pada 1997 sebuah ‘Memorandum Hukum' melalui tangan Burt Neuborne mereka sodorkan yang isinya tuntutan pada perbankan Swiss untuk membiayai proses audit Holocaust senilai $500 juta (belakangan terbukti audit tersebut fiktif- pen.) dan menolak Komite Volcker yang menurut mereka hanya akal-akalan perbankan Swiss untuk mementahkan tuntutan ‘kritis' para korban Holocaust. Pada pertengahan tahun 1998, mereka sukses memaksa perbankan Swiss untuk menggelontorkan $1,25 miliar untuk pencairan dana yang tidak bisa ditunda pembayarannya untuk rekening orang Yahudi non aktif (dormant) di era Holocaust dan pengganti keuntungan (transaksi perbankan) yang bukan haknya karena berasal dari aset-aset jarahan maupun eksploitasi tenaga budak Yahudi oleh Nazi.
Pada akhirnya Komite Volcker berhasil mengatasi semua tekanan dan menjalankan semua tugas yang dibebankan sampai tuntas dalam menjawab empat dakwaan utama yang dialamatkan pada perbankan Swiss. Pertama, WJC menuduh bahwa perbankan Swiss mementahkan secara sistematis tuntutan para korban Holocaust dan pewaris mereka untuk mengakses rekening bank mereka paska Perang Dunia II. Penyelidikan Komite Volcker menyimpulkan bahwa terlepas dari beberapa pengecualian tertentu, tuduhan ini tak perlu ditanggapi secara serius.
Kedua, perbankan Swiss juga dituduh telah menghancurkan arsip pencatatan aset era Holocaust untuk menutupi jejak pengumpulan ‘keuntungan tidak sah' yang berasal dari rekening para korban Holocaust dan Komite Volcker sampai pada kesimpulan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Lalu ketiga, Swiss juga didakwa telah menggunakan uang milik korban Holocaust asal Polandia dan Hungaria sebagai kompensasi atas harta milik perbankan yang dinasionalisasikan oleh pemerintah Swiss. Komite Volcker tak terang-terangan menyanggah ini namun berargumen bahwa pemerintah Amerika Serikat juga melakukan hal yang sama saat mendesakkan klaim kerusakan perang atas Jerman dibayar dengan aset-aset Jerman yang kemungkinan besar di dalamnya terdapat aset para korban Holocaust. Intinya, apa yang dilakukan oleh perbankan Swiss dinilai masih berada pada batas kewajaran dalam sudut pandang hubungan multilateral.
Keempat, WJC menuduh Swiss membeli emas hasil jarahan Nazi dari kantor-kantor perbendaharaan Eropa dan Komite Volcker kembali mementahkan ini dengan menyatakan ‘kemungkinan (adanya aset korban Holocaust -pen) yang sama bisa terjadi pula pada koin-koin dan batangan emas yang dibeli oleh Departemen Keuangan AS melalui Bank Sentral AS di New York selama dan paska Perang Dunia II'.
Perseteruan legal WJC versus perbankan Swiss memang berlangsung panjang, seru, dan mengasyikkan untuk diikuti namun yang lebih menarik adalah menyusuri ketulusan WJC memperjuangkan hak para korban Holocaust dihubungkan dengan gelontoran dana senilai $1,25 milyar yang telah disinggung sebelumnya. Tanggal 11 September 2000 WJC mengeluarkan ‘Usulan Rencana Induk Khusus untuk Alokasi dan Distribusi Uang Penyelesaian Bank Swiss' yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan Gribetz Plan (GP). Di sana tercantum bahwa $800 juta akan dialokasikan untuk menutup klaim atas rekening masyarakat Yahudi non aktif di masa Holocaust. Teks, lampiran, dan bagan pendukung untuk memperkuat argumen dipilihnya alokasi ini menghabiskan beratus-ratus halaman plus tambahan lebih dari seribu catatan kaki dalam GP; namun tak satupun yang dapat menjustifikasi secara dapat dipertanggungjawabkan alasan alokasi tersebut(Finkelstein,2000). Alokasi itu ditambah segala argumen penyokongnya hanya akal-akalan semata agar industri Holocaust bisa meraup bagian terbesar dari dana kompensasi untuk menggembungkan rekening pribadi para pengurus WJC dan kroni-kroni mereka. Fakta lain, masih menurut Finkelstein, nilai $800 juta untuk menutup rekening warga Yahudi era Holocaust juga merupakan hasil penggelembungan yang sangat fantastis dari kisaran angka sebenarnya yang tentu saja sangat jauh di bawah itu.
Kemudian sisa $400 juta lebih dari dana kompensasi dialokasikan khusus untuk kategori ‘aset yang dijarah', ‘tenaga kerja budak', dan ‘pengungsi' dengan catatan tak sepeser pun dana akan dicairkan kecuali bila semua permohonan dalam proses litigasi ini sudah diselesaikan. GP menyebutkan secara eksplisit bahwa pembayaran masih harus menunggu sementara waktu dan proses pengajuan akan memakan waktu tiga setengah tahun. Para korban Holocaust yang selamat menyadari betul bahwa hanya segelintir saja di antara mereka yang masih hidup saat permohonan dana itu dikabulkan.Tebak kemana akhirnya dana itu akan berlabuh? (IRIB Indonesia/Kompasiana)
Tahun 2012 dan Ambisi Hollywood Keruk Keuntungan
Manusia modern dengan berbagai kemajuan yang mereka raih ternyata masih juga percaya dengan berbagai ramalan soal masa depan. Kondisi ini juga dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menyebarkan faham menyelewengnya demi keuntungan pribadi. Orang seperti ini telah mendapatkan tempat di Hollywood yang menjadi pusat perfileman di dunia. Hollywood menjadi tempat nyaman bagi mereka untuk menyebarkan ideologinya melalui film-film. Salah satu film tentang ramalan masa depan adalah film Nostradamus dan 2012.
Dalam Berbagai Ajaran Agama, semua yang bermula pasti akan berakhir. Seperti halnya ada siang akan diikuti oleh malam, adanya sehat pasti akan diikuti datangnya sakit dan adanya sifat jahat pasti akan diimbangi oleh kebaikan. Tinggal bagaimana kita menyikapi semua hal tersebut untuk tetap menjaganya sesuai dengan kehidupan seperti apa yang kita inginkan. Ada sebuah cerita dan ramalan menarik yang dapat diambil dari setiap ajaran agama dan ramalan para ahli sufi. Dalam mitos-mitos kuno, setiap masa atau kaum memiliki era dan kepercayaan bagaimana dunia akan berakhir. Namun disetiap waktunya ramalan tersebut menjadi satu hal yang patut diperhitungkan dan mana yang benar. Menurut para ahli arkeolog, Ramalan Nostradamus dan Para Sufi Bangsa Mayalah yang paling tersohor.
Kalender Bangsa Maya hingga saat ini disebutkan adalah kalender yang paling akurat yang pernah ada di bumi. Sudah banyak kejadian dan fenomena mereka kumpulkan dan diterangkan dalam sebuah simbol-simbol dan karakter untuk meramal kehidupan budaya dan akhir jaman. Salah satunya perhitungan kalender menyebutkan bahwa tepatnya tanggal 21 Desember 2012, merupakan "End of Times". Maksud kata ini masih banyak diperdebatkan oleh para ilmuwan dan arkeolog namun makna tersebut salah satunya dimaknai sebagai berakhirnya kehidupan manusia di bumi.
Tumpukan manuskrip yang ditulis oleh Michel de Nostradame, atau lebih dikenal Nostradamus (1503-1566) itu ditemukan oleh anggota dari Italian National Library di Roma. Temuan besar pada Mei 2005 tersebut memberikan makna yang lebih besar sekarang dengan sebutan The Nostradamus Code. Untuk memahaminya, Ratherford menggunakan sebuah teknik analisa seni dan bilangan alogaritma. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dalam waktu 10 menit. Dalam buku disebutkan permusuhan dan perkelahian akan berkecamuk dan perang dunia ketiga akan terjadi.
Salah satu terpanas yang saat ini sedikit menyinggung dan benar-benar menjadi tanda dibahas dalam bab empat buku tersebut. Bab tersebut membahas kapan waktu permasalahan timbul. Dalam syair ke 3 dan 4 Nostradamus Code menyebutkan pada abad ke 20 perselisihan akan banyak terjadi. Pemimpin yang gila meluncurkan bom nuklir ke daerah Mediterania dan Eropa. Selama periode kegelisahan tersebut pemimpin negara di Timur Tengah mampu mendapatkan senjata nuklir. Dia kemudian melakukan sesuatu hal yang kecil dan tidak akan ragu lagi menggunakan senjata untuk peperangan.
Selain itu dalam syair ke 67 disebutkan sumber bencana seperti gunung api, gempabumi, banjir dan musim kekeringan akan semakin dirasakan oleh seluruh umat manusia. Bencana-bencana tersebut akan menyebabkan pertikaian semakin besar dan konflik sosial semakin parah. Amerika disebutkan akan mengalami kondisi yang paling parah terhadap bencana alam seperti gempabumi dan banjir. Pada waktu itu kondisinya akan penuh konflik, keputusasaan dan kesengsaraan. Akibat bencana yang besar tersebut Amerika akan Bangkrut dan struktur politik serta sosialnya melemah.
Tanda lain yang disebutkan dalam syair ke 23 dan 81 disebutkan bahwa kepercayaan anti terhadap keberadaan Tuhan akan kembali meningkat di Timur Tengah. Kepercayaan ini kemudian akan merambah keberbagai penjuru seperti Eropa, dan Wilayah Mediterania. Tanda lainnya adalah untuk negara ke tiga dunia, para pemimpinnya akan saling berselisih. Selain itu masih banyak lagi sumber masalah yang menjadi tanda perang dunia ke tiga untuk menuju akhir dunia.
Didalam beberapa mitologi-mitologi kuno bahwa bumi ini pernah dilanda banjir dahsyat yang mengerikan, hampir semua peradaban-peradaban zaman dulu ada cerita tentang bencana yang satu ini, misalnya diantara lebih dari 130 suku Indian di Benua Amerika hampir tidak ada suku yang tidak memitoskan banjir dahsyat sebagai topik.
Pada sistem penanggalan didalam Kalender Bangsa Maya/Maya Calendar yg merupakan kalender paling akurat hingga kini yg pernah ada di bumi. Bangsa Maya menyatakan pada tahun 2012, tepatnya tanggal 21 Desember 2012, merupakan "End of Times". Maksud dari "End of Times" itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ilmuwan, dan arkeolog. Dalam kalender bangsa Maya yang sangat tersohor itu, diramalkan bahwa pada periode 1992-2012 bumi akan "dimurnikan", selanjutnya peradaban manusia sekarang ini akan berakhir dan mulai memasuki peradaban baru.
Dalam sejarah peradaban kuno dunia, bangsa Maya dikenal menguasai pengetahuan tentang ilmu falak yang khusus dan mendalam, sistem penanggalan yang sempurna, penghitungan perbintangan yang rumit serta metode pemikiran abstrak yang tinggi. Kesempurnaan dan akurasi dari pada penanggalannya membuat orang takjub. Para arkeolog percaya bahwa Maya mempunyai peradaban yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku-bukunya, meja-meja batu dan cerita-cerita yang bersifat mistik. Tetapi sayang sekali buku-buku mereka di perpustakaan Maya semuanya sudah dibakar oleh tentara Spanyol ketika menyerang sesudah tahun 1517. Hanya beberapa tulisan pada meja-meja dan beberapa system kalender yang membingungkan tersisa sampai sekarang.
Seorang sejarawan Amerika, Dr. Jose Arguelles mengabdikan dirinya untuk meneliti peradaban bangsa ini. Ia mendalami ramalan Maya yang dibangun di atas fondasi kalender yang dibuat bangsa itu, dimana prediksi semacam ini persis seperti cara penghitungan Tiongkok, ala Zhou Yi. Kalendernya, secara garis besar menggambarkan siklus hukum benda langit dan hubungannya dengan perubahan manusia.
Namun demikian masih ada yang meragukan ramalan bangsa Maya. Erik Velasquez, peneliti di universitas Mexico menandaskan, ramalan tentang hari kiamat di tahun 2012 tidak benar dan ini hanya sekedar isu serta kesalahan argumentasi. Ia bersama timnya melakukan riset soal bangsa Maya dan berhasil pada satu kesimpulan bahwa tanggal 21 Desember 2012 sejatinya indikasi dari babak baru dan peralihan dari era sebelumnya, bukan berakhirnya dunia.
Meski adanya penemuan yang cukup akurat terkait ramalan ini. Masih terdapat sejumlah oknum yang memanfaatkan ramalan yang masih belum jelas ini untuk menentukan masa depan dunia dan menyebarkannya demi kepentingan pribadi atau golongan. Orang seperti ini menemukan tempatnya di Hollywood dan dengan tenang menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia. Hollywood selama beberapa tahun belakangan memproduksi film yang mengangkat tema berakhirnya kehidupan dunia dengan harapan menakut-nakuti manusia.
Film-film tersebut bukan hanya memanfaatkan ramalan yang tak pasti, bahkan mereka juga berani menyelewengkan Kitab-Kitab Suci berbagai agama dengan harapan para pengikut agama tersebut juga terseret kepada kesesatan yang sengaja mereka tebar. Para produsen film dengan berbagai cara mencoba menampilkan hari kiamat dan kehancuran dunia. Sebagian mengangkat tema bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan ledakan gunung berapi. Sebagian lainnya mengangkat tema ancaman dari makhluk luar angkasa terhadap bumi atau teknologi canggih serta robot.
Mungkin sebagian orang menganggap film 2012 garapan sutradara Roland Emmerich merupakan simbol nyata dari penyebaran ideologi menyimpang Barat terkait hari Kiamat dan alur cerita film ini sesuai dengan tuntutan politik bahkan berdasarkan sejumlah ramalan. Namun demikian film-film keluaran Hollywood yang menitikberatkan pada masalah takhayul berakhirnya dunia khususnya di tahun 2012 hanya sekedar iklan untuk memasarkan produk mereka. Yang diuntungkan hanya para investor dan politikus. Oleh karena itulah, bersandar pada syair-syair Nostradamus merupakan pilihan tepat bagi politikus Barat untuk menjustifikasi mesin-mesin perang mereka.
Tak hanya itu, ramalan tentang hari Kiamat di tahun 2012 dan film-film yang menggambarkannya berdampak negatif bagi masyarakat dunia. Dampak sosial dan psikologis dari film ini sangat besar sehingga mereka yang berfikiran pendek memilih bunuh diri untuk lepas dari ketakutannya menghadapi hari Kiamat di tahun 2012. Selain itu, mereka yang tidak sampai bunuh diri pun mengalami depresi dan gangguan mental lainnya.(IRIB Indonesia)
Dalam Berbagai Ajaran Agama, semua yang bermula pasti akan berakhir. Seperti halnya ada siang akan diikuti oleh malam, adanya sehat pasti akan diikuti datangnya sakit dan adanya sifat jahat pasti akan diimbangi oleh kebaikan. Tinggal bagaimana kita menyikapi semua hal tersebut untuk tetap menjaganya sesuai dengan kehidupan seperti apa yang kita inginkan. Ada sebuah cerita dan ramalan menarik yang dapat diambil dari setiap ajaran agama dan ramalan para ahli sufi. Dalam mitos-mitos kuno, setiap masa atau kaum memiliki era dan kepercayaan bagaimana dunia akan berakhir. Namun disetiap waktunya ramalan tersebut menjadi satu hal yang patut diperhitungkan dan mana yang benar. Menurut para ahli arkeolog, Ramalan Nostradamus dan Para Sufi Bangsa Mayalah yang paling tersohor.
Kalender Bangsa Maya hingga saat ini disebutkan adalah kalender yang paling akurat yang pernah ada di bumi. Sudah banyak kejadian dan fenomena mereka kumpulkan dan diterangkan dalam sebuah simbol-simbol dan karakter untuk meramal kehidupan budaya dan akhir jaman. Salah satunya perhitungan kalender menyebutkan bahwa tepatnya tanggal 21 Desember 2012, merupakan "End of Times". Maksud kata ini masih banyak diperdebatkan oleh para ilmuwan dan arkeolog namun makna tersebut salah satunya dimaknai sebagai berakhirnya kehidupan manusia di bumi.
Tumpukan manuskrip yang ditulis oleh Michel de Nostradame, atau lebih dikenal Nostradamus (1503-1566) itu ditemukan oleh anggota dari Italian National Library di Roma. Temuan besar pada Mei 2005 tersebut memberikan makna yang lebih besar sekarang dengan sebutan The Nostradamus Code. Untuk memahaminya, Ratherford menggunakan sebuah teknik analisa seni dan bilangan alogaritma. Data yang dihasilkan dapat dianalisis dalam waktu 10 menit. Dalam buku disebutkan permusuhan dan perkelahian akan berkecamuk dan perang dunia ketiga akan terjadi.
Salah satu terpanas yang saat ini sedikit menyinggung dan benar-benar menjadi tanda dibahas dalam bab empat buku tersebut. Bab tersebut membahas kapan waktu permasalahan timbul. Dalam syair ke 3 dan 4 Nostradamus Code menyebutkan pada abad ke 20 perselisihan akan banyak terjadi. Pemimpin yang gila meluncurkan bom nuklir ke daerah Mediterania dan Eropa. Selama periode kegelisahan tersebut pemimpin negara di Timur Tengah mampu mendapatkan senjata nuklir. Dia kemudian melakukan sesuatu hal yang kecil dan tidak akan ragu lagi menggunakan senjata untuk peperangan.
Selain itu dalam syair ke 67 disebutkan sumber bencana seperti gunung api, gempabumi, banjir dan musim kekeringan akan semakin dirasakan oleh seluruh umat manusia. Bencana-bencana tersebut akan menyebabkan pertikaian semakin besar dan konflik sosial semakin parah. Amerika disebutkan akan mengalami kondisi yang paling parah terhadap bencana alam seperti gempabumi dan banjir. Pada waktu itu kondisinya akan penuh konflik, keputusasaan dan kesengsaraan. Akibat bencana yang besar tersebut Amerika akan Bangkrut dan struktur politik serta sosialnya melemah.
Tanda lain yang disebutkan dalam syair ke 23 dan 81 disebutkan bahwa kepercayaan anti terhadap keberadaan Tuhan akan kembali meningkat di Timur Tengah. Kepercayaan ini kemudian akan merambah keberbagai penjuru seperti Eropa, dan Wilayah Mediterania. Tanda lainnya adalah untuk negara ke tiga dunia, para pemimpinnya akan saling berselisih. Selain itu masih banyak lagi sumber masalah yang menjadi tanda perang dunia ke tiga untuk menuju akhir dunia.
Didalam beberapa mitologi-mitologi kuno bahwa bumi ini pernah dilanda banjir dahsyat yang mengerikan, hampir semua peradaban-peradaban zaman dulu ada cerita tentang bencana yang satu ini, misalnya diantara lebih dari 130 suku Indian di Benua Amerika hampir tidak ada suku yang tidak memitoskan banjir dahsyat sebagai topik.
Pada sistem penanggalan didalam Kalender Bangsa Maya/Maya Calendar yg merupakan kalender paling akurat hingga kini yg pernah ada di bumi. Bangsa Maya menyatakan pada tahun 2012, tepatnya tanggal 21 Desember 2012, merupakan "End of Times". Maksud dari "End of Times" itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ilmuwan, dan arkeolog. Dalam kalender bangsa Maya yang sangat tersohor itu, diramalkan bahwa pada periode 1992-2012 bumi akan "dimurnikan", selanjutnya peradaban manusia sekarang ini akan berakhir dan mulai memasuki peradaban baru.
Dalam sejarah peradaban kuno dunia, bangsa Maya dikenal menguasai pengetahuan tentang ilmu falak yang khusus dan mendalam, sistem penanggalan yang sempurna, penghitungan perbintangan yang rumit serta metode pemikiran abstrak yang tinggi. Kesempurnaan dan akurasi dari pada penanggalannya membuat orang takjub. Para arkeolog percaya bahwa Maya mempunyai peradaban yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku-bukunya, meja-meja batu dan cerita-cerita yang bersifat mistik. Tetapi sayang sekali buku-buku mereka di perpustakaan Maya semuanya sudah dibakar oleh tentara Spanyol ketika menyerang sesudah tahun 1517. Hanya beberapa tulisan pada meja-meja dan beberapa system kalender yang membingungkan tersisa sampai sekarang.
Seorang sejarawan Amerika, Dr. Jose Arguelles mengabdikan dirinya untuk meneliti peradaban bangsa ini. Ia mendalami ramalan Maya yang dibangun di atas fondasi kalender yang dibuat bangsa itu, dimana prediksi semacam ini persis seperti cara penghitungan Tiongkok, ala Zhou Yi. Kalendernya, secara garis besar menggambarkan siklus hukum benda langit dan hubungannya dengan perubahan manusia.
Namun demikian masih ada yang meragukan ramalan bangsa Maya. Erik Velasquez, peneliti di universitas Mexico menandaskan, ramalan tentang hari kiamat di tahun 2012 tidak benar dan ini hanya sekedar isu serta kesalahan argumentasi. Ia bersama timnya melakukan riset soal bangsa Maya dan berhasil pada satu kesimpulan bahwa tanggal 21 Desember 2012 sejatinya indikasi dari babak baru dan peralihan dari era sebelumnya, bukan berakhirnya dunia.
Meski adanya penemuan yang cukup akurat terkait ramalan ini. Masih terdapat sejumlah oknum yang memanfaatkan ramalan yang masih belum jelas ini untuk menentukan masa depan dunia dan menyebarkannya demi kepentingan pribadi atau golongan. Orang seperti ini menemukan tempatnya di Hollywood dan dengan tenang menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia. Hollywood selama beberapa tahun belakangan memproduksi film yang mengangkat tema berakhirnya kehidupan dunia dengan harapan menakut-nakuti manusia.
Film-film tersebut bukan hanya memanfaatkan ramalan yang tak pasti, bahkan mereka juga berani menyelewengkan Kitab-Kitab Suci berbagai agama dengan harapan para pengikut agama tersebut juga terseret kepada kesesatan yang sengaja mereka tebar. Para produsen film dengan berbagai cara mencoba menampilkan hari kiamat dan kehancuran dunia. Sebagian mengangkat tema bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan ledakan gunung berapi. Sebagian lainnya mengangkat tema ancaman dari makhluk luar angkasa terhadap bumi atau teknologi canggih serta robot.
Mungkin sebagian orang menganggap film 2012 garapan sutradara Roland Emmerich merupakan simbol nyata dari penyebaran ideologi menyimpang Barat terkait hari Kiamat dan alur cerita film ini sesuai dengan tuntutan politik bahkan berdasarkan sejumlah ramalan. Namun demikian film-film keluaran Hollywood yang menitikberatkan pada masalah takhayul berakhirnya dunia khususnya di tahun 2012 hanya sekedar iklan untuk memasarkan produk mereka. Yang diuntungkan hanya para investor dan politikus. Oleh karena itulah, bersandar pada syair-syair Nostradamus merupakan pilihan tepat bagi politikus Barat untuk menjustifikasi mesin-mesin perang mereka.
Tak hanya itu, ramalan tentang hari Kiamat di tahun 2012 dan film-film yang menggambarkannya berdampak negatif bagi masyarakat dunia. Dampak sosial dan psikologis dari film ini sangat besar sehingga mereka yang berfikiran pendek memilih bunuh diri untuk lepas dari ketakutannya menghadapi hari Kiamat di tahun 2012. Selain itu, mereka yang tidak sampai bunuh diri pun mengalami depresi dan gangguan mental lainnya.(IRIB Indonesia)
Pangeran Mahkota Saudi Tetap Dukung Wahabi
Pangeran Mahkota Arab Saudi menegaskan akan tetap mendukung sistem Wahabi yang ada di negaranya dan Arab Saudi tidak akan mundur dari sistem yang ada ini. Menurut laporan televisi Arab Saudi hari ini (Kamis, 29/12), Pangeran Nayef bin Abdul Aziz dalam konferensi "Teladan Salafi" di al-Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University dengan bangga menyatakan Arab Saudi mengikuti metode Salafi. Sebaliknya, Pangeran Nayef menyebut bodoh siapa saja yang mengritik model ini.
Keluarga Al Saud senantiasa mendukung ajaran dan pengikut Wahabi, khususnya dalam merusak citra Syiah di negara ini dan di negara-negra Arab lainnya. Sikap anti Syiah itu dapat ditemukan dalam pernyataan Pangeran Mahkota Arab Saudi dan penyelenggaraan konferensi anti Syiah yang diikuti oleh para rohaniwan Wahabi di kawasan timur negara ini. Dalam konferensi yang dipimpin oleh Abdullah Bin Jabrin ini, para peserta meminta Raja Abdullah mengeluarkan perintah serius menghadapi orang-orang Syiah, sekaligus merusak masjid-masjid mereka.
Dalam pertemuan ini, Bin Jabrin menyampaikan pidato kebenciannya dan meminta Raja Arab Saudi melarang orang-orang Syiah mendapat pekerjaan di sektor politik dan militer. Ia juga menuntut agar orang-orang Syiah tidak diberikan kesempatan menduduki pos-pos penting di pemerintah Arab Saudi.
Mencermati kebijakan Al Saud yang mendukung ajaran dan pengikut Wahabi di Arab Saudi membuat ulama ekstrim Wahabi di negara ini memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal. Ironinya kebebasan itu dipergunakan dengan mengeluarkan bahasa yang kasar dan keras terhadap orang-orang Syiah di Arab Saudi. Bahkan sebagian memakai kata bunuh untuk mengungkapkan kebenciannya. Pada saat yang sama, pemerintah Arab Saudi yang tahu bahwa membiarkan pernyataan-pernyataan yang membahayakan keamanan warganya, lebih memilih diam dan tidak mereaksinya.
Di sisi lain, keluarga Al Saud juga tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran mereka akan sampainya gelombang Kebangkitan Islam dari negara-negara lain ke Arab Saudi. Mereaksi itu, mereka mengirimkan pasukan ke negara-negara Arab tetangganya seperti Bahrain untuk mencegah gelombang kesadaran ini ke negaranya dan pada saat yang bersamaan memaksa ajaran Wahabi kepada seluruh warganya. Itulah mengapa pasukan Saudi dengan mudah merusak masjid dan warisan Islam lainnya di Bahrain.
Kekhawatiran keluarga Al Saud dari gelombang Kebangkitan Islam di negara-negara Arab semakin menjadi-jadi, ketika di kawasan timur Arab Saudi sendiri terjadi protes luas rakyat. Pemerintah Arab Saudi bukan hanya tidak memperhatikan tuntutan rakyatnya, justru mengirimkan tentara untuk mendiamkan teriakan rakyat dengan peluru.
Para pengamat politik menilai satu dari variabel Kebangkitan Islam di negara-negara Arab adalah keinginan untuk menggantikan pemerintahan monarki dengan demokrasi. Mereka melihat fanatisme etnis dan mazhab akan menghalangi gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Keluarga Al Saud senantiasa mendukung ajaran dan pengikut Wahabi, khususnya dalam merusak citra Syiah di negara ini dan di negara-negra Arab lainnya. Sikap anti Syiah itu dapat ditemukan dalam pernyataan Pangeran Mahkota Arab Saudi dan penyelenggaraan konferensi anti Syiah yang diikuti oleh para rohaniwan Wahabi di kawasan timur negara ini. Dalam konferensi yang dipimpin oleh Abdullah Bin Jabrin ini, para peserta meminta Raja Abdullah mengeluarkan perintah serius menghadapi orang-orang Syiah, sekaligus merusak masjid-masjid mereka.
Dalam pertemuan ini, Bin Jabrin menyampaikan pidato kebenciannya dan meminta Raja Arab Saudi melarang orang-orang Syiah mendapat pekerjaan di sektor politik dan militer. Ia juga menuntut agar orang-orang Syiah tidak diberikan kesempatan menduduki pos-pos penting di pemerintah Arab Saudi.
Mencermati kebijakan Al Saud yang mendukung ajaran dan pengikut Wahabi di Arab Saudi membuat ulama ekstrim Wahabi di negara ini memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal. Ironinya kebebasan itu dipergunakan dengan mengeluarkan bahasa yang kasar dan keras terhadap orang-orang Syiah di Arab Saudi. Bahkan sebagian memakai kata bunuh untuk mengungkapkan kebenciannya. Pada saat yang sama, pemerintah Arab Saudi yang tahu bahwa membiarkan pernyataan-pernyataan yang membahayakan keamanan warganya, lebih memilih diam dan tidak mereaksinya.
Di sisi lain, keluarga Al Saud juga tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran mereka akan sampainya gelombang Kebangkitan Islam dari negara-negara lain ke Arab Saudi. Mereaksi itu, mereka mengirimkan pasukan ke negara-negara Arab tetangganya seperti Bahrain untuk mencegah gelombang kesadaran ini ke negaranya dan pada saat yang bersamaan memaksa ajaran Wahabi kepada seluruh warganya. Itulah mengapa pasukan Saudi dengan mudah merusak masjid dan warisan Islam lainnya di Bahrain.
Kekhawatiran keluarga Al Saud dari gelombang Kebangkitan Islam di negara-negara Arab semakin menjadi-jadi, ketika di kawasan timur Arab Saudi sendiri terjadi protes luas rakyat. Pemerintah Arab Saudi bukan hanya tidak memperhatikan tuntutan rakyatnya, justru mengirimkan tentara untuk mendiamkan teriakan rakyat dengan peluru.
Para pengamat politik menilai satu dari variabel Kebangkitan Islam di negara-negara Arab adalah keinginan untuk menggantikan pemerintahan monarki dengan demokrasi. Mereka melihat fanatisme etnis dan mazhab akan menghalangi gerakan Kebangkitan Islam di negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Perang Lunak dan Keras AS Atas Iran
Amerika Serikat tampaknya menggunakan segala cara untuk melumpuhkan sebuah bangsa merdeka dan ‘keras kepala' serta tidak mau tunduk terhadap ambisi mereka, mulai dari perang lunak hingga perang keras, dan dari operasi rahasia hingga operasi terbuka.
Sejalan dengan perang lunak atas Iran, pengadilan AS di Manhattan beberapa waktu lalu membuat keputusan mengejutkan dan menuding Tehran terlibat dalam peristiwa 11 September. Klaim itu kontras dengan pandangan kebanyakan pakar yang telah melakukan investigasi atas insiden kontroversial tersebut. Investigasi-investigasi independen bahkan mengindikasikan peran kunci rezim Zionis Israel dan Mossad dalam serangan mematikan itu.
Menyandingkan Iran dengan kelompok Taliban dan Al Qaeda merupakan langkah untuk menyeret Republik Islam ke margin isolasi di satu sisi dan untuk mempengaruhi simpati masyarakat internasional untuk mendukung invasi ke Iran di sisi lain. Setiap kali ada tuduhan baru terhadap Iran, orang tidak boleh mengabaikan peran penting lobi Zionis dalam hal itu.
Selain perang lunak, yang berlangsung secara bertahap, Washington sekarang memperbarui ancaman invasi militer terhadap Iran. Kali ini, isu senjata nuklir diobral untuk menghasut sekutu-sekutunya dan mempengaruhi opini publik internasional, seperti yang terjadi atas Irak. Sebagai contoh atas ancaman itu, Kepala Staf Gabungan Militer AS, Jenderal Martin Dempsey baru-baru ini mengatakan bahwa AS siap untuk terlibat konfrontasi militer dengan Iran, jika Presiden Barack Obama memberikan sinyal.
Jenderal Dempsey mengakui bahwa dirinya diam-diam memimpin persiapan serangan ke Iran, tapi ia mengatakan perang dengan Tehran akan memiliki konsekuensi tragis. Namun, ketika ditanya apakah tentara AS mengumpulkan informasi tentang Iran melalui pesawat mata-mata untuk kemungkinan serangan, ia menolak untuk memberikan komentar.
Sebaliknya, Dempsey menyoroti peran Mossad dalam mengumpulkan informasi tentang Iran dan berkata, tidak ada jaminan Israel akan menginformasikan AS sebelum meluncurkan serangan.
AS dan Israel telah melancarkan propaganda tanpa henti tentang serangan ke fasilitas nuklir Iran dalam beberapa bulan terakhir. Media-media Barat bahkan melaporkan Washington telah menghubungi pejabat Tehran untuk memberitahukan bahwa mereka tidak dapat mencegah serangan udara Israel terhadap Iran di luar Maret 2012. (IRIB Indonesia/RM/MF)
Irak dan Proyek Menghidupkan Konflik Sektarian
Peristiwa baru-baru ini di Irak, terutama perintah penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas keterlibatannya dalam kegiatan terorisme, operasi teror terhadap Perdana Menteri Nouri al-Maliki, dan juga pengakuan para pengawal Hashemi, telah membuka tabir realita yang mengindikasikan konspirasi terhadap pemerintahan Maliki.
Sekarang Maliki menguak keterlibatan beberapa perwira tinggi keamanan Irak dalam berbagai ledakan akhir-akhir ini. Misteri itu disingkap ketika sebelumnya sudah sering terdengar berita yang mengarah pada kemungkinan kudeta terhadap Maliki. Selama ini, Perdana Menteri Irak menunggu kesempatan yang tepat untuk memulai kegiatan pembersihan di lembaga-lembaga pemerintah, keamanan dan intelijen negara.
Kehadiran pasukan Amerika Serikat di Irak tentu saja telah membuat Maliki kesulitan untuk mengambil langkah-langkah pembersihan birokrasi. Bukti-bukti menunjukkan bahwa sampai saat ini anasir-anasir Partai Bath Irak masih aktif di internal lembaga-lembaga intelijen dan keamanan negara. Tidak diragukan lagi bahwa kehadiran mereka di badan-badan strategis negara dapat menjadi sebuah bahaya serius bagi keamanan dan stabilitas Irak.
Selama beberapa hari lalu, elemen-elemen pro Amerika di pemerintahan Irak memulai kegiatan terkoordinasi untuk menggerogoti kabinet Maliki. Di antara kegiatan destruktif mereka adalah mengobarkan kekerasan etnis dan konflik sektarian, melancarkan operasi terorisme dan juga berharap bisa melakukan kudeta terhadap Maliki. Langkah-langkah seperti itu tentu saja sejalan dengan kebijakan AS yang tidak menginginkan keamanan dan stabilitas Irak.
Blok-blok politik Irak oposisi Maliki bahkan memanfaatkan pasukan keamanan yang punya pengaruh di dinas intelijen untuk merealisasikan ambisi-ambisinya. Sebelumnya, Maliki juga telah mengingatkan tentang bahaya unsur-unsur yang berafiliasi dengan AS. Selain memperingatkan tentang kondisi bahaya yang mengancam Irak, Maliki juga membongkar konspirasi beberapa tokoh politik terhadap proses politik di Negeri Kisah 1001 Malam itu.
Meskipun krisis Irak bukan sebuah proses yang menggembirakan, tapi setidaknya semakin memperjelas esensi tujuan-tujuan AS dan konspirasi unsur-unsur yang berkiblat ke Gedung Putih. Rakyat Irak mulai tahu siapa yang sesungguhnya sedang bermain api dan menyeret negara itu kembali dalam konflik sektarian. Sebuah kondisi yang senantiasa didambakan oleh musuh-musuh Islam dan kemanusiaan. Kini, kebanyakan sayap Kurdi dan Sunni mendukung sikap tegas Maliki dalam menangani Hashemi sebagai salah satu sumber ketidakamanan Irak. (IRIB Indonesia/RM)
Al-Qaeda, Alat AS Pojokkan Iran
Para petinggi Amerika Serikat rupanya tak putus asa merancang skenario anti Republik Islam Iran. Kali ini mereka kembali mengemukakan masalah milisi al-Qaida dan menuding Tehran memiliki hubungan dengan kelompok teroris ini. Robert Hartung dari kantor keamanan diplomat AS hari Jum'at mengklaim bahwa Yasin al-Suri yang ia sebut sebagai tokoh penting al-Qaeda mengirim uang dalam jumlah yang besar kepada para pemimpin al-Qaeda di Afghanistan dan Pakistan melalui Iran. Tak hanya itu, Hartung juga menyebut al-Suri mengumpulkan anggota bagi al-Qaeda.
Petinggi AS sebelumnya juga mengklaim Iran selama sepuluh tahun lalu memberikan kesempatan kepada al-Qaeda untuk menyerang AS dan sekutunya. Skenario baru ini bukan sekedar kebetulan mengingat sejumlah peristiwa penting di Iran seperti tertangkapnya agen CIA, keberhasilan Iran menurunkan pesawat mata-mata tanpa awak AS di wilayah timur negara iniserta sikap intens Gedung Putih menanggapi hal ini. Skenario ini juga tak jauh dari strategi represif terhadap Iran yang dicanangkan Washington dalam tiga paket, sanksi ekonomi, tudingan tak berdasar soal program sipil Irak dan pelanggaran HAM.
Klaim keterlibatan Iran dengan al-Qaeda yang digembar-gemborkan AS kian gencar di saat Washington sekitar dua bulan lalu juga menuding Iran terlibat dalam percobaan teror terhadap duta besar Arab Saudi di Amerika. Tudingan ini tak lebih dari ambisi Gedung Putih untuk merusak hubungan antara Iran dan Arab Saudi serta merusak citra Tehran di mata negara tetangga serta menebarkan Iranphobia.
Di sisi lain, para pengamat menilai eskalasi aksi teror oleh al-Qaeda merupakan skenario Arab Saudi dan AS. Hal ini juga menyebabkan pandangan publik mulai meragukan Washington dan meragukan kejujuran negara adidaya ini. Jangan-jangan AS berada di balik aksi-aksi teror yang dilancarkan al-Qaeda. Apalagi hingga kini Washington belum menjawab pertanyaan asli dan keraguan soal peristiwa 11 September yang menjadi alasan bagi negara ini untuk menduduki Irak dan Afghanistan.
Mungkin setelah tewasnya Osama bin Laden dalam operasi rahasia militer AS yang banyak menimbulkan keraguan, al-Qaeda sudah lolos dari cap sebagai kelompok teroris. Namun sejatinya kematian Bin Laden merupakan skenario AS karena ia sudah tidak berguna bagi Washington.
Realitanya adalah al-Qaeda merupakan anak didik dan bentukan AS. Terorisme tak lebih sebuah alat bagi Amerika dan NATO untuk menduduki negara lain. Seharusnya AS berfikir, siapa yang mendidik al-Qaeda, memberinya senjata serta dana. Siapa yang mempersenjatai Bin Laden dan pasukannya di Afghanistan.
Kini AS pun tak bersungguh-sungguh memberantas al-Qaeda, malah berniat menjaga kelestarian kelompok ini untuk dijadikan alasan mengagresi negara lain dan menebarkan Islamphobia. (IRIB Indonesia/MF/NA)
Nuklir Damai Iran dan Kezaliman Global
"Mereka sendiri (Barat) telah menimbun ribuan bom atom, tapi menuduh bangsa kita sedang mengejar senjata nuklir," kata Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam salah satu pidatonya.
Irandituduh oleh Amerika Serikat, rezim Zionis Israel dan sekutu Baratnya memproduksi senjata nuklir, dan mengancam dengan sebuah serangan militer jika tidak menghentikan kegiatannya. Namun, Tehran membantah tuduhan itu dan menilainya sebagai gerakan tipu daya Barat terhadap bangsa Iran dan dunia.
Iranterus-menerus digambarkan sebagai ancaman bagi dunia dan Tehran dituding berniat untuk memperoleh senjata nuklir. Ironisnya, mereka yang berada di garis depan menentang bangsa Iran adalah produsen terbesar dan pemasok senjata nuklir, baik itu AS, Inggris, Israel, Perancis ataupun Jerman. Kekuatan-kekuatan super ini juga telah menjadi pelopor dalam pelanggaran hak asasi manusia internasional dengan mengobarkan perang dan penggunaan senjata mematikan. Perang di Afghanistan, Irak dan pembunuhan sehari-hari di Gaza dan Tepi Barat adalah bukti kekejaman mereka.
Berbeda dengan semua klaim Barat, Tehran tidak pernah menolak akses tim inspektur nuklir PBB, bahkan sepenuhnya bekerja sama dengan mereka dalam semua kunjungan ke situs nuklir Iran. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah melakukan inspeksi tak terhitung ke fasilitas nuklir Iran, tetapi tidak pernah menemukan bukti pengalihan dalam program nuklir damai Tehran.
Namun, kontroversi meletus lagi setelah IAEA merilis laporan terbaru. Laporan Dirjen IAEA Yukiya Amano menyatakan bahwa Tehran telah terlibat dalam kegiatan, yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir sebelum tahun 2003 dan kegiatan itu mungkin masih berlanjut. Ini jelas merupakan trik untuk menekan bangsa berdaulat dan alasan untuk menjatuhkan sanksi atas negara-negara yang menolak tunduk terhadap ambisi Barat.
Anehnya, seluruh dunia berbicara tentang laporan tersebut, tetapi tidak memberikan bukti-bukti untuk mendukung klaim mereka. Iran menyatakan bahwa sebagai penandatangan Traktat Perjanjian Non-Proliferasi (NPT), memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir bertujuan damai.
Di sisi lain, meskipun adanya keberatan internasional atas program nuklir militer Israel, PBB dan badan pengawas nuklir tidak pernah mengambil langkah-langkah serius untuk mengecam atau menjatuhkan sanksi terhadap rezim Zionis.
Lebih buruk lagi, Israel tidak pernah mengizinkan inspektur nuklir untuk mengakses situs nuklirnya dan menolak untuk bergabung dengan NPT. Israel juga tercatat sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Lalu mengapa para pengusung isu kebebasan dan HAM, tidak terganggu dengan senjata nuklir Israel dan kejahatan Zionis di kawasan?
Bukankah Israel yang membunuh warga Palestina setiap hari adalah ancaman bagi perdamaian dunia? Dan bukanlah AS yang membom Pakistan, Irak, dan Afghanistan adalah pelanggar kebebasan dan HAM?
Terlepas dari sanksi yang tak terhitung jumlahnya, operasi spionase, pembunuhan para ilmuwan, operasi hitam, perang cyber, kampanye propaganda yang tak ada habisnya, namun Iran semakin kuat dalam menghadapi segala rintangan. Sanksi-sanksi yang dikenakan AS dan Eropa hanya memperkuat perekonomian Iran dan bukan melemahkannya.
Menurut Asosiasi Riset Energi Cambridge, rencana untuk memberlakukan sanksi terhadap industri minyak Iran bisa menaikkan harga minyak dan menciptakan malapetaka di pasar global. Laporan itu mengatakan, pendapatan minyak Iran akan mencapai rekor lebih dari 100 miliar dolar tahun ini, dan hasil dari setiap sanksi yang mungkin adalah keuntungan yang lebih tinggi bagi Tehran, karena akan menjual minyak kepada konsumen lain.
Di tengah semua propaganda itu, sangat sedikit orang tahu bahwa Iran adalah salah satu dari 20 negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi internasional untuk pemusnahan senjata pembunuh massal. Konvensi tersebut secara efektif melarang pengembangan, produksi, akuisisi, transfer, retensi, penimbunan dan penggunaan senjata biologis dan kimia. Kesepakatan itu juga merupakan elemen kunci dalam upaya masyarakat internasional untuk mengatasi proliferasi senjata pemusnah massal. (IRIB Indonesia/RM)
Ketika Rakyat Irak Hidup Tanpa Pendudukan Amerika
Pendudukan militer Amerika di Irak pasca 3188 hari akhirnya berakhir dengan keluarnya regu terakhir dari tentara Amerika dari Irak. Hari ini (Senin, 19/12) untuk pertama kalinya rakyat Irak hidup tanpa kehadiran militer Amerika. Tapi jangan lupa bahwa sekitar 15 ribu tentara Amerika masih akan tetap bercokol di Kedutaan Besar Amerika di Baghdad untuk melatih tentara Irak. Sekalipun demikian, Ahad kemarin (18/12) secara resmi perang Irak diumumkan telah berakhir. Perang yang berlangsung selama 8 tahun 8 bulan dan 28 hari ini sangat merugikan rakyat Amerika, Irak dan masyarakat internasional.
Pasca berakhirnya pendudukan Irak, tampaknya akan lebih obyektif untuk menilai apa sesungguhnya yang terjadi di Irak. Pada awalnya, ditengarai ada senjata pemusnah massal di Irak dan selanjutnya rezim Saddam tidak peduli dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Dua hal ini menjadi alasan utama Amerika mengajak negara-negara lain menginvasi Irak dan mendudukinya hingga lebih dari 8 tahun.
Namun setelah berlalu beberapa waktu, mulai jelas bahwa Amerika telah memiliki rencana sejak sebelumnya untuk menduduki Irak. Pada hakikatnya, George W. Bush bertugas untuk menyelesaikan program yang belum disempurnakan oleh ayahnya ketika menjadi presiden dan itu adalah menduduki satu negara utama di Timur Tengah yang memiliki sumber minyak besar. Demi mencapai tujuan ini, segala cara menjadi pilihan, termasuk berbohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak.
Akhirnya, perang yang pada mulanya diprediksi hanya sebentar dan tidak banyak memakan biaya ini dimulai pada bulan Maret 2003. Tapi dengan cepat perang ini berubah menjadi mimpi buruk bagi tentara Amerika dan menyebutnya sebagai "Perang Vietnam Kedua". Perang Irak telah menelan biaya sebesar 1 triliun dolar dan menjadi perang kedua berbiaya terbesar Amerika di dunia. Belum lagi tentara Amerika yang tewas mencapai 4500 orang, sehingga membuat perang ini juga tercatat berada di urutan kedua terbanyak menelan korban setelah perang Vietnam. Menurut prediksi keseluruhan, biaya tidak langsung perang Irak yang mencakup biaya pengobatan tentara yang terluka, melonjaknya harga minyak dan bertambahnya defisit dan utang nasional Amerika mencapai lebih dari 3 triliun dolar.
Tapi harus dilihat pula bahwa kerugian yang diderita rakyat Irak juga terbilang luar biasa. Sekalipun perang Irak berhasil mengakhiri kekuasaan rezim Saddam, tapi ratusan ribu warga Irak jadi korban selama pendudukan pasukan asing di negaranya. Sementara mereka yang harus mengungsi sedikitnya mencapai 4 juta orang. Rekonstruksi Irak akibat serangan militer Amerika ke Irak dan kehancuran infrastruktur negara ini selama 8 tahun diduduki membutuhkan waktu bertahun-tahun dan dana ratusan miliar dolar.
Pada akhirnya perang Irak telah menciderai hukum internasional. Perang ini dilakukan tanpa izin Dewan Keamanan PBB dan dengan demikian, perang Irak telah menginjak-injak hak asasi manusia. Terungkapnya penyiksaan di luar batas perikemanusiaan merupakan contoh kasus pelanggaran HAM selama pendudukan 8 tahun Amerika di Irak. (IRIB Indonesia)
Pasca berakhirnya pendudukan Irak, tampaknya akan lebih obyektif untuk menilai apa sesungguhnya yang terjadi di Irak. Pada awalnya, ditengarai ada senjata pemusnah massal di Irak dan selanjutnya rezim Saddam tidak peduli dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Dua hal ini menjadi alasan utama Amerika mengajak negara-negara lain menginvasi Irak dan mendudukinya hingga lebih dari 8 tahun.
Namun setelah berlalu beberapa waktu, mulai jelas bahwa Amerika telah memiliki rencana sejak sebelumnya untuk menduduki Irak. Pada hakikatnya, George W. Bush bertugas untuk menyelesaikan program yang belum disempurnakan oleh ayahnya ketika menjadi presiden dan itu adalah menduduki satu negara utama di Timur Tengah yang memiliki sumber minyak besar. Demi mencapai tujuan ini, segala cara menjadi pilihan, termasuk berbohong tentang adanya senjata pemusnah massal di Irak.
Akhirnya, perang yang pada mulanya diprediksi hanya sebentar dan tidak banyak memakan biaya ini dimulai pada bulan Maret 2003. Tapi dengan cepat perang ini berubah menjadi mimpi buruk bagi tentara Amerika dan menyebutnya sebagai "Perang Vietnam Kedua". Perang Irak telah menelan biaya sebesar 1 triliun dolar dan menjadi perang kedua berbiaya terbesar Amerika di dunia. Belum lagi tentara Amerika yang tewas mencapai 4500 orang, sehingga membuat perang ini juga tercatat berada di urutan kedua terbanyak menelan korban setelah perang Vietnam. Menurut prediksi keseluruhan, biaya tidak langsung perang Irak yang mencakup biaya pengobatan tentara yang terluka, melonjaknya harga minyak dan bertambahnya defisit dan utang nasional Amerika mencapai lebih dari 3 triliun dolar.
Tapi harus dilihat pula bahwa kerugian yang diderita rakyat Irak juga terbilang luar biasa. Sekalipun perang Irak berhasil mengakhiri kekuasaan rezim Saddam, tapi ratusan ribu warga Irak jadi korban selama pendudukan pasukan asing di negaranya. Sementara mereka yang harus mengungsi sedikitnya mencapai 4 juta orang. Rekonstruksi Irak akibat serangan militer Amerika ke Irak dan kehancuran infrastruktur negara ini selama 8 tahun diduduki membutuhkan waktu bertahun-tahun dan dana ratusan miliar dolar.
Pada akhirnya perang Irak telah menciderai hukum internasional. Perang ini dilakukan tanpa izin Dewan Keamanan PBB dan dengan demikian, perang Irak telah menginjak-injak hak asasi manusia. Terungkapnya penyiksaan di luar batas perikemanusiaan merupakan contoh kasus pelanggaran HAM selama pendudukan 8 tahun Amerika di Irak. (IRIB Indonesia)
Dua 'Arus Besar' di Suriah
Krisis dalam negeri Suriah telah memasuki bulan kesepuluh, namun ‘urusan dapur' di negara Arab itu belum juga reda. Bahkan kini campur tangan kekuatan asing justru memperuncing penyelesaian krisis yang terus menyebar itu.
Secara umum terdapat dua pandangan utama mengenai sikap negara luar terhadap krisis Suriah. Arus pertama memandang masalah internal Suriah harus diselesaikan melalui cara-cara damai di dalam negeri. Sejumlah negeri seperti Republik Islam Iran, Lebanon, Irak, Rusia, Cina, dan Venezuela memiliki kebijakan independen mengenai masalah regional dan internasional. Mereka memandang rakyat dan pemerintah Suriah bisa mengatasi masalahnya sendiri, tanpa campur tangan kekuatan asing.
Arus pertama ini menilai intervensi asing dalam urusan internal Suriah hanya memperkeruh masalah. Pengalaman getir sejumlah invasi militer di kawasan Timur Tengah seperti Irak dan Afghanistan menunjukkan bahwa opsi militer senantiasa gagal menyelesaikan masalah. Tidak hanya itu, solusi militer juga mengancam stabilitas kawasan. Untuk itu, kelompok pertama ini menolak segala bentuk penyelesaian krisis Suriah melalui intervensi asing seperti embargo ekonomi, zona larangan terbang dan invasi militer.
Di dalam negeri Suriah sendiri, rezim Damaskus menegaskan penyelesaian melalui jalur diplomatik. Presiden Suriah Bashar Assad Sabtu (17/12) mengapresiasi inisiatif sejumlah negara Arab seperti Irak yang menunjukkan tekadnya untuk membantu Damaskus keluar dari krisis, tanpa mencampuri urusan internal Suriah.
Sebaliknya, arus kedua memandang penyelesaian krisis Suriah harus dilakukan dengan mengangkat krisis dalam negeri ini menjadi konflik internasional yang melibatkan negara-negara dunia dan organisasi internasional. Sejumlah negara yang dipimpin AS berupaya menyeret isu keributan di ‘dapur' Damaskus menjadi masalah global dengan menerapkan model yang pernah dipakai di Libya.
Gedung Putih berupaya menggiring negara-negara dunia untuk ‘menghakimi' beramai-ramai Suriah dengan sejumlah tuduhan klise seperti pelanggaran hak asasi manusia dan isu sejenis lainnya.
Tampaknya, skenario Barat ini dijalankan dengan baik oleh Liga Arab, dan tugas itu diserahkan kepada Qatar. Indikasi itu tampak jelas dalam statemen terbaru Perdana Menteri Qatar, Hamad bin Jassem Al-Thani. Ketua periodik Liga Arab itu mengancam akan menyeret krisis Suriah ke Dewan keamanan PBB.
Sebelumnya, pejabat Pentagon mengungkapkan konspirasi baru AS untuk menerapkan zona larangan terbang di Suriah dalam waktu dekat. Di sisi lain, Ankara menggulirkan isu zona bebas di sekitar perbatasan Suriah-Turki dengan dukungan Perancis.
Sejatinya, Barat saat ini sedang menyulut sebuah krisis baru bernama Suriah demi menyelamatkan kepentingan AS dan Israel yang semakin terjepit di kawasan dan dunia.(IRIB Indonesia/PH)