Wawancara dengan Aktivis Muslimah Indonesia: Ibu Pemegang Nilai Keluarga dan Masyarakat
Wawancara dengan Aktivis Muslimah Indonesia: Ibu Pemegang Nilai Keluarga dan Masyarakat
Islam memandang ibu memiliki peran yang sangat tinggi dalam perkembangan masyarakat. Berbagai riwayat menjelaskan perintah menaati Ibu. Salah satunya hadis yang paling popular dari Rasulullah Saw, "Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu".
Bagi Reni Susanti, hadis ini bukan hanya soal ketaatan terhadap ibu. Tapi lebih dari itu, dosen Politeknik Negeri Ujung Pandang itu memandang ibu sebagai pemegang nilai dalam keluarga dan masyarakat.
"Laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam membangun masyarakat, hanya saja lewat perempuanlah sebuah masyarakat mendapat penilaian dan sebaliknya."tutur pegiat Komunitas Mafatihul Jinan Makasar itu saat dihubungi wartawan IRIB Bahasa Indonesia Ahad (30/10).
Terkait proyek-proyek pemberdayaan perempuan yang hanya menggiring perempuan ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor demi menguntungkan kapitalisme, aktivis perempuan jebolan Institute of Social Studies The Hague, Belanda itu berseloroh," It's time for mothers to strike back."
Di bagian lain, managing editor sebuah jurnal di Makasar ini mengungkapkan kedudukan dan peran Sayidah Fatimah dan Sayidah Zainab sebagai role models bagi perempuan Indonesia.
"Dari pangkuan merekalah para pemimpin Islam berasal. Melalui mereka kita bisa belajar membesarkan anak-anak shaleh dan pada saat yang sama menjadi pejuang keadilan. Dan untuk menjadi seperti mereka, perempuan Indonesia pertama-tama harus menyadari perannya bagi masyarakat,"pungkas staf hubungan internasional sebuah politeknik terkemuka di wilayah Indonesia bagian timur itu.
Selengkapnya simak wawancara wartawan IRIB, Purkon Hidayat dengan Reni Susanti berikut ini:
Mengapa motherhood (peran keibuan) menjadi isu yang penting bagi Anda, bukankah ini adalah konsep yang sudah biasa bahkan menjadi hal yang natural bagi seorang wanita?
Sekitar lima tahun yang lalu saya membaca kolom yang ditulis seorang feminis di koran lokal. Dia begitu bangga terhadap kaum wanita karena menurutnya perempuan itu lebih teguh memegang prinsip-prinsip moral dan terbukti sangat sedikit pejabat perempuan yang korupsi.
Hari ini, Ibu feminis itu sepertinya harus meralat tulisannya, dengan menuliskan bahwa peluang laki-laki dan perempuan untuk merusak tatanan masyarakat sama besarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir ketika perempuan akhirnya disediakan porsi yang cukup besar di parlemen maupun pada jabatan-jabatan publik lainnya, kita melihat bahwa mereka juga tidak imun dari penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Banyak perempuan jadi terkenal karena tersangkut korupsi seperti Artalita Suryani, Nunun Nurbaeti, dan terakhir yang cukup hangat adalah kasus surat palsu Andi Nurpati.
Lantas di mana letak peran keibuan yang Anda maksud?
Beberapa kasus yang saya sebutkan tadi hanya gunung es saja, sebab dalam kehidupan keseharian kita bisa menemukan kerusakan masyarakat yang didukung oleh kaum perempuan. Tidak usahlah saya sebut prostitusi karena tentu saja orang menganggap itu pasti dilakukan oleh perempuan tidak beres, bukan Ibu-ibu yang baik dan manis. Saya ingin menceritakan bagaimana kaum Ibu kita hari ini memiliki saham dalam membentuk masyarakat yang korup dan tidak bermoral.
Seorang sahabat baik saya bercerita bahwa salah seorang keponakannya akan tinggal selama sebulan di rumahnya untuk persiapan masuk ke salah satu perguruan tinggi pencetak aparat pemerintah. Anak itu sebenarnya tidak senang kuliah di tempat itu, tetapi ibunya memaksa, bahkan sudah menyiapkan sejumlah uang agar putrinya bisa diterima.
Saya terhenyak waktu mendengar cerita ini, betapa seorang Ibu yang harusnya menjadi pedoman moral justru memaklumkan suap menyuap di hadapan putrinya. Melihat maraknya sogok menyogok untuk menjadi PNS atau TNI, masuk universitas, bahkan masuk SD dan TK favorit di negara kita hari ini, tentu kita bisa membayangkan berapa Ibu-ibu yang mungkin terlibat di dalamnya.
Saya pernah ditawari oleh seorang Ibu, yang juga kepala sekolah, untuk diuruskan (dengan sejumlah uang tentunya) supaya anak saya bisa masuk di sekolah bertaraf internasional yang dipimpinnya.
Contoh lain yang sekarang juga sangat lazim di Makassar adalah anak-anak usia SD yang berkeliaran dengan sepeda motor di mana-mana. Kakinya saja tidak bisa menopang sepeda motor itu tapi mereka dengan riang gembira menaikinya hilir mudik dan seringkali tanpa helm.
Saya kenal Ibu yang membiarkan anak di bawah umurnya naik motor ke sana ke mari, Ibu yang baik dan manis juga salah satu tokoh aktivis partai Islam di Makassar. Saya tidak habis pikir bagaimana Ibu ini bisa membiarkan anaknya melanggar hukum dan melakukan hal yang berpeluang untuk mencelakai orang lain?
Anak saya pernah ditabrak oleh anak-anak di bawah umur ini, jadi saya tahu betul betapa berbahayanya mereka, dan mereka sangat banyak jumlahnya. Ketika Polisi tidak bisa diharapkan bantuannya mengurus lalu lintas dan SIM bisa dibeli, harusnya para Ibu membantu dengan menerapkan dan mengajarkan disiplin terhadap anak-anak mereka.
Menurut Anda mengapa fenomena ini bisa berkembang di kalangan Ibu-ibu kita? Apakah peran keibuan kurang mendapat perhatian dari pemerintah atau organisasi sosial keagamaan di Indonesia?
Kita pernah melalui jaman keemasan pemberdayaan perempuan sekitar sepuluh hingga lima tahun yang lalu, di mana riset perguruan tinggi pun diberi dana khusus untuk meneliti soal perempuan, pusat-pusat studi wanita tumbuh subur, dan NGO-NGO perempuan berdiri di sana sini.
Tapi gelombang pemberdayaan itu ternyata hanya sebatas kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hal ekonomi dan pengakuan atas hak-hak mereka, yang akhirnya hanya menguntungkan para pebisnis dan industri. Karena gelombang pengarusutamaan gender hanya mengurusi wilayah fisikal dari perempuan, hasilnya tak lebih dari angka tenaga kerja wanita yang terus naik, bertambahnya jumlah perempuan menjadi pejabat publik, anggota dewan, dan lain-lain.
Sekarang gelombang itu telah berlalu, ketika sudah cukup banyak perempuan menyesaki ruang publik dan setiap perempuan yang ingin bekerja bisa berkata "ini hak saya". Tapi masalah kita tentu saja bukan hanya kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki, tetapi bagaimana secara intelektual dan spiritual perempuan juga berkembang, dan ini adalah bagian yang hilang dari proyek-proyek pemerintah dan kebanyakan NGO-NGO perempuan yang ada. Mereka tidak pernah memperjuangkan peran perempuan untuk menjadi Ibu, untuk menjadi barometer moralitas dalam keluarga dan masyarakat. Tapi bukankah Ibu hanyalah atribut lain dari manusia bergender perempuan?
Islam mengajarkan betapa Ibu adalah peran yang sangat penting dalam perkembangan masayarakat. Riwayat yang sangat populer merekam bahwa setelah Allah Swt, Rasulullah dan Ahlulbaitnya, yang harus ditaati adalah "Ibumu, ibumu, ibumu lalu ayahmu".
Hadis ini bukan hanya soal ketaatan terhadap ibu, tapi Rasulullah Saw menegaskan bahwa Ibu adalah pemegang nilai dalam keluarga, terutama karena ikatan emosionalnya dengan anak dan karena secara natural Ibu menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Jika nilai-nilai ini rusak, maka rusaklah masyarakat kita, seperti contoh yang saya sampaikan di atas.
Seringkali Hadis ini hanya membuat ibu-ibu menjadi ge-er dan meminta ketaatan berlebihan, tetapi tidak memperhatikan nilai-nilai yang harus mereka pegang dan jaga dengan baik.
Sepertinya Ibu akan menjadi kambing hitam bagi kerusakan masyarakat. Apakah para ayah juga mendapat beban yang sama?
Beberapa antropolog perempuan di barat seperti Lara Deeb dan Saba Mahmood bahkan memahami betapa pentingnya perempuan sebagai citra dari suatu masyarakat lewat riset-riset mereka di Mesir dan Lebanon.
Ini memberikan pesan bagi kita bahwa laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam membangun masyarakat, hanya saja lewat perempuanlah sebuah masyarakat mendapat penilaian dan sebaliknya. Jika kita melihat masyarakat yang korup, materialistis, hedonis, maka penting untuk melihat pada kaum perempuannya, terutama Ibu. Ini juga menjadi bahan introspeksi buat diri saya sendiri.
Jadi Apa yang harus kita lakukan, menurut Anda?
Kita perlu perubahan paradigma. Perempuan harus menyadari apa yang harus dilakukan sebagai Ibu. Ibu bukan hanya orang yang hamil, melahirkan, menyusui, memberi makanan sehat, pakaian bagus, mengantar sekolah, tetapi Ibu adalah setiap perempuan yang bertanggungjawab mendidik jiwa-jiwa yang dilahirkannya dan mendidik masyarakat melalui keteguhannya terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Coba Anda perhatikan, Ibu-ibu sekarang pusing tentang susu mana yang bikin pintar, atau bagaimana caranya supaya anaknya bisa jadi artis lewat kontes-kontes di TV, atau bagaimana supaya anaknya menguasa beberapa bahasa, alat musik atau olahraga, tetapi kurang memperhatikan karakter apa yang harus mereka punya, nilai apa yang harus mereka pegang seumur hidup mereka, siapa yang harus jadi teladan mereka.
Dalam hal ini kita punya role models Ibu-ibu hebat, Sayidah Fatimah dan Sayidah Zainab. Tak terbantahkan bagaimana peran mereka dalam mendidik anak dan masyarakat. Dari pangkuan merekalah para pemimpin Islam berasal. Melalui mereka kita bisa belajar membesarkan anak-anak sholeh dan pada saat yang sama menjadi pejuang keadilan. Dan untuk menjadi seperti mereka, perempuan Indonesia pertama-tama harus menyadari perannya bagi masyarakat Jika proyek-proyek pemberdayaan perempuan hanya bisa menggiring kita ke pabrik-pabrik dan kantor-kantor demi menguntungkan kapitalisme, It's time for mothers to strike back.
Ada gagasan konkret, barangkali?
Ya, pemahaman yang baik setiap perempuan terhadap perannya di dalam masyarakat akan membuat mereka tau apa yang harus dilakukan. Untuk itu pendidikan bagi perempuan sangat penting. Kelas filsafat untuk perempuan juga keberadaan supporting group akan sangat membantu.
Saya melihat beberapa organisasi sudah mulai mengadakan kajian Filsafat Perempuan, ini perkembangan baik. Hanya saja tidak selamanya mereka akan berada di kelas-kelas itu, maka di sinilah pentingnya supporting group.
Kita bisa membuat kelompok-kelompok perempuan, bukan untuk arisan tapi untuk mendiskusikan hal-hal yang terjadi di sekitar kita dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapinya. Contohnyya, salah satu mailing list paling aktif di Indonesia didirikan oleh beberapa dokter anak dengan member sebagian besar para Ibu.
Melalui milist ini mereka belajar bagaimana menjadi orangtua yang cerdas dalam memilih pengobatan bagi anak yang sakit. Kampanye mereka antara lain penggunaan antibiotik secara rasional, kembali pada ASI dan makanan sehat untuk anak. Jumlah anggotanya lebih dari 12000 orang dan mereka saling mengajari dan mensupport satu sama lain dalam bidang tersebut. Teknologi sekarang ini sangat mendukung, tinggal kita mau apa tidak melakukannya. (IRIB Indonesia/PH/31/10/2011)