Ayatullah Abdullah Jawadi-Amuli menyatakan keprihatinan atas kejahatan yang dilakukan pasukan pendukung Saudiyang melawan rakyat Bahraindan menyatakan kedua penguasa Bahrain dan Saudi bukanlah muslim.
“Laporan pahit yang Anda sampaikan memprihatinkan kami,” Agen Berita Fars mengutip Ayatullah Jawadi-Amuli dalam pertemuannya dengan sejumlah
ulama Bahrain yang membawa gambar dokumentasi penodaan
masjid dan Alquran oleh tentara Saudi dan Bahrain.
Setelah kedatangan tentara bayaran Saudi ke Bahrain, video
& gambar yang muncul menunjukkan tingkat kebrutalan yang
dilakukan untuk menindak rezim korup. Mereka juga merusak
sejumlah rumah pendudukan dan tempat suci di sejumlah desa.
Quran bukanlah muslim, tetapi budak para arogan, Zionis dan
Amerika Serikat,” ujar Ayatullah Amuli, membantah tuduhan
percaya pada Quran,” tegasnya.
Dia juga menyerukan semangat Islam di kalangan umat muslim
seluruh dunia tidak hanya dengan doa, sabar, dan tegar,
tetapi juga mendesak pejabat muslim untuk menyuarakan
protes mereka dalam pertemuan dengan diplomat dan pejabat Bahrain.
“Kafirnya Al-Khalifa dan Al-Saud sudah jelas, selain
menghancurkan masjid dan tempat suci, mereka bahkan tidak
berhenti pada Quran dan membakar (mushaf) kitab Ilahi ini,
” tegas Ayatullah Amuli. Beliau juga menyampaikan rasa
simpati kepada para keluarga korban bentrok di Bahrain dan
mendoakan bagi kebebasan mereka yang dipenjara.
Musuh Lama Islam
Di tempat lain, Ayatullah Uzma Muslim Malakuti juga mengutuk pelecehan Quran dan penghancuran masjid di Bahrain. “
Apa yang terjadi di wilayah muslim dengan kepemimpinan
Amerika Serikat dan sekutu Baratnya adalah hal memalukan
dalam sejarah kemanusiaan. Dalam kemiskinan dan
kesengsaraan, sebuah bangsa ingin memiliki kehidupan
terhormat ketika tiba-tiba diserbu penguasa boneka secara
brutal.”
“Al-Khalifa dan Raja Saudi menelusuri dengan tepat
jejak-jejak musuh lama Islam… Rencana Zionis memanfaatkan
pendeta dengan menyinggung kitab suci satu miliar lebih
umat Islam. Kalau Zionis menjajah Palestina dengan
menghancurkan kiblat pertama muslim, sekarang Raja Saudi
dan Bahrain mengikuti jejak-jejak tuan mereka,” jelas
Ayatullah Uzma Muslim Malakuti.
Sumber:
- Press TV
- ABNA.ir
http://ejajufri.wordpress.com/2011/04/23/bakar-quran-dan-masjid-kerajaan-bahrain-dan-saudi-bukan-muslim/
Pengakuan Tentara AS dari Irak
Saya berusaha keras untuk bangga atas pengabdian
saya. Tapi yang bisa saya rasakan hanya rasa malu.
Rasisme tidak bisa lagi menutupi realitas pendudukan.
Mereka semua adalah orang, mereka adalah manusia.
Saya merasa terganggu dengan rasa bersalah setiap kali
melihat orang tua, yang tidak bisa berjalan, yang kami giring
dengan tandu dan meminta polisi Irak untuk membawanya pergi.
Saya merasa bersalah setiap kali melihat seorang ibu dengan
putrinya, yang menangis histeris dan berteriak bahwa kami lebih
buruk dari padaSaddam, ketika kami paksa keluar dari rumahnya.
Saya merasa bersalah setiap kali melihat wanita muda, yang saya
tarik lengannya dan seret ke jalanan. Kami diberi tahu bahwa
kami memerangi teroris. Tapi teroris sebenarnya adalah saya dan pendudukan ini.
Rasisme dalam militer menjadi alat penting untuk membenarkan perusakan dan pendudukan negara lain. Ia sudah lama digunakan
untuk membenarkan pembunuhan, penindasan, dan penyiksaan
orang lain. Rasisme adalah senjata penting yang digunakan
pemerintah ini. Ia senjata yang lebih penting jika dibandingkan
dengan senapan, tank, bom atau kapal perang. Ia lebih merusak
dari pada artillery shell, penghancur bungker atau misil Tomahawk.
Meskipun senjata itu dibuat dan dimiliki oleh pemerintah, senjata
itu tidak akan berbahaya tanpa orang-orang yang ingin menggunakannya. Mereka yang mengirim kami untuk berperang
tidak harus menarik pemicu atau melemparkan mortir.
Mereka tidak harus berjuang dalam perang. Mereka hanya
harus menjual perang. Mereka butuh masyarakat yang bersedia mengirimkan tentara mereka ke dalam bahaya. Mereka butuh
tentara yang ingin membunuh dan siap dibunuh tanpa bertanya.
Mereka bisa menghabiskan uang jutaan untuk satu bom,
tapi bom itu hanya menjadi senjata ketika pejabat militer mau mengikuti perintah untuk menggunakannya. Mereka bisa
mengirimkan setiap tentara terakhir yang ada di muka bumi,
tapi perang hanya terjadi jika tentara mau berperang. Kelas
penguasa, para miliader yang mengambil keuntungan dari
penderitaan manusia hanya peduli tentang memperluas kekayaan
dan menguasai ekonomi dunia.
Kekuatan mereka hanya terletak pada kemampuan untuk
meyakinkan kita bahwa perang, pendudukan, dan eksploitasi
adalah untuk kepentingan kita. Mereka paham bahwa kekayaan
mereka bergantung pada kemampuan untuk meyakinkan kelas
pekerja dalam menguasai pasar negara lain. Meyakinkan kita
bahwa membunuh dan dibunuh didasari oleh kemampuan mereka
untuk membuat kita berpikir bahwa kita entah bagaimana superior.
Tentara, pelaut, marinir, dan pilot tidak memperoleh apapun dari pendudukan ini. Mayoritas masyarakat yang tinggal di AS tidak mendapatkan apa-apa dari pendudukan ini. Bukan hanya tidak mendapatkan apa-apa, bahkan lebih menderita karenanya. Kita kehilangan anggota tubuh, mengalami trauma, dan menyerahkan nyawa. Keluarga kita harus melihat peti mati terbungkus bendera
untuk dikuburkan. Jutaan orang di negara ini yang hidup tanpa perlindungan kesehatan, pekerjaan, atau akses pendidikan
harus melihat bagaimana pemerintah membelanjakan lebih dari 450 juta dolar sehari saat pendudukan.
Orang miskin dan pekerja di negara ini dikirim untuk membunuh
orang miskin dan pekerja di negara lain untuk membuat orang kaya semakin kaya. Tanpa rasisme, tentara akan menyadari bahwa
mereka lebih memiliki banyak kesamaan dengan rakyat Irak dari
pada dengan miliarder yang mengirim kami untuk perang.
Saya mencampakkan keluarga ke jalanan Irak hanya untuk pulang
dan menemukan keluarga dicampakkan ke jalanan di negara ini
dengan tragis, dalam krisis penyitaan yang tidak perlu. Kita harus bangun dan sadar bahwa musuh sejati tidak berada di negeri yang jauh, bukan orang-orang yang namanya tidak kita ketahui dan kulturnya tidak kita pahami.
Musuh itu adalah orang-orang yang kita kenal baik dan bisa kita
kenali. Musuh itu adalah sistem yang mengupahi perang bila itu menguntungkan. Musuh itu adalah para CEO yang memecat kita
bila itu menguntungkan. Ia adalah perusahaan asuransi yang
menolak perlindungan kesehatan bila itu menguntungkan. Ia adalah bank yang menyita rumah kita bila itu menguntungkan.
Musuh kita bukan 5.000 mil jauhnya. Mereka ada di rumah kita
sendiri. Jika kita mengatur dan berjuang dengan saudara dan
saudari kita, maka kita bisa menghentikan perang ini. Kita bisa menghentikan pemerintah ini dan menjadikan dunia lebih baik.
Catatan: Michael (Mike) Prysner adalah mantan korps marinir AS.
Di antara tugasnya di Irak adalah pengawasan wilayah,
penggerebekan rumah, dan interogasi tahanan. Ia kemudian
menjadi aktivis perdamaian dan sempat ditahan saat protes
Occupy LA pada bulan November 2011.
http://ejajufri.wordpress.com/2012/02/12/pengakuan-tentara-as-dari-irak/
Maulid Nabi, Poros Persatuan Suni-Syiah
Setelah agenda penting Sabtu ini (11/2) terpaksa batal, sayamenggantinya dengan menghadiri seminar internasional
di bulan maulid yang diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah
Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan Majelis Ukhuwah Syiah-Sunni (MUHSIN). Selain dihadiri ribuan orang dari berbagai daerah,
acara ini juga dihadiri oleh ikhwan ahlusunah asal Iran. Karena pesan yang disampaikan beberapa pembicara dirasa cukup penting,
saya akan coba membaginya secara singkat dengan harapan bermanfaat.
Sebagai keynote speaker pertama adalah Dr. Perwira. Mewakili Menkopolhukam yang tidak hadir, Dr. Perwira mengatakan
bahwa cara menghadapi kemajemukan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia adalah dengan silaturahmi dan saling
menghormati. Tidak boleh ada kelompok, baik itu agama atau ras,
yang merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Selain mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan, beliau juga mengharapkan kontribusi dari seluruh pihak kepada negara dengan cara meniru sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw.
Duta besar Iran sebagai keynote speech kedua, Dr. Faranzadeh, menyampaikan bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan poros
(axis) bagi persatuan umat Islam yang sama-sama mencari
pengajaran nabi. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam tidak
akan bisa mendominasi dunia jika masih terjadi perpecahan dalam
umat Islam. Dr. Faranzadeh juga mengatakan bahwa kebangkitan masyarakat di Timur Tengah dan Barat merupakan fitrah yang
diberikan Tuhan jika manusia merasa kebebasannya ditekan
pemimpin zalim.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka… (QS. Al-Fath: 29)
Sebagai pembicara pertama dalam seminar inti adalah Ayatullah
Naim Abadi. Beliau adalah wali fakih untuk provinsi Hormozgan
dengan ibu kota Bandar Abbas. Bandar Abbas merupakan kota
dengan 30% penduduknya bermazhabkan Syafii dan Hanafi. Beliau mengatakan bahwa maulid merupakan nikmat besar karena banyak bangsa lain yang mengagungkan tokohnya masing-masing,
sementara Nabi Muhammad saw. merupakan sebaik-baik makhluk.
Menyinggung ukhuwah islamiah, Ayatullah Abadi mengatakan
bahwa ucapan yang ditujukan untuk perpecahan umat muslim, baik itu berasal dari awam Syiah maupun suni, merupakan ucapan setan. Melalui acara seperti ini, beliau berharap agar mata musuh-musuh
Islam menjadi buta karena persatuan yang kita lakukan. Karena, sebagaimana yang sahabat Salman r.a. pernah katakan, bahwa
kita adalah putra-putri Islam.
Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri
teladan yang baik… (Q.S. Al-Ahzab: 21)
Mengutip ayat di atas, Ketua PBNU Prof. Dr. Maidir Harun,
mengatakan bahwa tradisi yang baik seperti maulid merupakan
salah satu untuk mengambil suri teladan Rasulullah saw
sebanyak-banyaknya. Mengutip pendapat Yusuf Al-Qaradhawi mengenai Islam sebagai peradaban masa depan, beliau
mengatakan bahwa peradaban Islam memiliki perbedaan dengan peradaban lain karena memiliki aspek spiritual yang sakral.
Barat misalnya, telah menghilangkan aspek sakral dari lembaga pernikahan, sehingga banyak anak yang tidak mengetahui orang tuanya.
Peradaban masa depan tersebut akan terwujud jika umat Islam
memiliki kunci penting bernama persatuan. Beliau mengatakan
bahwa ahlusunah dan Syiah memiliki poros akidah yang sama: ketauhidan, kenabian, dan hari akhir. Perpecahan yang terjadi
hanya dimanfaatkan oleh kepentingan politik.
Tampil sebagai pembicara ketiga adalah Ayatullah Dr. Biazar Syirazi, Rektor Universitas Taqrib. Beliau menceritakan bagaimana nabi lahir dan hidup dalam kondisi lingkungan yang penuh dengan perselisihan dan peperangan. Salah satu tugas beliau adalah mendamaikan
suku-suku tersebut dengan cara yang digunakan para nabi sebelumnya, yakni membersihkan hati dan jiwa dari sifat hasud.
Pada masa awal, Islam mengenal dua pemikiran yang berasal dari
dua daerah berbeda. Dari kota Madinah muncul ashabul hadis dan
dari kota Kufah muncul ashabur ra’yi. Abu Hanifah yang berasal
dari wilayah Kufah mengutus muridnya ke Madinah untuk
mempelajari pendapat ahlul Madinah tersebut. Dari mempelajari
kedua pemikiran itulah muncul kitab fikih muqaranah. Imam Syafii
yang mempelajari kitab tersebut melahirkan karya penting lainnya dalam khazanah fikih perbandingan, Al-Umm.
Namun sayangnya, sejak abad delapan hijriah, ilmu fikih perbandingan mulai tidak digemari sehingga kolonialisme memanfaatkan dengan mengadu domba umat. Karena itulah, berawal dari Mesir, perlu rasanya didirikan lembaga pendekatan mazhab untuk saling mengenal dan membuka cakrawala pemikiran seluas-luasnya.
Klik www.taqrib.info untuk informasi selengkapnya.
Hadir sebagai pembicara lain adalah pengurus Dewan Masjid Indonesia, H. Daud Poliradja. Sementara KH. Jalaluddin Rakhmat dari IJABI mengutipkan sebuah kisah tentang sahabat nabi, Salman r.a.
Suatu ketika, sekelompok orang sedang membanggakan kabilahnya masing-masing. Mereka dengan bangga menyebutkan asal dari
kabilah seperti Aus atau Khazraj. Sampai akhirnya Salman ditanya, “Putra siapa engkau, hai Salman?” Dengan berdiri Salman berkata,
“Anâ ibnul Islâm. Aku putra Islam, Salman Al-Muhammadi.”
http://ejajufri.wordpress.com/2012/02/11/maulid-nabi-poros-persatuan-suni-syiah/