Mukmin Senantiasa Membutuhkan Nasihat, Nasihat Seorang Pezina Kepada Nabi Yahya as, Kepribadian Seseorang Berada di Balik Lisannya, Hikmah Manusia Ada yang Kaya dan Miskin di Dunia dan Sejenak Bersama Al-Quran; Silaturahmi
Mukmin Senantiasa Membutuhkan Nasihat
Dalam kehidupan modern saat ini, sebagian orang tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Padahal sebagian nasihat menjadi solusi atas masalah yang dihadapinya. Kebutuhan akan nasihat orang lain merupakan kelaziman dari kehidupan sosial. Mendengar nasihat orang lain tidak berarti harus melakukannya, sama halnya dengan melakukan musyawarah dengan orang lain. Karena mendengarkan pendapat orang lain tidak pernah merugikan manusia. Bila itu sesuai dengan pendapatnya sendiri, maka nasihat atau pendapat orang lain menjadi penguat atas apa yang dipikirkan selama ini. Sementara bila itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka orang itu telah siap saat terjadi peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Itulah mengapa dalam hadis disebutkan, "Maa Khaaba Man Istasyaara", tidak akan merugi orang yang bermusyawarah dan mendengarkan pendapat orang lain.
Berikut ini kita akan bersama-sama membaca ucapan para Maksumin as tentang kebutuhan seorang mukmin akan nasihat orang lain:
Menerima nasihat
Luqman al-Hakim berkata:
"Wahai anakku! Terimalah nasihat orang lain dan amalkan itu. Karena nasihat pada orang yang berakal lebih manis dari madu."(1)
Hasil dari menerima nasihat
Imam Ali as berkata:
"Barangsiapa yang menerima nasihat, ia akan selamat dari terungkapnya aib."(2)
Nasihat kebutuhan seorang mukmin
Imam Jawad as berkata:
"Seorang mukmin membutuhkan tiga hal; Taufik dari Allah Swt, penasihat dari dalam dirinya dan menerima nasihat orang lain."(3)
Hak pemberi nasihat
Imam Sajjad as berkata:
"Hak pemberi nasihat adalah hendaknya engkau bersikap rendah hati kepadanya, mempersiapkan hati untuk memahami nasihatnya, mendengarkan nasihatnya, bila ucapannya benar, maka bersyukurlah kepada Allah dan menerimanya ..." (4)
Pemberani nasihat terbaik
Imam Ali as berkata:
"Tidak ada pengingat manusia yang lebih baik dari nasihat."(5) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. Irsyad al-Qulub, jilid 1, hal 72.
2. Ghurar al-Hikam, jilid 5, hal 277, hadis 8344.
3. Bihar al-Anwar, jilid 78, hal 358, hadis 1.
4. Tuhaf al-Uqul, hal 269.
5. Ghurar al-Hikam, hadis 10623 dan Mizan al-Hikmah, hal 600.
Sumber: Farhangnews
Nasihat Seorang Pezina Kepada Nabi Yahya as
Islam melarang umatnya untuk mengganggu orang mukmin. Karena menghormati seorang mukmin lebih mulia dari penghormatan kepada Kabah. Selain itu, mengganggu seorang mukmin memiliki dampak luas dan hati yang terluka tidak mudah disembuhkan dan bisa jadi luka ini tidak sembuh sampai bertahun-tahun.
Pada tahap awal, manusia harus berusaha untuk tidak menyakiti hati orang lain. Karena bila terjadi, semoga tidak, maka harus segera dilakukan upaya untuk mengobatinya. Kondisi ini juga sama terkait seorang yang melakukan perbuatan dosa.
Jangan sampai kita mengecam seseorang yang melakukan perbuatan dosa. Yang harus dilakukan adalah melarangnya dari perbuatan dosa. Perlu diperhatikan bahwa sangat berbeda antara mengecam dan melarang dari perbuatan dosa. Ketika menghadapi seorang yang berbuat dosa, kita harus memilah dengan benar menggunakan cara melarang atau mengecam.
Berikut ini adalah kisah bagaimana Nabi Isa dan Yahya as dalam menghadapi orang yang berbuat dosa dari lisan Imam Shadiq as. Kisah kedua nabi ini mengandung pelajaran bagi mereka yang ingin melakukan kewajiban Amar Makruf dan Nahi Munkar.
Imam Shadiq as berkata:
"Ada seorang pria yang mendekati Nabi Isa as dan mengakui kalau ia telah melakukan zina dan meminta agar beliau mensucikannya. Setelah terbukti perbuatannya itu, ia dijatuhi hukuman dirajam.
Masyarakat telah berkumpul untuk menyaksikan orang itu dirajam.
Waktu itu, Nabi Yahya as berada bersama orang-orang yang hadir. Mereka memasukkan orang pezina itu dalam sebuah lubang untuk kemudian dirajam. Tiba-tiba ia berteriak, "Barangsiapa yang punya tanggungan dengan Allah harus pergi dari sini."
Mendengar itu, semua pergi dari sana dan yang tinggal hanya Nabi Isa dan Yahya as. Waktu itu, Nabi Yahya as memanfaatkan kesempatan untuk meminta nasihat dari orang itu. Karena orang dalam kondisi demikian, nasihatnya sangat bermafnaat.
Nabi Yahya as berkata, "Wahai pendosa! Nasihati aku!"
Orang itu mengatakan, "Jangan biarkan ada kekosongan antara dirimu dan hawa nafsumu, karena engkau akan binasa."
Nabi Yahya as berkata, "Beri aku nasihat lagi!"
Ia kembali berkata, "Jangan mengecam seseorang akibat dosa yang dilakukannya."
Nabi Yahya as berkata, "Nasihati lagi aku!"
Ia berkata, "Jangan marah!"
Nabi Yahya as berkata, "Tiga nasihat ini sudah cukup untukku." (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Kepribadian Seseorang Berada di Balik Lisannya
Berbicara dan mendengar merupakan dua perbuatan penting yang banyak dilakukan manusia. Apa yang akan kita ucapkan, bagaimana mengucapkannya dan apa saja yang akan kita ucapkan. Begitu juga apa saja yang kita dengarkan. Seperti apa tata krama dalam berbicara dan mendengar. Semua ini merupakan pembahasan penting dan bermanfaat. Bila adab atau tata krama memiliki cabang, sebagian dari itu ada pada ucapan dan pendengaran.
Kualitas ucapan dan kandungan pembicaraan menunjukkan akal, perasaan dan tata krama manusia. Kepribadian seseorang dapat diketahui dari lisannya. Sesuai dengan ucapan Imam Ali as, "Tidak ada tata krama bagi orang yang buruk ucapannya."(1)
Tata krama dalam berucap adalah menjaga aturan, adab, akhlak dan kehormatan dalam berbicara. Seseorang yang buruk dalam berucap tergolong orang tidak beradab. Mencaci, menghina, mengadu domba, mengejek, berbohong dan meniru ucapan orang lain, memanggil orang lain tanpa penghormatan atau memberi julukan yang buruk merupakan contoh dari tidak adanya tata krama dalam berucap.
Dalam banyak riwayat telah menyalahkan beberapa gaya berbicara seperti berbicara yang buruk, berlebih-lebihan, tidak bermanfaat, berbicara jorok dan banyak omong. Dalam al-Quran diperintahkan agar kita mengucapkan hal-hal yang baik, "... Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia ..." (QS. al-Baqarah: 83) Imam Ali as berkata, "Biasakan lisanmu dengan ucapan yang lembut dan mengucapkan salam, sehingga teman-temanmu menjadi banyak dan dapat mengurangi musuhmu."(2)
Mendengarkan ucapan orang lain dan memperhatikan apa yang diucapkan merupakan bagian dari tata krama dalam berbicara dan menjadi sumber kecintaan. Sebaliknya, tidak mendengarkan dengan baik ucapan orang lain menunjukkan ketidakpedulian dan tidak adanya kesopanan. Dalam riwayat banyak dipesankan kepada umat Islam untuk berbicara yang baik dan mendengar dengan baik. Nabi Muhammad Saw mendengarkan ucapan masyarakat, sekalipun mereka adalah penentang dan munafik.(3)
Ketika seseorang sedang berbicara, Rasulullah Saw tidak pernah memutuskan pembicaraannya. Dalam sejarah perilaku Nabi Saw disebutkan bahwa beliau tidak pernah memutuskan pembicaraan orang lain, hingga orang itu menyelesaikan ucapannya. Perilaku seperti ini juga dinukil terkait sejarah perilaku Imam Ridha as. Nabi Saw sangat menekankan agar mendengarkan ucapan masyarakat. Dalam majlis Nabi Saw juga ada tradisi bahwa bila ada orang yang berbicara, maka yang lain diam mendengarkan, sehingga ia selesai berbicara.(4)
Termasuk hak pembicara atas pendengar dan hak pengajar atas murid adalah mendengarkan dengan baik. Dalam Risalah Huquq Imam Sajjad as hak ini disebut dengan Husn al-Istima', mendengar dengan baik. (Man Laa Yahdhuruhu al-Faqih, jilid 2, hal 620) Imam Sajjad as menjelaskan hak orang yang menasihati atas orang yang mendengar nasihat adalah mendengarkan dengan baik.(5)
Imam Shadiq as berkata, "Wahai Syiah! Jadilah hiasan bagi kami dan jangan menjadi aib bagi kami. Berbicaralah dengan baik kepada masyarakat. Jagalah lisan kalian dan jangan biarkan ia berbicara lebih dan atau buruk."(6)
Mendengarkan keluh kesah orang merupakan tata krama dalam berbicara dan mendengar. Sesuai dengan ucapan Imam Ali as, "Termasuk kebesaran hati seseorang adalah sabar dalam mendengarkan pengaduan orang yang membutuhkan."(7) Di samping tata krama sepert ini, tidak mendengarkan pembicaraan yang rahasia orang lain juga merupakan tata krama dalam mendengar. Siapa saja yang mendengarkan ucapan rahasia orang lain akan mendapat azab ilahi, selain itu juga akan menciptakan permusuhan dan perselisihan. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, hadis 10596.
2. Ibid, hadis 6231.
3. QS. at-Taubah: 61.
4. Bihar al-Anwar, jilid 49, hal 90.
5. Ibid, hal 625.
6. Mizan al-Hikmah, hadis 17947.
7. Ghurar al-Hikam, hadis 9443.
Sumber: Mehr News
Hikmah Manusia Ada yang Kaya dan Miskin di Dunia
Semua orang mengetahui bahwa dunia saat ini telah dipenuhi dengan segala produk. Tapi yang perlu ditekankan di sini adalah semuanya berasal dari Allah Swt dan segala nikmat duniawi merupakan sarana untuk menguji manusia. Selain itu, semua nikmat duniawi ini tidak dapat disebut sebagai rezeki ilahi. Karena rezeki yang dimaksud oleh Allah Swt adalah rezeki yang akan menjadi milik hamba-hamba-Nya yang khusus di akhirat.
Allah Swt dalam al-Quran ayat 67 surat al-Anfal berfirman, "... Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu) ..." Ada dua ayat lain dalam al-Quran yang memiliki pemahaman seperti ayat ini.
Allah Swt dalam ayat 55 surat at-Taubah berfirman, "Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir."
Ayat lainnya adalah surat at-Taubah ayat 85, "Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir." Dua ayat terakhir ini memiliki kandungan yang hampir sama dan berbicara mengenai orang-orang Munafik
Kata ‘Ijab atau menakjubkan yang dipakai dalam dua ayat dari surat at-Taubah ini memiliki pengertian yang lebih dari hanya sekadar rasa suka atau ketertarikan. Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw berfirman bahwa banyak harta benda dan anak membuat hatimu sibuk memperhatikan mereka. Orang yang seperti ini tidak akan pernah merasakan indahnya kehidupan. Masalah pertama bagi mereka yang cinta akan dunia dalam usahanya mengumpulkan harta, seteah itu dalam menjaganya. Itulah mengapa mereka tidak akan pernah merasakan manisnya kehidupan.
Lalu mengapa Allah Swt meletakkan rasa kencenderungan terhadap tampak lahiriah dunia dalam hati manusia, merupakan satu pembahasan tersendiri. Tapi yang jelas, ayat-ayat dan riwayat seperti ini dalam rangka memperingatkan manusia terkait cinta akan sisi materi dunia.
Allah Swt dalam ayat-ayat al-Quran saat berbicara kepada Nabi-Nya tentang mengapa sebagian manusia memiliki harta dunia lebih banyak menjelaskan dua poin penting:
Pertama, banyaknya nikmat yang dimiliki sebagian orang bukan petanda lebih banyaknya cinta Allah kepada mereka, tapi menunjukkan ujian Allah kepada mereka. Allah Swt dalam ayat 24 surat al-Anfal menjelaskan masalah ini dengan firman-Nya, "Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar." Dan dalam ayat lain Allah Swt berfirman, "... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) ..." (QS. al-Anbiya, 35)
Fitnah dalam ayat ini pada dasarnya bermakna ujian. Harta yang diamanatkan kepada kita disebut fitnah, karena menjadi sarana untuk menguji manusia, sehingga menjadi jelas apakah kita memperhatikan perintah Allah Swt dalam mendapatkannya atau tidak. Dengan demikian, bila harta merupakan sarana ujian, maka ia juga tidak bernilai untuk dikumpulkan apalagi mencintainya.
Kedua, dalam ayat 24 surat al-Anfal telah dilakukan perbandingan antara nikmat dunia dan nikat ukhrawi. Ungkapan yang disampaikan oleh al-Quran merupakan pentakbiran penuh makna dan kandungan. Allah Swt menisbatkan rezeki akhirat kepada diri-Nya. Hal ini akan menjadi jelas ketika kita memahami bahwa dalam pandangan al-Quran dan pendidikan Islam, pemberi rezeki adalah Allah Swt.
Semua nikmat yang ada di dunia ini pada hakikatnya rezeki yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Tapi pada saat yang sama Allah menyebut segala nikmat ini pada hakikatnya menjadi sarana ujian dan pada gilirannya jangan sampai manusia mencintainya. Karena rezeki khusus Allah bukan yang ada ini. Rezeki khusus itu adalah rezeki yang disampaikan mengenai para syahid, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." (QS. Ali Imran: 169) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Mehr News
Sejenak Bersama Al-Quran; Silaturahmi
Silaturahmi
Allah Swt dalam al-Quran berfirman:
"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi." (QS. al-Baqarah: 27)
Sebagai penjelasan dari bagian ayat ini "dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya"(1), Allamah Majlisi menukil 110 hadis mengenai pentingnya silaturahmi dan membahasnya.(2) Berikut ini dinukil sebagian dari poin penting penjelasan yang ada itu:
1. Bersilaturahmi dengan keluarga dan famili, sekalipun hanya dengan minum air.
2. Silaturahmi memanjangkan umur dan menjauhkan kemiskinan.
3. Perluas rezeki dengan silaturahmi.
4. Langkah terbaik adalah yang diayunkan untuk bersilaturahmi.
5. Pahala orang yang bersilaturahmi adalah maqam khusus di surga.
6. Bersilaturahmi dengan keluarga, sekalipun mereka tidak memperhatikan.
7. Bersilaturahmi, sekalipun mereka bukan orang baik.
8. Bersilaturahmi, sekalipun hanya dengan mengucapkan salam.
9. Silaturahmi akan memudahkan kematian dan perhitungan di Hari Kiamat.
10. Silaturahmi menyebabkan amal perbuatan tersucikan dan harta bertambah.
11. Bantuan keuangan kepada keluarga, pahalanya 24 kali lebih banyak dari membantu orang lain.
12. Bersilaturahmilah, sekalipun harus berjalan selama setahun.
13. Barangsiapa yang tidak bersilaturahmi, maka bau surga tidak akan sampai kepadanya.
Imam Shadiq as berkata, "Ayahku berpesan "Jangan berteman dengan orang yang tidak ada hubungannya dengan keluargamu"."(3) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. QS. ar-Ra'd: 25.
2. Bihar al-Anwar, jilid 71, hal 87.
3. Tafsir Rahnama dan Nur al-Tsaqalain
Sumber: Mohsen Qarati, Daghayeghi ba Quran, Tehran, Markaz Farhanggi Darsha-i az Quran, 1388 Hs, cet 1.