Film Sang Pencerah (Pro Muhammadiyah) VS Film Sang Kyai (Pro N.U)...yang Penting ISLAM Indonesia bisa BERSATU dalam NKRI...iyakah jar...^_^...
Beberapa tahun terakhir perfilman Tanah Air memang disuguhkan dengan film-film horor dan seks. Tapi tak jarang film-film berkualitas juga dibikin, seperti film-film berlatar belakang sejarah.
Pada tahun 2010, sinaes muda Hanung Bramantyo menggarap film sejarah 'Sang Pencerah', yang merupakan kisah biografi pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Meski mendulang kontroversi, film tersebut ditonton oleh lebih dari satu juta orang dan menjadi film terlaris sepanjang tahun 2010.
Namun, meski menjadi film paling laris pada 2010, tidak lantas membuat film ini berjaya di ajang FFI 2010. Hanung sudah mendaftarkan film tersebut di ajang FFI. Namun oleh panitia FFI 2010 film tersebut dinyatakan tidak lolos. Menurut juri FFI saat jumpa pers, Sang Pencerah tidak lolos lantaran ada beberapa adegan dalam film tersebut yang tidak sesuai dengan sejarah.
Menurut salah seorang sutradara film, Robby Ertanto, film Sang Pencerah bagus dari sisi penyampaiannya. "Secara story telling bagus," ujar dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (24/5) malam.
Film tersebut juga detil menggambarkan kondisi Yogyakarta pada masa tahun 1.800-an. Film yang konon berbiaya hingga Rp 12 miliar tersebut juga megah dalam sisi kostum, latar, serta properti yang digunakan. Kesan masa lampaunya juga sangat terasa.
Meski banyak pujian, film ini juga mengundang kritikan. Tampilan gambarnya yang terkesan agak gelap membuat tokoh-tokoh figuran tidak tampak secara jelas. Kondisi Yogyakarta yang ditampilkan pada film itu juga dianggap kurang detil, seperti yang diucapkan oleh Menpora yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR, Roy Suryo.
"Saya sudah nonton filmnya. Tampaknya next time Hanung Bramantyo perlu lebih cermat dalam detail-detail, khususnya sejarah Yogya di film tersebut," ujar Roy dalam SMS-nya kepada KapanLagi.com Minggu (19/09/2010) lalu.
Roy memberi contoh, latar belakang kota Yogya menurutnya tidak mirip dengan yang ada di film yang dibuat di daerah Kauman, Yogyakarta itu.
"100 tahun yang lalu, bukan seperti itu kota Yogya. Sebagai contoh, Tugu Yogya yang tidak proporsional karena terlalu kecil. Jalan-jalan di Yogya juga enggak kecil, dan masih ada hutannya. Enggak seperti itu," imbuh Roy.
Sang Pencerah juga banyak mendapatkan kritikan lantaran film ini mengkritik tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih menggabungkan acara-acara tradisi dengan keagamaan, dimana hal itu saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, seperti acara 40 hari meninggalnya seseorang, atau memberikan sesaji dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan film Sang Kiai? Film karya Rako Prijanto ini baru akan tayang secara serempak di bioskop pada 30 Mei nanti. Namun para jurnalis beserta para tamu undangan termasuk Presiden SBY telah menonton film yang menceritakan kisah hidup pendiri NU KH Hasyim Asy'ari tersebut pada 20 dan 21 Mei lalu.
Sama seperti film Sang Pencerah, film Sang Kyai juga mewah dan apik dari segi visualisasi. Kesan jadul juga tampak dari film ini apalagi ditunjang dengan lokasi-lokasi syuting yang mendukung, seperti Semarang, Solo, Klaten, dan pesantren di Kediri, Jawa Timur yang merupakan pesantren tempat Nyai Kapu, istri KH Hasyim Asy'ari lahir.
Adegan pertempuran para santri dan arek-arek Suroboyo melawan pasukan sekutu di Surabaya juga menunjukkan bahwa film ini digarap dengan serius dan berbiaya mahal.
Belum banyak kritikan terhadap film yang konon berbiaya Rp 10 miliar ini, mengingat film ini memang belum tayang di bioskop. Pujian justru datang dari orang nomor satu di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, Presiden SBY sempat menahan tangis lantaran ada beberapa adegan mengharu biru.
"Kita tahan perasaan tadi, rasa haru, air mata kita mengalir tadi. Marilah kembali dari tempat ini memberi rasa hormat kepada ulama, pemimpin politik, prajurit dan rakyat semuanya yang mengorbankan yang dimiliki waktu itu untuk merah putih," kata SBY saat memberi kesannya pada film 'Sang Kiai' di Epiwalk XXI, Epicentrum Walk, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (20/5).
Menurut SBY, dari tayangan film tersebut menggambarkan tidak ada perbedaan antara Islam dengan Indonesia. Melalui Nahdlatul Ulama yang berdiri di depan, mampu menyatukan pandangan dan tidak memisahkan keduanya dari arti kemerdekaan.
"NU berdiri di depan untuk tidak mendikotomikan antara paham Islam dan kebangsaan. Ini kekuatan kita untuk berdirinya negara kesatuan republik Indonesia," papar SBY.
Film ini kian apik dengan hadirnya dua tokoh utama yakni artis senior Ikranagara yang memerankan KH Hasyim Asy'ari dan Christine Hakim yang berperan sebagai Nyai Kapu, istri Hasyim Asy'ari. Soal kemampuan akting, kedua artis senior ini sudah tidak diragukan lagi.
Namun, sama seperti Sang Pencerah, film Sang Kiai juga memiliki kekurangan. Adipati Dolken yang berperan sebagai santri KH Hasyim Asy'ari dianggap terlalu tampan untuk ukuran santri jaman dahulu. Logat Jawa-nya dalam berbagai adegan pun juga terdengar agak kaku.
Film ini juga agak membosankan di awal cerita karena terlalu banyak dialog tanpa diselingi adegan-adegan yang lucu. Tapi jelang 1 jam atau 45 menit terakhir, film ini menunjukkan kelasnya.
Karena rilis tiga tahun setelah film Sang Pencerah, Sang Kyai sepertinya belajar banyak dari kekurangan-kekurangan yang ada di Sang Pencerah. Sehingga wajar Sang Kyai minim kekurangan dan tidak banyak kontroversi.
sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/mengintip-sejarah-dari-sang-kiai-dan-sang-pencerah.html
Tags:
Arab Saudi
,
Banua Kita
,
Barat
,
Berita
,
Indonesia
,
IRAN
,
Palestina
,
Sunni dan Syi'ah
,
Tokoh
KRONOLOGIS Lengsernya SOEHARTO & PROFIL SOEHARTO : Kamis 21 Mei 1998 dan sekarang Selasa 21 Mei 2013
"Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," ujar Soeharto saat membacakan surat pengunduran dirinya.
Banyak orang bersorak saat televisi mengumumkan langsung orang nomor satu di Indonesia saat itu menyatakan mundur dari kursi kekuasaannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Para mahasiswa berteriak seolah memenangkan pertempuran besar. Namun sebagian ada juga yang meneteskan air mata saat melihat tubuh pria renta itu membacakan surat sakti yang menandai dimulainya orde reformasi.
Meski demikian banyak yang tidak mengetahui detik-detik genting dalam perjalanan bangsa ini ketikaSoeharto tepat pada pukul 09.00 WIB. Banyak rangkaian peristiwa besar terjadi menjelang detik-detik tersebut.
Tanggal 18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana.
Pidato Harmoko saat itu pun disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena pada malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyebut bahwa pernyataan Harmoko itu merupakan sikap dan pendapat individual, karena tidak dilakukan melalui mekanisme rapat DPR.
Tanggal 19 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Usai pertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi dan menunjuk Nurcholish sebagai ketua, namun hal itu ditolak oleh pria yang akrab disapa Cak Nur itu.
Soeharto pun mengemukakan bahwa dirinya siap mundur, namun ada satu hal yang masih mengganjal dirinya. Soeharto meragukan Habibie untuk menggantikan posisi dirinya. Di mataSoeharto, Habibie saat itu belum terlalu 'kuat' untuk memimpin Indonesia.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan,Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang. "Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu," ujarnya.
Mendengar kata-kata Pak Harto ini, konon Habibie sangat tersinggung. Sebab, hubungan Pak Harto dan Habibie lebih daripada sekadar dua sahabat politik.
Pada Rabu malam, 20 Mei, saat Pak Harto terakhir menjabat, Habibie lah yang membawa surat pengunduran diri para anggota kabinetnya. Hubungan keduanya dikabarkan retak sejak saat itu.
Malam itu juga, Wiranto mengunjungi Soeharto dan memintanya mengundurkan diri dan memastikan bahwa Presiden tidak mempunyai pilihan lagi. Menjelang tengah malam, Rabu itu, Pak Harto akhirnya tidak bisa berbuat lain. Saat-saat itulah dia harus melewati malam itu dengan satu keyakinan, mundur keesokan harinya, Kamis, 21 Mei, pukul 09.00 WIB.
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.
Seusai Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga.
Mundurnya Soeharto menjadi babak baru dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Era Reformasi telah bergulir, dan hari ini genap 15 tahun lengsernya Soeharto.
Banyak orang bersorak saat televisi mengumumkan langsung orang nomor satu di Indonesia saat itu menyatakan mundur dari kursi kekuasaannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Para mahasiswa berteriak seolah memenangkan pertempuran besar. Namun sebagian ada juga yang meneteskan air mata saat melihat tubuh pria renta itu membacakan surat sakti yang menandai dimulainya orde reformasi.
Meski demikian banyak yang tidak mengetahui detik-detik genting dalam perjalanan bangsa ini ketikaSoeharto tepat pada pukul 09.00 WIB. Banyak rangkaian peristiwa besar terjadi menjelang detik-detik tersebut.
Tanggal 18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana.
Pidato Harmoko saat itu pun disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena pada malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyebut bahwa pernyataan Harmoko itu merupakan sikap dan pendapat individual, karena tidak dilakukan melalui mekanisme rapat DPR.
Tanggal 19 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nurcholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.
Usai pertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi dan menunjuk Nurcholish sebagai ketua, namun hal itu ditolak oleh pria yang akrab disapa Cak Nur itu.
Soeharto pun mengemukakan bahwa dirinya siap mundur, namun ada satu hal yang masih mengganjal dirinya. Soeharto meragukan Habibie untuk menggantikan posisi dirinya. Di mataSoeharto, Habibie saat itu belum terlalu 'kuat' untuk memimpin Indonesia.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan,Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang. "Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu," ujarnya.
Mendengar kata-kata Pak Harto ini, konon Habibie sangat tersinggung. Sebab, hubungan Pak Harto dan Habibie lebih daripada sekadar dua sahabat politik.
Pada Rabu malam, 20 Mei, saat Pak Harto terakhir menjabat, Habibie lah yang membawa surat pengunduran diri para anggota kabinetnya. Hubungan keduanya dikabarkan retak sejak saat itu.
Malam itu juga, Wiranto mengunjungi Soeharto dan memintanya mengundurkan diri dan memastikan bahwa Presiden tidak mempunyai pilihan lagi. Menjelang tengah malam, Rabu itu, Pak Harto akhirnya tidak bisa berbuat lain. Saat-saat itulah dia harus melewati malam itu dengan satu keyakinan, mundur keesokan harinya, Kamis, 21 Mei, pukul 09.00 WIB.
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.
Seusai Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga.
Mundurnya Soeharto menjadi babak baru dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Era Reformasi telah bergulir, dan hari ini genap 15 tahun lengsernya Soeharto.
* dari berbagai sumber
[hhw/herry h winarno reporter/http://www.merdeka.com/peristiwa/momen-momen-kritis-di-balik-lengsernya-soeharto.html]
Nama Lengkap : Soeharto
Alias : No Alias
Tempat Lahir : Kemusuk | Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 8 Juni 1921
Zodiac : Gemini
Anak : Hutomo Mandala Putra, Siti Hediati Hariyadi , Siti Hardiyanti Rukmana, Bambang Trihadmodjo, Sigit Harjojudanto , Siti Hutami Endang Adiningsih
Istri : Fatimah Siti Hartinah Soeharto ( Ibu Tin )
Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Dia resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin besar revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Namun, akhirnya dia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa pada 1998, melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan Ambisius tanpa fatsoen politik. Ayah lima anak ini pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Dia akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Soeharto menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan. Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianati, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa.
Selama masa jabatannya, dia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan pada 1985. Maka, dia mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Dia meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari, sejak 4 sampai 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Soeharto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta. Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Pernikahan Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin besar revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Namun, akhirnya dia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa pada 1998, melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan Ambisius tanpa fatsoen politik. Ayah lima anak ini pun menunjukkan ketabahan dan keteguhannya. Dia akhirnya sempat diadili dengan tuduhan korupsi, penyalahgunaan dana yayasan-yayasan yang didirikannya. Soeharto menyatakan bersedia mempertanggungjawabkan dana yayasan itu. Tapi, ia pun jatuh sakit yang menyebabkan proses peradilannya dihentikan. Tapi tidak semua mantan menterinya tega mengkhianati, tidak mempunyai moral politik. Ada beberapa yang justru makin dekat dengannya secara pribadi setelah bukan lagi berkuasa.
Selama masa jabatannya, dia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan pada 1985. Maka, dia mendapat penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Dia meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari, sejak 4 sampai 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Soeharto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta. Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Riset dan analisis oleh Vizcardine Audinovic
PENDIDIKAN
- SD Pedes Yogyakarta
- SMP Muhammadiyah di Yogyakarta
- Sekolah militer di Gombong
KARIR
- Anggota TNI
- Komandan Brigade Garuda Mataram
- Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel
- Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD)
- Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat
- Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
- Panglima Kopkamtib
- Mayor Jendral
- 1966 - 1998 Presiden Kedua RI
PENGHARGAAN
- Bapak Pembangunan Nasional
- Bintang Mahakarya Gotong Royong dari Ormas Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
Apakah Soeharto masih dirindukan?
Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya. Begitulah pepatah bilang. Sama halnya mantan Presiden RI kedua Soeharto. Selama 30 tahun Bapak Pembangunan itu berkuasa di negeri ini, tumbang di pertengahan tahun 2008. Gelombang demonstrasi sengit warnai kejatuhanSoeharto atau 'Husni Mubarok'nya Indonesia itu.
Kini, setelah lima belas tahun pasca reformasi disebut-sebut keadaan jauh lebih buruk dan tidak memenuhi harapan publik, namun ada pula yang menyebutnya lebih baik. Berikut merdeka.com sajikan beberapa pendapat masyarakat mengenai harapan publik pasca orba runtuh.
Mustari, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ini mengatakan kondisinya lebih buruk, bahkan tidak ada lagi harapan kecuali menegakkan nilai-nilai keislaman. Menurut dia, sosok Soehartobukan yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
"Yang penting, pemimpin itu adalah kualitas tauhidnya. Jika tauhidnya ok, insya Allah akan terpancar dalam kelakuannya dan bisa diharapkan menjadi pemimpin," ujar Mustari kepada merdeka.com
Senada dengan Mustari, Saeful Millah, guru berusia 27 tahun ini menilai setelah reformasi keadaan justru stagnan bahkan cenderung merosot. Menurut dia hal itu bisa terlihat di beberapa bidang. Saeful memberikan contoh dalam hal pendidikan dan kesehatan misalnya, pelaksanaan dan pengelolaan bidang kurikulum, kurikulum 2013 sudah di sosialisasikan tapi pihak DPR belum mengetahui. Kendati demikian ia tak menampik di beberapa sektor mengalami kemajuan yang cukup baik.
"Harapan, tempatkan lah orang yang kompeten dalam bidangnya dan selektif dalam pemilihan umum aja, bukan uang dan popularitas yang diutamakan. Tapi, pengabdian dan pelayanan, mempunyai visi-misi membangun memperbaiki negara," lanjut Saeful.
Dia menambahkan bukan sosok Soeharto yang dia inginkan tapi internalisasi profetik Nabi Muhammad dalam memimpin negara. "Amanah dan tanggung jawab," pungkas dia.
Lain halnya dengan Iqbal Hafidz Hakim, dia berpendapat kondisi Indonesia justru makin lebih baik pasca reformasi digaungkan.
"Keterbukaan memang mensyaratkan kegaduhan dalam ranah apapun. Tapi itu lebih baik dari ketertutupan yang menampakkan ketenangan yang sesunguhnya di dalamnya ada kobaran api ketidakberesan," katanya.
Pendidik di sebuah lembaga pendidikan ini menambahkan ada gunung es kebobrokan yang siap meleleh. Kegaduhan, merupakan etape bagi masyarakat
Indonesia untuk mendewasakan dirinya dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun harus dengan beberapa catatan yang bisa menjaga momentum menuju kesadaran berbangsa yang elegan.
Dia berharap ada perubahan signifikan dalam tata cara bernegara baik itu pilitik, ekonomi dan lainnya. Namun, Iqbal menggarisbawahi hal itu tidak bisa dicapai, jika pemahaman yang utuh tentang berbangsa belum dimiliki oleh mereka yang memangku kekuasaan.
Menurut Iqbal sosok Soeharto dengan gaya kepemimpinan yang khas era orde baru itu sudah tidak dibutuhkan oleh Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, dari fisiknya ia sudah meninggal jadi tidak bisa dibangkitkan lagi. Kedua sebagai isme, dia sudah tidak bisa lagi mewadahi bagi rakyat yang secara sosiologis tidak bisa lagi ditakut-takuti. Hartoisme berlaku pada tataran masyarakat yang selalu menyerahkan segala sesuatunya tergantung negara.
Ketiga, tidak lagi kita terjebak pada romantisme. Kita harus mencari tipologi pemimpin yang visioner, yang mampu membawa Indonesia jaya di masa yang akan datang dan mampu berdikari, berdaulat sepenuhnya.
"Bukti bahwa kita sungguh-sungguh Garuda. tentu saja kita tidak menemukan ini pada sosokSoeharto," pungkasnya.
Endang Sukaesih, pedagang asongan ini malah sedih kalau mengenang peristiwa Mei '98 banyak terjadi pembunuhan dan menurutnya tragedi yang paling memalukan ialah pelengseran secara paksa orang terhormat Presiden Soeharto.
Bagi Endang, presiden wajar memiliki banyak rumah. Kalaupun dia dianggap korupsi seharusnya sudah lama lengser, dan itu urusan hukum (Kejaksaan,red), yang terpenting urusan rakyat terjamin.
"Kalau perlu 32 provinsi rumahnya nggak papa, dia kan pemimpin wajar punya rumah banyak. Masak tidur di jalanan,"
Di masa Soeharto lah ia bisa merasakan kemerdekaan, beras murah hanya Rp 400. Kalau sekarang pemimpinnya malah rebutan jabatan dan saling membanggakan diri dengan seabrek gelar dan penghargaannya, yang sejatinya hal itu bisa dibeli, sehingga menyusahkan rakyat kecil. Selain itu, zaman orba dari segi kemanan juga terjaga.
"Sekarang BBM mahal, di handphone banyak BF (blue film) nya semua, di zaman Soeharto nggak ada, kalau nggak langsung ditangkap," katanya lagi.
Dia berharap supaya pemerintah dapat memberikan pekerjaan, pemimpin yang berhasil menurutnya tak sungkan untuk bernegoisasi dengan kaum papa. Kemudian diberikan kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta modal.
"Harapannya diberi pekerjaan dan tempat tinggal, nanganin pengamen kok ke Kedoya cuman diajarin njahit trus disuruh pulang nggak dikasih duit ya ngemis lagi. Coba pinteran mana pemerintah sama pengemis," katanya sambil tersenyum.
Sedangkan menurut Efendi Alui seorang wiraswasta, kondisi di zaman Soeharto juga ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya semua aman terkendali, sisi buruknya meskipun demokrasi di zamanSoeharto sebenarnya sudah dijalankan, buktinya pemilu sempat digelar selama beberapa kali, kendati dalam pemilu itu dimenangkan sang jendral kelahiran Yogyakarta itu. Akan tetapi, demokrasi yang dijalankan pada era Orba tidak disosialisasikan dengan baik.
"Kalau ada yang melanggar ya langsung kena petrus," kata dia sambil berkelakar.
Untuk era sekarang demokrasi memang sudah berjalan, akan tetapi terkadang justru kebablasan. Norma-norma kesopanan dilanggar dengan enaknya, bahkan sampai menghina pejabat.
Dia berharap Indonesia memiliki Bapak Bangsa yang benar-benar merakyat seperti Soeharto. Memperhatikan rakyatnya.
"Sebut saja Mega, merakyat tapi buktinya di atas, kalau memperhatikan rakyat itu sekolah gratis semua,"pungkas dia.
Iwan Maulana, berpendapat perubahan yang terjadi pasca reformasi tergantung cara pandang seseorang bagaimana menyikapinya. "Secara keamanan enak Pak Harto secara demokrasi enak sekarang. Sosok pak Harto akan selalu dirindukan," katanya.
Kini, setelah lima belas tahun pasca reformasi disebut-sebut keadaan jauh lebih buruk dan tidak memenuhi harapan publik, namun ada pula yang menyebutnya lebih baik. Berikut merdeka.com sajikan beberapa pendapat masyarakat mengenai harapan publik pasca orba runtuh.
Mustari, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri ini mengatakan kondisinya lebih buruk, bahkan tidak ada lagi harapan kecuali menegakkan nilai-nilai keislaman. Menurut dia, sosok Soehartobukan yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
"Yang penting, pemimpin itu adalah kualitas tauhidnya. Jika tauhidnya ok, insya Allah akan terpancar dalam kelakuannya dan bisa diharapkan menjadi pemimpin," ujar Mustari kepada merdeka.com
Senada dengan Mustari, Saeful Millah, guru berusia 27 tahun ini menilai setelah reformasi keadaan justru stagnan bahkan cenderung merosot. Menurut dia hal itu bisa terlihat di beberapa bidang. Saeful memberikan contoh dalam hal pendidikan dan kesehatan misalnya, pelaksanaan dan pengelolaan bidang kurikulum, kurikulum 2013 sudah di sosialisasikan tapi pihak DPR belum mengetahui. Kendati demikian ia tak menampik di beberapa sektor mengalami kemajuan yang cukup baik.
"Harapan, tempatkan lah orang yang kompeten dalam bidangnya dan selektif dalam pemilihan umum aja, bukan uang dan popularitas yang diutamakan. Tapi, pengabdian dan pelayanan, mempunyai visi-misi membangun memperbaiki negara," lanjut Saeful.
Dia menambahkan bukan sosok Soeharto yang dia inginkan tapi internalisasi profetik Nabi Muhammad dalam memimpin negara. "Amanah dan tanggung jawab," pungkas dia.
Lain halnya dengan Iqbal Hafidz Hakim, dia berpendapat kondisi Indonesia justru makin lebih baik pasca reformasi digaungkan.
"Keterbukaan memang mensyaratkan kegaduhan dalam ranah apapun. Tapi itu lebih baik dari ketertutupan yang menampakkan ketenangan yang sesunguhnya di dalamnya ada kobaran api ketidakberesan," katanya.
Pendidik di sebuah lembaga pendidikan ini menambahkan ada gunung es kebobrokan yang siap meleleh. Kegaduhan, merupakan etape bagi masyarakat
Indonesia untuk mendewasakan dirinya dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun harus dengan beberapa catatan yang bisa menjaga momentum menuju kesadaran berbangsa yang elegan.
Dia berharap ada perubahan signifikan dalam tata cara bernegara baik itu pilitik, ekonomi dan lainnya. Namun, Iqbal menggarisbawahi hal itu tidak bisa dicapai, jika pemahaman yang utuh tentang berbangsa belum dimiliki oleh mereka yang memangku kekuasaan.
Menurut Iqbal sosok Soeharto dengan gaya kepemimpinan yang khas era orde baru itu sudah tidak dibutuhkan oleh Indonesia dengan berbagai alasan. Pertama, dari fisiknya ia sudah meninggal jadi tidak bisa dibangkitkan lagi. Kedua sebagai isme, dia sudah tidak bisa lagi mewadahi bagi rakyat yang secara sosiologis tidak bisa lagi ditakut-takuti. Hartoisme berlaku pada tataran masyarakat yang selalu menyerahkan segala sesuatunya tergantung negara.
Ketiga, tidak lagi kita terjebak pada romantisme. Kita harus mencari tipologi pemimpin yang visioner, yang mampu membawa Indonesia jaya di masa yang akan datang dan mampu berdikari, berdaulat sepenuhnya.
"Bukti bahwa kita sungguh-sungguh Garuda. tentu saja kita tidak menemukan ini pada sosokSoeharto," pungkasnya.
Endang Sukaesih, pedagang asongan ini malah sedih kalau mengenang peristiwa Mei '98 banyak terjadi pembunuhan dan menurutnya tragedi yang paling memalukan ialah pelengseran secara paksa orang terhormat Presiden Soeharto.
Bagi Endang, presiden wajar memiliki banyak rumah. Kalaupun dia dianggap korupsi seharusnya sudah lama lengser, dan itu urusan hukum (Kejaksaan,red), yang terpenting urusan rakyat terjamin.
"Kalau perlu 32 provinsi rumahnya nggak papa, dia kan pemimpin wajar punya rumah banyak. Masak tidur di jalanan,"
Di masa Soeharto lah ia bisa merasakan kemerdekaan, beras murah hanya Rp 400. Kalau sekarang pemimpinnya malah rebutan jabatan dan saling membanggakan diri dengan seabrek gelar dan penghargaannya, yang sejatinya hal itu bisa dibeli, sehingga menyusahkan rakyat kecil. Selain itu, zaman orba dari segi kemanan juga terjaga.
"Sekarang BBM mahal, di handphone banyak BF (blue film) nya semua, di zaman Soeharto nggak ada, kalau nggak langsung ditangkap," katanya lagi.
Dia berharap supaya pemerintah dapat memberikan pekerjaan, pemimpin yang berhasil menurutnya tak sungkan untuk bernegoisasi dengan kaum papa. Kemudian diberikan kemudahan dalam mengakses pekerjaan serta modal.
"Harapannya diberi pekerjaan dan tempat tinggal, nanganin pengamen kok ke Kedoya cuman diajarin njahit trus disuruh pulang nggak dikasih duit ya ngemis lagi. Coba pinteran mana pemerintah sama pengemis," katanya sambil tersenyum.
Sedangkan menurut Efendi Alui seorang wiraswasta, kondisi di zaman Soeharto juga ada sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya semua aman terkendali, sisi buruknya meskipun demokrasi di zamanSoeharto sebenarnya sudah dijalankan, buktinya pemilu sempat digelar selama beberapa kali, kendati dalam pemilu itu dimenangkan sang jendral kelahiran Yogyakarta itu. Akan tetapi, demokrasi yang dijalankan pada era Orba tidak disosialisasikan dengan baik.
"Kalau ada yang melanggar ya langsung kena petrus," kata dia sambil berkelakar.
Untuk era sekarang demokrasi memang sudah berjalan, akan tetapi terkadang justru kebablasan. Norma-norma kesopanan dilanggar dengan enaknya, bahkan sampai menghina pejabat.
Dia berharap Indonesia memiliki Bapak Bangsa yang benar-benar merakyat seperti Soeharto. Memperhatikan rakyatnya.
"Sebut saja Mega, merakyat tapi buktinya di atas, kalau memperhatikan rakyat itu sekolah gratis semua,"pungkas dia.
Iwan Maulana, berpendapat perubahan yang terjadi pasca reformasi tergantung cara pandang seseorang bagaimana menyikapinya. "Secara keamanan enak Pak Harto secara demokrasi enak sekarang. Sosok pak Harto akan selalu dirindukan," katanya.
Soeharto, sosok yang dicaci tapi dirindukan
15 Tahun sudah reformasi digulirkan sejak Presiden Soeharto digulingkan oleh rangkaian demonstrasi mahasiswa dan rakyat. Krisis ekonomi tahun 1998 salah satu pemicu utama Soehartolengser selain kemuakan atas rezim represif yang berkuasa selama 32 tahun.
Bagi yang membencinya, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan, pelanggar HAM, pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggurita. Di zaman Soeharto , kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam. Kalangan aktivis pro demokrasi tentu yang paling merasakan.
Budiman Sudjatmiko misalnya. Anggota DPR dari PDI Perjuangan ini kenyang merasakan tekanan aparat keamanan semasa dirinya menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dicap komunis dan dituduh makar sebagai buntut dari bentrok penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996, Budiman divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman penjara 13 tahun tapi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie saat reformasi. Grasi itu ditolak oleh Budiman dkk. Mereka baru mau keluar dari penjara pada pada 10 Desember 1999 setelah Presiden Gus Durmemberikan amnesti.
Dalam sebuah komentarnya yang pernah dikutip media massa, Budiman Sudjatmiko menegaskan sikapnya soal Soeharto . "Semua yang bicara soal pemaafan terhadap Soeharto tidak memiliki hak moral untuk menyatakan hal tersebut. Yang berhak memberikan maaf kepada Soeharto adalah para korban yang kehilangan harga diri."
Demikian juga dengan Adian Napitupulu, mantan Ketua Forum Kota atau Forum Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek yang menjadi pentolan demonstran mahasiswa tahun 1998 menilaiSoeharto tidak layak dimaafkan. Apalagi sampai diberi gelar pahlawan.
Aktivis yang juga Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan juga pernah mengatakan, saat ini rakyat perlu diberikan penjelasan bahwa ekonomi yang terpuruk selama ini merupakan hasil dari tindakan Soeharto yang diteruskan oleh para kroninya.
Sedangkan Ratna Sarumpaet, seniman dan aktivis yang pernah diburu aparat keamanan di eraSoeharto karena membuat karya seni tentang DOM di Aceh, Marsinah dan G 30 S PKI menilai, semasa memimpin, Soeharto telah melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi dan kejahatan politik yang luar biasa.
Usman Hamid, mantan koordinator Kontras pun menilai, banyak kasus yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto yang tidak bisa diselesaikan sampai sekarang. Misalnya kasus pembantaian selama tahun 1965 sampai 1970, penembakan misterius, kerusuhan Timor Timur, masalah Daerah Operasi Militer di Aceh, pelanggaran HAM di Papua, pembunuhan dukun santet, kasus Talangsari, kasus Marsinah, kasus TSS, sampai penculikan aktivis.
Namun belakangan, mulai muncul suara-suara yang mengkritisi reformasi. Perubahan rezim tidak menghasilkan perubahan kehidupan yang lebih baik. Ekonomi kian sulit, meski pemerintah menggembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi yang katanya mencapai 6 persen dan terbaik di Asia.
Masyarakat merasakan sebaliknya. Akses terhadap kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan dengan upah yang layak masih sulit. Muncullah kemudian semacam frustrasi sosial yang muncul dalam gambar di bak truk bergambar Soeharto sambil tersenyum yang bertuliskan 'Isih penak zamanku tho le?' tulisan itu berarti 'masih enak zamanku kan nak?'
Melihat kondisi Indonesia saat ini, bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahkan mengatakan Indonesia sangat membutuhkan sosok pemimpin seperti Pak Harto. Menurut dia, di eraSoeharto , rakyat Indonesia lebih sejahtera.
Namun pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru saat memimpin, Soeharto hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap otoriter.
"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (14/5).
Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak meninggalkan jejak," kata Ray.
"Jadi otak manusia saat itu tidak terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.
Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.
"Masyarakat yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.
Ray juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.
Bagi yang membencinya, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan, pelanggar HAM, pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggurita. Di zaman Soeharto , kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam. Kalangan aktivis pro demokrasi tentu yang paling merasakan.
Budiman Sudjatmiko misalnya. Anggota DPR dari PDI Perjuangan ini kenyang merasakan tekanan aparat keamanan semasa dirinya menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dicap komunis dan dituduh makar sebagai buntut dari bentrok penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996, Budiman divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman penjara 13 tahun tapi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie saat reformasi. Grasi itu ditolak oleh Budiman dkk. Mereka baru mau keluar dari penjara pada pada 10 Desember 1999 setelah Presiden Gus Durmemberikan amnesti.
Dalam sebuah komentarnya yang pernah dikutip media massa, Budiman Sudjatmiko menegaskan sikapnya soal Soeharto . "Semua yang bicara soal pemaafan terhadap Soeharto tidak memiliki hak moral untuk menyatakan hal tersebut. Yang berhak memberikan maaf kepada Soeharto adalah para korban yang kehilangan harga diri."
Demikian juga dengan Adian Napitupulu, mantan Ketua Forum Kota atau Forum Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek yang menjadi pentolan demonstran mahasiswa tahun 1998 menilaiSoeharto tidak layak dimaafkan. Apalagi sampai diberi gelar pahlawan.
Aktivis yang juga Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan juga pernah mengatakan, saat ini rakyat perlu diberikan penjelasan bahwa ekonomi yang terpuruk selama ini merupakan hasil dari tindakan Soeharto yang diteruskan oleh para kroninya.
Sedangkan Ratna Sarumpaet, seniman dan aktivis yang pernah diburu aparat keamanan di eraSoeharto karena membuat karya seni tentang DOM di Aceh, Marsinah dan G 30 S PKI menilai, semasa memimpin, Soeharto telah melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi dan kejahatan politik yang luar biasa.
Usman Hamid, mantan koordinator Kontras pun menilai, banyak kasus yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto yang tidak bisa diselesaikan sampai sekarang. Misalnya kasus pembantaian selama tahun 1965 sampai 1970, penembakan misterius, kerusuhan Timor Timur, masalah Daerah Operasi Militer di Aceh, pelanggaran HAM di Papua, pembunuhan dukun santet, kasus Talangsari, kasus Marsinah, kasus TSS, sampai penculikan aktivis.
Namun belakangan, mulai muncul suara-suara yang mengkritisi reformasi. Perubahan rezim tidak menghasilkan perubahan kehidupan yang lebih baik. Ekonomi kian sulit, meski pemerintah menggembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi yang katanya mencapai 6 persen dan terbaik di Asia.
Masyarakat merasakan sebaliknya. Akses terhadap kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan dengan upah yang layak masih sulit. Muncullah kemudian semacam frustrasi sosial yang muncul dalam gambar di bak truk bergambar Soeharto sambil tersenyum yang bertuliskan 'Isih penak zamanku tho le?' tulisan itu berarti 'masih enak zamanku kan nak?'
Melihat kondisi Indonesia saat ini, bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahkan mengatakan Indonesia sangat membutuhkan sosok pemimpin seperti Pak Harto. Menurut dia, di eraSoeharto , rakyat Indonesia lebih sejahtera.
Namun pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru saat memimpin, Soeharto hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap otoriter.
"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (14/5).
Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak meninggalkan jejak," kata Ray.
"Jadi otak manusia saat itu tidak terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.
Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.
"Masyarakat yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.
Ray juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.
"Kalau tolak ukurnya zaman Soeharto ya kebablasan. Tapi yang terjadi saat ini ialah kebebasan berekspresi yang sedang terkonstruksi. Sekarang masyarakat sedang naik kelas. Bayangkan selama 32 tahun kebebasan berekspresi kita dikekang, dan sekarang sedang pada tahap euforia mengeluarkan pendapat, mengkritisi dan berdiskusi," tandasnya.
Sementara pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya mengakui, saat ini secara politik memang masyarakat tidak cukup puas dengan masa reformasi, terutama pada periode 2009-2014. "Hal ini terjadi karena kondisi saat ini secara konstelasi politik sangat ekstrem, sehingga terkesan seperti ada wilayah tak bertuan. Dan harus kita akui, rezim Soeharto punya kelebihan, ekonomi makro dan stabilitas politik," ujar dia.(http://www.merdeka.com/peristiwa/soeharto-sosok-yang-dicaci-tapi-dirindukan.html)
Sementara pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya mengakui, saat ini secara politik memang masyarakat tidak cukup puas dengan masa reformasi, terutama pada periode 2009-2014. "Hal ini terjadi karena kondisi saat ini secara konstelasi politik sangat ekstrem, sehingga terkesan seperti ada wilayah tak bertuan. Dan harus kita akui, rezim Soeharto punya kelebihan, ekonomi makro dan stabilitas politik," ujar dia.(http://www.merdeka.com/peristiwa/soeharto-sosok-yang-dicaci-tapi-dirindukan.html)
Kisah Soeharto dan Tapos, upaya memandiri suplai daging sapi
Kasus suap impor daging sapi terus menggelinding. Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq pun ikut terseret dalam kasus yang merugikan negara puluhan miliar rupiah ini.
Saat harga daging melambung tinggi hingga Rp 90 ribu per kilogram, Kementerian Pertanian malah membuka peluang untuk impor daging sapi, daripada memproduksi sendiri atau swasembada pangan. Bahkan, impor daging sapi ini akhirnya menjerat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaqserta rekan Luthfi, Ahmad Fathanah.
Luthfi Hasan Ishaaq mengatur pertemuan di Angus Steak House di Chase Plaza, Jakarta, dan Hotel Arya Duta di Medan Sumatera Utara. Dia mengatakan pertemuan itu dilakukan untuk mencari solusi atas kelangkaan daging sapi di pasaran.
Pertemuan pertama di Angus Steak House, Chase Plaza, Jakarta, pada 28 Desember 2012. Sementara pertemuan kedua di Hotel Arya Duta di Medan, pada 11 Januari lalu, juga atas inisiatif Luthfi.
"Dalam pertemuan pertama, saya berbicara dengan Elizabeth dan dia memaparkan soal data dan langkah buat mengatasi kelangkaan daging sapi," kata Luthfi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (17/5) kemarin.
Kemudian, Ahmad Fathanah berperan sebagai makelar proyek atau kurir yang menerima uang dari PT Indoguna Utama, untuk selanjutnya diberikan ke Luthfi.
Saat ini, Kementerian Perindustrian sudah memberikan usulan kepada Kementerian Pertanian untuk memenuhi kuota impor daging sebesar 8.500 ton hingga akhir tahun. Hal ini, seperti yang dikutip dari situs kemenperin.go.id.
"Industri pengolahan daging yang tergabung dalam Nampa membutuhkan 7.000 ton daging impor. Sedangkan 750 ton daging impor diperuntukkan bagi anggota Asosiasi Distributor Daging Indonesia dan 750 ton bagi produsen pengolahan sosis dan bakso," kata Direktur Industri Makanan Direktorat Jenderal (Ditjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Faiz Ahmad, Senin (3/9).
Pemerintah akan memberikan tambahan kuota impor daging sapi untuk industri pengolahan daging sebanyak 7.000 ton hingga akhir tahun ini. Kuota impor daging sapi pada tahun ini sekitar 34.000 ton yang dibagi ke semester I sebanyak 20.400 ton dan semester II 13.600 ton. Namun, pemerintah menggeser kuota impor semester II ke semester I sebanyak 5.600 ton sehingga kuota pada semester II hanya tersisa 8.300 ton.
Pada zaman orde baru atau tepatnya kepemimpinan Soeharto, justru terjadi swasemba daging sapi dengan jalan ternak sapi untuk mengatasi kelangkaan daging sapi. Sekitar Tahun 1971 presiden yang berkuasa 32 Tahun ini meresmikan Peternakan Sapi Tapos, yang terletak di Bogor, Jawa Barat.
Peternakan Tapos ditargetkan sebagai tempat pembibitan sapi yang hasilnya dapat didistribusikan ke daerah-daerah. Lokasi peternakan Sapi Tapos terletak di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi dan di Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Bogor yang dimiliki oleh PT Rejosari Bumi.
Pada saat itu, Soeharto mendirikan Tapos untuk membangun peternakan yang mandiri, dalam rangka membantu pemerintah dalam pengembangan ternak besar. Di areal ini dikembangbiakkan sapi potong dan sapi perah, mulai dari pembibitan hingga penggemukan sapi, dengan teknologi modern untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kualitas, pengembangan teknologi dan SDM.
Saat harga daging melambung tinggi hingga Rp 90 ribu per kilogram, Kementerian Pertanian malah membuka peluang untuk impor daging sapi, daripada memproduksi sendiri atau swasembada pangan. Bahkan, impor daging sapi ini akhirnya menjerat mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaqserta rekan Luthfi, Ahmad Fathanah.
Luthfi Hasan Ishaaq mengatur pertemuan di Angus Steak House di Chase Plaza, Jakarta, dan Hotel Arya Duta di Medan Sumatera Utara. Dia mengatakan pertemuan itu dilakukan untuk mencari solusi atas kelangkaan daging sapi di pasaran.
Pertemuan pertama di Angus Steak House, Chase Plaza, Jakarta, pada 28 Desember 2012. Sementara pertemuan kedua di Hotel Arya Duta di Medan, pada 11 Januari lalu, juga atas inisiatif Luthfi.
"Dalam pertemuan pertama, saya berbicara dengan Elizabeth dan dia memaparkan soal data dan langkah buat mengatasi kelangkaan daging sapi," kata Luthfi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (17/5) kemarin.
Kemudian, Ahmad Fathanah berperan sebagai makelar proyek atau kurir yang menerima uang dari PT Indoguna Utama, untuk selanjutnya diberikan ke Luthfi.
Saat ini, Kementerian Perindustrian sudah memberikan usulan kepada Kementerian Pertanian untuk memenuhi kuota impor daging sebesar 8.500 ton hingga akhir tahun. Hal ini, seperti yang dikutip dari situs kemenperin.go.id.
"Industri pengolahan daging yang tergabung dalam Nampa membutuhkan 7.000 ton daging impor. Sedangkan 750 ton daging impor diperuntukkan bagi anggota Asosiasi Distributor Daging Indonesia dan 750 ton bagi produsen pengolahan sosis dan bakso," kata Direktur Industri Makanan Direktorat Jenderal (Ditjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Faiz Ahmad, Senin (3/9).
Pemerintah akan memberikan tambahan kuota impor daging sapi untuk industri pengolahan daging sebanyak 7.000 ton hingga akhir tahun ini. Kuota impor daging sapi pada tahun ini sekitar 34.000 ton yang dibagi ke semester I sebanyak 20.400 ton dan semester II 13.600 ton. Namun, pemerintah menggeser kuota impor semester II ke semester I sebanyak 5.600 ton sehingga kuota pada semester II hanya tersisa 8.300 ton.
Pada zaman orde baru atau tepatnya kepemimpinan Soeharto, justru terjadi swasemba daging sapi dengan jalan ternak sapi untuk mengatasi kelangkaan daging sapi. Sekitar Tahun 1971 presiden yang berkuasa 32 Tahun ini meresmikan Peternakan Sapi Tapos, yang terletak di Bogor, Jawa Barat.
Peternakan Tapos ditargetkan sebagai tempat pembibitan sapi yang hasilnya dapat didistribusikan ke daerah-daerah. Lokasi peternakan Sapi Tapos terletak di Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi dan di Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Bogor yang dimiliki oleh PT Rejosari Bumi.
Pada saat itu, Soeharto mendirikan Tapos untuk membangun peternakan yang mandiri, dalam rangka membantu pemerintah dalam pengembangan ternak besar. Di areal ini dikembangbiakkan sapi potong dan sapi perah, mulai dari pembibitan hingga penggemukan sapi, dengan teknologi modern untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kualitas, pengembangan teknologi dan SDM.
Pengamat peternakan dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Khudori tidak setuju jika solusi di pemerintahan era kepemimpinan Soeharto dengan program Tapos atau sebagai tempat pembibitan sapi yang hasilnya dapat didistribusikan ke daerah-daerah. Pasalnya, itu hanya bertahan tidak lama.
"Dikatakan lewat Tapos bukan suatu cara yang benar. Memang, tahun 70-an kita pernah menjadi eksportir daging sapi dan kerbau. Tapos gak lah itu belakangan," kata Khudori saat dihubungi merdeka.com.
"Dikatakan lewat Tapos bukan suatu cara yang benar. Memang, tahun 70-an kita pernah menjadi eksportir daging sapi dan kerbau. Tapos gak lah itu belakangan," kata Khudori saat dihubungi merdeka.com.
[war]
Mantan aktivis 98 yakin Indonesia tak butuh sosok Soeharto
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, tampaknya kagum benar dengan sosok mantan Presiden Soeharto . Sampai-sampai dia mengatakan, Indonesia saat ini sangat membutuhkan sosok pemimpin seperti Pak Harto.
Mahathir mengaku punya alasan kuat atas dugaannya itu. Salah satunya, karena presiden ke-2 RI tersebut merupakan sosok yang berkarakter kuat sehingga pada eranya masyarakat sejahtera.
Pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru di masa kepemimpinan sang punggawa Cendana itu hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap otoriter.
"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (14/5).
Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak meninggalkan jejak," kata Ray.
"Jadi otak manusia saat itu tidak terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.
Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.
"Masyarakat yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.
Ray juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.
"Kalau tolak ukurnya zaman Soeharto ya kebablasan. Tapi yang terjadi saat ini ialah kebebasan berekspresi yang sedang ter-konstruksi. Sekarang masyarakat sedang naik kelas. Bayangkan selama 32 tahun kebebasan berekspresi kita dikekang, dan sekarang sedang pada tahap euforia mengeluarkan pendapat, mengkritisi dan berdiskusi," tandasnya.
Mahathir mengaku punya alasan kuat atas dugaannya itu. Salah satunya, karena presiden ke-2 RI tersebut merupakan sosok yang berkarakter kuat sehingga pada eranya masyarakat sejahtera.
Pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru di masa kepemimpinan sang punggawa Cendana itu hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap otoriter.
"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (14/5).
Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak meninggalkan jejak," kata Ray.
"Jadi otak manusia saat itu tidak terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.
Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.
"Masyarakat yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.
Ray juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.
"Kalau tolak ukurnya zaman Soeharto ya kebablasan. Tapi yang terjadi saat ini ialah kebebasan berekspresi yang sedang ter-konstruksi. Sekarang masyarakat sedang naik kelas. Bayangkan selama 32 tahun kebebasan berekspresi kita dikekang, dan sekarang sedang pada tahap euforia mengeluarkan pendapat, mengkritisi dan berdiskusi," tandasnya.
[lia/]
Kisah Brutus dan Harmoko penyanjung yang jatuhkan Soeharto
Julius Caesar mendelik sambil memegangi tubuhnya yang ditikam pisau. "Et tu Brute?" "Kamu juga Brutus?" Caesar heran. Tak menyangka keponakan yang dianggap sebagai anak angkatnya itu bersekutu dengan sejumlah Senat Roma untuk membunuhnya.
Berakhirlah hidup penguasa Romawi yang gemilang ini. Mati karena pengkhianatan orang yang sangat dipercayainya. Pembunuhan Caesar juga menobatkan Brutus sebagai salah seorang pengkhianat terbesar sepanjang masa.
Di Indonesia banyak yang menyebut peristiwa ini seperti kisah Soeharto dan Harmoko. Pada era Orde Baru, hampir 14 tahun Harmoko menjadi menteri penerangan dan corong penguasa. Tentu rakyat yang hidup saat Orde Baru berkuasa sangat akrab dengan ciri khas Harmoko.
"Menunggu petunjuk Bapak Presiden."
Menjelang Pemilu 1998, Soeharto sebenarnya sudah berniat mundur. Dia bertanya apakah rakyat masih menginginkan dia jadi presiden, kalau tidak Soeharto siap lengser keprabon.
Nah, Harmoko merupakan salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Harmoko berusaha meyakinkan dengan memberikan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Karena penjelasan Harmoko,Soeharto mau kembali dicalonkan.
Sesuai rencana, sidang yang digelar pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soehartosekali lagi.
"Mencalonkan Bapak haji Muhammad Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kembali," teriak Harmoko saat membacakan keputusan sidang. Disambut gemuruh tepuk tangan para peserta sidang umum MPR.
Tepuk tangan semu itu tak lama. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat mendesak Soeharto turun tahta. Aksi demo kemudian diikuti tragedi kerusuhan Mei 1998 yang penuh darah dan air mata.
Massa mengepung dan menduduki Gedung MPR/DPR selama beberapa minggu. Tanpa diduga-duga, dalam hitungan kurang dari tiga bulan atau tepatnya pada 18 Mei 1998, Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur.
"Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko ketika itu.
Banyak yang menduga, pernyataan itu keluar karena Harmoko merasa ketakutan. Rumah keluarga Harmoko di Solo memang sudah dibakar massa. Apakah kondisi itu membuat Harmoko memilih untuk balik badan dan melawan orang yang telah membesarkan namanya? Atau Harmoko tahu akhirSoeharto dan Orde Baru sudah dekat.
Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998. Keluarga Cendana menganggap Harmoko orang yang paling berdosa atas lengsernya Soeharto . Keduanya tak pernah bertemu, hingga akhirnya tanggal 16 Januari 2008, Harmoko menjenguk Soeharto yang terbaring sakit di RSPP Jakarta. Baru setelah 10 tahun, Harmoko berani menemui bosnya.
Itu pertemuan pertama dan terakhir mereka setelah Soeharto lengser. (http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-brutus-dan-harmoko-penyanjung-yang-jatuhkan-soeharto.html)
Berakhirlah hidup penguasa Romawi yang gemilang ini. Mati karena pengkhianatan orang yang sangat dipercayainya. Pembunuhan Caesar juga menobatkan Brutus sebagai salah seorang pengkhianat terbesar sepanjang masa.
Di Indonesia banyak yang menyebut peristiwa ini seperti kisah Soeharto dan Harmoko. Pada era Orde Baru, hampir 14 tahun Harmoko menjadi menteri penerangan dan corong penguasa. Tentu rakyat yang hidup saat Orde Baru berkuasa sangat akrab dengan ciri khas Harmoko.
"Menunggu petunjuk Bapak Presiden."
Menjelang Pemilu 1998, Soeharto sebenarnya sudah berniat mundur. Dia bertanya apakah rakyat masih menginginkan dia jadi presiden, kalau tidak Soeharto siap lengser keprabon.
Nah, Harmoko merupakan salah satu orang yang mengusulkan agar Soeharto kembali menjabat sebagai presiden untuk periode 1998-2003 sebelum pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Harmoko berusaha meyakinkan dengan memberikan data-data bahwa rakyat masih menginginkannya menjadi presiden dan tidak ada calon lain yang pantas menduduki jabatan itu. Karena penjelasan Harmoko,Soeharto mau kembali dicalonkan.
Sesuai rencana, sidang yang digelar pada tanggal 10 Maret 1998, sebagai Ketua MPR, Harmoko sukses mengendalikan Sidang Umum MPR untuk memperpanjang masa kepresidenan Soehartosekali lagi.
"Mencalonkan Bapak haji Muhammad Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia kembali," teriak Harmoko saat membacakan keputusan sidang. Disambut gemuruh tepuk tangan para peserta sidang umum MPR.
Tepuk tangan semu itu tak lama. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat mendesak Soeharto turun tahta. Aksi demo kemudian diikuti tragedi kerusuhan Mei 1998 yang penuh darah dan air mata.
Massa mengepung dan menduduki Gedung MPR/DPR selama beberapa minggu. Tanpa diduga-duga, dalam hitungan kurang dari tiga bulan atau tepatnya pada 18 Mei 1998, Harmoko mengeluarkan keterangan pers dan meminta agar Soeharto mundur.
"Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko ketika itu.
Banyak yang menduga, pernyataan itu keluar karena Harmoko merasa ketakutan. Rumah keluarga Harmoko di Solo memang sudah dibakar massa. Apakah kondisi itu membuat Harmoko memilih untuk balik badan dan melawan orang yang telah membesarkan namanya? Atau Harmoko tahu akhirSoeharto dan Orde Baru sudah dekat.
Soeharto mundur tanggal 21 Mei 1998. Keluarga Cendana menganggap Harmoko orang yang paling berdosa atas lengsernya Soeharto . Keduanya tak pernah bertemu, hingga akhirnya tanggal 16 Januari 2008, Harmoko menjenguk Soeharto yang terbaring sakit di RSPP Jakarta. Baru setelah 10 tahun, Harmoko berani menemui bosnya.
Itu pertemuan pertama dan terakhir mereka setelah Soeharto lengser. (http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-brutus-dan-harmoko-penyanjung-yang-jatuhkan-soeharto.html)
'Anak muda mungkin bilang Pak Harto lebay di film G 30 S/PKI'
Pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta Budiawan PhD menilai film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" (1984) yang disutradarai Arifin C. Noer memang terlalu berlebihan dalam menonjolkan peran Soeharto (almarhum mantan presiden yang akrab disapa Pak Harto).
"Kalau anak muda sekarang mungkin bilang Pak Harto terlalu 'lebay' dalam film itu, karena film yang berdurasi 4 jam 31 menit itu berdimensi tunggal dengan sajian kalah dan menang, sehingga Mbak Nani (Nani Sutojo) menyebut sebagai kenangan tak terucap. Dalam psikologi, kenangan tak terucap itu merupakan trauma," tukas Budiawan dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" karya putri almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang terbunuh dalam Tragedi 1965, Dr Nani Nurrachman Sutojo.
Menurut sejarawan itu, penguasa sering mewujudkan sejarah dalam bentuk monumen, museum, film, buku teks, upacara peringatan, dan bentuk-bentuk yang tidak memberi tempat kepada pengalaman dari korban dan pelaku yang sebenarnya.
"Saya sepakat perlunya rekonsiliasi, tapi rekonsilisasi itu memerlukan upaya mendengar dan mengakomodasi pengakuan dari korban dan pelaku yang sebenarnya, sehingga sejarah tidak dibaca secara politis, melainkan membaca sejarah secara humanis," katanya dikutip antara.
Pandangan yang sama juga dikemukakan pengajar Fakultas Psikologi Ubaya Dr Elly Yuliandari Psi. "Saya kira buku ini wajib dibaca oleh pelajar, mahasiswa, dan bangsa ini, karena Bu Nani menyikapi trauma dengan dua cara yakni memaafkan tanpa melupakan dan menyosialisasikan perlunya rekonsiliasi. Itu luar biasa," paparnya.
Sementara itu, Nani Nurrachman Sutojo menegaskan bahwa tragedi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan enam jenderal yang dipimpin Komandan Batalyon Cakrabhirawa merupakan fakta sejarah yang bersifat sepihak.
"Kita perlu dan butuh untuk menyajikan kembali masa lalu sebagaimana sejatinya dialami oleh para korban dan pelaku, dan bukan berdasarkan persepsi dan evaluasi sepihak, siapapun pihak tersebut," katanya dalam bedah buku karyanya di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya), Jumat.
Dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" yang juga menampilkan Budiawan PhD (sejarawan, pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta) dan Dr Elly Yuliandari Psi (pengajar Fakultas Psikologi Ubaya), ia mengatakan penyajian masalah lalu perlu narasi secara intelektual.
"Narasi ulang sejarah sejak Tragedi 1965 hingga kini yang ditulis tidak dengan emosional itu harus merupakan jawaban atas pertanyaan yang hingga kini masih menggema dalam pikiran saya, yakni dalam bentuk apa masa lampau akan kita serahterimakan kepada masa depan?" tuturnya.
Penulis memoar yang juga pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta itu menunjuk kemampuan pemimpin bangsa ini yang mampu menjadi mediator dalam memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi pada bangsa lain, bahkan dapat berdamai dengan "tetangga" Timor Leste, tetapi tak kunjung selesai dengan Tragedi 1965.
"Setiap usaha untuk mengkonstruksi kebenaran tunggal mengenai sejarah akan menyebabkan kita terjerembab dalam permainan klaim kekuasaan yang memosisikan sebagai 'pemenang' dan pihak lain sebagai pihak yang 'kalah'. Dikotomi yang justru mengaburkan sejarah itu sendiri," ujarnya.
Dalam bukunya itu, Nani Sutojo bukan hanya menyinggung tentang sejarah masa lalu yang perlu "diluruskan" dengan narasi baru, tetapi juga menawarkan penyembuhan bagi luka dan trauma dalam sejarah bangsa ini dengan "memaafkan tanpa melupakan" sebagai upaya rekonsiliasi, karena manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lain.
"Kalau anak muda sekarang mungkin bilang Pak Harto terlalu 'lebay' dalam film itu, karena film yang berdurasi 4 jam 31 menit itu berdimensi tunggal dengan sajian kalah dan menang, sehingga Mbak Nani (Nani Sutojo) menyebut sebagai kenangan tak terucap. Dalam psikologi, kenangan tak terucap itu merupakan trauma," tukas Budiawan dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" karya putri almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang terbunuh dalam Tragedi 1965, Dr Nani Nurrachman Sutojo.
Menurut sejarawan itu, penguasa sering mewujudkan sejarah dalam bentuk monumen, museum, film, buku teks, upacara peringatan, dan bentuk-bentuk yang tidak memberi tempat kepada pengalaman dari korban dan pelaku yang sebenarnya.
"Saya sepakat perlunya rekonsiliasi, tapi rekonsilisasi itu memerlukan upaya mendengar dan mengakomodasi pengakuan dari korban dan pelaku yang sebenarnya, sehingga sejarah tidak dibaca secara politis, melainkan membaca sejarah secara humanis," katanya dikutip antara.
Pandangan yang sama juga dikemukakan pengajar Fakultas Psikologi Ubaya Dr Elly Yuliandari Psi. "Saya kira buku ini wajib dibaca oleh pelajar, mahasiswa, dan bangsa ini, karena Bu Nani menyikapi trauma dengan dua cara yakni memaafkan tanpa melupakan dan menyosialisasikan perlunya rekonsiliasi. Itu luar biasa," paparnya.
Sementara itu, Nani Nurrachman Sutojo menegaskan bahwa tragedi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan enam jenderal yang dipimpin Komandan Batalyon Cakrabhirawa merupakan fakta sejarah yang bersifat sepihak.
"Kita perlu dan butuh untuk menyajikan kembali masa lalu sebagaimana sejatinya dialami oleh para korban dan pelaku, dan bukan berdasarkan persepsi dan evaluasi sepihak, siapapun pihak tersebut," katanya dalam bedah buku karyanya di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya), Jumat.
Dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" yang juga menampilkan Budiawan PhD (sejarawan, pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta) dan Dr Elly Yuliandari Psi (pengajar Fakultas Psikologi Ubaya), ia mengatakan penyajian masalah lalu perlu narasi secara intelektual.
"Narasi ulang sejarah sejak Tragedi 1965 hingga kini yang ditulis tidak dengan emosional itu harus merupakan jawaban atas pertanyaan yang hingga kini masih menggema dalam pikiran saya, yakni dalam bentuk apa masa lampau akan kita serahterimakan kepada masa depan?" tuturnya.
Penulis memoar yang juga pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta itu menunjuk kemampuan pemimpin bangsa ini yang mampu menjadi mediator dalam memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi pada bangsa lain, bahkan dapat berdamai dengan "tetangga" Timor Leste, tetapi tak kunjung selesai dengan Tragedi 1965.
"Setiap usaha untuk mengkonstruksi kebenaran tunggal mengenai sejarah akan menyebabkan kita terjerembab dalam permainan klaim kekuasaan yang memosisikan sebagai 'pemenang' dan pihak lain sebagai pihak yang 'kalah'. Dikotomi yang justru mengaburkan sejarah itu sendiri," ujarnya.
Dalam bukunya itu, Nani Sutojo bukan hanya menyinggung tentang sejarah masa lalu yang perlu "diluruskan" dengan narasi baru, tetapi juga menawarkan penyembuhan bagi luka dan trauma dalam sejarah bangsa ini dengan "memaafkan tanpa melupakan" sebagai upaya rekonsiliasi, karena manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lain.
Ketum PBNU: Soeharto ada baiknya
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menilai wajar pendapat mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Bin Mohamad soal Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin seperti Soeharto. Kiai NU ini bahkan mengakui ada kebaikan dalam pemerintahanSoeharto.
"Di lihat sisi baiknya manusia memang ada sisi baiknya dong. Tegas, sportif, mampu menjaga stabilitas nasional. Kalau dicari baiknya pasti ada baiknya," kata Said Aqil dalam dialog ormas-ormas Islam di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu (11/5).
Namun demikian, Said Aqil tidak sepakat jika gerakan 1998 yang menuntut Reformasi digulirkan adalah sebuah settingan untuk melengserkan Soeharto. Menurutnya gerakan Reformasi murni kehendak rakyat.
"Itu kan Reformasi gerakan, kemauan rakyat," kata Said.
Dalam wawancaranya dengan reporter merdeka.com, Faisal Assegaf, mantan Mahathir Mohamad menyebut Indonesia saat ini butuh pemimpin seperti Soeharto. Di mata Mahathir, di masa SoehartoIndonesia pernah sangat berjaya.
Dari kaca mata Mahathir, Soeharto sengaja dijatuhkan pada tahun 1998. Dia mengaku tahu hal itu karena krisis yang sama juga melanda Malaysia.
"Di lihat sisi baiknya manusia memang ada sisi baiknya dong. Tegas, sportif, mampu menjaga stabilitas nasional. Kalau dicari baiknya pasti ada baiknya," kata Said Aqil dalam dialog ormas-ormas Islam di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu (11/5).
Namun demikian, Said Aqil tidak sepakat jika gerakan 1998 yang menuntut Reformasi digulirkan adalah sebuah settingan untuk melengserkan Soeharto. Menurutnya gerakan Reformasi murni kehendak rakyat.
"Itu kan Reformasi gerakan, kemauan rakyat," kata Said.
Dalam wawancaranya dengan reporter merdeka.com, Faisal Assegaf, mantan Mahathir Mohamad menyebut Indonesia saat ini butuh pemimpin seperti Soeharto. Di mata Mahathir, di masa SoehartoIndonesia pernah sangat berjaya.
Dari kaca mata Mahathir, Soeharto sengaja dijatuhkan pada tahun 1998. Dia mengaku tahu hal itu karena krisis yang sama juga melanda Malaysia.
Mungkinkah kasus korupsi Soeharto diungkit kembali?
Mantan Presiden Soeharto pernah mendirikan yayasan beasiswa bernama Yayasan Supersemar. Yayasan ini membiayai sejumlah institusi pendidikan di Indonesia.
Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar pada tahun 16 Mei 1974. Pendirian yayasan ini atas dasar Soeharto melihat banyak anak muda Indonesia yang memiliki kemampuan intelektual, namun keadaan orangtuanya kurang mampu untuk kelangsungan pendidikan formal anak-anak yang tengah ditekuni.
Dia berpikir, apabila anak kurang mampu tapi punya kemampuan intelektualitas itu mendapatkan kesempatan sama dengan anak-anak dari keluarga berkecukupan maka akan mampu menggerakkan roda pembangunan bangsa. Sebab mereka merupakan sumber daya manusia yang terdidik.
Soeharto mengimbau pengusaha-pengusaha dan dermawan untuk menyisihkan sebagian keuntungan dari hasil usahanya untuk ikut disalurkan melalui Yayasan Supersemar. Atas dasar kepercayaan terhadap itikad baik dan kepemimpinan Soeharto , dalam tempo relatif singkat terkumpul dana Rp 1 miliar.
Soeharto punya alasan yayasan itu dinamakan Supersemar. Menurutnya, Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966) mempunyai arti penting di dalam proses tegaknya Orde Baru, orde yang melaksanakan koreksi total terhadap kesalahan di masa lalu dan seterusnya bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; yang berarti pula suatu perjuangan yang tidak kecil dalam upaya meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia, tanggal 27 Juli 1974 di Bina Graha, Jakarta.
Digunakannya gambar Semar sebagai latar belakang surat-surat Yayasan Supersemar juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan yayasan ini. Sebab, Semar yang dikenal sebagai punakawan di dunia wayang adalah pengejawantahan dari Batara Ismaya. Ada pun tugasnya adalah mengasuh para kesatria yang berbudi luhur dan mengantarkannya pada perwujudan cita-citanya. Mengambil hikmah dari dua hal tersebut, diharapkan Yayasan Supersemar mampu menyumbangkan darmanya kepada bangsa dan negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun setelah Soeharto lengser tahun 1998, yayasan ini sempat limbung karena pucuk pimpinan didera tuduhan korupsi. Bahkan Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar dan Soehartoatas dugaan penyalahgunaan dana donasi dari pemerintah yang mencakup Rp 1,5 triliun, pada tahun 2007.
Gugatan tersebut dimenangkan oleh Kejaksaan Agung karena Yayasan Supersemar terbukti bersalah. Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010,Soeharto sebagai Tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Tergugat II dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun pengadilan hanya menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar kepada Negara/Penggugat sebesar Rp 3,07 triliun.
Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti kerugian pada negara sebesar USD 315.002.183 dan Rp 139.229.178 atau sekitar total Rp 3,07 triliun (kurs: 1 USD= Rp 9.738).
Jaksa Agung Basrief Arief meminta jajarannya untuk memproses kasus tersebut. "Ini lagi diurus jaksa datun (perdata dan tata usaha negara) yang nyatanya katanya putusannya masih dalam, belum diterima, makanya itu yang menjadi perhatian kita, makanya saya perintahkan itu menjadi perhatian. Itu kita teliti setelah putusannya kita terima dan prosesnya seperti apa nanti kan datun yang akan melaksanakan," ujar Basrief. (http://www.merdeka.com/peristiwa/mungkinkah-kasus-korupsi-soeharto-diungkit-kembali.html)
Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar pada tahun 16 Mei 1974. Pendirian yayasan ini atas dasar Soeharto melihat banyak anak muda Indonesia yang memiliki kemampuan intelektual, namun keadaan orangtuanya kurang mampu untuk kelangsungan pendidikan formal anak-anak yang tengah ditekuni.
Dia berpikir, apabila anak kurang mampu tapi punya kemampuan intelektualitas itu mendapatkan kesempatan sama dengan anak-anak dari keluarga berkecukupan maka akan mampu menggerakkan roda pembangunan bangsa. Sebab mereka merupakan sumber daya manusia yang terdidik.
Soeharto mengimbau pengusaha-pengusaha dan dermawan untuk menyisihkan sebagian keuntungan dari hasil usahanya untuk ikut disalurkan melalui Yayasan Supersemar. Atas dasar kepercayaan terhadap itikad baik dan kepemimpinan Soeharto , dalam tempo relatif singkat terkumpul dana Rp 1 miliar.
Soeharto punya alasan yayasan itu dinamakan Supersemar. Menurutnya, Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret Tahun 1966) mempunyai arti penting di dalam proses tegaknya Orde Baru, orde yang melaksanakan koreksi total terhadap kesalahan di masa lalu dan seterusnya bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; yang berarti pula suatu perjuangan yang tidak kecil dalam upaya meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia, tanggal 27 Juli 1974 di Bina Graha, Jakarta.
Digunakannya gambar Semar sebagai latar belakang surat-surat Yayasan Supersemar juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan yayasan ini. Sebab, Semar yang dikenal sebagai punakawan di dunia wayang adalah pengejawantahan dari Batara Ismaya. Ada pun tugasnya adalah mengasuh para kesatria yang berbudi luhur dan mengantarkannya pada perwujudan cita-citanya. Mengambil hikmah dari dua hal tersebut, diharapkan Yayasan Supersemar mampu menyumbangkan darmanya kepada bangsa dan negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun setelah Soeharto lengser tahun 1998, yayasan ini sempat limbung karena pucuk pimpinan didera tuduhan korupsi. Bahkan Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar dan Soehartoatas dugaan penyalahgunaan dana donasi dari pemerintah yang mencakup Rp 1,5 triliun, pada tahun 2007.
Gugatan tersebut dimenangkan oleh Kejaksaan Agung karena Yayasan Supersemar terbukti bersalah. Menurut Putusan Mahkamah Agung No. 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010,Soeharto sebagai Tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Tergugat II dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun pengadilan hanya menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar kepada Negara/Penggugat sebesar Rp 3,07 triliun.
Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti kerugian pada negara sebesar USD 315.002.183 dan Rp 139.229.178 atau sekitar total Rp 3,07 triliun (kurs: 1 USD= Rp 9.738).
Jaksa Agung Basrief Arief meminta jajarannya untuk memproses kasus tersebut. "Ini lagi diurus jaksa datun (perdata dan tata usaha negara) yang nyatanya katanya putusannya masih dalam, belum diterima, makanya itu yang menjadi perhatian kita, makanya saya perintahkan itu menjadi perhatian. Itu kita teliti setelah putusannya kita terima dan prosesnya seperti apa nanti kan datun yang akan melaksanakan," ujar Basrief. (http://www.merdeka.com/peristiwa/mungkinkah-kasus-korupsi-soeharto-diungkit-kembali.html)
Napak tilas Cendana, pusat kekuasaan Soeharto
Jalan Cendana, sebuah jalan dengan panjang yang kurang lebih hanya satu kilometer di kawasan Menteng, Jakarta Pusat itu tidak pernah dapat dihapus dalam lembar catatan sejarah republik ini. Di jalan itu, terdapat saksi bisu bagaimana kisah seorang Jenderal bekas Sersan Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), Soeharto , menjalankan kekuasaan negara.
Tidak banyak kendaraan melintas di jalan itu, yang menyebabkan suasana di sekitarnya begitu tenang meski di tengah kota. Jika dilewati dengan berjalan kaki, para pengguna jalan akan merasa nyaman karena dinaungi banyak pohon besar dan tinggi yang memberikan kesan sejuk.
Nama Cendana untuk jalan di depan rumah itu konon disematkan sendiri oleh Soeharto . Ini karena dia sangat menyukai pohon Cendana yang memiliki aroma khas dan dapat membuat orang mencium aroma itu terpaku.
Menyisir jalan itu sepanjang 100 meter dari arah Jalan Tanjung, di sana terdapat sebuah rumah lama. Rumah yang berlokasi di Jalan Cendana Nomor 6-8 itu merupakan rumah Presiden kedua RI sekaligus penguasa Orde Baru.
Rumah itu masih tampak anggun. Tetapi, mata dapat menangkap kesan sebuah bangunan militer yang begitu kuat. Kesan ini muncul lantaran rumah milik keluarga Soeharto sengaja menggunakan kombinasi warna hijau, warna khas militer.
Pada pintu gerbang untuk akses keluar masuk rumah itu, berdiri kokoh sebuah pos penjagaan yang terbuat dari papan kayu dengan cat berwarna abu-abu. Laiknya sebuah markas militer, pos itu hanya berukuran panjang sekitar 60 cm dan lebar 60 cm dengan ketinggian 200 cm. Hanya posisi berdiri yang bisa dilakukan jika berada dalam pos itu, karena memang difungsikan untuk pasukan jaga saatSoeharto masih menjadi Presiden.
Meskipun tidak lagi ditinggali oleh sang pemilik yaitu putra-putri Soeharto , rumah itu masih tampak rapi. Tidak terdapat bagian yang mengalami kerusakan. "Rumah ini masih milik keluarga Pak Harto. Fungsinya juga tetap sebagai rumah keluarga," ujar salah satu petugas keamanan, Imam, saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (17/5).
Namun demikian, Imam mengatakan, tidak satu pun anak-anak Soeharto menempati rumah itu. "Karena masing-masing punya rumah sendiri," kata dia.
Lokasi rumah anak-anak Soeharto tidak terlalu jauh dari rumah sang ayah. Misalkan saja, rumah anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra atau lebih dikenal dengan Tommy Soeharto terletak bersebelahan dengan rumah itu. Sedangkan anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana atau lebih dikenal dengan Tutut tinggal di Jalan Yusuf Adiwinata Nomor 14, Menteng, tidak begitu jauh dari rumah Soeharto .
Sayangnya, rumah itu belum dapat bebas diakses oleh siapapun, bahkan sekadar melihat bagian dalam rumah seperti berkunjung ke museum. Hanya pada momen tertentu seperti halal bi halal saja, orang diperbolehkan masuk ke dalam rumah yang cukup fenomenal itu.
"Saya hanya satu kali masuk ke rumah Pak Harto, pas halal bi halal tahun 80-an. Waktu itu, saya dilarang pulang sama orang yang jaga. Katanya, bapak mau bagi-bagi kenang-kenangan," kata seorang pedagang bakso yang telah lama berjualan di Jalan Cendana, Andi (64), bercerita.
Ketika terjadi peristiwa Mei 1998, kawasan Jalan Cendana sama sekali tidak tersentuh oleh massa. Penjagaan begitu ketat kala itu. Hanya warga dan beberapa orang yang sering beraktivitas di situ yang diperkenankan masuk.
"Waktu itu saya juga sempat dilarang masuk ke sini (Jalan Cendana). Tapi, karena ada tentara yang kebetulan tahu dan kenal, saya dibolehkan masuk dan dagang di sini," kata pria asal Kuningan, Jawa Barat itu menuturkan.
Rumah itu kini semakin redam sepeninggal Soeharto . Tetapi, berbagai kisah masa Orba akan tetap terekam dalam bangunan itu.(http://www.merdeka.com/peristiwa/napak-tilas-cendana-pusat-kekuasaan-soeharto.html)
Tidak banyak kendaraan melintas di jalan itu, yang menyebabkan suasana di sekitarnya begitu tenang meski di tengah kota. Jika dilewati dengan berjalan kaki, para pengguna jalan akan merasa nyaman karena dinaungi banyak pohon besar dan tinggi yang memberikan kesan sejuk.
Nama Cendana untuk jalan di depan rumah itu konon disematkan sendiri oleh Soeharto . Ini karena dia sangat menyukai pohon Cendana yang memiliki aroma khas dan dapat membuat orang mencium aroma itu terpaku.
Menyisir jalan itu sepanjang 100 meter dari arah Jalan Tanjung, di sana terdapat sebuah rumah lama. Rumah yang berlokasi di Jalan Cendana Nomor 6-8 itu merupakan rumah Presiden kedua RI sekaligus penguasa Orde Baru.
Rumah itu masih tampak anggun. Tetapi, mata dapat menangkap kesan sebuah bangunan militer yang begitu kuat. Kesan ini muncul lantaran rumah milik keluarga Soeharto sengaja menggunakan kombinasi warna hijau, warna khas militer.
Pada pintu gerbang untuk akses keluar masuk rumah itu, berdiri kokoh sebuah pos penjagaan yang terbuat dari papan kayu dengan cat berwarna abu-abu. Laiknya sebuah markas militer, pos itu hanya berukuran panjang sekitar 60 cm dan lebar 60 cm dengan ketinggian 200 cm. Hanya posisi berdiri yang bisa dilakukan jika berada dalam pos itu, karena memang difungsikan untuk pasukan jaga saatSoeharto masih menjadi Presiden.
Meskipun tidak lagi ditinggali oleh sang pemilik yaitu putra-putri Soeharto , rumah itu masih tampak rapi. Tidak terdapat bagian yang mengalami kerusakan. "Rumah ini masih milik keluarga Pak Harto. Fungsinya juga tetap sebagai rumah keluarga," ujar salah satu petugas keamanan, Imam, saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (17/5).
Namun demikian, Imam mengatakan, tidak satu pun anak-anak Soeharto menempati rumah itu. "Karena masing-masing punya rumah sendiri," kata dia.
Lokasi rumah anak-anak Soeharto tidak terlalu jauh dari rumah sang ayah. Misalkan saja, rumah anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra atau lebih dikenal dengan Tommy Soeharto terletak bersebelahan dengan rumah itu. Sedangkan anak sulungnya, Siti Hardiyanti Rukmana atau lebih dikenal dengan Tutut tinggal di Jalan Yusuf Adiwinata Nomor 14, Menteng, tidak begitu jauh dari rumah Soeharto .
Sayangnya, rumah itu belum dapat bebas diakses oleh siapapun, bahkan sekadar melihat bagian dalam rumah seperti berkunjung ke museum. Hanya pada momen tertentu seperti halal bi halal saja, orang diperbolehkan masuk ke dalam rumah yang cukup fenomenal itu.
"Saya hanya satu kali masuk ke rumah Pak Harto, pas halal bi halal tahun 80-an. Waktu itu, saya dilarang pulang sama orang yang jaga. Katanya, bapak mau bagi-bagi kenang-kenangan," kata seorang pedagang bakso yang telah lama berjualan di Jalan Cendana, Andi (64), bercerita.
Ketika terjadi peristiwa Mei 1998, kawasan Jalan Cendana sama sekali tidak tersentuh oleh massa. Penjagaan begitu ketat kala itu. Hanya warga dan beberapa orang yang sering beraktivitas di situ yang diperkenankan masuk.
"Waktu itu saya juga sempat dilarang masuk ke sini (Jalan Cendana). Tapi, karena ada tentara yang kebetulan tahu dan kenal, saya dibolehkan masuk dan dagang di sini," kata pria asal Kuningan, Jawa Barat itu menuturkan.
Rumah itu kini semakin redam sepeninggal Soeharto . Tetapi, berbagai kisah masa Orba akan tetap terekam dalam bangunan itu.(http://www.merdeka.com/peristiwa/napak-tilas-cendana-pusat-kekuasaan-soeharto.html)
15 Tahun kejatuhan Soeharto dan era reformasi
Selasa 21 Mei besok genap 15 tahun rezim Soeharto tumbang. Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan kala itu dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, BJ Habibie.
Tumbangnya Soeharto menjadi babak baru dimulainya orde reformasi di Indonesia yang telah berjalan hingga saat ini. Namun setelah 15 tahun berjalan, bagaimana kondisi reformasi dewasa ini? 15 Tahun berlalu, benarkah rakyat sudah sejahtera dan lebih baik dari rezim Soeharto ?
Banyak yang menyebut selama rezim Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya kepemimpinan suami Raden Ayu Siti Hartinah di Indonesia.
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter.
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam pada kepemimpinanSoeharto . Pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Pada 17 Maret 1998, Soeharto juga mengumumkan bahwa seluruh gaji dan tunjangannya akan disumbangkan. Soeharto juga meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka untuk mengatasi krisis moneter. Namun gelombang penolakan terhadap Soeharto terus membesar.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, suami Ibu Tien ini sudah menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata.
Kala itu, tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Saat itu aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta menggelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat strategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan menjadi pemantik suatu peristiwa yang lebih besar.
Kamis, 14 Mei 1998, ibu kota negara dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15.
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Dua hari setelahnya atau tanggal 20 Mei 1998, sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri. Dampaknya,Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri ini.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan ke seantero penjuru negeri bahwa dirinya berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Kini 15 tahun reformasi telah bergulir. Namun suara-suara sumbang yang merindukan sosok pemimpin seperti Soeharto kembali muncul. Rasa aman, nyaman yang semakin mahal menjadi salah satu tunas munculnya suara tersebut.
Berbagai kasus kekinian yang terjadi membuat orang mulai membandingkan zaman Soehartodengan zaman reformasi yang sudah berjalan 15 tahun ini. Bahkan sindiran 'Enak zaman ku tho' dengan gambar Soeharto tersenyum mulai banyak muncul. Benarkan di era Soeharto , lebih baik dibanding era saat ini?
Ketika banyak preman bermunculan dan berani membunuh aparat, masyarakat kembali merindukan sosok ketegasan Soeharto . Penembak misterius yang dianggap melanggar HAM kini mulai hangat diperbincangkan sebagai jawaban untuk memberantas premanisme. (http://www.merdeka.com/peristiwa/15-tahun-kejatuhan-soeharto-dan-era-reformasi.html)
Tumbangnya Soeharto menjadi babak baru dimulainya orde reformasi di Indonesia yang telah berjalan hingga saat ini. Namun setelah 15 tahun berjalan, bagaimana kondisi reformasi dewasa ini? 15 Tahun berlalu, benarkah rakyat sudah sejahtera dan lebih baik dari rezim Soeharto ?
Banyak yang menyebut selama rezim Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya kepemimpinan suami Raden Ayu Siti Hartinah di Indonesia.
Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter.
Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam pada kepemimpinanSoeharto . Pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Pada 17 Maret 1998, Soeharto juga mengumumkan bahwa seluruh gaji dan tunjangannya akan disumbangkan. Soeharto juga meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka untuk mengatasi krisis moneter. Namun gelombang penolakan terhadap Soeharto terus membesar.
Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, suami Ibu Tien ini sudah menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata.
Kala itu, tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Saat itu aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta menggelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat strategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.
Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan menjadi pemantik suatu peristiwa yang lebih besar.
Kamis, 14 Mei 1998, ibu kota negara dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15.
Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Dua hari setelahnya atau tanggal 20 Mei 1998, sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri. Dampaknya,Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri ini.
Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan ke seantero penjuru negeri bahwa dirinya berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Kini 15 tahun reformasi telah bergulir. Namun suara-suara sumbang yang merindukan sosok pemimpin seperti Soeharto kembali muncul. Rasa aman, nyaman yang semakin mahal menjadi salah satu tunas munculnya suara tersebut.
Berbagai kasus kekinian yang terjadi membuat orang mulai membandingkan zaman Soehartodengan zaman reformasi yang sudah berjalan 15 tahun ini. Bahkan sindiran 'Enak zaman ku tho' dengan gambar Soeharto tersenyum mulai banyak muncul. Benarkan di era Soeharto , lebih baik dibanding era saat ini?
Ketika banyak preman bermunculan dan berani membunuh aparat, masyarakat kembali merindukan sosok ketegasan Soeharto . Penembak misterius yang dianggap melanggar HAM kini mulai hangat diperbincangkan sebagai jawaban untuk memberantas premanisme. (http://www.merdeka.com/peristiwa/15-tahun-kejatuhan-soeharto-dan-era-reformasi.html)
Kejagung telaah kasus Soeharto dan korupsi Yayasan Supersemar
Kejaksaan Agung (Kejagung) berjanji akan menindaklanjuti kasus Soeharto soal korupsi Yayasan Beasiswa Supersemar senilai Rp 3,07 triliun. Wakil Jaksa Agung Darmono membantah bila Kejaksaan dianggap tidak memproses kasus Soeharto.
"Kejagung akan segera menindaklanjuti kasusnya Soeharto, hanya kasusnya, kalau sosoknya kan sudah meninggal," kata dia, Selasa (14/5).
Sebelum ditindaklanjuti, Darmono menjelaskan, Kejaksaan memerlukan waktu untuk mempelajari kasus tersebut. "Kami perlu mempelajari dan menelaah kasus itu, kemudian akan diambil langkah yuridis," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti kerugian pada negara sebesar USD 315.002.183 dan Rp. 139.229.178 atau sekitar total Rp 3,07 Triliun (kurs: 1 USD= Rp 9.738).
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengatakan, melalui Putusan Mahkamah Agung No. 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, Soeharto sebagai Tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Tergugat II dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun pengadilan hanya menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar kepada Negara/Penggugat sebesar Rp. 3,07 triliun.
"Akan tetapi, setelah 15 tahun reformasi berjalan, eksekusi terhadap perkara terkait Soeharto ini masih belum dilakukan," ujar Febri di Kejaksaan Agung, Jakarta (14/5).
Oleh sebab itu ICW bersama masyarakat antikorupsi lain, di antaranya; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Legal Rountable (ILR) – Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi FHUGM – PUSAKO Fakultas Hukum Universitas Andalas mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan.
Mereka meminta SBY memerintahkan Jaksa Agung dan jajarannya untuk melanjutkan Gugatan Perdata terhadap beberapa Yayasan terkait Soeharto lainnya dan memerintahkan Jaksa Agung melakukan tindakan hukum menuju eksekusi kasus Yayasan Beasiswa Supersemar.
Selain itu, mereka juga meminta jaksa agung melakukan tindakan hukum menuju Eksekusi pengembalian kerugian negara sekitar Rp 3,07 Triliun dalam kasus gugatan Yayasan Beasiswa Supersemar serta jaksa agung meneruskan rencana Gugatan terhadap beberapa yayasan lain terkait Soeharto dan menjelaskan perkembangannya pada publik.
"Kejagung akan segera menindaklanjuti kasusnya Soeharto, hanya kasusnya, kalau sosoknya kan sudah meninggal," kata dia, Selasa (14/5).
Sebelum ditindaklanjuti, Darmono menjelaskan, Kejaksaan memerlukan waktu untuk mempelajari kasus tersebut. "Kami perlu mempelajari dan menelaah kasus itu, kemudian akan diambil langkah yuridis," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti kerugian pada negara sebesar USD 315.002.183 dan Rp. 139.229.178 atau sekitar total Rp 3,07 Triliun (kurs: 1 USD= Rp 9.738).
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengatakan, melalui Putusan Mahkamah Agung No. 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, Soeharto sebagai Tergugat I dan Yayasan Beasiswa Supersemar sebagai Tergugat II dinyatakan melakukan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun pengadilan hanya menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar kepada Negara/Penggugat sebesar Rp. 3,07 triliun.
"Akan tetapi, setelah 15 tahun reformasi berjalan, eksekusi terhadap perkara terkait Soeharto ini masih belum dilakukan," ujar Febri di Kejaksaan Agung, Jakarta (14/5).
Oleh sebab itu ICW bersama masyarakat antikorupsi lain, di antaranya; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Legal Rountable (ILR) – Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi FHUGM – PUSAKO Fakultas Hukum Universitas Andalas mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan.
Mereka meminta SBY memerintahkan Jaksa Agung dan jajarannya untuk melanjutkan Gugatan Perdata terhadap beberapa Yayasan terkait Soeharto lainnya dan memerintahkan Jaksa Agung melakukan tindakan hukum menuju eksekusi kasus Yayasan Beasiswa Supersemar.
Selain itu, mereka juga meminta jaksa agung melakukan tindakan hukum menuju Eksekusi pengembalian kerugian negara sekitar Rp 3,07 Triliun dalam kasus gugatan Yayasan Beasiswa Supersemar serta jaksa agung meneruskan rencana Gugatan terhadap beberapa yayasan lain terkait Soeharto dan menjelaskan perkembangannya pada publik.
[mtf/http://www.merdeka.com/peristiwa/kejagung-telaah-kasus-soeharto-dan-korupsi-yayasan-supersemar.html]
Mei 98, semangat jatuhkan Soeharto dari mahasiswa Bandung
Jelang akhir abad ke-19 Asia diterpa krisis global yang berdampak pada jatuhnya perekonomian Indonesia. Masyarakat tidak puas pada kepemimpinan mantan Presiden Soeharto hingga terjadinya demonstrasi besar-besaran. Tujuannya satu, Soeharto lengser dari jabatannya.
Pergantian kepemimpinan nasional merupakan solusi bagi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah menyeret nama Soeharto agar lengser dari Singasana.
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Solo dan kota besar lainnya menginginkan agar rezim Orde Baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun jatuh.
Sebagai pusat pemerintahan di Indonesia, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Bahkan menyebabkan kerusuhan yang juga menyebabkan tragedi 'Trisakti' di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Selain amuk masa, aksi jarah toko dan perusahaan. Di Jakarta dan Surakarta, dikabarkan ratusan wanita keturunan Tionghoa diperkosa dan dilecehkan seksual.
Bandung, sebagai kota pendidikan tak jarang melahirkan gagasan-gagasan sebagai bentuk kritis kepada pemerintahan yang ada. Diskusi yang ada merumuskan agenda reformasi untuk dibawa ke Jakarta.
Namun Bandung dalam bentuk fisik tak separah yang dibayangkan pada tragedi kelam sejarah buruk di Indonesia.
Salah satu aktivis 1998, Muradi mengaku pergerakan itu ada. Bahkan isu pelengseran itu berasal dari Bandung. Analisis negara berada kubangan krisis ekonomi, mahasiswa Bandung membaca situasi tersebut. Indonesia gawat. Mahasiswa harus bergerak.
"Kita sekitar November 1997 sepakat untuk mengorganisir kampus-kampus yang ada," kata Muradi saat berbincang dengan merdeka.com.
Dari situ lah, Beberapa universitas yang memiliki tradisi pergerakan mahasiswa di Bandung mulai menggeliat. Ada Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan (Unpar), Universitas Islam Bandung (Unisba), IAIN Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Pasundan (Unpas).
"Kami saat itu membentuk Forum Mahasiswa Bandung (FMB). Forum ini sepakat dengan pergantian kepemimpinan bangsa," ucap Muradi yang merupakan koordinator FMB saat itu.
Pergantian kepemimpinan nasional merupakan solusi bagi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah menyeret nama Soeharto agar lengser dari Singasana.
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Solo dan kota besar lainnya menginginkan agar rezim Orde Baru yang sudah berkuasa selama 32 tahun jatuh.
Sebagai pusat pemerintahan di Indonesia, aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Bahkan menyebabkan kerusuhan yang juga menyebabkan tragedi 'Trisakti' di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Selain amuk masa, aksi jarah toko dan perusahaan. Di Jakarta dan Surakarta, dikabarkan ratusan wanita keturunan Tionghoa diperkosa dan dilecehkan seksual.
Bandung, sebagai kota pendidikan tak jarang melahirkan gagasan-gagasan sebagai bentuk kritis kepada pemerintahan yang ada. Diskusi yang ada merumuskan agenda reformasi untuk dibawa ke Jakarta.
Namun Bandung dalam bentuk fisik tak separah yang dibayangkan pada tragedi kelam sejarah buruk di Indonesia.
Salah satu aktivis 1998, Muradi mengaku pergerakan itu ada. Bahkan isu pelengseran itu berasal dari Bandung. Analisis negara berada kubangan krisis ekonomi, mahasiswa Bandung membaca situasi tersebut. Indonesia gawat. Mahasiswa harus bergerak.
"Kita sekitar November 1997 sepakat untuk mengorganisir kampus-kampus yang ada," kata Muradi saat berbincang dengan merdeka.com.
Dari situ lah, Beberapa universitas yang memiliki tradisi pergerakan mahasiswa di Bandung mulai menggeliat. Ada Universitas Padjadjaran, ITB, Universitas Parahyangan (Unpar), Universitas Islam Bandung (Unisba), IAIN Bandung, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Pasundan (Unpas).
"Kami saat itu membentuk Forum Mahasiswa Bandung (FMB). Forum ini sepakat dengan pergantian kepemimpinan bangsa," ucap Muradi yang merupakan koordinator FMB saat itu.
Sejak itu, dari hari kehari selalu diwarnai aksi unjuk rasa yang dilakukan di kampus-kampus. Konsolidasi dilakukan membentuk satu kekuatan Mahasiswa bersatu menuntut reformasi.
"Kita terus mengorganisir dari yang semula 20 menjadi 30, sampai pada akhirnya Maret - April (1998) kita konsisten memiliki massa di atas 500," jelasnya.
Bahkan pemblokiran jalan pernah dilakukan di sekitar Jalan Jatinangor yang memutuskan jalur utara pulau Jawa. Aksi terus dilakukan secara konsisten hingga pada akhirnya 12 Mei merupakan puncak aksi. 60 kampus lebih telah terorganisir melalui FMB ini.
FMB niscaya organisasi gurita, karena tuntutan reformasi telah benar-benar disambut dan didukung oleh masyarakat secara luas. Posko terbentuk di setiap kampusnya.
Namun posko gabungan bagi elemen-elemen dan kampus untuk dapat berkoordinasi ditentukan di Unpad dengan perhitungan dekat dengan kantor Gubernur, kantor DPRD Jawa Barat, dan Lapangan Gasibu.
FMB yang sudah terbentuk saat itu pernah ditawari untuk bergerak ke Jakarta untuk bersatu berkonsentrasi menjatuhkan Soeharto di Senayan. "Kami berpikir bahwa jika kami berangkat dikhawatirkan Bandung rusuh, kami putuskan untuk tidak berangkat," ungkapnya.
Namun tak semua sepakat, sekitar 10 bus memutuskan untuk berangkat.
"Kalau kami yang memutuskan tidak berangkat agar Bandung tidak terjadi kericuhan," bebernya. Saat itu Mahasiswa yang ada membentuk satu komitmen dengan slogan Anak Bandung Cinta Damai (ABCD).
Slogan itu mereka usung dalam aksi besar-besaran yang terjadi di kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat atau Gedung Sate. "50 ribu massa dari berbagai elemen kita beraksi di Gedung Sate, lapang Gasibu dan DPRD Jabat," katanya.
Riak-riak kisruh, kata dia ada, namun dampak kericuhan dapat diminimalisir. Semua yang berkumpul menyuarakan anti orde baru dengan cara yang damai. "Karena tidak ada sejarahnya Bandung rusuh, kita ingin meneruskan sejarah Bandung yang tidak pernah rusuh, kita tetap menjaga kondusifitas Bandung," terangnya.
Genosida terhadap orang Tionghoa di Bandung menurutnya dapat dibantahkan. Pemerkosaan atau penjarahan yang terjadi di Jalan ABC Bandung yang dihuni kebanyakan etnis Tionghoa itu hanyalah rumor.
"Tidak ada pengrusakan sama sekali," paparnya.
Pergerakan itu ternyata tak sia-sia. Pergerakan Mahasiswa ampuh melumpuhkan rezim penguasa selama 32 tahun lamanya. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soehartoakhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden BJ Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
Bahkan pemblokiran jalan pernah dilakukan di sekitar Jalan Jatinangor yang memutuskan jalur utara pulau Jawa. Aksi terus dilakukan secara konsisten hingga pada akhirnya 12 Mei merupakan puncak aksi. 60 kampus lebih telah terorganisir melalui FMB ini.
FMB niscaya organisasi gurita, karena tuntutan reformasi telah benar-benar disambut dan didukung oleh masyarakat secara luas. Posko terbentuk di setiap kampusnya.
Namun posko gabungan bagi elemen-elemen dan kampus untuk dapat berkoordinasi ditentukan di Unpad dengan perhitungan dekat dengan kantor Gubernur, kantor DPRD Jawa Barat, dan Lapangan Gasibu.
FMB yang sudah terbentuk saat itu pernah ditawari untuk bergerak ke Jakarta untuk bersatu berkonsentrasi menjatuhkan Soeharto di Senayan. "Kami berpikir bahwa jika kami berangkat dikhawatirkan Bandung rusuh, kami putuskan untuk tidak berangkat," ungkapnya.
Namun tak semua sepakat, sekitar 10 bus memutuskan untuk berangkat.
"Kalau kami yang memutuskan tidak berangkat agar Bandung tidak terjadi kericuhan," bebernya. Saat itu Mahasiswa yang ada membentuk satu komitmen dengan slogan Anak Bandung Cinta Damai (ABCD).
Slogan itu mereka usung dalam aksi besar-besaran yang terjadi di kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat atau Gedung Sate. "50 ribu massa dari berbagai elemen kita beraksi di Gedung Sate, lapang Gasibu dan DPRD Jabat," katanya.
Riak-riak kisruh, kata dia ada, namun dampak kericuhan dapat diminimalisir. Semua yang berkumpul menyuarakan anti orde baru dengan cara yang damai. "Karena tidak ada sejarahnya Bandung rusuh, kita ingin meneruskan sejarah Bandung yang tidak pernah rusuh, kita tetap menjaga kondusifitas Bandung," terangnya.
Genosida terhadap orang Tionghoa di Bandung menurutnya dapat dibantahkan. Pemerkosaan atau penjarahan yang terjadi di Jalan ABC Bandung yang dihuni kebanyakan etnis Tionghoa itu hanyalah rumor.
"Tidak ada pengrusakan sama sekali," paparnya.
Pergerakan itu ternyata tak sia-sia. Pergerakan Mahasiswa ampuh melumpuhkan rezim penguasa selama 32 tahun lamanya. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soehartoakhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden BJ Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
[tyo/http://www.merdeka.com/peristiwa/mei-98-semangat-jatuhkan-soeharto-dari-mahasiswa-bandung.html]
Kata Mahathir Indonesia butuh Soeharto, benarkah?
Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad menilai, Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Soeharto . Di mata Mahathir, Soeharto merupakan sosok yang kuat dalam memimpin.
Hal itu diamini oleh Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Menurut dia, karakter Indonesia sebagai negara archipelago memang membutuhkan karakter strong leadership.
"Indonesia ini kan archipelago, bentuknya unik. Dengan model negara seperti ini memang dibutuhkan pemimpin yang memiliki strong leadership yang bisa melihat dan memadupadankan semua karakter dari masing-masing daerah, juga menjaga agar tiap daerah itu tidak kehilangan pegangan," ujar Zuhro kepada merdeka.com, Jumat (10/5).
Namun demikian, Zuhro tidak sepakat jika model kepemimpinan Soeharto kembali diterapkan dalam masa sekarang. Menurut dia, model kepemimpinan itu justru kontraproduktif dengan misi pembangunan bangsa.
"Jika menerapkan model lama, saya melihat memang di satu nsisi tuntutan-tuntutan daerah itu bisa diredam karena bukan otonomi daerah. Tapi, di sisi lain dihadapkan pada misi pembangunan, justru sistem itu tidak mencerminkan developed (terbangun), bahkan underdeveloped (tidak berkembang)," kata Zuhro.
Selanjutnya, Zuhro menegaskan, keberadaan strong leadership memang sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa ini, Tetapi, hal itu tentu harus disesuaikan dengan kondisi kekinian, yang menjunjung tinggi keterbukaan sebagai ruh demokrasi.
"Sosok strong leadership itu untuk saat ini adalah seorang pemimpin yang dapat berkomunikasi dengan publik, mampu menampung aspirasi publik dan memenuhi aspirasi itu. Bukan lagi dengan model pemerintahan yang otoriter," terang Zuhro.
Lebih lanjut, Zuhro menambahkan, sosok strong leadership yang diharapkan bukan berasal dari kalangan militer seperti Soeharto . Namun demikian, dia lebih menekankan pada perilaku kepemimpinan seseorang yang benar-benar menunjukkan seorang pemimpin, bukan penguasa.
"Strong leadership itu bukan harus dari militer. Dalam hal ni tindakan seorang pemimpin benar-benar mencerminkan bahwa dia adalah seorang pemimpin, bukan penguasa. Dia mau berkorban untuk rakyatnya dan memiliki dedikasi tinggi bagi pembangunan negara," pungkas dia.
Hal itu diamini oleh Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Menurut dia, karakter Indonesia sebagai negara archipelago memang membutuhkan karakter strong leadership.
"Indonesia ini kan archipelago, bentuknya unik. Dengan model negara seperti ini memang dibutuhkan pemimpin yang memiliki strong leadership yang bisa melihat dan memadupadankan semua karakter dari masing-masing daerah, juga menjaga agar tiap daerah itu tidak kehilangan pegangan," ujar Zuhro kepada merdeka.com, Jumat (10/5).
Namun demikian, Zuhro tidak sepakat jika model kepemimpinan Soeharto kembali diterapkan dalam masa sekarang. Menurut dia, model kepemimpinan itu justru kontraproduktif dengan misi pembangunan bangsa.
"Jika menerapkan model lama, saya melihat memang di satu nsisi tuntutan-tuntutan daerah itu bisa diredam karena bukan otonomi daerah. Tapi, di sisi lain dihadapkan pada misi pembangunan, justru sistem itu tidak mencerminkan developed (terbangun), bahkan underdeveloped (tidak berkembang)," kata Zuhro.
Selanjutnya, Zuhro menegaskan, keberadaan strong leadership memang sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa ini, Tetapi, hal itu tentu harus disesuaikan dengan kondisi kekinian, yang menjunjung tinggi keterbukaan sebagai ruh demokrasi.
"Sosok strong leadership itu untuk saat ini adalah seorang pemimpin yang dapat berkomunikasi dengan publik, mampu menampung aspirasi publik dan memenuhi aspirasi itu. Bukan lagi dengan model pemerintahan yang otoriter," terang Zuhro.
Lebih lanjut, Zuhro menambahkan, sosok strong leadership yang diharapkan bukan berasal dari kalangan militer seperti Soeharto . Namun demikian, dia lebih menekankan pada perilaku kepemimpinan seseorang yang benar-benar menunjukkan seorang pemimpin, bukan penguasa.
"Strong leadership itu bukan harus dari militer. Dalam hal ni tindakan seorang pemimpin benar-benar mencerminkan bahwa dia adalah seorang pemimpin, bukan penguasa. Dia mau berkorban untuk rakyatnya dan memiliki dedikasi tinggi bagi pembangunan negara," pungkas dia.
4 Alasan Mahathir sebut Indonesia butuh Soeharto
1. Pak Harto pemimpin yang kuat
Mantan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Bin Mohamad menyebut Indonesia membutuhkan pemimpin seperti Soeharto. Alasannya, Pak Harto merupakan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat.
"Dia adalah seseorang yang memberi kepemimpinan kuat. Sebuah negara seperti Indonesia, kita perlu pemimpin yang kuat. Kalau pemimpin lemah, dia akan ditarik ke arah berbeda dan tidak akan menjadi pemimpin berkesan," kata Mahathir kepada wartawan merdeka.com, Faisal Assegaf, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Mahathir menyatakan bukan berarti pemimpin Indonesia ke depan harus berasal dari militer seperti Pak Harto.
"Tak harus militer, dari pihak mana pun tak apa. Tetapi militer perlu menjadi profesional. Mereka akan turut perintah pemimpin dipilih oleh rakyat. Kalau mereka campur tangan, mereka bersenjata. Maka akan hilang demokrasi," katanya.
"Dia adalah seseorang yang memberi kepemimpinan kuat. Sebuah negara seperti Indonesia, kita perlu pemimpin yang kuat. Kalau pemimpin lemah, dia akan ditarik ke arah berbeda dan tidak akan menjadi pemimpin berkesan," kata Mahathir kepada wartawan merdeka.com, Faisal Assegaf, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Mahathir menyatakan bukan berarti pemimpin Indonesia ke depan harus berasal dari militer seperti Pak Harto.
"Tak harus militer, dari pihak mana pun tak apa. Tetapi militer perlu menjadi profesional. Mereka akan turut perintah pemimpin dipilih oleh rakyat. Kalau mereka campur tangan, mereka bersenjata. Maka akan hilang demokrasi," katanya.
2. Pak Harto pemimpin bijaksana
Mahathir menilai Soeharto sebagai seorang pemimpin yang tenang. Pak Harto mengambil tindakan dan keputusan dengan sikap dan pikiran yang penuh dengan ketenangan.
"Pak Harto memerintah amat bijaksana dengan memahami masalah-masalah yang rumit dari sebuah negara besar dengan jumlah penduduk dua ratus juta orang, yang berbeda kultur dan bahasa dan tinggal tersebar di kepulauan," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Mahathir menilai Pak Harto dapat mengawal keadaan. Hal itu dibuktikannya dengan mengkondusifkan kondisi Indonesia pasca-peralihan kekuasaan dari Bung Karno kepada dirinya.
"Tidaklah mudah bagi pemerintah mengawal keadaan sebuah negara yang baru dibentuk, seperti Indonesia yang baru merdeka dijajah Belanda, padahal sebelum itu Indonesia memiliki banyak kerajaan yang kadang-kadang saling bermusuhan," katanya.
"Pak Harto memerintah amat bijaksana dengan memahami masalah-masalah yang rumit dari sebuah negara besar dengan jumlah penduduk dua ratus juta orang, yang berbeda kultur dan bahasa dan tinggal tersebar di kepulauan," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Mahathir menilai Pak Harto dapat mengawal keadaan. Hal itu dibuktikannya dengan mengkondusifkan kondisi Indonesia pasca-peralihan kekuasaan dari Bung Karno kepada dirinya.
"Tidaklah mudah bagi pemerintah mengawal keadaan sebuah negara yang baru dibentuk, seperti Indonesia yang baru merdeka dijajah Belanda, padahal sebelum itu Indonesia memiliki banyak kerajaan yang kadang-kadang saling bermusuhan," katanya.
3. Pak Harto memahami banyak masalah
Selain kuat dan bijaksana, Pak Harto merupakan pemimpin yang memahami begitu banyak masalah di mata Mahathir. Karenanya, Pak Harto dapat mengatasi masalah dan membangun Indonesia dengan baik.
"Memang ada yang berpendapat bahwa pemerintahan Pak Harto keras, tetapi kami tidak melihatnya seperti itu," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Menurutnya, tidak mungkin sebuah pemerintah tidak berlaku tegas dengan membiarkan adanya masalah di dalam negeri. Sebab, hal itu akan mengganggu pembangunan.
"Banyak negara yang merdeka pada waktu yang bersamaan, sampai sekarang tidak mengalami kemajuan apa-apa karena adanya civil war. Namun Pak Harto dapat mengawal sehingga Indonesia bisa menjadi sebuah negara jaya," katanya.
"Memang ada yang berpendapat bahwa pemerintahan Pak Harto keras, tetapi kami tidak melihatnya seperti itu," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Menurutnya, tidak mungkin sebuah pemerintah tidak berlaku tegas dengan membiarkan adanya masalah di dalam negeri. Sebab, hal itu akan mengganggu pembangunan.
"Banyak negara yang merdeka pada waktu yang bersamaan, sampai sekarang tidak mengalami kemajuan apa-apa karena adanya civil war. Namun Pak Harto dapat mengawal sehingga Indonesia bisa menjadi sebuah negara jaya," katanya.
4. Pak Harto paham apa yang dibutuhkan rakyat
Mahathir mengatakan, Pak Harto merupakan pemimpin yang mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pak Harto berusaha mempertahankan nilai-nilai kebangsaan dan jati diri yang dimiliki Indonesia.
"Setiap negara memerlukan sebuah pegangan yang menjadikan kita semua memiliki komitmen yang sama terhadap pegangan itu, sehingga sebuah bangsa bisa bersatu dalam sebuah negara," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Menurutnya, Pak Harto seorang pemimpin yang tegas. Selain itu, Pak Harto sangat paham terhadap berbagai masalah dan hal-hal yang diperlukan oleh rakyat dan negara Indonesia.
"Sebagai contoh mengenai demokrasi. Kita memerlukan demokrasi tetapi demokrasi seperti di Barat tidak cocok untuk negara yang lain karena masing-masing negara memiliki kekhasan dan tidak dapat dipaksakan."
"Pak Harto amat memahami kebutuhan demokrasi di Indonesia. Itu sebabnya mengapa di bawah kepemimpinan Pak Harto, Indonesia bisa maju dari negara miskin menjadi negara berkembang," katanya.
"Setiap negara memerlukan sebuah pegangan yang menjadikan kita semua memiliki komitmen yang sama terhadap pegangan itu, sehingga sebuah bangsa bisa bersatu dalam sebuah negara," kata Mahathir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories'.
Menurutnya, Pak Harto seorang pemimpin yang tegas. Selain itu, Pak Harto sangat paham terhadap berbagai masalah dan hal-hal yang diperlukan oleh rakyat dan negara Indonesia.
"Sebagai contoh mengenai demokrasi. Kita memerlukan demokrasi tetapi demokrasi seperti di Barat tidak cocok untuk negara yang lain karena masing-masing negara memiliki kekhasan dan tidak dapat dipaksakan."
"Pak Harto amat memahami kebutuhan demokrasi di Indonesia. Itu sebabnya mengapa di bawah kepemimpinan Pak Harto, Indonesia bisa maju dari negara miskin menjadi negara berkembang," katanya.
FOTO-FOTO EXCLUSIVE KEJATUHAN SOEHARTO TAHUN 1998 :
©Reuters
Ratusan lebih mahasiswa bersorak di atas bus sambil memegang bendera Merah Putih menuju Gedung MPR/DPR untuk menuntut mundurnya kepemimpinan Presiden Soeharto, Jakarta 18 Mei 1998.
Ratusan lebih mahasiswa bersorak di atas bus sambil memegang bendera Merah Putih menuju Gedung MPR/DPR untuk menuntut mundurnya kepemimpinan Presiden Soeharto, Jakarta 18 Mei 1998.
©Reuters
Aparat keamanan berjaga untuk mengantisipasi ratusan mahasiswa yang ingin menaiki Gedung MPR/DPR karena ingin secepatnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, Jakarta 18 Mei 1998.
Harmoko (tengah) yang saat itu menjabat sebagai ketua MPR sekaligus ketua Partai Golkar dikawal petugas usai menggelar konpers. Dalam konpersnya, Harmoko meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri secara konstitusional akibat amarah rakyat yang tak terbendung lagi, Jakarta 19 Mei 1998.
©Reuters
Aparat keamanan memasang kawat berduri untuk mengantisipasi rencana ribuan mahasiswa yang akan kembali menjajaki Gedung MPR/DPR untuk menuntut mundurnya rezim Presiden Soeharto, Jakarta 20 Mei 1998.
Aparat keamanan memasang kawat berduri untuk mengantisipasi rencana ribuan mahasiswa yang akan kembali menjajaki Gedung MPR/DPR untuk menuntut mundurnya rezim Presiden Soeharto, Jakarta 20 Mei 1998.
©Reuters
Ribuan mahasiswa Indonesia bersorak saat kembali mendatangi Gedung MPR/DPR untuk menuntutnya 'Reformasi' serta turunnya Presiden Soeharto dari bangku kekuasaan, Jakarta 20 Mei 1998.
Ribuan mahasiswa Indonesia bersorak saat kembali mendatangi Gedung MPR/DPR untuk menuntutnya 'Reformasi' serta turunnya Presiden Soeharto dari bangku kekuasaan, Jakarta 20 Mei 1998.
©Reuters
Lebih dari ribuan mahasiswa menaiki atap Gedung MPR/DPR setelah berhasil membobol pertahanan aparat yang menjaga. Para mahasiswa terus bersorak agar secepatnya Presiden Soeharto lengser dari kekuasannya, Jakarta 20 Mei 1998.
Lebih dari ribuan mahasiswa menaiki atap Gedung MPR/DPR setelah berhasil membobol pertahanan aparat yang menjaga. Para mahasiswa terus bersorak agar secepatnya Presiden Soeharto lengser dari kekuasannya, Jakarta 20 Mei 1998.
©Reuters
Sebuah spanduk besar menyindir Presiden Soeharto di bentangkan oleh ribuan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung MPR/DPR, Jakarta 21 Mei 1998.
Sebuah spanduk besar menyindir Presiden Soeharto di bentangkan oleh ribuan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung MPR/DPR, Jakarta 21 Mei 1998.
©Reuters
Presiden Soeharto (kiri) didampingi BJ Habibie (kanan) saat membacakan surat pengunduran diri dari bangku kekuasaan di Istana Kepresidenan, Jakarta 21 Mei 1998. Soeharto akhirnya mengundurkan dari bangku presiden yang selama kurang lebih 32 tahun ia duduki.
Presiden Soeharto (kiri) didampingi BJ Habibie (kanan) saat membacakan surat pengunduran diri dari bangku kekuasaan di Istana Kepresidenan, Jakarta 21 Mei 1998. Soeharto akhirnya mengundurkan dari bangku presiden yang selama kurang lebih 32 tahun ia duduki.
©Reuters
Rakyat yang berada di dalam rumah bersorak gembira setelah mendengarkan kemunduran Presiden Soeharto dari layar televisi, Jakarta 21 Mei 1998.
Rakyat yang berada di dalam rumah bersorak gembira setelah mendengarkan kemunduran Presiden Soeharto dari layar televisi, Jakarta 21 Mei 1998.
©Reuters
Ratusan rakyat Bandung pun berkonvoi untuk merayakan berakhirnya rezim Orde Baru setelah mendengarkan keputusan Presiden Soeharto, Bandung 21 Mei 1998.
Ratusan rakyat Bandung pun berkonvoi untuk merayakan berakhirnya rezim Orde Baru setelah mendengarkan keputusan Presiden Soeharto, Bandung 21 Mei 1998.
©Reuters
Di Solo, rakyat juga merayakan kegembiraannya dengan berkonvoi di jalan setelah mendengarkan kemunduran Presiden Soeharto, Solo 21 Mei 1998.
©Reuters
Di Jakarta pun tak kalah bergembira, ratusan mahasiswa yang berada di Gedung MPR/DPR menangis bersyukur atas berakhirnya rezim Soeharto, Jakarta 21 Mei 1998.
Di Jakarta pun tak kalah bergembira, ratusan mahasiswa yang berada di Gedung MPR/DPR menangis bersyukur atas berakhirnya rezim Soeharto, Jakarta 21 Mei 1998.