Suasana cair dan akrab ditingkah obrolan gayeng tapi santai mewarnai acara dialog bertajuk Titik Temu Sunni-Syiah yang digagas Jaringan GusDurian Jumat malam (7/2) kemarin bertempat di kantor Wahid Institute Jakarta. Suasana hangat itu tak lepas dari peran Zuhairi Misrawi selaku Ketua Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) sebagai moderator yang memandu jalannya dialog malam itu. Acara yang dimulai pukul 19.00 hingga 20.00 WIB itu dihadiri sekitar 200-an peserta dan dibuka penampilan grup musik “Zarb Ava” asal Iran.
Dalam kesempatan itu KH. Masdar F. Mas’udi dengan agak berseloroh menyatakan, “Harusnya malam ini pihak panitia juga menghadirkan kelompok ekstrim kiri ya? Sebab Kang Jalal ini kan mewakili kelompok ekstrim kanan. Lha kita sebagai NU sebenarnya berada di posisi tengah. Nah, dengan begitu maka kita yang bisa jadi wasitnya.”
Jalaluddin Rahmat yang biasa disapa Kang Jalal itu memang hadir mewakili pembicara dari pihak Syiah. Sementara KH. Masdar F. Mas’udi, selaku Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dalam hal ini hadir mewakili pihak Sunni. Pernyataan KH. Masdar diamini Kang Jalal seraya mengingatkan kembali kepada seluruh hadirin tentang statemen tegas almarhum Gus Dur yang menekankan lebih banyaknya persamaan antara Sunni dengan Syiah dibandingkan perbedaan yang ada di antara keduanya. Bagi Kang Jalal, sama saja mau disebut NU itu sebenarnya Syiah Minus Imamah ataukah dengan istilah lain Syiah itu NU Plus Imamah.
Jalaluddin Rahmat yang biasa disapa Kang Jalal itu memang hadir mewakili pembicara dari pihak Syiah. Sementara KH. Masdar F. Mas’udi, selaku Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dalam hal ini hadir mewakili pihak Sunni. Pernyataan KH. Masdar diamini Kang Jalal seraya mengingatkan kembali kepada seluruh hadirin tentang statemen tegas almarhum Gus Dur yang menekankan lebih banyaknya persamaan antara Sunni dengan Syiah dibandingkan perbedaan yang ada di antara keduanya. Bagi Kang Jalal, sama saja mau disebut NU itu sebenarnya Syiah Minus Imamah ataukah dengan istilah lain Syiah itu NU Plus Imamah.
Hal ini diperkuat juga oleh Alissa Wahid selaku tuan rumah yang dalam sambutannya mengungkapkan salah satu alasan penyelenggaraan dialog itu. “Akhir-akhir ini Indonesia kerap mengalami konflik horizontal di akar rumput atas nama perbedaan yang seringkali cenderung dibesar-besarkan. Itulah sebabnya dialog seperti ini kami rasa penting untuk terus dilakukan,” tuturnya menegaskan ulang bahwa dialog dan silaturrahmi adalah dua di antara warisan kongkrit yang ditinggalkan almarhum Gus Dur sebagai tokoh yang lebih konsen terhadap terciptanya kedamaian dan persatuan di tubuh umat Islam. KH. Masdar pun menekankan betapa pentingnya tercipta jalinan persatuan yang kuat antara Sunni dengan Syiah. “Mari titik-temu itu kita sederhanakan saja, lah. Rasanya cukup dengan sama-sama mempercayai La ila ha illallah saja, artinya itu sudah bisa dianggap sebagai sesama Muslim dan karenanya juga kita ini bersaudara.” Tamu lain yang juga tak kalah penting adalah Mr. Ebrahimiyan, Atase Kebudayaan Iran di Indonesia yang dalam sambutannya mengingatkan bahwa jumlah Muslim di dunia saat ini mencapai 1,6 miliar. Jumlah yang menurutnya begitu besar sehingga tak mengherankan bila selama ini mampu menggetarkan musuh. Maka timbullah upaya mengadu domba dan memecah belah persatuan umat Islam sebagai agenda musuh yang utama agar kita menjadi lemah. Karena itu, senada dengan pembicara lain, Ebrahimiyan pun menekankan betapa pentingnya upaya mempererat persatuan antara sesama Muslim. Di akhir acara, panitia sengaja membagikan seratus buku gratis berjudul “Titik Temu Sunni-Syiah” dan sejumlah Al-Quran terbitan Iran bagi peserta, untuk lebih meyakinkan bahwa Al-Quran Syiah sesungguhnya benar-benar sama dengan Al-Quran Sunni. (Abdul Malik/Yudhi/http://ahlulbaitindonesia.org/berita/2331/dialog-gusdurian-sunni-syiah-wajib-bersatu/)
Buku Merah MUI : Palsu Atau Asli?
Jutaan eksemplar buku saku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” sejak awal terbitnya sampai saat ini selalu diklaim dan terus dikampanyekan pihak-pihak tertentu sebagai buku resmi lembaga MUI. Melalui acara propaganda anti-Syiah yang dikemas dalam bentuk seminar, buku itu pun gencar disebar dan dibagi-bagikan secara gratis ke seluruh pelosok Nusantara. Dalam hitungan sederhana, entah sudah berapa miliar rupiah biaya digelontorkan untuk mencetak dan menyebarkannya. Belum lagi biaya seminar yang selalu dijadikan ajang kamuflase forum ilmiah tapi faktanya tak lebih dari forum hujatan sepihak dari oknum-oknum anti ukhuwah, yang dalam sebulan bisa puluhan kali digelar serentak di beberapa kota besar di seluruh Indonesia. Dan dari kesaksian banyak pihak, di ajang seminar abal-abal itulah buku yang sebagian besarnya berisi tuduhan itu dibagi-bagikan secara cuma-cuma.
Bertolak belakang dengan klaim oknum-oknum anti-Syiah yang kehadirannya dalam ‘seminar’ selalu mengatasnamakan diri selaku perwakilan resmi MUI baik di pusat maupun daerah, salah seorang ketua MUI yang pernah kami wawancarai menegaskan bahwa ‘buku merah’ itu sama sekali bukan buku resmi terbitan lembaganya. Dia menolak statemen banyak pihak penyelenggara dan oknum-oknum pelaku ‘seminar’ yang selama ini getol mengumbar klaim atas nama MUI, dengan mengatakan bahwa MUI mustahil punya dana sebesar itu. Bahkan ketika belakangan ramai diperbincangkan dan penyebarannya disinyalir telah meresahkan masyarakat karena dianggap potensial menimbulkan perpecahan umat Islam dan konflik horizontal di akar rumput, sang ketua MUI pun dengan nada berapi-api mengatakan bahwa terkait sifat buku apapun yang anti-ukhuwah, apalagi sampai menyulut perpecahan dan konflik antara Sunni dan Syiah, seharusnya pihak kepolisian tak perlu ragu melarang dan sesegera mungkin mesti sigap menarik penyebarannya secara luas dari tengah masyarakat. Intinya, dengan adanya kesimpangsiuran perihal posisi buku tersebut di pihak internal MUI sendiri, tampak adanya banyak misteri dan keanehan yang belum terungkap.
Salah satu misterinya adalah bila buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” dianggap sangat penting dan menyangkut hal yang serius oleh MUI, mengapa tidak ada stempel resmi MUI dan tanda tangan mereka yang mengatasnamakan diri sebagai pejabat MUI di dalam buku tersebut? Padahal, di buku-buku pedoman MUI yang lain seperti halnya buku “Pedoman Penyelengaraan Organisasi MUI” terdapat stempel dan tanda tangan pejabat MUI secara terang dan lengkap. Begitu pula dengan buku “Keputusan Rapat Kerja MUI 2012”. Di halaman depan buku yang disebut terakhir ini juga terdapat stempel dan tanda tangan jajaran pejabat MUI. Bila buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” memang sebuah buku yang menurut MUI menyangkut hal yang serius, sudah sepatutnya ada tanda tangan dan stempel pejabat MUI terkait di dalamnya.
Bukankah ini ibarat sertifikat tanah tanpa stempel resmi dan tanda tangan pejabat pertanahan yang berwenang, yang keabsahannya patut dipertanyakan? Atau, bila dokumen-dokumen penting lain yang kita pegang tanpa ada tanda tangan pihak yang berwenang, apakah kita mau menerimanya sebagai dokumen yang sah? Atau ibarat kita punya uang yang ternyata ciri-ciri dan kriterianya bertentangan dengan ketetapan Bank Indonesia, adakah kira-kira yang mau menerimanya sebagai alat pembayaran yang sah? Bukankah uang semacam itu dapat digolongkan sebagai uang palsu, yang pemilik dan pengedarnya justru bisa dikenai pasal tindak pidana? Contoh lain, andai saja ada orang asing datang ke rumah kita dan mengatasnamakan diri sebagai utusan Presiden RI, tapi dalam surat tugasnya sama sekali tak ada stempel resmi kepresidenan dan tanda tangan presiden, mungkinkah kita akan percaya begitu saja? Bukankah sebaliknya kita akan curiga, jangan-jangan orang tersebut justru penjahat dan penipu? Begitu pun terhadap sebuah buku yang selama ini ‘hanya’ diatasnamakan sebagai terbitan resmi MUI namun faktanya, setelah kita cermati dan teliti lebih seksama ternyata ciri-ciri buku itu malah bertentangan dengan buku-buku resmi MUI yang lain, bukankah wajar bila dengan mudah bisa kita anggap buku itu sebagai buku ‘sesat’ alias palsu?
Untuk menyingkap sejumlah misteri tentang buku itu, kami tim media Ahlulbait Indonesia telah melayangkan surat permohonan resmi agar diberikan kesempatan mewawancarai Prof. Dr. Yunahar Iliyas, M.A. selaku ketua penelitian MUI yang namanya tertera dalam buku tersebut. Selain itu, tim ABI Press juga telah meminta Bapak Prof. Din Syamsudin selaku wakil Ketua Umum MUI untuk dimintai keterangan. Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, para pejabat MUI tersebut masih belum memberikan tanggapan atas surat yang telah kami layangkan.
Sementara di sisi lain, menilik pola penyebarannya yang demikian massif, serentak dan merata, peneliti sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah Dr. Zulkifi mensinyalir bahwa tujuan sebenarnya dari penerbitan buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” itu dengan mudah dapat diduga sebagai upaya pihak-pihak tertentu yang selama ini memang anti-Syiah untuk mendorong dikeluarkannya fatwa sesat terhadap Syiah di Indonesia dan kemudian menyingkirkan para penganut salah satu mazhab Islam itu dari Tanah Air.
Dr. Zulkifli juga membenarkan bahwa ada kemungkinan apa yang dilakukan oleh sejumlah orang untuk mendiskreditkan Syiah saat ini adalah upaya agar paham mereka sendiri yang juga bukan penganut paham Syafi’i mainstream di Indonesia dapat diterima masyarakat dengan cara menciptakan musuh bersama yaitu muslim Syiah. Padahal menurutnya, bagi kalangan ulama yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip ukhuwah dan kaum cendikiawan yang benar-benar terpelajar, isu pertentangan Sunni-Syiah ini bisa dikatakan sudah sangat basi.
“Saya sendiri yakin, Syiah belum tentu merupakan sasaran final mereka. Mudah ditebak bahwa pasti ada agenda besar di belakang upaya mereka untuk mendiskreditkan Syiah saat ini. Tapi mudah-mudahan saja akan semakin banyak masyarakat yang sadar, tak mudah dibodohi dan diprovokasi. Bahwa kelompok-kelompok intoleran inilah yang sesungguhnya lebih berbahaya daripada kelompok Syiah maupun Sunni sendiri,” terang Dr. Zulkifli saat media ABI temui di ruang kerjanya.
Ditanya tanggapannya tentang maraknya tuduhan bahwa Syiah sangat berbahaya bagi NKRI, Zulkifli menyatakan bahwa dalam penelitiannya hal tersebut tidak terbukti. Bahkan terkait isu Syiahisasi di Indonesia pun ditepisnya dengan mengatakan bahwa selama riset yang dilakukannya, dirinya tidak menemukan adanya upaya kalangan Muslim Syiah untuk mensyiahkan kelompok yang berbeda mazhab dengannya.
Saat kami tanyakan, bukankah buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpanyan Syiah di Indonesia” itu juga hasil riset dan penelitian, sebagaimana klaim para penyusunnya? Zulkifli menegaskan bahwa buku tersebut tidak bisa disebut sebagai hasil penelitian, karena menurutnya sebuah penelitian harus memiliki beberapa syarat dasar, misalnya terkait metodologi, regulasi, check and recheck dan lainnya. Sementara buku itu jika dilihat dari isinya, belum memenuhi syarat-syarat dasar tersebut.
Dr. Zulkifli menghimbau kepada masyarakat, terutama kalangan akademisi agar menyikapi buku ini secara akademis pula dan tidak langsung begitu saja menerimanya. Karena belum tentu semua isinya mengandung kebenaran. Dia juga berharap agar para ulama dan cendikiawan Muslim lebih mengkajinya secara objektif, kritis, dan melakukan upaya observasi lebih serius dengan melihat fakta dan data akurat sehingga mampu memberikan pandangan-pandangan yang lebih moderat terhadap hal-hal yang riskan mengancam keutuhan dan kerukunan umat semacam ini.
Di akhir wawancara DR. Zulkifli juga menekankan sekaligus berpesan agar kita semua mesti ikhlas dalam beragama, jangan gemar berprasangka apalagi menebar kebencian antar sesama anak bangsa.
“Bagaimana bisa kita beragama dengan kebencian dan penuh rasa saling curiga? Bukankah ber-Islam itu intinya harus ikhlas secara pribadi, saling menghormati sesama manusia dengan menjunjung tinggi dan mempraktekkan prinsip rahmatan lil ‘alamin? Karena itulah saya kira sangat perlu di tengah umat ini makin ditekankan perlunya upaya dialog sesuai prinsip dan ajaran Islam dalam menyelesaikan segenap persoalan yang ada. Jadi bukan sebaliknya, menggalang kegiatan-kegiatan kontraproduktif yang dampaknya negatif bagi umat, yang di dalamnya hanya berisi hujatan, ujaran kebencian dan hasutan serta penghakiman sepihak satu kelompok terhadap kelompok lain. Hal semacam itu dalam pandangan saya bisa dikatakan bukanlah teladan yang baik dari siapapun yang mengaku ulama atau ahli ilmu bagi umat,” pungkas doktor yang hasil disertasinya perihal Syiah, “The Struggle of The Shi’is in Indonesia” telah diterbitkan sebagai buku oleh salah satu universitas di Leiden, Belanda itu. (Lutfi/Yudhi)
Contoh Buku Pedoman Organisasi MUI yang lengkap dengan stempel MUI dan tanda tangan jelas pejabat MUI terkait.
Contoh Buku Keputusan Rakernas MUI tahun 2012 yang lengkap dengan stempel MUI dan tanda tangan jelas pejabat MUI terkait.
Buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah Indonesia” yang dinyatakan dikeluarkan MUI secara resmi oleh sejumlah orang di MUI, namun tidak ada stempel MUI dan juga tidak ada tanda tangan jelas dari pejabat MUI terkait.
http://ahlulbaitindonesia.org/berita/2321/buku-merah-mui-palsu-atau-asli/
Sunnahcare Yang Tak Peduli Sunnah
Al-Quran dan Sunnah selalu mengajarkan keadilan dan keberimbangan dalam segala hal. Namun sebuah media online yang mengusung nama sunnah,sunnahcare.com dalam pemberitaannya ternyata jauh sekali dari ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Dalam berita yang dirilis di http://www.sunnahcare.com/ 2014/02/mengenal-aliran-syiah- di-jambi.html?m=1, Sunnahcare menuduh Majelis Taklim dan Rawatib Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah yang berada di Kelurahan Thehok Jambi Selatan sebagai Majelis Syiah yang melakukan aksi missionaris di Jambi. Mereka bahkan menuduh majelis taklim tersebut sebagai markas teroris Syiah.
Fitnah ini jelas menimbulkan kegusaran komunitas diskusi keilmuan itu. Bagaimana tidak? Jangankan langsung datang meliput, wawancara via telepon saja tak sekalipun dilakukan Sunnahcare ke pihak majelis. Tapi anehnya, tiba-tiba saja mereka menuduh majelis ini sebagai markas teroris.
Kepada ABI Press melalui sambungan telepon, Ustad Fuad Baraqbah selaku ketua majelis menegaskan, bahwa secara kelembagaan, tak ada lembaga Syiah di Jambi. “Secara kelembagaan, tak ada lembaga Syiah di Jambi! Silahkan dicari. Kok dibilang ketuanya si ini-itu…, tidak ada itu!”
ABI Press sendiri pernah merilis berita majelis Sunni yang harmonis dengan minoritas Syiah di Jambi (http://ahlulbaitindonesia. org/berita/2044/syiah-sunni- harmonis-di-jambi-2/). Jika diperhatikan, redaksi berita di Sunnahcare itu terlihat sangat jelas merupakan pelintiran dari berita ini.
Sayangnya, saat kami akan mengklarifikasi pihak sunnahcare.com tentang tujuan mereka memelintir berita yang berasal dari situs kami, mengapa membuat berita seperti itu, dan apakah berita tersebut sudah melewati tahapan jurnalistik yang baku, ternyata web tersebut tidak memiliki nomor kontak yang bisa dihubungi. Artinya, sunnahcare.com masuk dalam kategori web gelap yang baik pengelola maupun penulis beritanya tampaknya memang ingin lari dari tanggungjawab atas apa yang mereka lakukan. Dalam dunia jurnalistik, sumber berita yang tak memenuhi kaidah jurnalistik sehingga tak bisa dipertanggungjawabkan semacam itu tak lebih dari media propaganda belaka.
Saat kami sampaikan hal ini kepada Ustad Fuad Baraqbah, dia terkejut. “Saya heran kok bisa-bisanya mereka bisa mikir seperti itu. Maksudnya apa? Berita yang mereka buat sama sekali gak sesuai dengan fakta yang ada.” Ustad Fuad juga heran kenapa kalau ada Muslim Sunni yang mengikuti ajaran Rasul untuk toleran dan menjalin ukhuwah dengan sesama Muslim lainnya, kok tiba-tiba ada pihak yang kelihatannya gerah sekali? Siapa mereka ini? Beraninya pakai nama Sunnahcare, tapi lucunya kok mereka sendiri yang malah tak peduli ajaran Al-Quran dan Sunnah!
“Saya tegaskan sekali lagi, Majelis Taklim dan Rawatib Al-Habib Husin bin Ahmad Baraqbah ini adalah 100% Majelis Sunni. Hanya karena kami mengikuti Sunnah Nabi untuk menjunjung tinggi ukhuwah dan menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim, kok kami malah dituduh sebagai teroris?”
Kepada ABI Press, Ustad Fuad menitipkan banyak pertanyaan, yang menurutnya siapa tahu akan segera dijawab Sunnahcare melalui media propaganda mereka, “Siapa yang sebenarnya teroris kalau begitu? Bukankah Sunnahcare yang gemar meneror Muslim lain dengan fitnah-fitnah tanpa bukti itu lebih layak dicap teroris? Lalu siapa yang benar-benar mengikuti Sunnah kalau begitu? Apakah mereka yang asal berlindung di balik nama Sunnahcare lalu seenaknya melanggar ajaran Al-Quran dan Sunnah, menebar fitnah dan membuat berita bohong alias palsu, dapat mengklaim diri lebih peduli sunnah? Jadi, kalau Sunnahcare ini malah gusar dan kebakaran jenggot saat majelis kami terus berupaya menjalin ukhuwah dan melindungi sesama Muslim, bukankah kami pantas bertanya, sejatinya Sunnah siapa yang mereka maksud dan mereka ikuti? Saya akan tunggu, siapa tahu Sunnahcare bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana tadi,” pungkas Ustad Fuad. (Muhammad/Yudhi) http://ahlulbaitindonesia.org/berita/2346/sunnahcare-yang-tak-peduli-sunnah/