Bulan ini adalah bulan Muharam. Ada dua pendapat berkenaan dengan bulan ini.
Kelompok pertama
menyebutkan bahwa bulan Muharam merupakan tahun baru umat Islam yang
banyak dirayakan dengan pesta dan penuhnya ungkapan kebahagiaan. Mereka
beranggapan bahwa hari-hari kejayaan Islam sedang berada di depan
pintu..
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mengikuti cara-cara orang kafir sesiku-sesiku, sejengkal-demi sejengkal kalian akan digiring untuk mengikuti tradisi orang (Yahudi dan Nasrani) sehingga walaupun kalian dibawa ke lubang serigala kalian akan mengikutinya dengan patuh.” Al-Asykari menyebutkan salah satu tradisi orang Yahudi dan Nasrani adalah mengubah-ubah kitab Allah. Kemudian orang Islam melanjutkan tradisi orang kafir itu dengan mengubah makna kitab Allah, dan mengubah huruf serta kalimat di dalam hadis Nabi. Tradisi peringatan tahun baru Islam sebenarnya mengikuti tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada tradisi memperingati tahun baru Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa nenek moyang kita pun tidak memperingatinya, bahkan dalam sejarah Islam di Indonesia tidak dikenal tradisi memperingati tahun baru Islam ini. Peringatan tahun baru Islam itu baru dirayakan belakangan ini. Mengapa harus merayakannya? Salah seorang dai menyebutkan bahwa “umat Islam jangan kalah sama umat Nasrani yang memperingati tahun barunya secara besar-besaran dan Umat Islam harus memperingati tahun baru Islam secara besar-besaran pula”. Jadi, menurut dia, peringatan tahun baru meniru orang Nasrani. Nabi berkata, ”Sekiranya di kalangan ahli kitab itu dulu ada anak yang menzinahi ibunya, maka akan terjadi hal yang sama di kalangan umat Islam juga.” Tradisi membuka aurat, tidak memakai jilbab boleh jadi diambil sebagian dari tradisi meniru orang-orang Barat..
Ada beberapa kekeliruan anggapan umat Islam tentang tahun baru Islam. Kekeliruan pertama bahwa tradisi peringatan tahun baru Islam harus dirayakan seperti halnya orang Nasrani merayakan tahun barunya. Kedua, umat Islam banyak yang menganggap bahwa hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan Muharam, sehingga pada bulan ini banyak pengajian yang menceritakan peristiwa hijrahnya Nabi saw. Nabi hijarah bukan pada bulan Muharam, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal. Tidak ada satu pun mazhab yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah pada bulan Muharam. Jadi, kalau ingin memperingati hijrah Nabi semestinya dirayakan pada bulan Rabi’ul Awal. Kekeliruan itu mungkin memiliki asal muasalnya dari kitab-kitab hadis. Di dalam Bukhari diceritakan ketika Nabi datang ke kota Madinah dan beliau melihat di kota itu ada orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya kepada mereka, ”Puasa apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab, ”Kami melakukan puasa ‘Asyura (sepuluh Muharam), untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.” Nabi saw berkata, ”Aku lebih layak untuk melakukan puasa daripada saudaraku Musa.” Dalam riwayat lain Nabi berkata, ”Aku akan berpuasa pada waktu yang akan datang.” Hadis ini mesti kita tolak, karena Nabi itu hijrah pada bulan Rabi’ul awal, tidak mungkin orang puasa sepuluh Muharam pada bulan Rabi’ul Awal, semesti tidak mungkinnya orang salat Jumat pada hari Senin. Karena alasan hadis itulah, sekelompok orang mengembangkan satu ideologi untuk menjadikan sepuluh Muharam hari kemenangan umat Islam, hari untuk pesta pora, dan hari untuk berbahagia..
Sebagian mubalig pun menceritakan bahwa tanggal sepuluh Muharam Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, Ibrahim diselamatkan dari Namrudz dan Nabi Nuh selamat dari air bahnya, dan Nabi Adam diampuni dosa-dosanya. Sepuluh Muharam dianggap sebagai hari kemenangan orang-orang saleh. Sehingga tidaklah heran bahwa pada tanggal sepuluh Muharam dipindahkan menjadi tahun baru Islam karena kemenangan orang-orang saleh..
Pendapat kedua, berkenaan dengan bulan Muharam, mereka beranggapan bahwa bulan ini adalah bulan duka cita, bulan musibah. Karena pada bulan ini keluarga Rasulullah saw dibantai secara mengenaskan oleh sesama muslim, orang yang menyatakan dirinya orang Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam..
Sepuluh Muharam, menurut kelompok ini, bukanlah hari untuk bercanda dan bergembira, melainkan hari untuk menangis dan berduka cita. Pada kelompok kedua tidak ditemukan hadis-hadis yang menyatakan sepuluh Muharam itu adalah hari kemenangan para nabi. Yang mereka ketahui pada hari itu, kalau kemenangan diukur dengan kekejaman dan kekuasaan yang tidak terbatas, maka apakah sepuluh Muharram memang hari kemenangan ?. Karena ini terbukti Nabi Hijrah pada bulan Rabiul awal bukan pada bulan Muharram mengapa hal ini terjadi ? adakah kebenaran dalam risalah perayaan ini atau kegembiraan yang selama ini kita rayakan bersama..?
Rasulullah saw bersabda, “Kalian akan mengikuti cara-cara orang kafir sesiku-sesiku, sejengkal-demi sejengkal kalian akan digiring untuk mengikuti tradisi orang (Yahudi dan Nasrani) sehingga walaupun kalian dibawa ke lubang serigala kalian akan mengikutinya dengan patuh.” Al-Asykari menyebutkan salah satu tradisi orang Yahudi dan Nasrani adalah mengubah-ubah kitab Allah. Kemudian orang Islam melanjutkan tradisi orang kafir itu dengan mengubah makna kitab Allah, dan mengubah huruf serta kalimat di dalam hadis Nabi. Tradisi peringatan tahun baru Islam sebenarnya mengikuti tradisi orang Yahudi dan Nasrani. Sebenarnya di dalam Islam tidak ada tradisi memperingati tahun baru Islam. Hal ini bisa dilihat bahwa nenek moyang kita pun tidak memperingatinya, bahkan dalam sejarah Islam di Indonesia tidak dikenal tradisi memperingati tahun baru Islam ini. Peringatan tahun baru Islam itu baru dirayakan belakangan ini. Mengapa harus merayakannya? Salah seorang dai menyebutkan bahwa “umat Islam jangan kalah sama umat Nasrani yang memperingati tahun barunya secara besar-besaran dan Umat Islam harus memperingati tahun baru Islam secara besar-besaran pula”. Jadi, menurut dia, peringatan tahun baru meniru orang Nasrani. Nabi berkata, ”Sekiranya di kalangan ahli kitab itu dulu ada anak yang menzinahi ibunya, maka akan terjadi hal yang sama di kalangan umat Islam juga.” Tradisi membuka aurat, tidak memakai jilbab boleh jadi diambil sebagian dari tradisi meniru orang-orang Barat..
Ada beberapa kekeliruan anggapan umat Islam tentang tahun baru Islam. Kekeliruan pertama bahwa tradisi peringatan tahun baru Islam harus dirayakan seperti halnya orang Nasrani merayakan tahun barunya. Kedua, umat Islam banyak yang menganggap bahwa hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan Muharam, sehingga pada bulan ini banyak pengajian yang menceritakan peristiwa hijrahnya Nabi saw. Nabi hijarah bukan pada bulan Muharam, melainkan pada bulan Rabi’ul Awal. Tidak ada satu pun mazhab yang menyebutkan bahwa Rasulullah hijrah pada bulan Muharam. Jadi, kalau ingin memperingati hijrah Nabi semestinya dirayakan pada bulan Rabi’ul Awal. Kekeliruan itu mungkin memiliki asal muasalnya dari kitab-kitab hadis. Di dalam Bukhari diceritakan ketika Nabi datang ke kota Madinah dan beliau melihat di kota itu ada orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya kepada mereka, ”Puasa apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab, ”Kami melakukan puasa ‘Asyura (sepuluh Muharam), untuk mensyukuri keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.” Nabi saw berkata, ”Aku lebih layak untuk melakukan puasa daripada saudaraku Musa.” Dalam riwayat lain Nabi berkata, ”Aku akan berpuasa pada waktu yang akan datang.” Hadis ini mesti kita tolak, karena Nabi itu hijrah pada bulan Rabi’ul awal, tidak mungkin orang puasa sepuluh Muharam pada bulan Rabi’ul Awal, semesti tidak mungkinnya orang salat Jumat pada hari Senin. Karena alasan hadis itulah, sekelompok orang mengembangkan satu ideologi untuk menjadikan sepuluh Muharam hari kemenangan umat Islam, hari untuk pesta pora, dan hari untuk berbahagia..
Sebagian mubalig pun menceritakan bahwa tanggal sepuluh Muharam Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, Ibrahim diselamatkan dari Namrudz dan Nabi Nuh selamat dari air bahnya, dan Nabi Adam diampuni dosa-dosanya. Sepuluh Muharam dianggap sebagai hari kemenangan orang-orang saleh. Sehingga tidaklah heran bahwa pada tanggal sepuluh Muharam dipindahkan menjadi tahun baru Islam karena kemenangan orang-orang saleh..
Pendapat kedua, berkenaan dengan bulan Muharam, mereka beranggapan bahwa bulan ini adalah bulan duka cita, bulan musibah. Karena pada bulan ini keluarga Rasulullah saw dibantai secara mengenaskan oleh sesama muslim, orang yang menyatakan dirinya orang Islam. Peristiwa ini terjadi pada tanggal sepuluh Muharam..
Sepuluh Muharam, menurut kelompok ini, bukanlah hari untuk bercanda dan bergembira, melainkan hari untuk menangis dan berduka cita. Pada kelompok kedua tidak ditemukan hadis-hadis yang menyatakan sepuluh Muharam itu adalah hari kemenangan para nabi. Yang mereka ketahui pada hari itu, kalau kemenangan diukur dengan kekejaman dan kekuasaan yang tidak terbatas, maka apakah sepuluh Muharram memang hari kemenangan ?. Karena ini terbukti Nabi Hijrah pada bulan Rabiul awal bukan pada bulan Muharram mengapa hal ini terjadi ? adakah kebenaran dalam risalah perayaan ini atau kegembiraan yang selama ini kita rayakan bersama..?
PELAJARILAH ISLAM DENGAN SEPENUH
HATIMU..
Sumber : http://thre3sky.blogspot.com/2009/12/sedikit-sejarah-tentang-muharram.html
Peringatan Asyura, 10 Muharram
Empat belas abad yang silam menjadi saksi sejarah, sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak saja menyedihkan tapi sekaligus memilukan. betapa tidak.
Cucu Rasulullah Imam Husein yang menjadi belaian kasih sayang Nabi SAW dibantai secara tragis di Padang Karbala.
Leher imam Husein yang sering dicium oleh kakeknya, harus dipenggal oleh pasukan bengis yang dipimpin oleh Umar bin Saad, yang kemudian dipersembahkan kepada penguasa yang zalim, Yazid bin Muawiah ketika itu. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata.
Ada pelajaran penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein. Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin Muawiyah yang sewenang-wenang.
Tragedi Karbala adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa, dan melihat fakta bahwa keagungannya unik dan tak tertandingi, konsekuensinya juga luar biasa. Yang mendorong Imam Husain untuk bangkit memberontak adalah untuk menghentikan penyimpangan dan bid`ah yang terjadi di area politik Islam saat itu.
Penyimpangan itu adalah penentangan terhadap eksistensi sistem Islami dengan meletakkan kekuasaan di tangan orang-orang yang tidak qualified. Setelah Nabi saw wafat berbagai peristiwa berjalan sedemikian rupa sehingga akhirnya mengubah Khilafah menjadi sebuah jabatan yang didasarkan pada cinta dunia yang diwujudkan dalam cinta kekuasaan, kesewenang-wenangan, egoisme dan keserakahan.
Imam Husain berjuang melawan penyimpangan ini. Sejarah manusia menunjukkan secara jelas bahwa pemimpin zalim hanya berpikir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan cara apa pun juga, termasuk dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menguasainya secara personal.
Di antara cara mempertahankan kekuasaan pemimpin zalim ialah dengan menyebarkan nilai-nilai kezaliman di kalangan para pejabat pemerintahannya bahkan di tengah masyarakat luas. Untuk itulah pemimpin zalim tidak akan pernah menyukai orang-orang saleh, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan, bahkan menganggapnya sebagai sumber ancaman terhadap eksistensi kekuasaannya.
Sejarah juga membuktikan bahwa Muawiyah dan anaknya Yazid, serta mayoritas para penguasa Bani Umayyah adalah jenis pemimpin yang zalim. Akibatnya dapat kita lihat dengan menyebarnya dekadensi moral di sebagian besar lapisan masyarakat, terutama di kalangan para pejabat Negara ketika itu.
Ketidakadilan, kesemena-menaan, kejahatan dan ketidakamanan menyebar ke mana-mana. Di antara yang paling parah ialah munculnya diskriminasi rasial di kalangan masyarakat muslim, dan meluasnya ideologi-ideologi sesat yang merusak akidah dan keyakinan Islam.
Semua itu benar-benar merupakan ancaman serius bagi kemurnian ajaran Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi SAW. Melihat kondisi buruk itu, yang mencapai puncaknya di zaman Yazid bin Muawiyah, maka sejumlah tokoh Kufah, Irak, yang dulu merupakan pengikut Imam Ali, menulis surat kepada Imam Husein agar datang ke Kufah untuk memimpin masyarakat Kufah memerangi Yazid.
Imam Husein yang merasa terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memenuhi panggilan masyarakat Kufah ini dan berangkat menuju ke kota bekas pusat pemerintahan ayahanda beliau itu. Akan tetapi, pihak penguasa, yaitu Yazid yang mencium gerak-gerik penduduk Kufah ini, segera mengirim pasukan militer ke kota ini dan membasmi gerakan tersebut dengan menangkapi, memenjarakan dan membunuhi para tokohnya.
Dengan demikian, jadilah Imam Husein kehilangan pendukung besarnya. Akan tetapi, beliau tetap berniat datang ke Kufah. Yazid yang mengetahui bahwa Imam Husein tetap bergerak menuju ke Kufah, mengirim bala tentara lengkap untuk mencegah kedatangan beliau ke kota ini. Terhalang untuk masuk ke kota Kufah, akhirnya rombongan Imam Husein yang berjumlah 72 orang kemudian digiring hingga tiba di sebuah padang pasir bernama Karbala.
Ketika datang perintah dari Yazid di Syam, agar Imam Husein beserta rombongannya dibantai, maka terjadilah pertempuran yang sangat tak seimbang, 72 orang rombongan imam Husein yang terdiri dari keluarga dan sahabatnya harus bertarung melawan tentara Yazid yang berjumlah kurang lebih 20.000 pasukan, yang kemudian dikenal di seluruh dunia dan di sepanjang sejarah sebagai tragedi Karbala.
Peristiwa tragis itu terjadi tepatnya 10 Muharram 61 H, dimana pasukan Yazid yang dimotori oleh Ibnu Ziyad mulai melakukan serangan pada rombongan Imam Husein yang dalam keadaan haus dan lapar. Salah seorang pasukan melancarkan anak panah pada leher anak Imam Husein yang masih bayi dan berada dalam pangkuan ibunya, sehingga mengalirlah darah dari lehernya dan meninggallah bayi yang tak berdosa itu.
Pada sore hari 10 Muharram 61 H, pasukan Imam Husein banyak yang berguguran. Sehingga Imam Husein tinggallah seorang diri dan beberapa anak-anak dan wanita. Dalam keadaan haus dan lapar di depan pasukan Ibnu Ziyad , Imam Husein berkata: “Bukalah hati nurani kalian, bukankah aku adalah putera Fatimah dan cucu Rasulullah saw.
Pandanglah aku baik-baik, bukankah baju yang aku pakai adalah baju Rasululah saw.”Tapi sayang seribu sayang karena iming-iming hadiah jabatan dan materi dari Ibnu Ziyad dan Yazid bin Muawiyah, mereka menyerang Imam Husein yang tinggal seorang diri. Serangan itu disaksikan oleh Zainab (adiknya), Syaherbanu (isterinya), Ali bin Husein (puteranya), dan rombongan yang masih hidup yang terdiri dari wanita dan anak-anak.
Pasukan Ibnu Ziyad melancarkan anak-anak panah pada tubuh Imam Husein, dan darah mengalir dari tubuhnya yang sudah lemah. Akhirnya Imam Husein terjatuh di tengah-tengah mayat para syuhada’ dari pasukannya. Melihat Imam Husein terjatuh dan tak berdaya, Syimir dari pasukan Ibnu Ziyad turun dari kudanya, menginjak-injakkan kakinya ke dada Imam Husein, lalu menduduki dadanya dan menghunus pedang, kemudian menyembelih leher Imam Husein yang dalam kehausan, sehingga terputuslah lehernya dari tubuhnya.
Menyaksikan peristiwa yang tragis ini Zainab dan isterinya serta anak-anak kecil menangis dan menjerit tragis. Tidak hanya itu kekejaman Syimir, ia melemparkan kepala Imam Husein yang berlumuran darah ke kemah Zainab. Semakin histeris tangisan Zainab dan isterinya menyaksikan kepala Imam Husein yang berlumuran darah berada di dekatnya. Zainab menangis dan menjerit, jeritannya memecah suasana duka.
Ia merintih sambil berkata: Oh… Husein, dahulu aku menyaksikan kakakku Al-Hasan meninggal diracun oleh orang terdekatnya, dan kini aku harus menyaksikan kepergianmu dibantai dan disembelih dalam keadaan haus dan lapar. Ya Allah, ya Rasullallah, saksikan semua ini.
Imam Husein telah meninggalkan kami dibantai di Karbala dalam keadaan haus dan lapar. Dibantai oleh ummatmu yang mengharapkan syafaatmu. Ya Allah, ya Rasulallah Akankah mereka memperoleh syafaatmu sementara mereka menghinakan keluargamu, dan membantai Imam Husein yang paling engkau cintai? 10 Muharram 61 H, bersamaan akan tenggelamnya matahari, mega merah pun mewarnai kemerahan ufuk barat, saat itulah tanah Karbala memerah, dibanjiri darah Imam Husein dan para syuhada’ Karbala.
Bumi menangis, langit dan penghuninya berduka atas kepergian Imam Husein sang pejuang kebenaran dan keadilan. Nah mengapa tragedi karbala, yang merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa justru terlupakan oleh sebahagian besar ummat Islam saat ini ??? Bahkan bukan hanya terlupakan, justru memang tidak pernah disampaikan kepada generasi Islam??? Yang cukup mengherankan juga adalah bahwa bulan Muharram yang menjadi bulan duka cita dan nestapa keluarga Rasul yang suci justru menjadi bulan kegembiraan pada sebagian ummat Islam lainnya.
Di masyarakat kita 10 Muharram atau Asyura disambut dengan gembira, misalnya dengan membeli alat-alat rumah tangga, syukuran dengan membuat bubur 7 macam, dsb. Tidak cukup dengan itu kemudian juga dilanjutkan dengan dengan puasa Muharram sebagai simbol kesyukuran dan kegembiraan.
Ada banyak riwayat yang dibuat-buat oleh penguasa saat itu hanya untuk menutupi spirit perjuangan Imam Husein dalam menentang penguasa yang zalim. Dibuatlah cerita atau riwayat bahwa Ketika Nabi saw. hijrah ke kota Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyûrâ’ yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, lalu beliau bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa, maka mereka menjawab, “Ini adalah hari agung, Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya.”
Maka Nabi saw. bersabda, “Kami lebih berhak atas Musa dan lebih berhak untuk berpuasa di banding kalian.” Lalu beliau memerintahkan umat Islam agar berpuasa untuk hari itu. Demikian dalam kitab Bukhari dan Muslim. Kalau kita mencoba menelaah lebih dalam riwayat di atas maka akan kelihatan ketidakbenarannya.
Riwayat di atas mengatakan kepada kita bahwa Nabi mulia saw. tidak mengetahui sunnah saudara beliau; Nabi Musa as. dan beliau baru mengetahuinya dari orang-orang Yahudi dan setelahnya beliau bertaqlid kepada mereka! Padahal Nabi sangat melarang kita untuk mengikuti kebiasaan ummat lainnya, Yahudi maupun Nasrani. Sangatlah kontradiktif.
Yang lucunya justru riwayat itu memerintahkan kita untuk mengikutinya. Dimana logisnya? Ada juga riwayat lain yang mengatakan bahwa 10 Muharram adalah bebasnya keluarrnya Nabi Yunus dari perut ikan, bebasnya Nabi Ibrahim dari Raja Namrud, selamatnya Nabi Musa dari kejaran Firaun dsb.
Mestinya juga diteruskan bahwa 10 Muharram juga adalah menangnya pasukan Yazid dalam dalam memenggal kepala cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein. Kita semua adalah korban sejarah. Yakni sejarah yang sengaja dibuat oleh penguasa zalim hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan keserakahannya. Sudah waktunya buat kita untuk mengkritisi setiap riwayat yang ada.
Padahal jauh sebelumnya ketika Husein lahir, Rasulullah bersedih dan menetaskan air mata ketika jibril mengatakan bahwa cucumu yang baru lahir ini akan syahid di padang karbala oleh ummat yang mengaku sebagai pengikutmu. Jadi Rasulullah jauh sebelum peristiwa itu telah memperingati Asyura dengan kesedihan. Nah masihkah kita ingin memperingati Asyura dengan kegembiraan?? Apapun alasannya yang jelas bahwa dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kezaliman. Peringatan tragedi ini merupakan sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran dan keadilan di seluruh dunia. Mahatma Gandhi sendiri pernah berujar “I learned from Hussain, how to achieve victory while being oppressed. ”“Aku belajar dari Husain bagaimana cara meraih kemenangan ketika dalam kondisi tertindas. Di era ini dimana sekularisme, hedonisme, kapitalisme telah menjadi ideologi bagi umumnya para pemimpin atau penguasa maka mengenang kembali peristiwa Karbala bisa menjadi momentum untuk membangkitkan spirit kita untuk menentang setiap penindasan, kesewenang-wenangan dan kezaliman sembari menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah ummat. Peristiwa Asyura sesungguhnya mengajarakan kaum muslim untuk tidak berkompromi dengan para penguasa zalim kapan dan dimanapun dengan semangat pengorbanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran dan arti yang sebegitu penting dalam kehidupan, maka merugilah orang yang melupakan peristiwa bersejarah ini.(Wallahu a’lam bisshawab).
Pada hari itu, Imam Husein, cucu kesayangan baginda agung Muhammad Rasulullah Saww dibantai, dipisahkan kepalanya dari tubuhnya dan ditancapkan di ujung tombak untuk dipertontonkan kepada masyarakat saat itu. Simbol kebenaran dan kelembutan pada saat itu dihinakan di tengah masyarakat. Padahal sejarah bersaksi bahwa Rasulullah Saww sangat menyayangi cucunya yang merupakan putra dari hasil pernikahan suci Sayidah Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa Rasulullah Saww selalu memanggil Imam Husein as dengan sebutan anak, bukan cucu. Ini menunjukkan kecintaan mendalam Rasulullah Saww kepada Imam Husein as. Untuk itu, bulan Muharam tak diragukan lagi merupakan bulan duka bagi Rasulullah Saww dan keluarganya. Para pecinta Rasulullah Saww dan keluarga sucinya akan tampak murung di bulan ini. Assalamu Alaika Ya Ibna Rasulillah, Aba Abdillah Al-Husein.
10 Muharam akrab diistilahkan dengan Asyura. Peristiwa Asyura merupakan tragedi yang tidak terbatas pada waktu dan tempat. Para pecinta Ahlul Bait as di bulan ini berupaya menyatu dengan kesedihan para kekasihnya dan manusia-manusia suci di muka bumi ini. Mereka merasakan duka yang mendalam sambil mengingat peristiwa Asyura sekitar 14 Abad lalu. Tragedi Karbala merupakan puncak konfrontasi antara kebenaran dan kebatilan. Para pecinta Imam Husein as tak akan melewatkan momentum Asyura dengan meluapkan rasa kesedihan yang sekaligus mengikat janji untuk terus membela kebenaran di muka bumi ini. Pengaruh besar tragedi Karbala hingga kini terus membekas di hati pecinta Rasulullah Saww dan keluarganya dari masa ke masa. Mereka menyadari bahwa selama ada kebatilan, maka setiap hari adalah Asyura dan setiap tempat adalah Karbala. Setiap orang dapat memetik pelajaran dari peristiwa Asyura. Inilah keistimewaan hari Asyura.
Dari kawasan Asia hingga Afrika, Asyura senantiasa diperingati dengan suasana yang dapat membangkitkan sanubari setiap insan. Semua orang yang mengikuti peringatan pembantaian Imam Husein as di hari Asyura merasa terpukul dengan peristiwa sadis itu. Dengan menghadiri peringatan Imam Husein as, setiap orang saling mengucapkan bela sungkawa kepada lainnya.
Tak diragukan lagi, puncak acara peringatan Asyura diperingati di negara-negara Timur Tengah yang di sana banyak pengikut dan pecinta Ahlul Bait as. Ketika bulan Muharam tiba, setiap sudut di negara-negara itu diliputi rasa duka. Negara-negara yang menonjol dalam memperingati bulan duka di bulan Muharam adalah Iran, Irak, Lebanon dan Suriah. Di negara-negara itu, peringatan Asyura digelar begitu dahsyat dan merata di seluruh penjuru.
Menurut data sejarah, Irak yang juga tempat bersaksi akan peristiwa Asyura, adalah negara yang paling luar biasa dalam memperingati tragedi Karbala. Bahkan masyarakat setempat sudah mempersiapkan bulan duka itu sepuluh hari sebelum masuknya bulan Muharam. Mereka memulai hari-hari bulan Muharam dengan memberi nama satu persatu para pahlawan Karbala pada hari-hari itu sesuai dengan urutan hari. Mereka hampir setiap malam setelah mendengar khutbah para penceramah, menggelar upacara duka dengan menepuk dada sebagai sombol kesedihan yang mendalam. Mereka melakukan itu secara berkelompok. Pada malam 9 Muharam yang juga disebut dengan istilah Tasua, mereka menyalakan obor yang dibuat dari pohon kurma dari malam hingga pagi hari Asyura.
Hal yang tak luput menjadi perhatian di hari Asyura adalah “Maqtal”. Maqtal merupakan buku yang mengungkap peristiwa Asyura berlandaskan pada pernyataan para sejarawan. Pada hari Asyura itu maqtal dibaca dengan nada sedih. Shahid Ayatollah Mohammad Bagir Hakim adalah diantara pembaca maqtal yang tersohor di Irak. Bahkan banyak pecinta Ahlul Bait as dari berbagai negara datang ke Irak untuk mendengarkan maqtal yang dibacakan oleh Shahid Mohammad Bagir Hakim.
Pada hari Asyura, masyarakat Irak memadati masjid-masjid dan huseiniah untuk mendengar maqtal yang dibacakan para tokoh dan ulama setempat. Ini adalah di antara fenomena pada hari Asyura di Irak. Ketika waktu Dzuhur tiba, mereka bergerak menuju Karbala dan menggelar upacara di haram suci Imam Husein as. Di tempat itu, para pecinta Imam Husein as meluapkan rasa duka mereka di hadapan makam suci Imam Husein as. Waktu dzuhur adalah puncak kesedihan bagi para pecinta Ahlul Bait as karena saat itu diyakini bahwa Imam Husein, keluarganya dan para sahabat setianya tengah menghadapi masa genting di tengah kepungan para musuh di Karbala.
Asyura di Lebanon juga mempunyai ciri khas tersendiri. Jika ingin mengikuti upacara duka kepada Imam Husein dengan sambutan hangat penduduk setempat, anda dapat mendatangi Lebanon. Cukup mendekati salah satu pengikut Ahlul Bait as di Lebanon, anda pasti akan merasakan kerinduan mereka kepada Imam Husein as yang tercermin dalam upacara-upacara peringatan Asyura.
Sepanjang bulan Muharam, khususnya dari tanggal 1 hingga 10 Muharam, berbagai kawasan yang penuh dengan para pecinta Ahlul Bait as, seperti Zaheya dan Beqa, berubah menjadi permukiman yang dipenuhi dengan warna hitam. Pada hari-hari itu, huseiniyah yang merupakan tempat pertemuan kalangan pecinta Ahlul Bait, menjadi ajang upacara duka kepada Imam Husein as. Di huseiniyah-huseiniyah itu, mereka memulai acara duka dengan membaca ziyarah Asyura dan mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Karbala. Di penghujung acara, para pecinta mendapat jamuan makanan nazar.
Dalam pawai akbar di sore hari 9 Muharam dan 10 Muharam, seluruh masyarakat pecinta Ahlul Bait as memadati jalan-jalan. Pada tanggal 10 Muharam, mereka mempersembahkan acara pementasan peristiwa Asyura. Masyarakat memadati tempat penyelenggaraan pementasan yang digelar secara terbuka, dan mengenang peristiwa menyayat hati itu. Dalam pementasan itu digambarkan sekelompok pasukan Bani Umayah yang dilengkapi dengan kuda, pedang dan pakaian lengkap perang. Wajah mereka tampak sadis. Sementara di sudut lain ada kelompok lain yang menggambarkan ketertindasan para pengikut dan keluarga Imam Husein as. Dalam pementasan itu juga tampak kemah-kemah keluarga Rasulullah Saww yang dikepung oleh para musuh.
Peringatan Asyura lainnya juga digelar di India dan Pakistan. Di Pakistan, peringatan Asyura sudah dilakukan semenjak 12 abad lalu. Bahkan dalam sejarah negara ini tercantum bahwa kolonial Inggris sempat melarang peringatan Asyura yang merupakan sumber inspirasi perlawanan bagi umat tertindas. Inggris yang saat itu menjajah Pakistan, merasa khawatir akan pelaksanaan acara peringatan Imam Husein as yang dapat menggerakkan semangat perjuangan masyarakat setempat. Meski dilarang, para pecinta Ahlul Bait as saat itu tetap menggelar upacara duka kepada Imam Husein as. Dengan berlalunya masa, upacara duka kepada Imam Husein as menjadi bagian dari budaya setempat. Bahkan banyak para penulis dan penyair yang berbicara tentang Imam Husein as dan Asyura.
Peringatan Asyura dan 40 Hari Syahadah Imam Husein yang dikenal dengan istilah Arbain, digelar di berbagai kota di Pakistan seperti Karachi, Hyderabad, Kotri dan Thatha. Dalam acara Asyura, masyarakat menghindari makan dan minum hingga berakhirnya upacara peringatan. Hal itu sengaja dilakukan untuk menghormati Imam Husein, keluarganya dan para sahabatnya yang dibiarkan kehausan di Karbala. Setelah usainya peringatan Asyura, masyarakat dijamu makanan dan minuman nazar.
Di India, upacara duka kepada Imam Husein as tidak hanya diperingati ummat Islam, tapi para pemeluk agama Hindu pun menghormati peringatan Asyura itu. Mereka menggelar upacara-upacara Imam Husein as di tempat-tempat yang diwakafkan untuk mengenang Imam Husein as. Upacara duka kepada Imam Husein as mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat India baik ummat Islam maupun Hindu. Bahkan pemimpin pergerakan terkemuka India, Mahatma Ghandi mengakui bahwa pergerakan anti kolonial di India terinspirasi dari perjuangan Imam Husein as. Ini menunjukkan bahwa tragedi Asyura mempunyai pengaruh yang luar biasa.
Upacara duka kepada Imam Husein as dapat disaksikan di beberapa kota India seperti Lakhnau, Bengal dan Benares. Di kota-kota itu, ummat Islam dan para pengikut Ahlul Bait menghormati hari Asyura dengan menghindari makan dan minum, bahkan menjauhi canda dan tawa.
Sedangkan di Asia Barat, peringatan Asyura juga akan disaksikan di Turki. Tradisi mengenang Imam Husein as sangat kental di negara ini. Hal itu bisa dilihat dari sastra-sastra Turki yang sarat dengan gerakan Imam Husein as. Hal yang menonjol di negeri ini dalam memperingati tragedi Asyura tercermin dalam sastra dan tradisi pementasan di tempat terbuka. Masyarakat dalam jumlah besar pada tanggal 10 Muharam sangat antusias mendengar puisi-puisi dan pementasan tragedi Asyura yang digelar di berbagai kota termasuk Istanbul.
Peringatan Asyura juga dikenang di Afrika, khususnya Afrika utara. Di negara-negara Afrika utara, upacara dan pawai duka diperingati seperti di negara-negara Islam lainnya. Bersamaan dengan menyebarnya peringatan Asyura di masa pemerintah El Baweh di Iran, Irak dan pemerintahan Fathimi di Mesir, peringatan tragedi Asyura juga meluas di negara-negara Afrika.
Di Tunisia, masyarakat setempat juga memperingati tragedi Asyura. Bahkan di negeri ini ada tradisi menghidupkan api di tempat-tempat tertentu dengan keyakinan bahwa hal itu akan membahagiakan anak-anak Imam Husein as di Karbala.
Tragedi Asyura juga diperingati di Indonesia, Malaysia dan Thailand. Di Indonesia, peringatan Asyura semakin semarak pasca Revolusi Islam Iran. Pada tanggal 10 Muharam, berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Makasar, Medan, Samarinda bahkan Jayapura menjadi saksi peringatan Asyura. Di kota-kota itu, semua pecinta keluarga Rasulullah Saww dalam jumlah ribuan berbondong-bondong menghadiri peringatan Asyura di kota masing-masing.
Peringatan tragedi Karbala ternyata sudah menjadi bagian dari tradisi lama di nusantara. Tradisi kuno nusantara dalam mengenang peristiwa asyura dikenal dengan istilah Tabot.
Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu, yang diadakan bertujuan untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kesyahidan cucu Rasulullah Saww, Imam Husein di padang Karbala tanggal 10 Muharam 61 Hijrah bersamaan 681 Masihi. Menurut sejarah, peringatan Asyura di Bengkulu itu untuk pertama kali dilakukan oleh Syeikh Burhanuddin yang dikenal Imam Senggolo, pada tahun 1685. Syeikh Burhanuddin menikahi dengan warga setempat kemudian keturunannya disebut sebagai keluarga Tabot. Upacara ini dilaksanakan dari tanggal 1 hingga 10 Muharram pada setiap tahun.
Pada awalnya inti dari upacara Tabot adalah untuk mengenang keluarga dan para pecinta Ahlul Bait as dalam mengumpulkan potongan tubuh Husein dan memakamnya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab Tabut yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”.
Tradisi itu diduga bermuara dari upacara berkabung yang dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para pekerja yang merasa serupa dan secocok dengan tata hidup masyarakat Bengkulu memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenali dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Para pekerja yang memilih tinggal di Bengkulu itu dipimpin oleh Syeikh Burhanuddin. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan orang-orang Sipai.
Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan yang kemudian dikenali dengan sebutan upacara Tabot. Upacara Tabot ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, upacara Tabot tidak bertahan lama di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yakni di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Kedua upacara itu mempunyai substansi sama, namun cara pelaksanaannya sedikit berbeda.
Pada intinya, peringatan Asyura mempunyai pengaruh luar biasa di seluruh pelosok dunia. Itu menunjukkan bahwa perjuangan Imam Husein as di Karbala dapat diterima oleh seluruh kalangan dan berbagai suku. Misi perjuangan Imam Husein bukan milik kaum tertentu, tapi untuk semua kaum di muka bumi ini.
Assalamu Alaika Ya Aba Abdillah Al-Husein as.
Urgensi dan Dampak Persatuan dalam al-Quran
Sumber: http://www.ipabionline.com/2011/11/muharram-bulan-duka-atau-suka-cita.html
Read more: http://www.ipabionline.com/2011/11/muharram-bulan-duka-atau-suka-cita.html#ixzz3H7FOFI3y
Republika 7 Oktober 2006, diakses pada situs http://www.infoanda.com/followlink.php?lh=WQ4CUlVQVVIE
Indonesia Monitor 2008a, 2008b
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006, hlm 15.
Arkal Salim dan Azyumardi Azra, “The State and Shari’a in the Perspective of Indonesian Legal Politics,” Introduction dalam buku Shari’a and Politics in Modern Indonesia (Singapore : ISEAS, 2003)
Ampe Sahrianita Boangmanalu : Pandangan PKS Pakpak Bharat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan, 2009.
Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan Tarbiyah : Bagaimana Sikap Muhammadiyah ? Agustus 2006
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 206-207.
Farid Setiawan, “Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat,” Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 210-211.
Abdurahman Wahid (editor) Ilusi Negara Islam , hlm 217.
Rosihan Anwar, Sebelum Prahara; Pergolakan Politik Indonesia.
Talk Show Muharram: Hijrah dan Asyura
Pada kesempatan ini, Gurutta KH Sanusi Baco lebih banyak mengulas makna Hijrah Rasul. Menurut beliau, ada 4 nilai penting yang bisa dipelajari dari peristiwa Hijrah:
Prof. Rahim kemudian menjelaskan masalah Asyura. Menurut beliau, Asyura punya 2 aspek, yakni aspek historis kultural dan aspek ritual spiritual. Secara historis kultural, ada beberapa versi tentang peristiwa Asyura. Sebagian umat Islam memaknai Asyura sebagai peristiwa kemenangan Nabi Musa as atas Fir'aun sehingga harus dirayakan, salah satunya dengan berpuasa di tanggal 10 Muharram. Sebagian lagi memaknai Asyura sebagai peristiwa duka cita atas syahidnya Imam Husain di Karbala. Peristiwa ini juga disebutkan dalam Tarikh Thabari, yang menyebutkan 10 Muharram adalah hari terjadinya tragedi di Karbala. Karena itu, kelompok ini mengadakan majelis duka untuk mengenang peristiwa tersebut.
Prof. Rahim juga mengatakan bahwa di dalam Quran, ada 4 bulan yang di dalamnya diharamkan berperang. Salah satu dari empat bulan tersebut adalah bulan Muharram. Karena itu beliau menyebut Bulan Muharram sebagai Bulan Damai, maka janganlah berselisih di bulan itu.
Mengenai tragedi Asyura, Prof. Rahim mengatakan bahwa peristiwa tersebut disebutkan di dalam kitab-kitab hadits dan tarikh Ahlusunnah. Oleh karena itu, perbedaan memahami Asyura mestinya disikapi dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati.
Prof Arifuddin Ahmad sebagai ahli hadits hanya menjelaskan bahwa masing-masing pihak yang meyakini Asyura memiliki dasar hadits yang dipegangi. Artinya, masing-masing pihak mempunyai hujjah dan dalil. Sementara itu, Dr. Muammar Bakry menyebutkan bahwa secara kultural ada tradisi Asyura yang berbeda yang dipraktekkan umat Islam. Mereka yang memaknai Asyura sebagai sukacita misalnya mengekspresikan dengan tradisi belanja peralatan rumah tangga. Tradisi ini tidaklah bisa langsung dicap bid'ah, tapi silahkan tradisi itu dilanjutkan dan tugas ulama mendidik umat untuk memperbaiki dan meluruskan niat dalam melaksanakan tradisi itu agar tidak terjatuh dalam kemusyrikan.
Prof. Rahim: Syiah Tidak Seperti Tuduhan Ust Said Samad
Pada sesi tanggapan, Ust Said Abd Shamad kembali mempersoalkan Syiah dengan menyampaikan beberapa tuduhan lama. Saat itu beliau membawa sambil mengutip buku yang katanya diterbitkan oleh MUI Pusat, "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia" sebagai rujukan.
Menanggapi Said Abd Shamad, Gurutta Sanusi Baco tetap fokus membahas tema dan tidak menanggapi soal Syiah. Bahkan dengan senyum khasnya beliau berujar, salah satu akhlak dalam berbicara adalah berbicara sesuai tema. Seolah menyampaikan 'teguran halus' pada Ust Said Shamad, Gurutta Sanusi Baco berkata, "hari ini tema kita adalah Hijrah Rasul dan Asyura".
Prof. Rahim nampak lebih lugas dan tegas menanggapi Ust Said Shamad. Ketika mengomentari buku tentang penyimpangan Syiah yang disebut-sebut oleh Ust Said Shamad sebagai terbitan MUI Pusat, dengan tegas Prof Rahim Yunus (sebagai Wakil Ketua Umum MUI SulSel) membantah klaim itu dan menyebut buku itu TIDAK RESMI diterbitkan MUI Pusat. Menurut beliau, buku itu pernah diedarkan di Rakernas MUI Pusat, namun langsung ditarik kembali karena tidak disetujui untuk diedarkan. Selanjutnya Prof. Rahim juga berkata, bahwa dalam beberapa kali kunjungan beliau ke Iran, beliau tidak menemukan fakta seperti yang dituduhkan Said Shamad. Beliau tidak menemukan praktek mut'ah, bahwa Quran orang Syiah di Iran dengan Quran orang Sunnah. Bahkan banyak Quran cetakan Arab Saudi yang juga beredar di Iran.
Seusai diskusi, Ust Said Shamad kembali mendekati Prof Rahim dan membicarakan mengenai buku yang dibicarakan tadi. Prof. Rahim kemudian bertanya, apakah ada tanda tangan dan kata pengantar di atas kertas kop MUI Pusat dari Ketua Umum MUI Pusat dalam buku itu?. Dengan singkat, Ust Said Samad menjawab "Tidak ada". Dalam pandangan Prof. Rahim, setiap buku resmi MUI Pusat, pasti ada kata pengantar dari Ketua Umum.
IJABI dan Wahdah Islamiyyah Serukan Persatuan Islam
Dalam sesi tanggapan, Ikhwan Abd Djalil dari Wahdah Islamiyah juga diberi kesempatan untuk memberikan masukan. Beliau mengingatkan pentingnya ukhuwah islamiyah dibangun di atas kejujuran di antara Sunnah dan Syiah. Namun demikian, Ikhwan mensinyalir masih adanya praktek pengkafiran sahabat Nabi di kalangan Syiah. Tentu saja ini tidak bisa digeneralisir. Faktanya, kita bisa melihat fatwa ulama muktabar Syiah yang mengharamkan penghinaan apalagi pengkafiran sahabat dan istri Nabi Saw serta tokoh-tokoh dan simbol-simbol mazhab ahlussunnah.
Syamsuddin Baharuddin sebagai ketua PP IJABI juga diberi waktu untuk memberi tanggapan, khususnya komentar dan tuduhan terhadap Syiah. Beliau setuju dengan Gurutta Sanusi Baco dan Prof. Rahim Yunus yang menyerukan persaudaraan dan menjadikan Muharram sebagai Bulan Damai. Bagi ketua PP IJABI yang terpilih di Muktamar tahun 2012 ini, bukan saatnya mempertajam perbedaan Sunnah Syiah mengingat banyaknya persamaan di antara keduanya.
Meskipun ada yang mengkafirkan Syiah, beliau mengajak hadirin untuk lebih mengikuti seruan ulama yang menyerukan persatuan Islam seperti yang disebutkan dalam Risalah Amman, Deklarasi Mekkah, Deklarasi Bogor dan yang terbaru Deklarasi Makassar di UMI. Syamsuddin Baharuddin menghimbau, untuk mendapatkan informasi yang benar tentang suatu kelompok atau mazhab, kita harus merujuk pada pandangan dan pernyataan para ulama atau tokoh yang diakui dalam mazhab atau kelompok tersebut. Jangan menjadikan perilaku dan perkataan orang awamnya sebagai dasar untuk menilai kelompok atau mazhab tertentu.
Terakhir, ada pernyataan bagus dari Prof Arifuddin Ahmad sebagai penutup.