Perempuan itu berwajah cantik. Dalam dirinya mengalir darah Indonesia, Perancis dan Amerika Serikat. Perempuan itu juga masih sangat muda. Usianya belum 20 tahun.
Karena kecantikan dan kemudaannya, seorang pangeran dari Kesultanan Kelantan, Malaysia, terpikat. Predikat sebagai istri seorang bangsawan diperolehnya dengan cukup mudah.
Namun, kecantikan, usia muda dan predikat kebangsawanan itu tidaklah menumbuhkan rasa bahagia di hatinya. Dia justru tersiksa secara fisik dan psikis.
Adalah Manohara yang menjadi lakon dalam cerita itu. Dialah perempuan muda yang dinikahi Pangeran Tengku Temenggong Muhammad Fakhry Putera. Manohara pun menjadi perhatian publik Indonesia dan Malaysia.
Namun ingat, warga negara Indonesia (WNI) di negeri jiran itu tak hanya Manohara. WNI yang mendapat siksa di negeri itu juga tak cuma Manohara. Mungkin sudah ribuan tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang mengadu nasib di Malaysia, mengalami penyiksaan fisik dan psikis. Dipukul, ditendang, disetrika, diperkosa bahkan dibunuh! Suatu penderitaan yang luar biasa. Tragisnya, semua itu terus terjadi.
Seandainya semua TKW Indonesia seperti Manohara, alangkah beruntungnya mereka. Para TKW itu akan mendapat banyak simpati, dukungan morel dan bantuan hukum. Andaikan itu terjadi, tentu para TKW itu bisa bekerja dengan tenang. Bisa ikut menghidupi keluarganya tanpa harus selalu dicekam rasa takut.
Penanganan kasus Manohara dengan siksaan terhadap para TKW, sangatlah beda. Ketika Ibunda Manohara, Daisy Fajarina mengungkapkan derita anaknya, simpati sontak bertebaran.
Semua media mewartakannya. Polri, departeman luar negeri dan kedutaan langsung bereaksi. Semua melakukan advokasi agar seorang Manohara bisa kembali ke Indonesia dan terbebas dari jerat penyiksaan sang suami. Pemerintah terkesan takut kasus Manohara akan memiliki efek politik yang besar.
Nuansa terjadi tatkala media mewartakan TKW yang menangis karena terkurung dalam tindak kekerasan. Tanggapan pemerintah terkesan klise. Landai. Datar-datar saja. Reaksi agak keras baru muncul ketika mereka mengalami cacat permanen atau tewas akibat penyiksaan. Perhatian pemerintah memang kurang berpihak kepada TKW.
Manohara masih berkewarganegaraan Indonesia. Para TKW itu juga warga negara ber-Pancasila ini. Di mata hukum, mereka memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan. Kenyataan di lapangan menunjukkan ‘teori’ itu hanyalah manis di atas kertas.
Terlepas dari keberuntungan Manohara dan tidak beruntungnya para TKW, pemerintah harus memberi perhatian ekstra tanggap dan cepat terhadap kasus kekerasan yang dialami warganya di luar negeri. Siapa pun dia.
Kasus kekerasan itu juga harus dijadikan pembelajaran bagi semua pihak –pemerintah dan masyarakat– untuk lebih peduli terhadap kaum perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sudah bukan zamannya. Cara pandang yang menempatkan perempuan adalah warga ‘kelas dua’, harus dihilangkan. Perempuan pada era sekarang tak bisa dianggap sekadar properti atau aset milik kaum laki-laki.
Selain itu, kasus yang dialami Manohara bisa dijadikan cermin bagi orangtua untuk tidak mudah tergiur harta sehingga menikahkan putrinya pada usia muda. Pernikahan harus mempertimbangkan kondisi psikologi dan biologis anak.
Ada hikmah lain yang bisa direnungkan dari kasus Manohara. Setiap perbuatan baik dan buruk pasti memiliki imbas di kemudian hari. Apalagi jika perbuatan itu semata-mata didasarkan pada pertimbangan materi dan gengsi. Jangan karena mengejar nikmat sesaat, malu dan rasa sakit yang didapat.
0 comments to "Ironis! Melupakan TKW, Menghebohkan Manohara"