Home � Yesus

Yesus



Menolak Yesus Historis!

Sejak spesies manusia menjejakkan kakinya untuk pertama kali di permukaan bumi, maka tak ada figur dan kehidupan seorang manusia yang lebih unik dan misterius serta menyulut kontroversi dibandingkan sejarah para nabi. Bahkan, kata nabi itu sendiri masih mengundang beragam pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Maksudnya, apabila kita menyebut kata raja—misalnya, maka akan terbetik dibenak kita akan kualitas-kualitas kepribadian yang berkuasa, kharismatik, memiliki takhta dan kekayaan, bijaksana, disegani dan berani. Demikian pula dengan kata ratu, filosof, panglima, pendekar, tabib, pendeta, rahib dan lain sebagainya. Artinya, kualitas-kualitas yang terkandung pada kata-kata tersebut bisa tergambar jelas dalam pikiran kita. Akan tetapi, bagaimana dengan kata nabi? Kualitas apa yang sekarang muncul dalam benak kita? Mungkin, walaupun makna itu seolah-olah sudah ada diujung lidah dan siap terlisankan, namun bisa jadi gambaran yang muncul dalam benak kita adalah sederetan nama nabi ketimbang arti dan kualitas yang sebenarnya dari kata nabi itu sendiri.

Pena sejarah umat manusia telah mencatat bahwa sebagian dari para nabi merupakan orang-orang yang berkuasa, namun mereka tidak mau disebut raja. Lebih dari itu, mereka bahkan larut dalam penghambaan. Sebagian dari mereka memiliki kekayaan yang berlimpah, namun lebih suka hidup sederhana dan berbaur dengan orang miskin. Mereka adalah orang-orang yang berilmu dan arif, namun enggan disebut filosof atau jenius. Mereka mampu menghilangkan penyakit, tapi tidak mau disebut tabib. Di satu sisi, mereka menyeru manusia untuk saling mengasihi. Namun di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang tidak segan untuk membunuh jika diperangi. Sebagian dari mereka merupakan pemimpin perang yang tangguh, tapi enggan disebut panglima atau pendekar. Mereka mengajarkan sejarah tentang masa lalu umat manusia, tapi tidak mau disebut sejarahwan. Mereka menubuatkan [memberitakan] hal-hal yang akan terjadi di masa depan, tapi enggan disebut peramal. Kenyataan ini tidak mengherankan bila figur nabi itu memang sangat unik.

Barangkali, sebagian orang akan mengatakan bahwa nabi adalah penyampai wahyu dari Tuhan. Jawaban ini tidak hanya membuat orang yang bertanya semakin bingung, tapi setiap penjelasan tentang arti dan kualitas dari kata nabi itu sendiri, justru mengundang pertanyaan baru yang semakin luas dan dalam. Sebab, penanya itu mungkin kembali bertanya ‘Wahyu itu apa?’ dan ‘Tuhan itu siapa?’.

Dalam hal ini, sebagian orang yang kebetulan telah mengimani tentang keberadaan para nabi mengatakan bahwa nabi itu adalah ‘hamba Tuhan yang telah diutus kepada umat manusia untuk menyampaikan risalah-Nya’—dan habis perkara. Maksudnya, mereka melarang untuk mempertanyakan lebih jauh seraya mengatakan bahwa memahami seorang nabi itu tidak ada hubungannya dengan rasionalitas, tapi dengan keyakinan. Kendati pernyataan mereka terkesan membela tentang keberadaan para nabi, tapi pembelaan seperti ini jelas akan mengarah pada kesimpulan bahwa mengimani para nabi adalah kenyataan yang tidak ada hubungannya dengan akal sehat! Artinya, mereka seolah-olah ingin menyatakan bahwa keyakinan mereka terhadap para nabi adalah persoalan yang tidak rasional—alias absurd!

Di samping itu, berhubung mereka percaya bahwa ke-nabi-an adalah perkara yang sifatnya ‘imani’ dan bukan rasional, maka mereka menegaskan bahwa setiap orang yang berusaha untuk merasionalisasikan tentang keberadaan para nabi dan juga perbuatan-perbuatan mereka adalah penista iman dan pembangkang ajaran Tuhan—alias kafir.

Sementara itu, sebagian orang yang kebetulan tidak mengenal tentang keberadaan para nabi mengatakan bahwa ke-nabi-an adalah mitos, dongeng atau legenda yang telah direkayasa oleh moyang manusia di masa lalu agar keturunannya di kemudian hari mampu memiliki tradisi dalam berperilaku. Maksudnya, mereka ingin menegaskan bahwa para nabi dalam makna sebagai pembawa wahyu dari Tuhan itu sama sekali tidak ada. Dan, mereka juga beranggapan bahwa berhubung keberadaan para nabi tidak bisa dirasionalisasikan, maka mereka menyimpulkan bahwa mengakui keberadaan mereka adalah perkara yang tidak masuk akal.

Selain itu, mereka juga menambahkan bahwa berhubung manusia adalah mahluk yang sadar-diri atau rasional, maka mengimani tentang keberadaan para nabi yang tidak ada itu, adalah perkara yang tidak rasional atau sesat pikir. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa mengimani tentang keberadaan para nabi adalah perkara yang tidak realistis—atau terburuknya adalah menderita gangguan mental.

Dengan demikian, selain figur dan kehidupan para nabi itu unik dan tersaput kabut misteri, namun kenyataan terakhir ini jelas membuktikan bahwa keberadaan para nabi telah menyulut kontroversi di kalangan spesies manusia.

Perlu diketahui bahwa selain dua kelompok yang telah disebutkan di atas, maka di era milenium sekarang telah muncul kelompok baru yang berusaha mengupas kehidupan para nabi dalam konteks historis murni atau dari sisi sejarahnya saja. Anehnya, kelompok ini justru telah muncul dari komunitas beragama yang seharusnya telah meyakini tentang keberadaan para nabi. Akan tetapi, dalam pernyataannya mereka memprotes sambil menuduhkan bahwa sebagian umat beragama yang mengikuti ajaran para nabi, sebenarnya telah kebablasan dan membuat berbagai dogma tambahan yang akhirnya telah menodai ajaran nabi-nabi tersebut.

Pada awalnya, kelompok ini muncul dari penganut ajaran Kristen yang mengajarkan bahwa Yesus putra Maryam bukan hanya seorang nabi, tapi dia adalah Oknum Tuhan atau Firman-Nya. Dogma ‘Holy Trinity’ atau Trinitas Suci yang diyakini oleh penganut Kristen telah mengundang perdebatan yang liar di antara penganutnya. Prakarsa ini telah dimotori oleh beberapa tokoh Kristen sendiri seperti Hermann Samuel Reimarus, Albert Schweitzer, David Friedrich Strauss, William Wrede, Johannes Weiss, Martin Kâhler dan lain sebagainya.

Kelompok ini berargumen bahwa untuk menggali ajaran dan kepribadian Yesus yang sebenarnya, maka satu-satunya cara adalah dengan meninjau kembali sisi sejarah Yesus yang tidak terkontaminasi oleh dogma Gereja. Mereka menyimpulkan bahwa doktrin-doktrin Kristen, seperti konsep Trinitas dan dosa waris itu sebenarnya bukan ajaran yang berasal dari Yesus, tapi hanya kesepakatan yang dibuat di kota Nikea pada saat Konsili di paruh abad ke-3 Masehi. Persinggungan antara penganut paham “Yesus secara historis” [Historical Jesus] dan pihak Gereja atau kelompok yang mereka sebut sebagai penganut spekulasi-dogmatik ini kian meruncing dan semakin sulit untuk dipertemukan.

Pada intinya, mereka beranggapan bahwa figur Yesus secara historis telah dimanipulasi dan difabrikasi demi melanggengkan kekuasaan Gereja. Mereka menudingkan bahwa cara yang pernah ditempuh oleh pihak Gereja saat itu adalah dengan memposisikan Yesus ke tempat yang tinggi dan sakral sehingga tidak terjamah lagi oleh manusia, yakni sebagai salah satu Oknum Tuhan.

Dalam hal ini, keraguan dari sebagian umat Kristen terhadap dogma Gereja telah mendorong para peneliti “Yesus secara historis” ke arah yang semakin ekstrem dan radikal dalam meraih kesimpulannya. Mereka bahkan telah meragukan berbagai mukjizat yang pernah terjadi terhadap diri Yesus, seperti asal-usulnya tanpa bapak biologis dan juga mukjizat-mukjizat lain yang pernah dilakukannya. Kenyataan ini seperti yang telah ditegaskan oleh Muhammad Legenhausen dalam Pengantar buku ini, dia mengatakan:

“Perbedaan-perbedaan di antara pemikiran Islam dan Kristen mengenai Yesus halus sekali. Keduanya menerima kelahiran yang suci, meski ironisnya sejumlah besar umat Kristen liberal telah meragukan mukjizat ini, sementara umat Islam tetap sabar!”

Dalam kesempatan ini, terlepas dari apapun permasalahan yang terjadi di antara penganut Kristen, namun yang lebih ironis adalah keengganan kelompok “Yesus secara historis” untuk menimba berbagai informasi tentang Yesus yang telah disampaikan oleh Islam. Bayangkan saja bahwa saat ini ada 1 milyar lebih umat Islam yang mengimani dan mengagumi Yesus dengan keyakinan yang ‘nyaris’ sama seperti yang telah diimani oleh umat Kristen kecuali dalam beberapa hal saja, seperti Yesus bukan Oknum Tuhan, dia tidak dibunuh dengan cara apapun—termasuk disalib, dia tidak menebus dosa dan Yesus bukan nabi terakhir bagi umat manusia. Sedangkan mengenai statusnya sebagai seorang nabi dan mukjizat-mukjizatnya, maka Islam sama sekali tidak meragukannya.

Perlu diketahui bahwa di satu sisi, kelompok “Yesus secara historis” konon tidak menolak Yesus sebagai nabi. Artinya mereka mengakui dan mengimani kenabian. Sedangkan di sisi lain, mereka telah menolak dogma ketuhanan Yesus yang diyakini pihak Gereja. Penolakan mereka tentang ketuhanan Yesus ini sama seperti penolakan Islam terhadap dogma tersebut. Selain itu, penolakan mereka terhadap ketuhanan Yesus juga menunjukkan bahwa mereka telah menolak konsep dosa waris yang secara faktual memang telah ditolak oleh Islam.

Adapun satu-satunya perbedaan dalam hal pandangan antara kelompok “Yesus secara historis” dan Islam adalah ‘pengakuan’ mereka tentang penyaliban terhadap Yesus. Akan tetapi, apakah pengakuan mereka meliputi kematiannya di kayu salib ataukah tidak, maka kesimpulan mereka terhadap persoalan ini juga seharusnya beragam. Maksudnya, apabila kelompok ini merupakan para peneliti sejarah yang murni dan konsekuen, maka mereka seharusnya bisa melihat tentang berbagai kerancuan pemberitaan dalam kitab-kitab Injil kanonik mengenai persoalan tersebut. Belum lagi hal ini ditambah dari sumber-sumber periwayatan yang ada dalam Injil-injil Apokripa, seperti Injil Barnabas yang secara jelas telah menafikannya. Artinya, selain perbedaan yang tipis antara ajaran Islam dan Kristen mengenai figur Yesus, maka perbedaan pandangan antara kelompok “Yesus secara historis” dan Islam seputar jatidiri Yesus itu, bahkan lebih halus lagi.

Namun anehnya, mereka sama sekali tidak pernah menjadikan al-Quran dan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad dan keluarganya sebagai salah satu rujukan untuk meninjau Yesus secara historis. Padahal, meskipun mereka ingin menjustifikasikan al-Quran hanya sebagai ‘kitab sejarah’ saja, maka mengapa periwayatan sejarah tentang Yesus dalam al-Quran yang jaraknya hanya sekitar 500 tahun setelah Yesus dan ±200 tahun dari periode Nikea itu tidak dijadikan rujukan tentang Yesus secara historis? Melalui penalaran ini, jelas sekali ada hal rancu dalam metode pembahasan yang mereka lakukan atau tujuan akhir yang hendak mereka capai. Atau, apakah mungkin mereka telah terdogmatisasi oleh metodologi riset seperti tuduhan yang mereka lontarkan kepada pihak Gereja? Sebab, pihak Gereja Katolik yang dituduh kebablasan oleh kelompok “Yesus secara historis” ini ternyata masih memberikan perhatian terhadap ayat-ayat al-Quran dan riwayat hadis Nabi Muhammad tentang Yesus, terutama dalam pembahasan-pembahasan mereka tentang sisi esoterik Yesus atau pribadinya sebagai nabi. Dalam dekrit Konsili Vatikan II dijelaskan tentang hubungan pihak Gereja Katolik dengan Islam yang dinyatakan sebagai berikut:

“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan, Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum Muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham—iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya—telah menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya. Selain itu mereka mendambakan Hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah berbangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.

Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristen dan Muslimin. Konsili suci mendorong mereka semua supaya melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral, maupun perdamaian dan kebebasan.”[1]

Dalam hal ini, al-Quran juga telah menjelaskan tentang sikap umat Kristen yang dinyatakan dalam Firman Allah sebagai berikut:

Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan Kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Quran dan kenabian Muhammad saw)” (QS. al-Maaidah: 82-83)

Penjelasan Wahyu al-Quran ditambah pengakuan Muhammad saw sebagai Nabi seharusnya menjadi masukan baru bagi para peneliti “Yesus secara historis” untuk menilik Islam dalam mengupas sejarah Yesus. Sebagai kelompok yang konon masih mengakui keberadaan para nabi, maka konsekuensi logis atas keengganan mereka untuk meninjau sejarah Yesus melalui Islam bisa dijustifikasikan melalui beberapa pertimbangan berikut:

Pertama, Pandangan kelompok “Yesus secara historis” yang telah menolak mukjizat-mukjizat Yesus dan menganggapnya sebagai fabrikasi sejarah menunjukkan bahwa mereka [sangat mungkin] telah menafikan prinsip rasional tentang keharusan adanya nabi bagi umat manusia. Singkatnya, mereka adalah kelompok yang mengingkari kenabian. Jika ini masalahnya, maka kelompok “Yesus secara historis” itu sebenarnya telah keluar dari kelompok masyarakat yang bertuhan [Ilahiyyun], yakni komunitas yang mengakui adanya Sang Pencipta—dalam konteks ini maksudnya adalah para penganut agama-agama Ibrahimik, seperti Islam, Kristen dan Yahudi. Artinya, mereka adalah kelompok Sophist [orang-orang yang sesat pikir] atau cenderung terhadap paham ateis. Sebab, bagi penganut agama-agama Ibrahimik, keharusan adanya nabi yang mampu membimbing umat manusia adalah perkara yang mustahil dinafikan. Di samping itu, orang yang membenarkan tentang keberadaan para nabi juga akan mengakui adanya mukjizat para nabi.[2] Inilah kondisi terburuk pertama yang bisa disimpulkan terhadap sikap kelompok “Yesus secara historis”.

Kedua, Sedangkan kondisi kedua yang bisa disimpulkan terhadap sikap kelompok “Yesus secara historis” itu terkait dengan keraguan mereka atas status Yesus sebagai nabi. Maksudnya, walaupun kelompok ini tidak menolak keberadaan para nabi, tapi mereka telah menafikan Yesus sebagai nabi. Sedangkan keengganan mereka untuk mengulas sejarah Yesus melalui Islam menunjukkan bahwa mereka telah menafikan Muhammad sebagai nabi. Jika ini masalahnya, maka posisi mereka sebagai penganut agama Ibrahimik itu jelas menunjukkan bahwa mereka adalah penganut ajaran Yahudi. Di sini perlu dijelaskan bahwa apabila kelompok “Yesus secara historis” menganggap diri mereka sebagai penganut agama-agama Ibrahimik tetapi mereka telah menolak figur nabi-nabi tertentu, maka di dunia saat ini, posisi keyakinan seperti itu hanya berada di dua tempat. Maksudnya, apabila ada seseorang yang menolak kenabian Muhammad saw, namun dia tidak menolak prinsip kenabian, maka konsekuensinya orang itu kemungkinan adalah penganut Kristen atau Yahudi. Dan, apabila orang itu menolak kenabian Muhammad saw dan Yesus, namun dia tidak menolak prinsip kenabian, maka konsekuensinya orang itu adalah penganut agama Yahudi. Sedangkan apabila orang itu menolak kenabian Muhammad, Yesus dan Musa, namun dia tidak menolak prinsip kenabian,[3] maka hal utama yang bisa disimpulkan adalah bahwa mereka pastinya tidak menganut agama Islam, Kristen maupun Yahudi. Parahnya, orang ini adalah ‘pemimpi di siang bolong’ karena pada dasarnya, dia tidak akan pernah memiliki “Kitab Suci” manapun di muka bumi yang bisa mereferensikan untuknya bahwa Ibrahim itu seorang nabi. Alasannya, bukti kenabian Ibrahim hanya termuat dalam kitab Tanakh [Kristen: Perjanjian Lama] yang merupakan rujukan bagi umat Yahudi; atau kitab Perjanjian Baru yang merupakan rujukan bagi umat Kristen; dan al-Quran yang merupakan rujukan bagi umat Islam.

Ketiga, Sedangkan posisi mereka yang ketiga adalah sebagai berikut. Apabila kelompok “Yesus secara historis” menolak Muhammad saw tapi menerima Yesus sebagai nabi, maka hal yang perlu ditegaskan di sini adalah “apakah mereka mengakui Yesus sebagai nabi bagi bangsa Israel saja ataukah bagi seluruh umat manusia?”. Maksudnya, apabila mereka mengatakan bahwa Yesus adalah nabi bagi bangsa Israel saja, maka sebagai orang-orang yang bukan berasal dari keturunan bangsa Israel, lalu mengapa mereka sibuk membahas “Yesus secara historis” dan mengaku beragama Kristen? Sedangkan apabila mereka menerima Yesus sebagai nabi bagi seluruh umat manusia, maka pada tahap ini, diskusi dan pencarian yang mesti mereka lakukan bukan lagi soal “Yesus secara historis” tetapi melalui pengamatan yang mendalam terhadap wacana-wacana profetik atau topik-topik mesianisme dalam Alkitab yang mana pembahasan ini biasanya disebut Kristologi. Alasannya, figur nabi yang otoritasnya semesta bagi seluruh umat manusia dalam Alkitab itu hanya satu orang. Dalam Alkitab, figur ini lazimnya disebut nabi atau rasul terakhir atau sang Mesiah.

Pembahasan tentang nubuat-nubuat kemesiahan atau profetisme [nubuwwah] merupakan kontemplasi kewahyuan [ayat-ayat Tuhan] yang meliputi sisi eksoterik dan esoterik kenabian, filsafat, logika, linguistik, sejarah dan lain sebagainya. Perlu ditambahkan bahwa pengamatan dan pendalaman sisi eksoterik dan esoterik kenabian itu meliputi penyaksian akan kebenaran Tuhan [Divine Truth] termasuk mukjizat para Nabi [Mysticism], Hari Akhir [The Apocalypse] dan bukan penafiannya. Dalam ajaran Islam, pembahasan ayat-ayat Allah senantiasa menampung dua wajah, yaitu: sisi yang tampak atau fisik [zahir] dan sisi yang tidak tampak atau metafisik [bathin].

Dalam pembahasan Kristologi, khususnya di kalangan penganut agama-agama Ibrahimik, maka pembahasan ini bertujuan untuk membuktikan apakah figur Nabi tertentu—seperti Yesus dalam kasus Kristen atau Muhammad dalam kasus Islam[4]—adalah tokoh legendaris yang pernah dinubuatkan dalam Alkitab?[5] Sedangkan materi-materi yang sifatnya historis adalah pelengkap pembahasan dan bukan satu-satunya jalan. Alasannya, pembenaran atas nubuat kemesiahan atau wacana-wacana profetik itu pada akhirnya akan merangkai secara rasional dan kontekstual.

Dengan demikian, mengulas figur nabi hanya dari sisi sejarahnya saja, jelas tidak akan pernah mengungkap jatidiri nabi itu sepenuhnya. Sebab, sumber utama untuk menganalisis sisi historis adalah melalui berbagai peninggalan yang bersifat material atau bukti-bukti indrawi. Sedangkan apabila menganalisis sejarah nabi hanya dari sisi peninggalannya secara fisik, maka hal ini hanya membuktikan tentang keberadaan figur [nabi] tersebut dan tak akan pernah menjangkau sisi kebenarannya, seperti apakah figur itu memang seorang nabi atau bukan? Apa nubuat-nubuatnya? Apa mukjizatnya? Apa hubungan nabi itu dengan nabi-nabi sebelumnya? Dan lain sebagainya.

Pada intinya, penelitian seperti ini jelas tidak bisa mengungkap hakikat atau makna kenabian kecuali sebatas pembuktian tentang adanya figur tersebut di masa lalu dan tidak lebih dari itu. Bahkan dalam banyak kasus, seperti yang terjadi dalam kelompok “Yesus secara historis”, maka hasil akhir yang mereka simpulkan tentang figur Yesus itu adalah bukan sebagai nabi. Alasannya, karena kelompok “Yesus secara historis” tidak menemukan bukti-bukti indrawi tentang mukjizat-mukjizat Yesus, maka mereka menyimpulkan bahwa Yesus sebenarnya tidak pernah melakukan mukjizat-mukjizat tersebut. Atau, karena proses reproduksi dalam spesies manusia selalu memerlukan perpaduan antara unsur fisik pria dan wanita, maka mukjizat tentang asal-usul Yesus yang tidak memiliki bapak biologis itu adalah pemalsuan sejarah. Kesimpulan-kesimpulan seperti ini jelas keliru karena selain kata mukjizat memiliki sisi yang tampak atau berhubungan dengan perkara-perkara lahiriah, namun kata ini juga memiliki sisi yang tidak nampak atau berhubungan dengan perkara-perkara batin yang secara khusus memang terkait dengan aspek kenabian. Maksudnya, mukjizat bisa didefinisikan sebagai perkara yang keluar dari kebiasaan manusia dan tampak pada diri seseorang [atau perkara fisik] yang mengaku sebagai nabi dengan kehendak Sang Pencipta agar mukjizat itu bisa menjadi bukti atas kebenaran orang tersebut sebagai nabi [atau perkara metafisik].

Di samping itu, apabila menelaah sisi historis kenabian melalui teks-teks agama Ibrahimik yang pernah ada sebelum Yesus dan Nabi Muhammad, maka teks-teks tersebut menyebutkan bahwa kendati para nabi berwujud manusia, namun teks itu juga mengungkapkan bahwa hakikat para nabi adalah Ruh Tuhan, yakni bersifat non-fisik.

“Dengan Ruh-Mu Engkau memperingatkan mereka, yakni dengan perantaraan para nabi-Mu” [Nehemia 9:30]

Dalam teks Ibraninya, kata Ruh pada ayat tersebut adalah ruwach[6] yang berarti jiwa atau ruh [spirit], angin [wind], nafas [breath], sisi atau pihak [side], akal atau pikiran [mind], ledakan atau hembusan [blast]. Kata ini mengakar dari kata kerja ruwach, artinya mencium bau [smell], menyentuh [touch], memahami [quick understanding] dan menerima [accept].

Pada dasarnya, manusia itu memiliki dimensi yang berwujud dan dimensi yang tidak berwujud. Artinya, selain manusia memiliki badan atau tubuh, maka dia juga memiliki ruh. Penjelasan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa sisi kenabian itu berhubungan dengan alam metafisik ketimbang alam fisik. Artinya, menilai kebenaran seorang nabi hanya melalui sisi historis atau perkara-perkara fisiknya saja adalah sesuatu yang tidak bakal terpenuhi. Sebab, seperti keberadaan ruh dalam setiap makhluk hidup itu tidak bisa dibuktikan secara fisik, tetapi persoalan tentang keberadaan ruh itu sendiri tetap diterima kebenarannya secara rasional. Oleh sebab itu, apabila ruh yang tidak terindra dan bukan berasal dari alam materi ini tidak dinafikan keberadaannya secara rasional, maka para nabi yang hakikatnya merupakan ‘Ruh Tuhan’ juga harus bisa diterima keberadaannya secara rasional.

Adapun mengenai penisbahan ruh para nabi sebagai “Ruh Tuhan”, maka hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa jabatan seorang nabi itu tidak ditentukan oleh manusia atau dimusyawarahkan di antara mereka. Artinya, kenabian adalah Wewenang Mutlak Tuhan atau Urusan Allah sama seperti ruh itu sendiri. al-Quran menjelaskan:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” [QS. al-Isra: 85]

Selain Alkitab menegaskan bahwa hakikat para nabi adalah Ruh Tuhan, maka pada bagian lain Alkitab juga menegaskan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Tuhan yang ditugaskan untuk menyeru manusia ke jalan-Nya.

Kemudian berfirmanlah [dabar] TUHAN dengan perantaraan [yad] para hamba-Nya [`ebed], yakni para nabi [nabiy’].” [2 Raja-raja 21:10]

Secara definisi, kata dabar berarti berbicara [to speak], mengumumkan atau menyatakan [declare], melawankan atau membalikkan [converse], memerintahkan [command], menjanjikan [promise], memperingatkan [warn], mengancam [threaten], menyanyi atau mendesing [sing]. Sedangkan kata nabiy’ artinya pemberita, pewarta atau penyampai kabar yang berakar dari naba’, artinya berita atau kabar.[7] Kata `ebed secara harfiyah berarti hamba atau sahaya. Kata ini berasal dari kata `abad yang berarti pekerja atau penyembah [worshippers] dan bertujuan untuk menunjukkan bahwa para nabi adalah makhluk [manusia] yang menyembah Tuhan dan bukan Oknum Tuhan yang disembah seperti yang disimpulkan oleh Kristen terhadap figur Yesus.[8] Sementara penjelasan mengenai kalimat “dengan perantaraan” yang dinyatakan dengan kata yad yang secara harfiyah berarti tangan [hand], kekuatan atau kekuasaan [power], maka penjelasan ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan bahwa “para nabi atau kenabian itu adalah manusia-manusia yang telah dianugerahkan dengan kekuatan atau kekuasaan Tuhan untuk menyampaikan wahyu-wahyu-Nya kepada umat manusia”. Di sini, lagi-lagi kenabian itu terbukti berhubungan dengan Sang Pencipta. Dalam hal ini, Imam Muhammad Baqir as juga telah menjelaskan tentang berbagai makna “tangan” dalam al-Quran dengan uraian sebagai berikut:

Dalam bahasa orang-orang Arab, “tangan” berarti kekuatan [quwwah] dan kenikmatan [ni’mah]. al-Quran mengatakan, Ingatlah hamba Kami, Dawud yang mempunyai kekuatan [secara harfiah ‘yang memiliki tangan’].” [QS. Shaad: 17]; Dan langit itu Kami ciptakan dengan kekuasaan [‘tangan’]. [QS. Adz-Dzariyat: 47]. Dia berfirman, “Dia menguatkan mereka [‘mengulurkan tangan’] dengan ruh dari-Nya.” [QS. al-Mujadilah: 22]. Dikatakan, “si anu mempunyai banyak tangan denganku,” yakni dia menunjukkan berbagai karunia dan kebaikan kepadaku. Atau, “Dia memperlihatkan tangan putih kepadaku,” yakni berkah dan karunia.[9]

Walaupun masih banyak keterangan dalam al-Quran dan Alkitab yang menjelaskan tentang kenabian dan hubungannya sebagai ‘Ruh Tuhan’,[10] namun yang perlu dipahami bahwa ruh adalah makhluk yang telah diciptakan oleh Tuhan. Sebutan ‘Ruh Tuhan’ bukan berarti ruh adalah Tuhan atau ruh seolah-olah memiliki wujud yang mandiri. Alkitab menyatakan sebagai berikut:

“Ucapan ilahi. Firman TUHAN tentang Israel: Demikianlah firman TUHAN yang membentangkan langit dan yang meletakkan dasar bumi dan yang menciptakan [yatsar] ruh dalam [qereb] diri manusia” [Zakharia 12:1]

Kata yatsar secara harfiyah berarti membentuk [form], pembuat barang-barang tembikar [potter], mode [fashion], pembuat [maker], membingkai, kerangka, bentuk, menyusun [frame], yang lebih dulu [former], membuat dari tanah [earthen], kehendak atau tujuan [purposed]. Secara definisi, kata ini berarti mengikat [to bind]. Mungkin yang menarik pada ayat itu adalah kata “dalam”, yakni qereb yang berarti di antara [among], tengah-tengah [midst], di dalam [within], ke dalam [inwards]. Kata ini mengakar dari qarab, artinya mendekati [to come near] atau memasuki [enter into].

Sehubungan dengan hal ini, Najm ad-Din Razi[11] [w. 1256] melihat pernyataan al-Quran yang menganggap ruh manusia berasal dari Tuhan[12] dan menyimpulkan bahwa hubungan istimewanya [kedekatan ruh] dengan realitas Ilahi, menempatkannya di puncak hierarki benda-benda ciptaan.[13] Pada bagian lain, Alkitab juga meriwayatkan bahwa ruh adalah pelita atau cahaya Tuhan.

“Ruh manusia adalah pelita [niyr] TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya.” (Amsal 20:27)

Kata niyr[14] artinya lampu [lamp], lilin [candle], cahaya [light] dan berkilau-kilauan [to glisten], yakni sesuatu yang memancar atau pancaran. Pada intinya, substansi dunia malaikat atau dunia ruhani adalah cahaya ciptaan yang harus dibedakan dengan Cahaya Mutlak yang tidak terbatas. Dari sudut pandang Islam, istilah-istilah seperti jiwa [nafs], hati [qalb], akal [‘aql] dan ruh [rûh] sebenarnya dapat mengacu pada realitas yang sama tetapi dari persepsi yang berbeda-beda. Berikut ini adalah istilah-istilah dan tingkatan-tingkatan yang dimaksud itu.

Pertama, Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia dapat meningkat atau berkurang atau berubah dari satu keadaan ke keadaan lain, maka ia disebut “hati”.

Kedua, Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia hidup dan memberikan kehidupan pada badan, maka ia dinamakan “ruh”.

Ketiga, Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia mengenal dirinya sendiri dan memberikan sifat untuk mengetahui yang lain, maka ia dinamakan “akal”.

Keempat, Dalam kaitan bahwa ia benar-benar sederhana dan tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian, maka ia dinamakan “ruh perintah”.

Kelima, Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia berasal dari dunia yang lebih tinggi dan dari jenis yang sama dengan para malaikat [maujud-maujud ruhani], maka ia dinamakan “ruh malakuti”.

Keenam, Dalam kaitan dengan kenyataan bahwa ia terpisah, mandiri, suci dan disucikan, maka ia dinamakan “ruh suci”.[15]

Dalam hal ini, kemandirian ruh suci atau ar-rûh al-qudus jangan dikaitkan bahwa ia seolah-olah mandiri dari Sumber Eksistensi atau Tuhan yang merupakan Hakikat Wujud Mutlak, tapi ia adalah makhluk yang agung[16] seperti yang dinyatakan pada ayat-ayat al-Quran berikut ini:

Dia menurunkan malaikat dan ruh dengan perintah-Nya. [QS. an-Nahl: 2]

Malaikat-malaikat dan ruh naik [menghadap] kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. [QS. al-Ma’arij: 4]

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. [QS. an-Naba’: 38]

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. [QS. al-Qadr: 4]

Adapun pemahaman yang mengatakan bahwa ruh adalah Tuhan sebenarnya berasal dari kesalahpahaman Kristen. Pendefinisian ini berasal dari pernyataan Paulus pada salah satu suratnya. Dia menyatakan hal berikut:

“Sebab Tuhan adalah Ruh; dan di mana ada Ruh Allah, di situ ada kemerdekaan.” [2 Korintus 3:17]

“Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Ruh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.” [2 Korintus 3:18]

Kesimpulan Kristen yang mengatakan bahwa Tuhan adalah ruh merupakan titik perpisahan antara Islam dan Kristen dalam pembahasan-pembahasan hierarki statis. Poin ini merupakan kekeliruan Paulus dalam mempersepsikan alam ruhaniah dan dalam upayanya untuk menafsirkan kedudukan Sang Mesiah yang dinubuatkan dalam Alkitab.

Dalam kesempatan ini, kita tidak akan mengupas tentang kesiapaan Sang Mesiah, karena hal itu telah dibahas oleh banyak Kristolog Muslim yang membuktikan bahwa Sang Mesiah yang dinubuatkan dalam Alkitab itu sebenarnya adalah Nabi Muhammad saw.[17] Akan tetapi, pengantar ini bertujuan untuk mengungkapkan kesalahpahaman Kristen yang mengasumsikan bahwa Yesus atau Nabi Isa as itu adalah Sang Mesiah. Kekeliruan ini kelihatan sepele, namun tanpa memahami ayat-ayat Allah yang benar, maka pada akhirnya mereka telah menuangkan seluruh wacana profetik Sang Mesiah ke dalam figur yang tidak semestinya, yakni Yesus putra Maryam.

Perlu dipahami bahwa seluruh nabi yang pernah diutus oleh Allah dari sejak Adam sampai Yesus sebenarnya telah mengalami peningkatan dari sisi hierarki dan kualitas kenabiannya. Dalam hal ini, al-Quran menyebutkan:

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata [langsung dengan dia] dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. [QS. al-Baqarah: 253]

Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian yang lain [yang lain], dan Kami berikan Zabur kepada Daud. [QS. al-Isra’: 55]

Sedangkan Muhammad saw sendiri adalah puncak kenabian. Sebab, sebagai Sang Mesiah yang telah dinubuatkan oleh semua nabi sebelumnya, maka dia adalah Hakikat Kenabian itu sendiri. Maksudnya, seluruh kualitas kenabian yang dimiliki oleh para nabi sebelumnya sebenarnya adalah kualitas-kualitas sejati yang telah ada pada diri Nabi Muhammad saw. Makna ini bisa dijelaskan secara ringkas bahwa pada dasarnya, seluruh nabi sebelum Muhammad saw hanya gambaran atau tanda-tanda [mitsal atau ayat] tentang jatidiri Muhammad saw yang merupakan figur Nabi Terakhir atau Sang Mesiah. Artinya, setiap nabi yang pernah diutus di masa lalu adalah penampakan dari sebagian kualitas Muhammad saw yang menjadi hakikat bagi kenabian itu sendiri. Para nabi itu selalu menubuatkan kepada umat mereka tentang saat-saat kedatangannya, nama-nama kemuliaan dan keagungannya [ism[18]], baik yang diwartakan secara lisan [oral prophecies] maupun tulisan [textual prophecies].[19] Artinya, sebagaimana setiap nabi di masa lalu mencirikan Nama-nama Ilahiah tertentu, maka pada diri Muhammad saw itulah terangkum seluruh kesempurnaan Nama-nama Ilahiah tersebut. Hal ini terjadi karena Nabi Muhammad saw adalah Sang Mesiah dan raison d’atre bagi terciptanya alam semesta.[20] Beliau saw adalah Makhluk Sempurna atau “Gambaran Allah” pertama yang telah diciptakan oleh-Nya sebelum makhluk-makhluk lain, termasuk Ruh dan para malaikat sekalipun. Sebab, Ruh dan para malaikat juga telah diciptakan dengan Nama-Nama Ilahiah yang dimiliki oleh Muhammad saw. Dalam sebuah hadis dijelaskan sebagai berikut:

“Engkaulah pilihan-Ku dan Wali bagi Cahaya dan Petunjuk-Ku. Lantaran kamulah akan Aku ciptakan bumi dan langit, akan ada pahala dan siksa, dan akan ada surga dan neraka.”[21]

“Aku adalah Nabi ketika Adam masih antara jiwa dan raga (yaitu ketika penciptaan Adam masih dalam tahap-tahap permulaan)” (Lihat ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir dan jilid 1 halaman 4 al-Khasha’is al-Kubra).”[22]

Dalam konteks ini, Adam merupakan manusia [insan] dan ‘gambaran’ Nabi yang telah dimuliakan oleh Allah untuk membawa Nama-Nama Muhammadiyah[23] seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadis terkenal di kalangan Islam. Hadis itu meriwayatkan bahwa Allah telah menciptakan Adam dalam ‘citra lahiriah-Nya’ [shuratihi]. Sedangkan dalam kasus Yesus, dia merupakan manusia dan ‘gambaran’ nabi yang telah dimuliakan oleh Allah untuk menampakan Nama-nama Muhammadiyah dalam ‘citra batiniah-Nya’. Oleh karena itu, kualitas dan hierarki kenabian Yesus telah mencapai peringkat yang tinggi dan suci sehingga dia dikuatkan dengan Ruh Kudus dan menjadi Nabi yang hadir dalam domain ruhaniah. Dalam sebuah hadis pernah diriwayatkan sebagai berikut:

“Dari Muhammad bin Muslim yang berkata, ‘Aku bertanya kepada Imam Abu Ja’far as mengenai hadis yang mereka riwayatkan tentang bahwasanya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Beliau menjawab, ‘Benar. Bentuk itu bersifat baru dan tercipta. Allah memilih dan menyeleksi bentuk itu dari pelbagai bentuk yang berbeda. Kemudian, Allah menghubungkan bentuk tersebut dengan Diri-Nya sebagaimana dia menghubungkan Ka’bah kepada Diri-Nya dan Ruh kepada Diri-Nya pula dengan mengatakan, ‘Rumah-Ku’ (QS. al-Baqarah:125 atau QS. al-Hajj: 26) dan ‘Aku tiupkan kepadanya sebagian dari Ruh-Ku’.” (QS. al-Hijr: 29 atau QS. Shad: 72].[24]

Adapun salah satu hikmah batin yang menyebabkan Yesus telah diciptakan tanpa bapak biologis adalah karena dia telah menjadi Nabi untuk menampakan “tanda-tanda” Muhammadiyah yang tersembunyi atau gaib.[25] Oleh karena itu, kenyataan ini telah menyebabkan Yesus mendapat panggilan Ruh Allah [Ruhullah], sedangkan Nabi Ibrahim adalah Sahabat Allah [Khalilullah] dan Nabi Musa adalah Kalam Allah [Kalamullah].[26] Akibat dari kedudukan Yesus tersebut, maka kehadiran Yesus ke alam dunia telah diciptakan melalui kalimat ‘jadilah’ [kun], yakni kalimat yang sama seperti ketika Adam atau Alam Perintah dan Alam Ciptaan diwujudkan. Allah berfirman dalam al-Quran:

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam, Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. [QS. Ali Imran: 59]

Dan diriwayatkan juga:

Al-Ahwal berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang ruh yang ada pada Adam (yang disebutkan dalam ayat) dimana Allah berfirman, Ketika Aku telah menyempurnakan kejadianNya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku. (QS al-Hijr: 29 dan Shad: 72) Beliau menjawab, “Ini adalah ruh yang diciptakan dan ruh yang di dalamnya Yesus diciptakan.’” (al-Kâfî, 1, 133, 1)[27]

Di samping itu, Yesus juga telah diposisikan oleh Allah sebagai contoh atau perumpamaan [matsal] bagi bangsa Israel yang mana mereka memang telah mengetahui berbagai nubuat tentang Sang Mesiah atau Nabi Muhammad saw. Allah berfirman dalam al-Quran:

Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya ni’mat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) [matsal] untuk Bani Israil. [QS. az-Zukhruf: 59]

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kenyataan ini membuat kedudukan Isa as menjadi dekat dengan Nabi Muhammad saw atau sebagai orang yang didekatkan [muqarrabin], baik di alam dunia [syahadah] maupun di alam akhirat [ghaib]. Dan, kedekatan inilah yang menyebabkan Yesus telah dianugerahi gelar christos[28] atau al-Masih bagi bangsa Israel.

(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, nama-Nya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). [QS. Ali Imran: 45]

Perlu dipahami juga bahwa setiap nabi merupakan contoh atau “penampak mesianistik” [matsal] bagi setiap umat yang mereka kunjungi dan Yesus adalah salah satunya. Singkatnya, semua matsal atau para nabi dan tanda-tanda [ayat] yang mereka sampaikan itu semata-mata untuk merujuk kepada Tanda Terbesar [Ayat al-Kubra], yaitu Muhammad saw dan Ahlulbaitnya yang merupakan Perumpamaan Tertinggi atau Terbaik [Matsal al-‘Ala].

Dan bagi-Nya permisalan yang paling tinggi. [QS. ar-Rum:27]

Selain itu, keakraban ini telah menyebabkan kedatangan Yesus dan Muhammad saw adalah yang terdekat jika dibandingkan dengan nabi-nabi lainnya. Dan, antara Yesus dan Muhammad saw juga tidak ada nabi lain yang menyelak. Maksudnya, Nabi Isa as adalah “gambar” atau tanda terakhir sebelum munculnya Sang Nabi Terakhir atau Hakikat Kenabian itu sendiri. Dalam sebuah hadis dinyatakan sebagai berikut.

Jabir bin Abdullah al-Anshari, seorang ahli hadis besar mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Lebih daripada yang lain, aku ini terlihat seperti Adam, sedangkan Ibrahim, lebih daripada yang lain, tampak seperti aku, sikapnya terhadap orang sama seperti sikapku. Allah, dari Arasy-Nya, memberiku sepuluh nama dan menyampaikan kabar gembira tentang kedatanganku kepada setiap rasul yang diutus-Nya.” Dalam Taurat dan Alkitab, Dia menyebutkan namaku dan mengajari aku berbicara yang bagus lagi menarik. Dia membesarkan aku di langit-Nya, dan menamaiku dengan nama yang diambil dari salah satu nama-Nya sendiri. Dia menyebutku ‘Muhammad,’ sementara Dia Sendiri adalah ‘Mahmud’. Dan benihku disarikan dari sebaik-baik umatku, dan dalam Taurat menyebutku ‘Ahid,’ karena melalui tauhid Dia mengharamkan raga umatku untuk disentuh api neraka. Dalam Alkitab, Dia menyebutku ‘Ahmad,’ karena akulah yang lebih dipuji oleh penghuni langit [ketimbang penghuni bumi], Dia jadikan umatku hamidin [orang-orang yang memanjatkan pujian untukku]. Dalam Mazmur [Zabur], Dia menyebutku ‘Mahi’, karena melalui aku Allah Ta’ala melenyapkan penyembahan berhala. Dan dalam al-Quran, dia menamakanku ‘Muhammad,’ karena pada Hari Pengadilan, masa ketika keputusan akan dikeluarkan, semuanya memanjaatkan pujian untukku…[sampai akhir hadis]”[29]

Di samping itu, dalam wacana-wacana kemesiahan yang menubuatkan tentang kedatangan Sang Mesiah, Alkitab mewartakan bahwa sebelum kedatangan Sang Mesiah [Muhammad saw], maka Tuhan akan mengutus seorang nabi kepada bangsa Israel yang memiliki banyak kemiripan dengan “Nabi Elia” [Isa as].

“Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan [baca: Tuan] yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! Malaikat [baca: Utusan] Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman TUHAN semesta alam.” [Maleakhi 3:1]

“Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu.” [Maleakhi 4:5][30]

Artinya, Yesus telah diutus sebagai pendahulu [forerunner] yang ditugaskan untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Nabi Muhammad saw yang merupakan Nabi Terakhir dan Pamungkas dari semua nabi. Dan, seperti kedudukan Yesus yang memang dekat dengan Muhammad saw dan menjadi pendahulu sebelum kedatangannya, maka tidak mengherankan apabila Yesus sendiri telah mewartakan kepada bangsa Israel dan juga melalui Hawariy-nya bahwa saat-saat bagi kedatangan Kerajaan Sorga itu sudah dekat.

“Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” [Matius 4:17]

“Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.” [Matius 10:7]

“Jawab Yesus: “Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak.” [Matius 13:11]

Sehubungan dengan hal ini, sebagai penganut Yahudi seperti Paulus dan juga sebagian besar ulama bangsa Israel, sebenarnya telah mengetahui dan sangat akrab dengan berbagai berita mesianistik yang dinubuatkan dalam Alkitab. Bahkan Paulus sendiri menyatakan pada salah satu suratnya dengan penjelasan sebagai berikut:

“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.

Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah daripada nama mereka.

Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan: “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan [prototokos] pada hari ini?” dan “Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?”

Dan ketika Ia membawa pula Anak-Nya yang sulung ke dunia, Ia berkata: “Semua malaikat Allah harus menyembah [proskuneo] Dia.” [Ibrani 1:1-6]

Dalam bahasa Yunani-nya, kata ‘Kuperanakkan’ pada ayat di atas adalah prototokos, artinya terlahir pertama [firstborn] atau yang pertama kali diperanakan [first begotten]. Asal katanya adalah protos yang berarti paling pertama di setiap waktu [first time in any place]; yang pertama, ketua atau prinsipal. Kata ini sebenarnya adalah kiasan untuk menunjukkan bahwa Sang Mesiah adalah yang paling pertama diciptakan sebelum makhluk lainnya. Perlu ditegaskan bahwa kata ini jangan diartikan bahwa Tuhan seolah-olah telah melahirkan seorang ‘Anak’. Pandangan seperti ini jelas menyimpang karena Tuhan adalah Hakikat Wujud Mutlak yang tunggal. Apapun selain Tuhan hanya “gambaran wujud-Nya” [makhluk] dan bukan Diri-Nya Sendiri [Khaliq]. Dalam suratnya, Paulus ingin menerangkan bahwa Sang Mesiah adalah Citra Tuhan yang paling pertama dan tersempurna dari seluruh makhluk lainnya. Sedangkan kata “menyembah” sebenarnya berasal dari bahasa Yunani proskuneo yang bisa didefinisikan dengan beberapa makna berikut ini:

1) Mencium tangan orang lain sebagai tanda takzim atau penghormatan.

2) Di kalangan masyarakat Timur, artinya untuk menjatuhkan diri dengan berlutut dan menyentuhkan dahi di atas tanah [bersujud] sebagai ekspresi atau tanda penghormatan yang agung.

3). Berlutut atau sujud untuk mengagungkan orang lain yang menjadi tanda kepatuhan, baik sekedar untuk menghormati atau dengan melantunkan permohonan, pujian atau doa [supplication].

Dalam suratnya yang lain, Paulus juga menjelaskan tentang kedudukan Sang Mesiah, dia mengatakan:

“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.” [Kolose 1:15-17]

Oleh karena itu, pernyataan dalam surat Paulus yang menyebutkan bahwa semua malaikat Allah harus menyembahnya [proskuneo], sebenarnya akan lebih mudah dan indah jika dipahami dari sisi al-Qur-an yang telah menjelaskan hal tersebut:

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. [QS. al-Ahzab:56]

Dalam hal ini, walaupun masih banyak yang perlu dibahas, namun pada intinya bahwa berbagai informasi yang telah disampaikan dalam al-Quran dan [khususnya] hadis-hadis Nabi saw tentang kenabian dan kepribadian Yesus itu jelas tidak mungkin disepelekan. Alasannya, siapapun orang yang meyakini keberadaan “para nabi”, tapi menolak informasi yang telah disampaikan oleh seseorang bernama Muhammad yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai nabi bagi seluruh umat manusia dan ajarannya yang kini telah dianut oleh ±1/3 penduduk dunia adalah jelas mencirikan ketidaktahuannya di dalam melakukan penelitian “Yesus secara historis” berdasarkan metodologi riset yang rasional dan sistematis.

Di samping itu, dapat disimpulkan juga bahwa permasalahan Kristen dalam memahami Yesus—bila ditinjau dari sudut pandang Islam, sebenarnya terletak pada kesalahan figur Mesiah yang mereka imani dan pendefinisian mereka yang menyatakan bahwa Tuhan dari sisi Hakikat “keapaan-Nya” adalah Ruh. Padahal, Alkitab Perjanjian Lama atau Tanakh—yakni, Alkitab bangsa Israel—menyatakan bahwa ruh adalah makhluk ruhaniah, sementara Islam menegaskan bahwa ruh adalah penghuni Alam Perintah yang memiliki hierarki dalam keakrabannya dengan Wali Mutlak yang merupakan Citra Tuhan atau yang lazimnya disebut Nur Muhammad. Sedangkan apabila ruh menampakan dirinya di Alam Ciptaan, maka kehadirannya juga akan ditampakkan berdasarkan hierarki kedekatan [qurb] dan kemesraannya [uns] dengan Sumber Eksistensi.

Oleh karena itu, walaupun Yesus putra Maryam adalah makhluk yang “terlahir” dari Ruh Kudus dan memiliki kedekatan dengan Sumber Eksistensi, namun tidak mengherankan apabila Yesus sendiri mengatakan bahwa setelah dirinya akan datang Ruh Kebenaran atau Ruh Kudus yang merupakan hakikat penampakan [tajalli] Rahmat Allah bagi Alam Perintah dan Ciptaan, yaitu Muhammad saw dan Ahlulbait-nya. Dalam hal ini Yesus mengatakan:

“Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Ruh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” [Yohanes 14:16-17]

“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Ruh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.” [Yohanes 15:26]

“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Ruh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” [Yohanes 16:13]

Sedangkan al-Quran mengatakan:

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab [yang turun] sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan [datangnya] seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad [Muhammad]”, maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata’” [QS. ash-Shaff: 6]

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam. [QS. al-Anbiya: 107]

Di samping itu, kedatangan Sang Mesiah sebagai Rahmat Tuhan merupakan janji yang pernah difirmankan oleh Tuhan kepada Abraham setelah dia mengorbankan putra tunggalnya, yakni Ismail. Alkitab meriwayatkan:

“Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku.” [Kejadian 22:18]

Dalam kesempatan yang singkat ini, kami tidak mungkin bisa mengungkapkan seluruh ayat tersebut, namun sebagai penutup, Kami ingin menyampaikan sebuah hadis Nabi saw yang mengatakan hal berikut ini:

“Rasulullah saw bersabda, Ketika Allah Swt menciptakan Nabi Adam as dan meniupkan ruh-Nya ke dalam diri-Nya, Nabi Adam as memandang ke sisi kanan ‘Arasy, Di sana dia menyaksikan lima sosok bermandikan cahaya sedang dalam keadaan sujud dan rukuk. Nabi Adam as berkata: ‘Ya Allah, apakah engkau telah menciptakan makhluk lain dari tanah sebelum penciptaanku? Terdengar jawaban, ‘Tidak, Aku tidak menciptakannya’. Nabi Adam as bertanya, ‘Aku melihat lima sosok yang mirip dalam bentuk dan rupa, siapakah mereka itu?’ Allah Swt berfirman, ‘Lima sosok ini berasal dari keturunanmu. Jika mereka tak ada, Aku tak menciptakanmu. Nama-nama mereka diambil dari nama-Ku (dan Aku sendiri yang menamai mereka). Jika lima sosok ini tak ada, Aku takkan menciptakan surga dan neraka, langit dan bumi, serta malaikat dan jin. Aku adalah Mahmud (Yang Mahaterpuji) dan ini Muhammad. Aku adalah al-‘Aliyyu (Yang Maha tinggi) dan ini Ali. Aku adalah al-Fathir (Yang Mahamencipta) dan ini Fathimah. Aku adalah al-Ihsan (Kebaikan) dan ini al-Hasan. Aku adalah al-Muhsin (Yang Maha berbuat baik) dan ini al-Husain. Demi keagungan-Ku, jika seseorang membenci salah seorang di antara mereka, meskipun sebesar biji sawi, niscaya Aku melemparkannya ke dalam api neraka. Lima sosok ini adalah manusia pilihan-Ku. Keselamatan dan kebinasaan bergantung pada cinta dan benci terhadap mereka. Wahai Adam, setiap kali engkau memohon kebutuhan(mu) pada-Ku, maka jadikanlah mereka perantara dalam berdoa pada-Ku.’”

Rasulullah saw melanjutkan, ‘Kami, Ahlulbait, adalah bahtera keselamatan. Barangsiapa bersama kami, niscaya selamat. Dan barangsiapa meninggalkan kami, niscaya binasa. Barangsiapa memohon hajat kepada Allah dengan perantaraan kami, Ahlulbait, niscaya Allah mengabulkan permohonannya.”[31]

Sebagai tambahan, perlu diketahui juga bahwa pada saat perjamuan terakhir, Yesus telah menjanjikan bagi kedatangan Ruh Kebenaran atau Ruh Kudus itu sebanyak lima kali secara berturut-turut. [lih. Yoh 14:16-17 dan 25-26; 15:26-27; 16:7-11 dan 12-15]. Dan, hal inilah yang menyebabkan Yesus—seperti yang telah disampaikan—dalam al-Quran menggunakan kata Ahmad dan bukan hanya Muhammad.

Buku yang ada di tangan pembaca merupakan periwayatan hadis-hadis Nabi saw dan Ahlulbaitnya yang menerangkan tentang sosok Yesus dan ibunya Maryam putri Imran as. Periwayatan dalam hadis-hadis ini menerangkan banyak hal tentang Yesus dan ibunya yang [Penulis yakini] belum pernah diketahui oleh kebanyakan Muslim di Indonesia. Hal ini terlihat jelas ketika novel Da Vinci Code yang membicarakan tentang Holy Grail telah “nyaris” diyakini oleh sebagian Muslim di Indonesia sebagai kebenaran. Sebagai pemerhati Alkitab, saya sendiri tidak menafikan tentang kebenaran Holy Grail karena ia merupakan riwayat-riwayat yang membicarakan tentang seorang wanita bangsawan yang menjadi istri Sang Mesiah dan akan membawa keturunan bagi Sang Mesiah di kemudian hari melalui anak perempuannya. Akan tetapi, persoalannya di sini adalah: siapakah Sang Mesiah yang telah dinubuatkan dalam Alkitab itu sebenarnya? Apakah figur itu Yesus ataukah Muhammad saw? Dan siapakah dari kedua figur ini yang dalam kehidupannya memang memiliki seorang Sara [secara harfiyah berarti princess atau Tuan Putri] dan menjadi penerus bagi keturunan Sang Mesiah di kemudian hari? Tanpa mengetahui hadis-hadis Nabi saw tentang Yesus dan ibunya Maryam putri Imran, maka kita akan buta tentang kedua figur tersebut. Dan lebih celaka lagi! Kita akan buta mengenai siapakah Sang Mesiah, Holy Grail dan keturunannya itu?

[Catatan: Untuk meninjau sumber rujukan yang saya gunakan dalam kajian ini, silahkan anda merujuk kepada pengantar saya selengkapnya di buku “The Gospel of Ali” karya Mahdi Montazar Qaim, Penerbit Citra, 2006]
sumber: http://musadiqmarhaban.wordpress.com/2007/03/13/menolak-yesus-hanya-secara-historis/

Tags:

0 comments to "Yesus"

Leave a comment