Ke-sayyidan, Antara Karunia dan Bencana (Rada "Sensetep")
Tulisan ini pernah dimuat di blog ini (Go-Blog/htttp://muhsinlabib.wordpress.com). Respon dan tanggapannya bisa dibilang "ruarr biasa". Bila berkenan, silakan
Sejak lama saya (blog tersebut) berencana untuk membahas masalah yang super sensitif ini. Namun keterbatasan kemampuan terutama dalam forum umum, selalu mengurungkannya. Namun niat itu kali ini sudah tidak terbendung lagi karena beberapa faktor dan peristiwa, meski ditulis tanpa persiapan (bahkan mungkin banyak ditemukan salah ketik). Alasan utama keraguan saya untuk menulisnya ialah bahwa tulisan ini hanya mengulas fenomena yang sangat khas dan tidak umum.
Saya merasa terpanggil untuk membuka masalah ini karena beban psikologis yang terus menghimpit dada saya dan orang-orang yang senasib (baca: yang kejatuhan predikat ’sayyid’) dengan saya.
Tanpa berpretensi melakukan justifikasi, apologi dan pembelaan atau memojokkan salah satu pihak, izinkan saya, Muhsin Labib (nama ini sejak di Yapi tidak pernah bersanding dengan marga dan pasti tidak diawali dengan kata sayyid, habib, syarif dan atribut-atribut sejenisnya sebagaimana di Iran) memberikan sebuah analisis sederhana.
Kata ’sayyid’ adalah bentuk kata kerja (ism fa’il) yang berasal dari kata baku (mashdar) ’siyadah’ atau kata kerja lampau ’sada’ (dengan fathah dan alif setelah huruf sin), berarti ‘menguasai’ dan ‘memimpin’.
Karena penghargaan abadi kepada para tokoh Ahlul-Bait itulah, setiap alawi atau yang memiliki garis keturunan yang terbukti membimbing umat juga dipanggil dengan predikat ’sayyid’. Artinya, gelar ini bukanlah semata-mata pengharagaan dan pemujaan simbolik, namun juga isyarat dan mekanisme alami untuk senantiasa mengingatkan mereka yang merasa berasal dari garis nasab Ahlul-Bait untuk senantiasa mewakafkan diri sebagai abdi dan pemandu umat. Sayyid sejati sangat berjiwa rakyat, peka terhadap derita umat, dan pantang dilayani apalagi minta disanjung. Penghormatan dan pengistimewaan umat terhadap para alawi karena kontribusi dan pengorbanan mereka demi umat.
Apabila peran dan kontribusi nir-laba ini tidak lagi diberikannya, maka seorang alawi tidak patut menunggu orang memanggilnya dengan ’sang pemimpin’ (sayyid). Artinya, ada kalanya seorang alawi tidak menyandang predikat ’sayyid’.
Ke-alawi-an (saya lebih suka menggunakan kata ini ketimbang ’sayyid’) dapat pula dilihat dari dua perspektif, yaitu ke-alawi-an biologis, dan ke-alawi-an ideologis. Ke-alawi-an jenis pertama dan kedua bisa terhimpun dalam satu sosok, seperti Imam Khomeini dan Hasan nasrullah, namun bisa juga terpisah, sehingga tidak semua alawi biologis menyandang ke-alawi-an ideologis, begitu pula sebaliknya. Salman Farisi, sahabat yang berasal dari ras non Arab, telah diangkat oleh sebagai ‘alawi ideologis’ dengan sabdanya yang terkenal, “Salman dari kami, Ahlul-Bait’. Hanya saja, alawi ideologis (non biologis) tidak bisa diperalkaukan sama dengan alawi bilogis dalam bidang fikih. Sebaliknya ’sayyid’ yang membenci mazhab Ahlubait dan menghahalkan darah para penganutnya adalah ‘Kan’an’ (miniatur dari putra Nabi Nuh as).
Dengan persepsi yang luas ini, semestinya pendekotomian dan pengangakatan isu-isu sensitif seputar kesayyidan dan ke-alawi-an tidak perlu mendominasi ruang-ruang diskusi dan membuat kita lupa akan agenda-agenda serta proyeksi dakwah ke depan.
Pesoalan ini menjadi memalukan dan memilukan mana kala tendensi negatif menjadi salah satu faktor di balik pewacanaannya. Isu kesayyidan telah memakan banyak korban dan menggerus militansi bahkan merenggangkan hubungan emosional kepada para tokoh Ahlul-Bait apabila diungkapkan dengan diksi yang sangat dangkal dan ambigu.
Harus diakui, predikat ’sayyid’ di kalangan komunitas Syiah di Indonesia telah menjadi beban determinan. Bagaimana tidak, sering kali kesalahan seseorang bisa ditimpakan atas sebuah predikat atau bahkan atas sebuah keluarga besar dan argumentum ad hominem kerap menjadi senjata yang sangat efektif. Bila itu terjadi, maka kesayyidan adalah bencana karena diperlakukan sebagai dosa bersama.
Tidak sedikit generasi alawi yang bermazhab Syiah di Indonesia yang cenderung membenci kodrat diri sendiri (baca: kesayyidan yang diperoleh secara determinan) demi menegaskan bahwa apabila sikap kritis alawi terhadap prilaku sesama alawi lebih menjamin kebersihan dari b ias atau tendensi negatif yang sangat kontra-produktif. Saya sendiri dan beberapa teman yang merasa sesak karena ‘ketiban’ kesayyidan, seperti Ali Shahab alias Ben Sohib, dan Umar Baragbah alias Muawiyah bin Abu Gozok telah memulai sebuah gerakan auto-kritik yang tidak kalah ‘pedas’ dibanding dengan orang-orang yang tidak ketiban beban ini.
Apabila kita jujur dan membuka hati kita selebar lapangan Senayan, maka kita semua –baik yang ketiban maupun yang tidak- mesti berkesimpulan bahwa kesyiahan meniscayakan kecintaan dan ketaatan kepada Nabi dan keluarganya serta penghormatan kepada anak keturunannya.
Lalu mengapa isu ini masih saja mencuat ke permukaan? Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah lragam atarbelakang orientasi keagamaan masyarakat Indonesia, termasuk tradisi dan pola interkasi terhadap kominitas alawi yang berimplikasi terhadap intensitas yang beragam menyangkut persoalan kesayyidan –sebelum mengenal mazhab Syiah- . Tradisi dan pola penghormatan, yang sebagian irasional, terhadap alawi di kalangan sunni trasdisional seperti NU, yang memiliki hubungan historis dan emosional dengan para pendakwah dari Yaman, sangat berbeda dengan pola perlakuan kaum pembaharuan, seperti Muhammadiyah dan lainnya. Dua latar belakang orientasi keagamaan yang berbeda ini –akibat proses konversi ke mazhab Syiah- bertemu dalam sebuah komunitas yang masih baru di indonesia. Terjadilah pergesekan kecil, dari sekadar lontaran-lontaran gurau hingga meletus menjadi isu paling kontraproduktif.
Komunitas Syiah di indonesia, yang masih baru dan terdiri dari dua latar belakang yang bersebarang ini, memang sedang berproses untuk menemukan jatidirinya yang baru, bukan ala NU yang tradisionalis dan bukan pula ala Muhammdiyah, bukan ala Iran yang berbeda dengan karakter indonesia, dan bukan pula ala Irak yang tidak mirip dengan identitas Indonesia.
Persoalan seputar taqlid, marja’iyah dan wilayah al-faqih juga tidak semestinya dijadikan sebagai alasan untuk berlomba mencari kata yang paling efektif untuk merawat kebencian dan menyuburkan rasa saling curiga. Menjadi alawi (sayyid biologis) bukanlah pilihan. Dan karena ia bukan pilihan, maka seseorang tidak layak dicemooh, didengki atau dijadikan sebagai alasan untuk sombong dan pongah. Sopir metromini yang ugal-ugalan tidak patut dicemooh karena kebatakannya, namun layak ditegur karena caranya mengemudi mobil. Ia tidak memilih menjadi sihombing atau Ginting. Demikian pula orang yang berkulit hitam atau bertubuh pendek, tidak layak dicemooh atau ditertawakan, karena itu bukanlah sesuatu yang diperoleh karena kerja keras atau prestasi. Bila seorang alawi (sayyid) melakukan perbuatan tercela, maka yang patut dicela bahkanb, bila perlu dihukum mati, karena perbuatannya, buka karena kesayyidannya.
Setiap alawi yang bermazhab Syiah pasti meyadari bahwa kesayyidan bukanlah alat dongkrak kesombongan, apalagi memang sejauh ini perlakuan istimewa itu tidak akan pernah didapat di tengah komunitas yang semi-NU dan mantan Muhammadiyah ini. Tapi, apabila ia bukan anugerah dan bintang jasa, setidaknya para non sayyid juga tidak menjadikannya sebagai jurus mematikan setiap kali terjadi polemik. Kasarnya, kalau bukan anugerah dan berkah, paling tidak, jangan jadi bencana.
Saya yakin, para sayyid yang menganut mazhab Ahlul-Bait adalah orang-orang yang telah rela untuk tidak mendapatkan hak-hak istimewa sebagaimana bisa dinikmatinya bila tetap Sunni, terutama bila hidup di sentra-sentra otoritas tradisional alawi di sejumlah kota di Indonesia. Kesyiahan mereka semestinya dilihat dengan positive thinking sebagai dekalarasi bahwa kesayyidan tanpa ketaatan kepada Nabi dan keluarganya adalah bumerang.
Setiap penganut mazhab Ahlul-Bait berpeluang untuk menjadi sayyid dan menjadi salman Farisi dan Muhammad bin Abu Bakr. Setiap orang yang memegang teguh tawalli dan tabarri adalah putra-putri Ali bin Abi Thalib.
Bila tulisan ini menyinggung dan mencederai perasaan siapapun, saya dari hati yang amat dalam memohon maaf sebesar-besarnya.
sumber : htttp://muhsinlabib.wordpress.com
Home � Persatuan Islam � Habib atau sayid...berkah atau bencana???
Habib atau sayid...berkah atau bencana???
Posted by cinta Islam on 6:04 PM // 0 comments
0 comments to "Habib atau sayid...berkah atau bencana???"