Salah satu program yang telah disusun secara terencana dan sistematis oleh Media Barat dalam rangka memperkenalkan kekerasan di tubuh umat Islam adalah tuduhan Perang Suci (Holy War) atau jihad dalam istilah kaum Muslimin sebagai akar teroris yang berkedok agama. Makalah ini berusaha menjawab tuduhan tersebut dengan mengisyaratkan beberapa poin penting di bawah ini : Pertama, istilah perang suci adalah rekayasa barat, sedangkan dalam Islam jihad itu sendiri dimaknai sebagai pembelaan suci (difo` muqaddas) .Kedua, para ulama Islam bersepakat bahwa memulai peperangan (jihad ibtido’i) adalah sesuatu yang dilarang. Ketiga, sekalipun di dalam Al–Qur’an terdapat beberapa ayat jihad, namun ada dua prinsip utama yang sangat ditekankan oleh Kitab Suci terakhir ini, yaitu perdamaian dan komitmen terhadap perjanjian antar negara. Dua prinsip tersebut mengungguli prinsip jihad. Kami akan membahas poin–poin tersebut secara detail di bawah ini: a. Pengertian Jihad Dalam Islam Dalam pandangan fikih Syiah, jihad di zaman ketidakhadiran Imam Maksum (zaman ghaibah, seperti zaman kita sekarang) hanya diperbolehkan dalam rangka membela diri secara sah dan tidak dibenarkan—dalam bentuk apapun—memulai/mendahului penyerangan terhadap negara-negara lain. (Imam Khomaini, Tahrir al Wasilah, 1409 H, jilid 1, hal. 482 , bab: 2). Sehubungan dengan memulai peperangan di zaman kehadiran Imam Maksum, sebagian ulama meyakini bahwa jihad dan pelbagai peperangan di awal masa Islam (zaman Nabi saw) juga bukan termasuk tindakan memulai peperangan dan tidak untuk pemaksaan akidah atau ajakan menganut Islam secara paksa. Akan tetapi, jihad kala itu merupakan jihad pertahanan/pembelaan (jihad difo`i) yang dilakukan dengan pelbagai alasan, misalnya: perang yang dikobarkan oleh musuh, penyebaran fitnah militer dan non-militer yang didalangi oleh mereka, seperti konspirasi untuk mengusir Nabi. Di samping itu, terkadang jihad dilakukan karena pembatalan perjanjian oleh musuh atau menolong orang–orang yang teraniaya. Atas dasar ini, keumuman/generalisasi ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an terikat dengan serangkaian ayat-ayat lain yang menyeru umat Islam untuk bersikap baik dan adil terhadap orang-orang kafir yang tidak mengganggu atau memerangi mereka . Sehubungan dengan ini, Al –Qur’an mengatakan: لا يَنْهاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَ تُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS.Mumtahanah ; 8) إِنَّما يَنْهاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذينَ قاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَ أَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ وَ ظاهَرُوا عَلى إِخْراجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS.Mumtahanah ; 9) Atas dasar ayat tersebut, kita diperbolehkan berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan tidak melakukan konspirasi terhadap Islam . Dan sudah barang tentu perang terhadap mereka akan sangat dikecam oleh Islam. Bahkan menurut pandangan Imam Khomaini, pembelaan secara militer hanya diperbolehkan saat terjadi serangan militer, sedangkan bila musuh memilih serangan politik dan ekonomi atau yang seperti itu,
meskipun berdampak pada melemahnya kaum Muslimin maka tidak dibenarkan penggunaan opsi kekerasan. Akan tetapi, diperlukan aksi dan pertahanan serupa dan sesuai dengan tindakan musuh, seperti memboikot produk- produk mereka. (Ibid, Imam Khomaini, 1409, hal. ; 485) Media massa barat—baik cetak maupun elektronik—berkali-kali menggunakan kata “perang suci” (holy war) sebagai padanan kata jihad dalam Islam. Dengan cara seperti inilah mereka menuduh umat Islam sebagai kelompok pendukung kekerasan dan terorisme. Dengan menjelaskan makna jihad dapat dipahami bahwa kata ini telah diselewengkan dan digunakan secara tidak benar, dan ungkapan perang suci tidak pernah ada dalam Islam. Bahkan esensi jihad dalam Islam adalah jihad pembelaan/pertahanan (jihod difo`i), yakni pertahanan yang legal dimana hal tersebut dianggap sebagai bagian dari hak-hak seorang Muslim setiap bangsa dalam hukum internasional saat ini dan telah dikenal secara resmi dalam pelbagi konvensi internasional, seperti butir 51 jurnal PBB. Berkaitan dengan hal ini, seorang penulis Kristen asal Jerman yang berpikiran bebas menulis: Umat Islam bukanlah penemu ungkapan “perang suci“ , akan tetapi Paus-lah yang menganggap perang ini sebagai “kehendak Ilahi” dan tentara Salib bergabung dalam kancah peperangan dengan niat tersebut. Tentara itulah yang menumpahkan darah sekitar empat juta kaum Muslimin dan Yahudi. Seorang penutur di Baitul Maqdis menceritakan: “Mereka tenggelam dalam darah sampai mata kakinya supaya mereka sampai pada makam juru selamatnya, al Masih dengan senang dan air mata bahagia.’’ Tentu mereka bukanlah umat Islam. Dalam Islam, Anda tidak akan pernah menemukan kata “suci” dalam kaitannya dengan perang . Namun sangat disayangkan kata tersebut justru terdapat dalam Taurat (Armiya, bab 15 ayat 2v) (Tudan Huper,tahun 1378Syamsyiah Qamariah Iran, hal. 40).
b-Perdamaian dan Persahabatan adalah Prinsip Utama Hubungan Internasional Untuk menyoroti pembahasan yang telah lalu, kita harus memperhatikan kata kunci ini, yaitu: Apakah prinsip utama dalam Islam—dalam kaitannya dengan hubungan internasional—dibangun berdasarkan perdamaian dan persahabatan atau justru peperangan dan permusuhan? Kalau prinsip utamanya adalah perdamaian dan persahabatan maka media yang paling tepat untuk merealisasikan hubungan antar bangsa ini adalah perjanjian internasioal dan komitmen terhadapnya. Bila kita memperhatikan ayat dan riwayat maka kita dapat memahami bahwa prinsip utama hubungan internasional dibangun berdasarkan perdamaian dan persahabatan, sedangkan permusuhan adalah perkara yang bersifat sekunder dan berkaitan dengan hal-hal yang darurat/mendesak. Ada beberapa ayat Al Qur’an al Karim yang menegaskan prinsip utama ini: وَ إِنْ جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَها Dan jika mereka datang padamu untuk berdamai maka maka berikanlah mereka peluang untuk perdamaian (QS Al Anfal : 16) لا يَنْهاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَ تُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ Allah Swt tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dan mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil:Q.S Mumtahanah ; 8 Dalam ayat ini, Allah Swt memotivasi kaum Muslimin untuk berlaku adil dan bersahabat terhadap orang-orang kafir yang tidak menyakiti mereka. Riwayat (hadis) juga menekankan hal yang sama. Dalam sebuah surat yang terkenal kepada Malik Asytar, Imam Ali mengatakan: ‘’Janganlah engkau menolak tawaran perdamaian yang diusulkan musuh padamu apabila keridaan Allah terdapat di dalamnya. Sesungguhnya perdamaian akan melahirkan perlindungan pasukanmu dan menghilangkan kesedihan serta mendatangkan keamanan bagi negeri.’’ (Nahjul Balaghah,hal. 1027) Kami ingin mengingatkan poin penting, yaitu bahwa prinsip utama yang dibangun berlandaskan perdamaian bukan berarti kita berpikir sederhana dan berpandangan dangkal terhadap musuh yang terikat perjanjian dengan kita serta kita lalai terhadap kemungkinan rekayasa/tipu daya mereka, atau kita biarkan mereka mencampuri urusan dalam negeri kita dan kita beber pelbagai rahasia kepada mereka, atau kita menghadapi musuh secara lemah. Akan tetapi, kita justru harus tetap waspada terhadap musuh klasik kita dan hendaklah kita menghindari berprasangka baik yang tidak pada tempatnya. Sebagaimana Imam Ali yang di satu sisi memotivasi Malik Asytar untuk menerima usulan perdamaian dari musuh, namun di sisi lain beliau mengingatkan: ‘’Akan tetapi waspadalah terhadap musuhmu setelah engkau berdamai dengannya. Karena sesungguhnya sering sekali musuh mendekati kita melalui perdamaian lalu ia mengejutkan kita. Maka berhati hatilah dan janganlah berbaik sangka terhadap musuh.’’ c. Prinsip Komitmen terhadap Perjanjian Internasional Salah satu yang menjadi akar masalah terorisme dewasa ini adalah tidakadanya komitmen dan keterikatan kepada perjanjian dan konvensi internasional. Hal ini biasanya dilakukakan oleh negara-negara adidaya dimana setelah itu mereka akan berusaha mencari pembenaran terhadap tindakan organisasi-organisasi teroris dan negara-negara pendukungnya. Dalam Islam, menepati janji dan komitmen untuk melaksanakan perjanjian yang disepakati dengan orang lain termasuk masalah yang sangat ditekankan. Masalah sumpah, perjanjian dan kesepakatan merupakan masalah yang ditekankan secara khusus dalam Al-Qur’an dan hadis. Di satu sisi, kita dianjurkan untuk menepati janji, seperti ayat di bawah ini: وَ احْفَظُوا أَيْمانَكُمْ Dan peliharalah janji kalian. ( QS ; Al –Maidah ; 89) Sedangkan dari sisi lain, Allah melarang untuk mengingkari perjanjian : وَلا تَنْقُضُوا الْأَيْمانَ بَعْدَ تَوْكيدِها Janganlah kalian membatalkan perjanjian yang telah disepakati (dikuatkan). (QS.an-Nahl ; 91) Dan dalam ayat lain disebutkan: ‘’Dan jika mereka melanggar setelah mengadakan perjanjian dan menghina agama kalian maka perangilah pemimpin – pemimpin kekafiran karena mereka tidak dapat dipercayai, semoga mereka berhenti.” (QS. An-Nahl: 91) Dalam ayat yang mulia ini, Allah Swt menyatakan bahwa permasalahan utama dalam kaitannya dengan hubungan internasional adalah tidakadanya perjanjian dan melanggar kesepakatan. Permasalahan orang-orang kafir di ruang lingkup internasional bukan karena mereka tidak memiliki “iman” (keyakinan terhadap keberadaan Pencipta dan hari kiamat ). Akan tetapi, problem utama mereka adalah mengabaikan “aiman” (perjanjian yang kokoh). Sesuai dengan ungkapan seorang pemikir Islam kontemporer: Islam sangat menekankan masalah menepati perjanjian internasional dan menjaga janji dan sumpah yang memiliki dampak yuridis. Hal ini dikarenakan Allah Swt mengetahui seluruh sistem alam wujud dan Dia juga mengetahui bahwa keyakinan/ajaran lain akan tetap eksis ini sampai hari kiamat. Bagaimana mungkin Tuhan yang memberitakan dengan jelas tentang penganut agama lain yang berkomitmen untuk memenuhi perjanjiannya, namun Ia tidak memiliki ajaran untuk mengatur kehidupan dunia yang dihuni oleh pelbagai pemeluk agama? Dan salah satu ajaran terpenting adalah menghargai sumpah dan perjanjian antar bangsa. Karena “iman” dapat membangun surga di tengah masyarakat dan mengatur program kehidupan kaum Muslimin secara baik. Akan tetapi sesuatu yang diperlukan oleh seluruh masyarakat dunia untuk mengatur kehidupan mereka adalah “aiman” (perjanjian), bukan “iman”. Dan aiman dalam pembahasan ini digunakan secara umum/general untuk pelbagai sumpah dan perjanjian internasional antar bangsa. Yang menarik, Al –Qur’an Al Karim tidak pernah menjadikan ketidakberimanan (tidak beragama) sebagai alasan untuk berperang, namun melanggar perjanjianlah yang justru dijadikannya sebagai penyebab/pemicu peperangan, “Dan perangilah para pembesar kekafiran. Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang melanggar janji, dan semoga mereka berhenti. (melanggar janji). Coba Anda perhatikan, motivasi berperang dengan para pemimpin kafir bukan dikarenakan kekafiran dan ketidakberimanan mereka, akan tetapi disebabkan pengingkaran sumpah/janji. (Jawadi Amuli, tahun 1375 Syamsiah Qamariah, bagian 1, pasal 4) Dalam ayat lain dijelaskan bahwa menepati janji itu termasuk salah satu dari karakteristik seseorang yang saleh : لَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ... وَ الْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوْا Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji. (QS : Al – Baqarah ; 177) Barangkali ada yang beranggapan bahwa anjuran untuk menepati janji di dalam Al-Qur’an hanya dikhususkan dalam ruang lingkup hubungan personal/internal di antara kaum Muslimin. Akan tetapi, kenyataannya adalah anjuran menepati janji—sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an dan dengan memperhatikan sebab turunnya pelbagai ayat yang terkait—lebih banyak mengandung unsur politik dan menyoroti hubungan kaum Muslimin dengan umat lainnya. Oleh karena itu, kewajiban menepati janji itu bersifat mutlak dan mencakup semua bentuk perjanjian yang disepakati oleh manusia, baik berupa hubungan individual maupun hubungan internasional. Berkenaan dengan tafsiran ayat ini, Allamah Thabathaba’i mengatakan : Mengingat kata perjanjian (`ahd) disebut secara umum/general maka ia mencakup segala bentuk perjanjian seseorang dengan kelompok manapun dan juga meliputi setiap akad dan perjanjian yang dilakukan dalam pelbagai muamalah dan hubungan sosial. (Thaba thaba’i, tahun 1362 Syamsiah Qamariah, jilid 1, hal. 437) Bahkan dalam rangka menghormati perjanjian antar negara, Allah Swt tidak mengizinkan kaum Muslimin untuk masuk ke kancah peperangan dengan negara yang terikat perjanjian dengan mereka, meskipun untuk melindungi negara Islam lainnya: وَ إِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَ بَيْنَهُمْ ميثاقٌ (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu untuk membela agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali untuk melawan kaum yang telah ada perjanjian (damai) antara kamu dengan mereka. (QS ; al – Anfal : 72) Al-Qur’an juga menjadikan menepati janji sebagai tolak ukur ketakwaan atau ketidaktakwaan seseorang. فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقينَ Maka terhadap mereka itu penuhilah janji mereka sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS.at-Taubah : 4) Dalam ayat ini, menepati janji terhadap orang kafir dianggap sebagai tanda ketakwaan orang-orang mukmin, bukan permaian politik atau taktik dalam rangka memperoleh suatu kepentingan. Pesan dan kandungan yang sama juga ditegaskan Al-Qur’an dalam surah Ali ‘Imran, ayat 76 dan al-Anfal, ayat 56. Dan dalam ayat lain, Allah menilai perjanjian dengan kaum musyrikin sebagai perjanjian dengan diri-Nya. وَ أَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذا عاهَدْتُمْ Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji (QS. an-Nahl : 91) Maka dari itu, salah satu akar persoalan kekerasan dan terorisme adalah tidak adanya komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip dan pelbagai perjanjian antar bangsa. Dengan mengikuti ajaran agama yang luhur, seyogianya kaum Muslimin harus melangkah lebih maju di bidang ini. Tidak sedikit ditemukan keharusan menepati perjanjian antar bangsa dalam perkataan para Imam ahlul bait. Dalam surat yang ditujukan untuk Malik Asytar, Imam Ali menganggap bahwa melanggar perjanjian dengan musuh sebagai bentuk penentangan terhadap Allah: Wahai Malik, janganlah kamu menipu musuhmu melalui perjanjianmu dengannya. Sesungguhnya hanya orang yang bodoh dan celakalah yang berani menentang Tuhannya (Nahjul Balaghah, hal. 1028). Dan dalam surat yang sama, Imam Ali menganggap bahwa melaksanakan perjanjian sebagai kewajiban Ilahi: Sesunguhnya tidak ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah yang lebih penting daripada menepati perjanjian. Meskipun masyarakat memiliki pelbagai keinginan dan berbeda pandangan, mereka lebih bersepakat dalam hal perjanjian sosial. Anda tidak akan pernah menemukan penyimpangan dari hal tersebut dalam sejarah kehidupan Nabi saw dan para Imam ahlul bait. Para pembesar Islam ini selalu menunjukkan komitmen mereka untuk menegakkan perjanjian yang disepakati dengan musuhnya, seperti perjanjian Rasul saw dengan kaum Yahudi dari kelompok Bani Qoinuqo’ dan Bani Quraidhah serta perjanjian beliau dengan suku Quraisy di Hudaibiyah. (Ibid: jilid 9, hal. 195) Sekalipun terdapat penekanan dan penegasan yang cukup banyak berkaitan dengan perjanjian antar bangsa sebagai solusi utama untuk menciptakan kehidupan bersama yang penuh kedamaian, akan tetapi Al-Qur’an—khususnya dalam surah at-Taubah—mencela orang-orang musyrik dan kafir yang tidak melaksanakan perjanjian. Dari sekumpulan ayat ini dapat disimpulkan bahwa orang-orang musyrik dan kafir bukan hanya dalam aspek teologis tidak memiliki akidah (keyakinan) akan keharusan menepati perjanjian, bahkan dalam dataran praktis pun mereka tidak memiliki komitmen kuat untuk menjaga perjanjian. Karena itu, Al-Qur’an menyatakan: كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللهِ وَ عِنْدَ رَسُولِهِ Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin (padahal mereka senantiasa mengingkari setiap perjanjian damai) ? (QS.At-taubah : 7) Pelanggaran perjanjian ini bukan suatu pengecualian atau sekali-dua kali mereka lakukan, tetapi sesuai dengan ungkapan Al-Qur’an telah menjadi kaidah umum bahwa setiap kali mereka membikin suatu perjanjian, maka pasti di antara mereka ada yang melanggarnya. أَوَ كُلَّمَا عَاهَدُوْا عَهْداً نَّبَذَهُ فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ Bukankah demikian kenyataannya bahwa setiap kali mereka (orang-orang Yahudi) mengadakan perjanjian (dengan Allah dan Rasul), segolongan mereka pasti mencampakkannya, bahkan sebagian besar dari mereka tidak beriman ? (QS.Al-Baqarah ; 100) Ungkapan Al-Qur’an: Akan tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak akan beriman mengisyaratkan bahwa sebagian mereka dari sisi pemikiran teoritis sama sekali tidak meyakini keharusan untuk menepati perjanjian. Dan meminjam istilah Allamah Thabathaba’i, para pemegang kekuasaan tertinggi hanya memperhatikan kepentingan masyarakat mereka. Oleh karena itu, jika mereka melakukan sebuah perjanjian, maka itu hanya untuk memenuhi kepentingan mereka. Dan perjanjian ini akan berlangsung selama kekuatan kedua belah pihak seimbang. Namun ketika salah satu memiliki kekuatan yang lebih besar, maka perjanjian tersebut dengan pelbagai dalih yang dibuat-buat akan mereka batalkan. Dalih ini mereka ajukan supaya seolah-olah mereka itu taat terhadap undang-undang internasional. (Ibid, Thaba thaba’i, hal. 196). Pada kesempatan lain, Al-Qur’an mengatakan: كَيْفَ وَ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لا يَرْقُبُوا فيكُمْ إِلاًّ وَلا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْواهِهِمْ وَ تَأْبى قُلُوبُهُمْ وَ أَكْثَرُهُمْ فاسِقُونَ Bagaimana bisa (perjanjian orang-orang musyrikin itu bernilai), sedangkan jika mereka memperoleh kemenangan terhadapmu, mereka tidak menggubris hubungan kekerabatan dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian terhadapmu? Mereka menyenangkan hatimu dengan mulut mereka, sedang hati mereka menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. at-Taubah : 8) Akhir Kata: Berdasarkan ajaran agama Islam, dunia ini dapat diatur di bawah payung perdamaian dan perjanjian antar bangsa, tanpa perlu adanya ekspansi ke negara lain, peperangan dan kekerasan. Lalu mengapa negara-negara Islam tidak dapat diatur sedemikian rupa dalam bingkai perjanjian dan kesepakatan bersama di antara mereka? Dengan kata lain, ketika dunia dapat dikendalikan dengan “aiman” (perjanjian), bukan dengan “iman”, maka seyogianya negara-negara Islam—berdasarkan ide/gagasan Al-Qur’an—lebih mudah untuk diatur dan dikendalikan dalam bingkai “persatuan negara-negara Islam” . Sebab, negara-negara Islam di samping memiliki komitmen untuk menepati "aiman" (perjanjian), mereka juga mempunyai "iman". Keimanan terhadap seorang Nabi dan satu Kitab Suci akan lebih cepat mengantarkan mereka kepada suatu hasil ketimbang kesepakatan yang dibangun berdasarkan "aiman" (baca: perjanjian) sekokoh apapun. Justru anggota negara-negara Eropa yang notabene memiliki pelbagai corak dan ragam pemikiran serta budaya telah berhasil mencapai hasil yang dimaksud. Dengan membentuk persatuan Eropa, mereka mampu menggabungkan pelbagai negara Eropa menjadi Eropa yang satu dengan mata uang dan undang-undang yang sama. Bahkan mereka berencana untuk membentuk undang-undang dasar bersama yang disahkan oleh anggota negara-negara persatuan Eropa. Berdasarkan undang-undang dasar tersebut, seorang presiden akan diakui secara resmi oleh seluru anggota negara persatuan Eropa. Sebaliknya, ironis sekali melihat nasib negara-negara Islam yang tidak mampu mencapai kata sepakat sekadar untuk mengadakan sebuah pertemuan bersama dalam rangka menunjukkan simpati terhadap penduduk Gaza dan menetapkan Israel sebagai musuh bersama negara-negara Islam. Meskipun demikian, tak seharusnya kita berputus asa. Kita justru harus lebih bekerja keras supaya pertama-tama rakyat, kalangan ilmuwan dan tokoh masyarakat dapat kiranya merealisasikan harapan persatuan negara-negara Islam. Dan kemudian melalui kecerdasan berdiplomasi, kiranya hal ini ditindaklanjuti secara riil. Organisai Konferensi Islam (OKI) seyogianya mengambil peran penting demi menyatukan negara-negara Islam. Di samping itu, Iran sebagai sebuah negara yang menunjukkan kemajuan yang pesat pasca Revolusi dalam jangka waktu yang relatif singkat pun dapat memaikan peranan efektifnya dalam hal ini. Dengan bersandarkan pada kemampuan ilmiahnya, Iran menjadikan embargo negara-negara Eropa pada kurun waktu 30 tahun belakangan ini sebagai tindakan kontra produktif. Ini mereka buktikan dengan meluncurkan satelit yang bernama ‘umid’ (harapan) ke ruang angkasa. Sehingga Iran mentorehkan sejarah sebagai negara Muslim pertama dan negara ke-8 dunia yang menguasai teknologi ini. Kemajuan Iran lainnya di bidang sains dan pertahanan, seperti penguasaan teknologi nuklir, stem cell atau sel punca, kloning, industri roket dan rudal, kedokteran dan yang lainnya. Kemajuan Iran tersebut tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dan patut mengundang decak kagum. Iran sebagai negara teladan dalam hal ini kiranya mampu melangkah lebih maju dan mempelopori terwujudnya "persatuan negara-negara Islam" dengan memanfaatkan dua potensi dan kemampuan besar yang dimiliki negara-negara Islam, yaitu "iman" dan "aiman". Dan transfer teknologi-teknologi mutakhir ini ke negera-negara Islam kiranya dapat menjadi langkah pertama untuk merealisasikan ide ini. Dengan harapan datangnya hari itu yang terhiasai dengan nama Kitab Suci Al-Qur’an dan sosok yang paling dicinta oleh kaum Muslimin, Nabi Muhammad saw semoga kita akan menyaksikan terwujudnya ide "persatuan negara-negara Islam" dalam makna yang sebenarnya. Sumber bacaan dan rujukan: 1. Al-Qur’an Al-Karim. 2. Nahjul Balaghah, Faidh Al-Islam. 3. To down over urgent, teori dah goneh, terjemahan Dr. Hadi Ridha. Zodeh, Fasl Nomeh Andiseh Taqrib, tahun ke-4, nomer 15, musim panas 1378. 4. Jawadi Amuli, Abdullah, Falsafae Huquqe Basyar, Muasasae Isra', Qum, cetakan pertama, tahun 1375 Syamsiah Qamariah . 5. Khumaini, Ruhullah, Tahrir Al-Wasilah, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Qum, cetakan kedua, jilid 1, 1409 H. 6. Thaba thaba’i, Sayyid Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Teheran, cetakan keempat, jilid 1 dan 9, Tahun 1362 Syamsiah Qamariah Iran. |
0 comments to "Perdamaian Yes, Terorisme No!"