Home , � Sejarah Syiah Yaman; Dari Periode Islam Hingga Abad Milenium

Sejarah Syiah Yaman; Dari Periode Islam Hingga Abad Milenium


Selama empat bulan ini berita tentang Syiah Yaman menghiasi pelbagai media baik cetak, audio dan audio visual. Sebagian pengikut Ahlul Bait di Yaman kini tengah berada dalam posisi yang sangat genting dari sisi sejarah. Dari satu sisi kebencian pemerintah Yaman dan dari sisi lain koordinasi militer Arab Saudi dan anasir-anasir Baath Irak berusaha keras menekan orang-orang Syiah Provinsi Saadah. Selain itu berkali-kali pula mesin-mesin propaganda negara-negara Arab melemparkan isu soal hubungan dekat gerakan Al-Hauthi dengan Republik Islam Iran dan upaya pendukung al-Hauthi untuk membentuk kembali sistem Imamah Zaidiah di Yaman. Tentu saja klaim ini juga dibantah berkali-kali oleh Badruddin Al-Hauthi, Syeikh Jarudiah dan Pemimpin Al-Hauthi. Untuk menjelaskan posisi orang-orang Syiah Yaman saat ini, akan lebih baik bila menengok sekilas sejarah para pengikut mazhab Zaidiah.

Peran Penting Penduduk Yaman Bagi Kemajuan Islam dan Syiah

Pada dasarnya orang-orang Yaman punya peran besar dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Hijrahnya penduduk Yaman ke Hijaz dan Irak menciptakan perubahan politik penting bagi umat Islam. Berpindahnya kabilah-kabilah Yaman ke daerah-daerah lain lalu tinggal di daerah baru membuat perubahan dalam komposisi penduduk semenanjung Arab Saudi. Hal ini dapat disaksikan ketika pelbagai referensi sejarah menyebut pembagian Arab menjadi utara dan selatan atau Qahthani dan Yamani.

Kecenderungan orang-orang Yaman akan Ahlul Bait telah muncul sejak dimulainya risalah Nabi Muhammad saw. Pada tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad saw punya keinginan untuk menyeru masyarakat Yaman agar memeluk Islam. Demi merealisasikan keinginannya, beliau memerintahkan Khalid bin Walid menuju Yaman dan mendakwahkan Islam di sana. Namun selama 6 bulan tinggal di Yaman, tidak banyak keberhasilan yang diraih Khalid bin Walid. Pasca kegagalan Khalid bin Walid, Nabi menugaskan Ali bin Abi Thalib as ke Yaman. Ketika tiba di Yaman, Ali bin Abi Thalib segera membacakan surat Nabi kepada masyarakat kabilah Hamdan dan setelah itu ia mengajak mereka memeluk agama Islam. Masyarakat kabilah Hamdan setelah itu seluruhnya mengikrarkan keislamannya. Pasca masuk Islamnya seluruh masyarakat Kabilah Hamdan, sejarah mencatat mereka menjadi sumber dari banyak perubahan.

Ali bin Abi Thalib kemudian menyeru kabilah Mudzhij agar menerima Islam sebagai agamanya. Mereka menolak dan ingin tetap dalam kepercayaan sebelumnya. Namun tidak cukup sampai di situ, mereka berusaha mencelakai utusan Nabi, tapi dalam konflik sekilas yang terjadi kabilah ini kalah. Setelah itu Ali bin Abi Thalib kembali mengajak mereka untuk memeluk agama Islam. Kali ini mereka menerima dan memeluk Islam. Di sini tumbuh hubungan emosional antara masyarakat Yaman dengan Ali bin Abi Thalib. Hubungan ini sedemikian eratnya, sehingga dapat ditebak betapa dari 23 orang yang menjadi inti lingkaran pertama Syiah pasca peristiwa Saqifah, 10 orangnya berasal dari Anshar Yaman. Ketika pembahasan kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib diwacanakan, sekalipun beliau menolak, tapi para kabilah Yaman menunjukkan bahwa dirinya lebih dari yang lain. Mereka mendorong beliau agar menerima jabatan khalifah. Berdasarkan satu penukilan sejarah, Malik Al-Asytar adalah orang pertama yang membaiat Imam Ali bin Abi Thalib as.

Langkah-langkah pertama yang diambil Imam Ali as di awal menjabat sebagai khalifah adalah memilih gubernur untuk daerah-daerah Islam. Beliau memilih Ubaidullah bin Abbas sebagai gubernur Yaman. Sejak Imam Ali as menjabat sebagai khalifah, sejak itu pula muncul aksi-aksi merusak dan akhirnya muncul Perang Jamal. Dalam peristiwa Perang Jamal, orang-orang Yaman secara aktif ikut dalam barisan Imam Ali as dan menjadi faktor penentu kemenangan Imam Ali as dalam perang tersebut.

Dalam Perang Shiffin, sejumlah tokoh Yaman punya saham besar, seperti Malik Al-Asytar, Adi At-Tha’i. Zahr bin Nizar dan Hani bin Urwah. Dari kabilah Yaman lain yang ikut dalam Perang Shiffin adalah Bani Ahmas yang disebutkan mengirimkan pasukan sebanyak 700 orang. Imam Hasan as di masa kekhalifahannya juga didukung oleh para pecintanya, terutama dari kabilah-kabilah Yaman, namun strategi Muawiyah yang memanfaatkan tokoh-tokoh yang cinta jabatan dan lemah dan akhirnya membuat mereka menarik dukungannya terhadap Khalifah Imam Hasan as. Kejadian ini akhirnya memaksa Imam Hasan as melakukan perjanjian damai dengan Muawiyah. Pasca perjanjian damai dan Muawiyah menjadi khalifah, ia begitu membenci orang-orang Yaman yang senantiasa menjadi pendukung Ahlul Bait Nabi. Untuk itu ia mengirim Basar bin Artah untuk membantai mereka. Ketika Bin Artah tiba di Yaman ia melakukan pembantaian massal.
Jangan lupa bahwa peristiwa heroik Asyura juga menjadi manifestasi lain dukungan orang-orang Yaman kepada Imam Husein as. Sebagaiman dicatat dalam buku-buku sejarah, dari seluruh jumlah syahid di padang Karbala, 34 orang berasal dari Yaman.

Alawiyyun, keturunan Imam Ali as terbagi dalam dua kelompok terkait menghadapi para perampas khilafah. Sebagian yang berasal dari keturunan Imam Hasan as meyakini khilafah dan imamah hanya menjadi milik keturunan Imam Hasan as dan mengklaim, demi mengambil kembali hak-hak mereka harus dengan menghunus pedang.

Sementara keturunan Imam Husein as punya keyakinan, pasca kesyahidan Imam Husein as, masalah pengganti Rasulullah saw ada pada lingkar keturunan Imam Husein as. Namun ada satu hal yang patut mendapat perhatian bahwa di antara kelompok Alawiyyun, keturunan Imam Husein as yang banyak melakukan aktivitas budaya, khususnya mereka yang bermazhab 12 Imam. Tentunya tanpa melupakan banyak juga dari mereka yang meyakini kebangkitan itu harus dilakukan dengan menghunus pedang. Salah satunya adalah Zaid bin Ali, anak Imam Ali Zainal Abidin yang bangkit melawan kekhalifahan Bani Umayah dan akhirnya syahid. Keturunan Zaid adalah penerus jalannya dan di kemudian hari mereka menjadi pengasas berdirinya pemerintahan Syiah di Yaman dan Tabarestan.

Para pengikut Zaidiah dalam akidah dan mazhab lebih cenderung mengikuti Muktazilah.

Qasim bin Rasi adalah Imam Zaidiah (246 H) yang paling terkenal di paruh pertama abad ke-3.
Ia tinggal di Madinah lalu diajak untuk berhijrah ke Yaman. Ia menerima ajakan tersebut lalu menuju Yaman. Di perjalanan pertamanya ini, ia tidak berhasil menarik perhatian kabilah-kabilah besar Yaman dan akhirnya ia kembali lagi ke Madinah. Pada tahun 283, orang-orang Yaman kembali mengajak Qasim bin Rasi ke Yaman. Hijrahnya yang kedua kali ini berhasil dan tidak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan pemerintahan Syiah yang berdasarkan akidah mazhab Zaidiah di kawasan utara.

Sistem Politik Zaidiah; Keterkaitan Agama dan Politik

Yaman sejak abad ke-2 hingga abad ke-14 Hijriah senantiasa menyaksikan usaha keras pengikut mazhab Zaidiah untuk memekarkan dan melanjutkan pemerintahan Syiah.

Gerakan Zaidiah telah dimulai sejak abad ke-2 Hijriah dan berangsur-angsur muncul menjadi satu aliran pemikiran di dunia Syiah. Pengikut mazhab ini berusaha keras mencapai tujuan-tujuannya sepanjang periode kekhalifahan Umayah dan Abbasiah. Itulah mengapa sejarah mencatat sejumlah kebangkitan politik Zaidiah. Gerakan ini pada mulanya dalam bentuk gerakan bersenjata secara terpisah-pisah di pelbagai daerah Islam. Dengan mencermati sedikitnya jumlah pengikut mazhab Zaidiah, dalam sejumlah kebangkitan yang mereka lakukan, mazhab ini tampaknya selalu kalah.

Memperhatikan keyakinan Zaidiah yang mensahkan setiap Alawi; baik Husein atau Hasani, yang berusaha meraih kekuasaan dan menduduki jabatan Imamah, suksesi kepemimpinan di abad ke-2 diserahkan kepada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan Nafs Al-Zakiah. Ia selama beberapa waktu tinggal di Basrah dan berusaha bangkit. Namun setelah syahadahnya, saudaranya Ibrahim melanjutkan jalannya. Langkah-langkah yang dilakukan Ibrahim lebih dapat dirasakan dan untuk beberapa waktu ia mampu membuat pemerintahan Abbasiah dalam kondisi krisis. Setelah meninggalnya Ibrahim, semangat kebangkitan yang tengah berkobar ini dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Thaba’thaba dengan panglima perangnya Abu Al-Saraya berhasil menggoncangkan gedung-gedung kekhalifahan Bani Abbasiah.

Pengikut mazhab Zaidiah perlahan-lahan mulai bergabung dengan kebangkitan yang dilakukan Al-Thaba’thaba melawan pemerintahan Bani Abbasiah. Para kabilah Syiah Yaman yang punya perselisihan internal berusaha untuk menyelesaikannya dengan mengajak keturunan Ahlul Bait dan Alawiyyun tinggal di Yaman. Qasim Al-Rasi adalah seorang keturunan Alawiyyun yang menerima ajakan ini. Ia adalah saudara Al-Thaba’thaba yang setelah meninggalnya berhijrah ke India. Di Sana Qasim Al-Rasi berdakwah dan menyeru masyarakat India untuk bergabung dengan kebangkitan Zaidiah.

Zaidiah sejatinya belum terbentuk rapi di masa Qasim Al-Rasi. Pada waktu Zaidiah masih dalam bentuk pemikiran yang tercecer. Namun Qasim Al-Rasi berhasil mengorganisir mazhab Zaidiah dan mazhab ini dibangunnya berdasarkan pemikiran Jarudiah, sebuah aliran pemikiran yang dekat dengan mazhab 12 Imam. Tapi pemikirannya ini malah menyebabkan berpisahnya sebagian pengikuti Zaidiah. Pasca meninggalnya Qasim Al-Rasi, orang-orang Yaman mengajak anaknya Husein agar tinggal di Yaman guna memegang kekuasaan. Husein yang waktu itu berada di India menerima ajakan tersebut dan menuju Yaman. Husein dikenal dengan kezuhudan dan ketakwaannya. Dengan modal ini ia berhasil menarik perhatian kabilah-kabilah Yaman dan sejak saat itu masyarakat pada tahun 288 berbaiat kepadanya. Husein berhasil mendirikan pemerintah berdasarkan akidah Zaidiah di Yaman.

Pasca meninggalnya Husein, orang-orang Yaman membaiat seorang cucu Qasim Al-Rasi yaitu Yahya bin Husein bin Qasim Al-Rasi. Pada waktu itu ia baru berusia 35 tahun, namun dikenal akan keutamaan dan keberaniannya.

Yahya seorang alim, utama dan penulis banyak karya dan bangkit melawan Al-Mu’tadhid Billah, Khalifah Bani Abbasiah. Sedemikian populernya Yahya sehingga selama 7 tahun di Mekah khotbah dibacakan atas namanya. Yahya berkuasa di utara Yaman selama 14 tahun dan menjadikan kota Saadah sebagai ibu kota pemerintahannya. Di sisi lain, Yahya juga aktif melawan pemikiran dan mazhab yang ada di kancah politik dan kepercayaan Yaman seperti Al-Qarabithah. Hasil dari usaha tak kenal lelahnya ini adalah munculnya sebuah mazhab fiqih dan teologi Hadawiah yang karya-karya dan warisan pemikirannya masih dapat disaksikan saat ini. Pondasi pemikiran Hadawiah dibangun dan dikukuhkan oleh dua anaknya; Mahmud (Murtadha Lidinillah) dan Ahmad (Nasir Lidinillah).

Namun seiring meningkatnya ketegangan di antara keluarga Yahya, para penguasa Syiah Yaman selama beberapa abad tidak mampu mengembalikan kekuasaan seperti di masa Yahya. Pada tahun 388 Hijriah saat pertikaian di antara keturunan Yahya mencapai puncaknya, sebagian kabilah Yaman kembali berusaha berbaiat kepada satu dari Alawiyyun yang berada di luar Yaman. Usaha ini berbuahkan hasil ketika Qasim bin Ali (310-393) menerima ajakan mereka dan tiba di Yaman. Berkat Qasim bin Ali para Imam Zaidiah kembali menemukan kejayaan sebelumnya.

Qasim bin Ali berasal dari keturunan Imam Hasan as yang tinggal di Hijaz. Pemerintahannya di utara Yaman menghadapi penentangan dari para pamannnya keturunan Yahya bin Husein, namun rakyat Yaman lebih memilih pemerintahan Qasim bin Ali dan puas dengan kebijakannya. Dalam sejarah Qasim bin Ali dikenal dengan sebutan Qasim Al-Shaghir.

Qasim bin Ali tiba di Yaan tahun 381 Hijriah dan menjadikan Al-‘Ayan sebagai pusat pemerintahannya tahun 389. Atas dasar ini ia juga disebut Al-‘Ayani. Dalam beberapa kali konflik yang terjadi di kawasan utara dan pusat termasuk San’a, Qasim berhasil menang dan malah memperkokoh pemerintahannya. Setelah ia meninggal, anaknya Husein menjadi penggantinya. Husein bin Qasim setelah memegang tampuk kekuasaan langsung menggunakan cara-cara kekerasan menghadapi para kabilah Yaman. Sikapnya ini menunbuhkan ketidakpuasan di kalangan kabilah Yaman. Ia tewas dibunuh tahun 404.

Husein selama hidupnya tidak pernah mengklaim dirinya terkait masalah Imam Mahdi. Namun pasca kematiannya, para pengikutnya menyebutnya tidak mati. Keyakinan ini memunculkan aliran baru dalam Zaidiah bernama Huseiniah. Aliran pemikiran ini terus berkembang di sisi pemikiran klasik Zaidiah di Yaman hingga abad ketujuh. Abad ke-4 Hijriah kepemimpinan dan Imamah Yaman mengalami kelemahan akibat masalah suksesi. Saat menghadapi tekanan para pendukung dinasti Fathimiah Mesir, Shalih Ismaili yang berhasil menguasai San’a dan Saadah, kekuasaan Syiah Zaidiah Yaman terdesak dan menetap di utara Yaman. Di awal abad ke-6, keturunan Imam Hadi mazhab Zaidiah kembali memperluas kekuasaannya dari Najran dan Saadah hingga mencapai kawasan selatan Yaman dan Imam Ahmad Mutawakkil menjadi pendiri baru Imamah Zaidiah.

Dikarenakan para imam Zaidiah mengelola penduduk paling padat dan tanah yang paling kaya, mereka melihat maslahat pada upaya agar akidah mayoritas pengikut mereka disesuaikan dengan akidah yang populer. Dengan dasar ini, mereka mendukung aliran baru Ahli Sunnah yang untuk pertama kalinya diajarkan oleh Sayyid Muhammad bin Ibrahim Al-Wazir (W. 840 H). Di abad-abad selanjutnya sistem Imamah Zaidiah harus menghadapi kekuatan dinasti Ottoman yang baru muncul dan untuk sementara waktu warga Yaman harus menerima dan menaati dinasti ini.

Yaman meraih kemerdekaannya menyusul kekalahan dinasti Ottoman dalam Perang Dunia I. Pada masa itu Inggris dan Italia berlomba-lomba ingin menguasai Yaman. Desember 1918 pasukan Inggris menguasai kota Hadidah, Lehya dan sebagian daerah Tahamah. Imam Yahya Hamiduddin yang terhitung imam terakhir Zaidiah (W. 1948) bangkit bersama pengikutnya memerangi Inggris dan pada tahun 1918 memindahkan markas komandonya dari Syaharah ke San’a dan mengangkat dirinya sebagai raja. Ia mengumumkan tidak mengakui perjanjian Anglo-Turki.

Italia yang mengawasi ketat tranformasi politik Yaman memahami ketidakpuasan rakyat negara ini terhadap kebijakan Inggris. Untuk itu mereka lalu menandatangani perjanjian damai dan perdagangan Italia-Yaman pada tahun 1926. Dampak dari perjanjian ini, Italia harus mengakui kemerdekaan Yaman, namun seluruh janji Italia untuk memperbarui negara ini tidak dilaksanakannya. Sebaliknya, Inggris juga tidak ingin bersikap pasif di negara ini dan tahun 1927 menuntut agar para amir yang tinggal di Aden mengakui hak kekuasaan pasukan Inggris.

Tuntutan ini tidak diindahkan oleh Imam Zaidiah. Menyusul penolakan itu Inggris mulai melakukan serangan udara dan daratnya terhadap Yaman. Dalam perang tersebut, Inggris dibantu oleh sejumlah kabilah Yaman termasuk Al-Zaraniq di daerah Baitul Faqih dan Hasyid di utara Yaman. Dengan peralatan perang yang didapatkan dari Inggris, mereka mulai melakukan kekacauan. Tahun 1928 adalah tahun terberat bagi Imam Yahya. Karena daerah-daerah yang dikuasainya berada di bawah serangan pasukan udara Inggris. Di sisi lain, tersebar isu di tengah masyarakat bahwa San’a dan Hadidah juga bakal diserang Inggris. Akhirnya masyarakat berusaha menyelamatkan diri mereka dengan pergi menyembunyikan diri ke gunung-gunung.

Di tengah tekanan politik dan militer, Imam Yahya Hamiduddin terpaksa bersekutu dengan Uni Soviet dan di bulan November 1928 ia menandatangani perjanjian persahabatan dan perdagangan dengan Uni Soviet. Perjanjian yang dilakukan setengah hati oleh Imam Yahya ternyata berujung pada kehancuran ekonomi Yaman akibat krisis ekonomi dunia (1929-1933) dan menurunya harga perak yang menjadi penopang uang negara. Krisis ekonomi kembali memunculkan aksi-aksi merusak para kabilah dan di sisi lain muncul ketegangan di perbatasan Yaman-Arab Saudi. Hasan Idris, pemimpin kabilah di sana mulai melakukan aksi mengganggu keamanan Arab Saudi.

Inggris menyaksikan kenyataan ini mulai berpikir untuk memanfaatkan kesempatan mengadu domba Arab Saudi dan Yaman. Ketidakamanan perbatasan akhirnya berbuah perang habis-habisan antara kedua negara. Arab Saudi dengan kemampuan militernya yang berada di atas kemampuan Yaman hanya dalam 45 hari berhasil menguasai Tahamah hingga Hadidah. Namun ternyata Inggris tidak begitu suka menyaksikan Arab Saudi tampak terlalu kuat dan mulai mengajak Imam Yahya berdamai. Pada akhirnya persahabatan ini berbuntut perjanjian damai antara Yaman dan Arab Saudi pada tanggal 20 Mei 1934 di Thaif dengan membagi daerah tempat terjadinya krisis.

Kondisi ini berdampak pada semakin kuatnya jalingan hubungan ekonomi dan politik Inggris dan Yaman, namun di sisi lain kondisi ini juga memberikan kesempatan Italia mengembangkan imperialismenya di Yaman. Negara Italia mencari kesempatan baik untuk menumpahkan kekesalannya selama ini. Kesempatan ini akhirnya muncul ketika Perang Dunia II. Dengan mencermati daerah-daerah jajahannya di Afrika, Italia hendak memanfaatkan Yaman sebagai jembatan untuk mengakses Teluk Persia. Namun Italia kalah menghadapi kekuatan angkatan laut Inggris.

Perang Dunia II sangat berdampak buruk bagi ekonomi Yaman dan upaya Imam Yahya untuk melanjutkan kekuasaannya semakin sulit. Dalam kudeta 17 Februari 1948 yang dipimpin oleh Abdullah bin Ahmad Al-Wazir, pemerintah Imam Yahya jatuh dan dikuasai oleh Abdullah. Setelah berkuasa, Abdullah bin Ahmad menyebut dirinya Raja dan Imam. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama. Ahmad anak Imam Yahya pada tanggal 13 Maret 1948 dengan memanfaatkan kekuatan militer berhasil mengusai kabilah-kabilah Zaidiah di San’a dan langsung memerintahkan untuk menembak mati Abdullah bin Ahmad dan para pendukungnya.

Pemerintahan Yahya kali ini tidak berlangsung lama dan setelah Yaman mengumumkan sebagai negara republik tahun 1962, kekuasaan Imamah Zaidiah pun punah.

Gerakan Al-Hauthi

Gerakan ini dibentuk awalnya oleh Husein al-Hauthi dan kini dipimpin olehh Abdul Malik al-Hauthi, saudaranya. Mereka adalah anak Badruddin Al-Hauthi, termasuk ulama terkenal Zaidiah. Badruddin Al-Hauthi lahir tahun 1345 Hijriah di kota Dhuyan dan tumbuh di Saadah. Ia berasal dari keluarga ulama modern Zaidiah dan masih hidup hingga kini. Badruddin Al-Hauthi mendukung kebangkitan anak-anaknya dan setelah syahadahnya anaknya Husein Al-Hauthi, ia sendiri menjadi komandan perang kelompok ini. Ia memiliki sejumlah karya seperti Asanid Al-Zaidiah, Al-Ijaz Fi Al-Rad ‘Ala Fatawa Al-Hijaz, Tafsir Al-Quran, Al-Tahdzir Min Al-Firqah dan lain-lain. Badruddin Al-Hauthi di tahun-tahun perang saudara Yaman, selama beberapa tahun mencari perlindungan di Iran dan sempat tinggal di Qom.

Bila dilihat dari akidah gerakan ini dan para pemimpinnya, mereka lebih dikenal dengan Zaidiah Jarudiah yang lebih dekat dengan Syiah 12 Imam. Menurut para pengikut mazhab Jarudiah, masalah nash dan pemilihan Imam Ali as sebagai pengganti Nabi Muhammad saw merupakan hal yang disepakati. Oleh karena itu, mereka begitu memperhatikan masalah pengingkaran khalifah pertama hingga ketiga. Mereka percaya akan keimamahan Ahlul Bait, namun ada penafsiran baru terkait masalah ini. Keimamahan Ahlul Bait menurut mereka terus berlanjut hingga para Imam Zaidiah. Mereka juga menanti kemunculan Imam Mahdi as. Kembali pada Badruddin Al-Hauthi, masih belum ada kejelasan apakah ia berasal dari keturunan Imam Hasan as atau Imam Husein as.[islammuhammadi/sl] bersambung….

0 comments to "Sejarah Syiah Yaman; Dari Periode Islam Hingga Abad Milenium"

Leave a comment