Arus Politik di Tubuh Muhammadiyah
Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta pada 3-8 Juli ini, menjadi sorotan berbagai kalangan. Di tubuh internal Muhammadiyah beberapa otokritik telah dilancarkan oleh tokoh-tokohnya sendiri. Abdul Munir Mulkhan, misalnya melihat akhir-akhir ini Muhammadiyah mulai terperangkap pada isu kekuasaan yang membuatnya kurang peduli pada nasib mereka yang terpinggirkan, baik karena persoalan ekonomi maupun budaya.
Terkait hal ini, M Alfan Alfian dalam opininya di kompasiana hari ini (Sabtu,3/7) mencoba menelisik arus politik di tubuh ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu. Otokritik yang dilancarkan sejumlah tokoh Muhammadiyah mewakili suatu arus utama yang menolak ormas ini terlibat terlalu jauh dalam politik praktis. Penilaian demikian tampaknya lebih dialamatkan pada elite Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka bermanuver politik.
Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam merespons soal-soal politik-praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan memberi penilaian atas ke manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap politik elite-elite utamanya. Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, tetapi subyektivitas politik elitnya, sering terasa menonjol.
Arus pendapat lain, sebagaimana terekam dari diskusi hubungan Muhammadiyah dan politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta belum lama ini justru sebaliknya, Muhammadiyah memfasilitasi kader-kader strategisnya yang terjun dalam politik praktis. Konsekuensinya, tidak menjadi soal ketika pengurus teras partai politik merangkap pengurus penting Muhammadiyah, asal aturannya jelas.
Dengan begitu, Muhammadiyah menjadi terminal pengelolaan sumberdaya politiknya secara berkualitas.Yang penting, sikap-sikap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tidak membelok ke arah politik praktis.
Ketika elemen bangsa membahas politik, muhammadiyah tumbuh dalam suasana sosial politik yang terus berjalan secara dinamis. Pada masa organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, 1912, gelora politik anti-kolonial sangat terasa. Bersama yang lain Muhammadiyah turut merespons semangat perlawanan anti-kolonial itu, tetapi tidak dengan pendekatan politik-praktis, melainkan politik-kultural.
Politik nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaharu, memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang masih banyak berposisi terpinggir (kaum mustadh’afin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela kepentingan kaum terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh Muhammadiyah sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad) politik dengan mendirikan dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di DPR. Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani oleh kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi juga pada partai-partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang rasional-moderat. Soliditas politiknya, tampak tak serekat jamaah NU yang bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut elitnya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
Akhirnya, semoga Muhammadiyah, tepatnya elit-elitnya, dapat dengan baik dan proporsional dalam membawa jati diri Muhammadiyah, untuk tidak ikut larut dalam ingar-bingar politik-praktis yang konfliktual.(Apress/kompasiana/PH/3/7/2010)
Terkait hal ini, M Alfan Alfian dalam opininya di kompasiana hari ini (Sabtu,3/7) mencoba menelisik arus politik di tubuh ormas Islam terbesar kedua di Indonesia itu. Otokritik yang dilancarkan sejumlah tokoh Muhammadiyah mewakili suatu arus utama yang menolak ormas ini terlibat terlalu jauh dalam politik praktis. Penilaian demikian tampaknya lebih dialamatkan pada elite Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka bermanuver politik.
Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam merespons soal-soal politik-praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan memberi penilaian atas ke manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap politik elite-elite utamanya. Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, tetapi subyektivitas politik elitnya, sering terasa menonjol.
Arus pendapat lain, sebagaimana terekam dari diskusi hubungan Muhammadiyah dan politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta belum lama ini justru sebaliknya, Muhammadiyah memfasilitasi kader-kader strategisnya yang terjun dalam politik praktis. Konsekuensinya, tidak menjadi soal ketika pengurus teras partai politik merangkap pengurus penting Muhammadiyah, asal aturannya jelas.
Dengan begitu, Muhammadiyah menjadi terminal pengelolaan sumberdaya politiknya secara berkualitas.Yang penting, sikap-sikap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tidak membelok ke arah politik praktis.
Ketika elemen bangsa membahas politik, muhammadiyah tumbuh dalam suasana sosial politik yang terus berjalan secara dinamis. Pada masa organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, 1912, gelora politik anti-kolonial sangat terasa. Bersama yang lain Muhammadiyah turut merespons semangat perlawanan anti-kolonial itu, tetapi tidak dengan pendekatan politik-praktis, melainkan politik-kultural.
Politik nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan gerakan transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha. Muhammadiyah adalah gerakan dakwah yang bercorak pembaharu, memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang masih banyak berposisi terpinggir (kaum mustadh’afin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela kepentingan kaum terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Tentu menjadi beban berat para kadernya untuk mengemban dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh Muhammadiyah sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad) politik dengan mendirikan dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah berdiri dan eksisnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di DPR. Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani oleh kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak hanya tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi juga pada partai-partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader Muhammadiyah tersebut sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang rasional-moderat. Soliditas politiknya, tampak tak serekat jamaah NU yang bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), walaupun partai tersebut elitnya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
Akhirnya, semoga Muhammadiyah, tepatnya elit-elitnya, dapat dengan baik dan proporsional dalam membawa jati diri Muhammadiyah, untuk tidak ikut larut dalam ingar-bingar politik-praktis yang konfliktual.(Apress/kompasiana/PH/3/7/2010)
0 comments to "Muktamar Satu Abad Muhammadiyah"