Untuk yang ketiga, Prof Dr Moh. Ali Aziz MA, guru besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, diundang ke Iran untuk menjadi imam Tarawih dan narasumber kajian Islam selama Ramadan. Berikut catatan perjalanannya dari negeri berpaham Syiah itu yang ditulis dari Teheran.
= = = = = = = = = = = = =
“SALOM, salom,” teriak anak berusia sekitar sepuluh tahun sambil berjalan tergesa-gesa. Kaki kecilnya beringsut di tengah jamaah yang baru selesai salat Duhur di Masjid Hadharat Qaim, kira-kira 50 meter dari Wisma Kedutaan Besar Republik Indonesia Teheran, tempat saya tinggal. Inilah hari pertama Ramadan (11/8) sekaligus salat Duhur berjamaah pertama pada kunjungan ketiga saya di Teheran.
Masyarakat Iran lebih terbiasa dengan ucapan salom daripada assalamualaikum seperti di Indonesia. Bocah berhidung mancung dengan celana panjang dan kaus bergaris itu terlambat datang. Seharusnya dia bertugas sebagai “remote” salat Duhur. Karena terlambat, dia baru melaksanakan tugasnya untuk salat Asar yang selalu dikerjakan satu waktu dengan Duhur (Demikian juga, salat Isya di sana dikerjakan secara berjamaah pada waktu magrib).
Bocah itu langsung memegang mikrofon. Dia berdiri tiga meter sebelah kanan imam. “Allahu Akbar,” komando sang bocah kepada jamaah di belakangnya, segera setelah imam yang mengenakan pakaian kebesaran jubah cokelat tua dan serban putih memulai salat. Demikian seterusnya untuk komando rukuk, sujud, iktidal, dan sebagainya.
Pada rakaat kedua salat jamaah itu, saya keliru memahami komando. Sebelum rukuk, terdengar komando takbir. Saya langsung rukuk sebagaimana biasa saya lakukan. Ternyata itu komando doa kunut. Baru takbir berikutnya, komando rukuk.
Dalam perjalanan pulang dengan udara panas yang sampai membuat hidung keluar darah, saya berkata dalam hati, “Hebat benar, seorang bocah bisa memberi komando sang syekh.” Yang menarik, meski memberikan komando, dia tidak ikut salat. Bocah “remote” itu baru salat “sendirian” setelah salat jamaah usai.
Tidak selalu “remote” salat jamaah adalah anak-anak. Di Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam di Aqdasiyeh Street Teheran, komando salat diucapkan orang dewasa yang duduk persis di depan imam salat. Dengan celana dan baju lengan panjang yang disingsingkan sedikit dan tanpa tutup kepala, dia memberikan komando dengan suara mantap.
Masyarakat Iran tidak biasa menggunakan tutup kepala saat salat di masjid. Hanya imam yang menggunakan tutup kepala dengan serban hitam atau putih. Serban hitam sebagai tanda bahwa dia sayyid (keturunan nabi) dan warna lainnya bukan sayyid.
Saya memang sering terlihat asing bagi jamaah lainnya. Bukan hanya karena baju dan kulit saya, tapi juga karena cara beribadah saya yang non-Syiah. Sejak wudu saja, saya sudah dipandang aneh. Bagi penganut Syiah, membasuh tangan untuk berwudu tidak boleh dengan membasahinya di bawah pancuran keran, tapi dengan cakupan tangan. Sisa air dari tangan itu lalu diusapkan sedikit di kepala dan sedikit di kaki. Jadi, tanpa mengusap telinga dan tanpa membasuh kaki. Dalam buku Amozes Namaz (petunjuk salat) yang saya beli di Bazar Bozorge (Pasar Besar), ternyata memang demikian aturan wudu.
Ketika masuk masjid, saya juga asing. Mereka mengambil turbah (tanah bulat atau persegi empat dari tanah “suci” Karbala, tempat cucu nabi sekaligus anak Ali bin Abi Thalib meninggal) yang tersedia di rak pintu masjid untuk alas sujud, sedangkan saya ngeloyor begitu saja. Apalagi sewaktu berdiri salat, hanya saya yang bersedekap. Jamaah lain membiarkan tangan lurus ke bawah.
Kekakuan di tengah jamaah itu segera cair setelah Karami, warga Iran yang lebih dari 15 tahun menjadi staf lokal KBRI, yang mendampingi saya, menjelaskan kepada jamaah bahwa saya sedang belajar tentang Syiah dan masyarakat Iran. Paham Syiah memang amat kental bagi masyarakat Iran. Berkali-kali saya bertemu orang dan ditanya dengan pertanyaan yang sama: Dari negara mana, penganut Syiah atau tidak, dan ketika saya menjawab Suni, mereka bertanya pengikut mazhab apa?
Pada Ramadan hari ketiga, saya salat Duhur didampingi Choiruddin, pelajar Indonesia yang sudah tiga tahun belajar di Iran, di Haram Muthahar Imam Khumeini (masjid dan makam Imam Khumeini). “Jika ditanya orang, Pak Ustad sebaiknya menjawab saya pengikut Suni bermazhab Imam Syafii,” pesan Choiruddin.
Benar kata Choiruddin. Beberapa menit kemudian, dua orang berpakaian rapi dan berjas menghampiri saya. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama. Dengan bahasa Arab yang lumayan fasih, dua orang itu berbicara sangat sopan dan toleran terhadap kami yang Suni. Bahkan, keduanya “orang kampus sekaligus penghafal Alquran” menyebut beberapa kebaikan Imam Syafii.
Sekalipun ulama Suni, Imam Syafii sangat dicintai penganut Syiah. Banyak penduduk Iran yang bernama Syafii. “Jika bukan orang kampus, Pak Ustad pasti diceramahi panjang lebar, yang intinya ajakan untuk meninggalkan paham nenek moyang yang tidak benar dan mengikuti Syiah,” kata Choiruddin setelah mengucapkan Khoda hafez (Tuhan menjagamu) sebagai ucapan perpisahan kepada keduanya.
Hampir semua masjid di Iran yang saya kunjungi dihias dengan kaligrafi yang sangat indah. Jangankan masjid, tembok-tembok rumah dan kantor pun berhias kaligrafi. Pada mihrab Masjid Jamik Imam Shodiq Alaihissalam, misalnya, terdapat kaligrafi surat An-Nur ayat 35, “Allah adalah (pemberi) cahaya langit dan bumi…”. Mengapa ayat itu yang dipilih? Bagi mereka, ayat itu ada kaitannya dengan kedudukan para imam Syiah. Cahaya Allah hanya bisa terpancar di langit dan bumi melalui para imam.
Terdapat juga doa dalam kaca dan berlampu yang menggambarkan penantian akan datangnya Imam Mahdi yang sedang dirindukan sebagai pemberi solusi semua masalah kehidupan. Sebutan untuk imam yang dinantikan itu bermacam-macam. Ada kalanya dipanggil Wali Ashr, Imam Zaman, Shahibuz Zaman, atau Mahdi al Muntadhar.
Setiap usai salawat nabi dengan lagu yang khas, baik sewaktu mendengar azan maupun selesai salat, mereka selalu menambah dengan doa wa”ajjil farajahum (wahai Allah percepatkan selesainya semua masalah umat dengan kehadiran Mahdi al-Muntadhar). Ada juga doa yang terpampang di tembok, Ya shahibaz Zaman adrikni (Wahai Imam yang ditunggu, beri saya jalan keluar).
Ada juga kaligrafi yang dipasang di hampir semua toko yang terkenal dengan sebutan kaligrafi Waiy Yakad. Sebutan itu terkait dengan bunyi awal ayat yang ada dalam kaligrafi tersebut, yaitu Surat Al-Qalam ayat 51, yang artinya “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka tatkala mereka mendengar Alquran”.
Pada Ramadan dua tahun yang lalu, saya sudah membeli kaligrafi itu karena indah dan sangat populer. Melihat artinya, saya menduga ayat tersebut untuk penangkal kejahatan. Namun, baru pada kunjungan kali ini saya menemukan jawabannya bahwa itu adalah kaligrafi “pelaris dagangan”.
“Masyarakat Iran yang terkenal cerdas ternyata juga menyukai jimat,” kata saya kepada Buyuk, warga Iran yang bertugas sebagai sopir di KBRI. Mendengar kelakar saya itu, dia hanya tersenyum.
Dadan Maula, ketua Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran, punya pandangan menarik tentang fenomena tersebut. “Bahkan, “jimat” yang banyak beredar di masyarakat Indonesia ada kaitannya dengan budaya dan keyakinan orang Iran, Pak,” katanya setelah sama-sama mengikuti upacara memperingati kemerdekaan ke-65 RI di Teheran.
Dia menunjukkan beberapa bukti, antara lain, gambar pedang pada jimat di Jawa. Gambar itu diduga kuat adalah gambar pedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang juga sangat populer di Iran. Kaligrafi berbentuk kepala singa yang banyak kita jumpai di Indonesia juga sangat mungkin dari Iran. Sebab, gambar tersebut juga ada di bendera Iran pada zaman pemerintahan Shah Pahlevi. Orang Iran menyebut gambar itu dengan shir va khurshid (harimau dan matahari).
Saat berada di pasar dekat masjid, saya ditawari Buyuk yang sudah lansia itu untuk membeli tasbih zahra untuk oleh-oleh. “Tasbih apa lagi,” pikir saya. Saya menduga tasbih (alat penghitung zikir) itu terbuat dari bunga karena zahra dalam bahasa Arab berarti bunga. Setelah masuk toko, ternyata itu tasbih biasa seperti yang banyak dijumpai di Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang Iran menyebut itu dengan tasbih zahra. Ternyata, karena orang Iran menggunakan tasbih selain untuk berzikir subhanallah, alhamdulillah, dan Allahu Akbar, juga untuk memanggil-manggil imam atau orang suci pujaan mereka. Ya Zahra (gelar untuk Fatimah, putri Rasulullah, istri Ali bin Abi Thalib) atau Ya Husein (cucu nabi, putri Fatimah) atau Ya Abal Fadhal (imam atau pejuang yang terpotong-potong tubuhnya karena membela Imam Husein di Karbala).
Sebelum keluar dari toko, pemilik toko mengangkat tangan saya sambil mengatakan dengan bahasa Persia, Andunezi khaeli khube. Ba Iran Israel ra ruswa kunim (Indonesia sangat baik, bersama Iran, kita tumpas Israel?. “Bale. Mamnun,” jawab saya, yang berarti, ya dan terima kasih.
Saya tidak tahu dia paham atau tidak terhadap jawaban saya. Tapi, yang jelas, dia kemudian mengangkat kedua ibu jari tangannya (Jika hanya mengangkat satu ibu jari, itu berarti penghinaan di Iran). Tapi, karena sudah menjadi kebiasaan, saya sering keliru memuji orang dengan satu ibu jari. (bersambung). (Sumber)(http://musadiqmarhaban.wordpress.com/2010/12/15/pengalaman-ulama-suni-belajar-di-komunitas-syiah-iran-1/)/Posted on Desember 15, 2010 by Musadiq Marhaban
Pengalaman Ulama Suni Indonesia “Belajar” di Komunitas Syiah Iran (2-habis)
Iran mulai diminati pelajar Indonesia yang ingin studi Islam. Alumninya kelak bisa menjadi perekat bagi pemahaman yang lebih baik antara penganut Suni dan Syiah. Berikut lanjutan catatan MOH. ALI AZIZ, guru besar IAIN Sunan Ampel.
—
SAAT ini jumlah jumlah pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) di Iran sekitar 175 orang. Dari jumlah itu, sebagian besar atau 150 orang memilih belajar ilmu agama di Hauzah Ilmiyah di Kota Qom.
Hauzah Ilmiyah adalah perguruan tinggi di bawah payung Jamiatul Musthafa Al Alamiyah. Selain di Qom, lembaga tersebut mempunyai beberapa perguruan tinggi di Kota Mashad, Isfahan, dan Gorgan (khusus untuk penganut Sunni). Semula lembaga tersebut bernama Markaz Jahani Ulume Islami. Pergantian nama ini seiring dengan perubahan menjadi universitas, seperti perubahan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia.
Yang menarik, para istri (pelajar/mahasiswa) juga wajib ikut kuliah plus menjadi santri di perguruan tinggi yang sistem pengajarannya bernuansa pondok pesantren itu. Karena mahasiswa sekaligus juga santri, belajarnya seharian penuh.
Salah seorang anggota IPI yang kerap mendampingi saya selama di Iran adalah Choiruddin, pelajar asal Lombok Timur. Dia sedang menyelesaikan S2 di Universitas Mazahabe Islami di bawah Kementerian Sains dan Ristek Iran yang berdiri sebelas tahun lalu.
Choiruddin adalah salah seorang di antara tiga mahasiswa yang dikirim PB NU untuk kuliah di negeri Mullah itu. Tiga mahasiswa itu sebelumnya kuliah di Qom. Karena tidak kuat dengan tekanan ideologis (karena berlatar belakang Suni), akhirnya mereka pindah ke universitas di Teheran melalui perjuangan yang berliku-liku. Di ibu kota Iran mereka agak leluasa untuk menampakkan jati diri sebagai mahasiswa non-Syiah.
Ada dua jenis beasiswa di Iran, yaitu dari pemerintah melalui Kementerian Sains-Ristek dan Jamiatul Musthofa Al Alamiyah, lembaga swasta untuk pusat studi Syiah di Kota Qom. Pelajar menerima beasiswa dari pemerintah Iran antara 400 ribu-1 juta riyal Iran per bulan (nilai tukar satu riyal hampir sama dengan rupiah). “Alhamdulillah cukup, Pak,” kata Dadan, mahasiswa Universitas Internasional Imam Khumaeni di Qazvin, sekitar 150 kilometer dari Teheran.
Menurut Dadan, beasiswa itu cukup karena biaya asrama ditanggung. Demikian pula makan di kampus disubsidi sehingga hanya membayar dua ribu riyal. Padahal, di luar harus 50 ribu sekali makan. Tidak hanya itu, naik bus hanya membayar 200 riyal (Rp 200) dengan tiket jauh dekat.
“Untuk kami yang di Qom hanya (dapat bea siswa, Red) 500 ribu riyal,|” kata Abdurrahman, alumnus UIN Alauddin Makasar yang sudah dua tahun di Qom. “Anak saya ini mendapat jatah satu beasiswa,” katanya sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun.
Di antara ratusan pelajar Indonesia, ada seorang yang telah menyelesaikan S3 bidang filsafat dan seorang lagi dalam proses penyelesaian S3. Yang lebih hebat, ada pelajar Indonesia yang sudah 28 tahun belajar di Qom. Dia sudah berada di jenjang darajatul mujtahid sehingga beberapa tahap lagi menjadi ayatullah. Bisa jadi, dialah orang Indonesia pertama yang bergelar ayatullah.
Seorang ayatullah sudah diberi otoritas menjadi mujtahid (pengambil keputusan hukum Islam). Ia bisa juga memasuki jenjang yang paling atas, ayatullah udhma yang bisa menjadi rujukan taqlid. Seorang ayatullah dituntut menguasai satu disiplin ilmu, sedangkan ayatullah udhma multidisiplin.
Yang menarik, untuk setiap jenjang itu, seseorang harus menghafal sejumlah kitab standar Syiah dan menyusun karya ilmiah. Di Iran, para akhund (ulama) itulah yang mengendalikan negara, mulai level lokal hingga nasional. Sektor swasta maupun negeri. Dengan demikian, tidak ada satu pun lembaga di negeri itu yang lepas dari kontrol agama.
Ironisnya, saat ini gejala degadrasi kepercayaan kepada tokoh agama amat sering saya dengar dari beberapa mahasiswa dan sopir taksi di Teheran. Keluhan itu dipicu oleh, antara lain, naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, buku, bahkan bensin setelah pencabutan subsidi. Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para akhund apakah para agamawan bisa membawa Iran lebih sejahtera.
Sebagai negara republik Islam yang menempatkan para agamawan di tempat yang strategis, Iran memiliki perhatian besar pada agama. Salah satu even menarik selama Ramadan ini adalah Pameran Alquran Internasional yang dilaksanakan di Musala Imam Khumeini.
Pameran internasional itu dilaksanakan oleh pemerintah setiap Ramadan. Meski diadakan di “musala”, menurut saya, itulah musala yang terbesar di dunia.
Saya tidak tahu persis luasnya, tapi saya perkirakan ratusan hektare. Saya mengitari dengan sedan sampai berganti tiga nama jalan di jantung Kota Teheran itu, namun belum juga tuntas. Jangan tanya berapa lama membangunnya! Sebab, saat ini merupakan tahun ke-20 sejak mulai dibangun (setelah memindahkan ratusan rumah penduduk), tapi pembangunannya belum mencapai 40 persen.
Itulah musala yang sering disebut orang dibangun untuk “menandingi” Masjidilharam di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah. Di dekat musala ada beberapa hutan buatan dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Di sepanjang tepi jalan raya ada saluran air dari gunung berdiameter 50 cm untuk penyiraman dua kali sehari di tanah gersang itu.
Pameran buka pukul 17.00-24.00. Ini jam buka pameran yang wajar bagi masyarakat Iran karena tidak ada tarawih dan tidak ada tadarus bagi mereka selama Ramadan.
“Subhanallah,” ucap saya berkali-kali melihat kemegahan musala dan menyaksikan secara langsung macam-macam kitab Alquran. Desain dan kaligrafi yang ditampilkan belum pernah saya jumpai di museum Belanda maupun di Indonesia.
Tidak hanya itu, para wanita anggun berpakaian serbahitam menunggu beberapa pengunjung di lobi untuk berdiskusi tentang Alquran. Ada ruang untuk diskusi, bahkan debat terbuka, tentang tafsir, fikih, atau tauhid yang dipandu oleh akhund.
“Banyak di antara mereka yang berpredikat hujjatul Islam yang setara dengan profesor,” kata Choiruddin kepada saya sambil menunjuk debat terbuka yang disiarkan langsung melalui televisi.
Ada satu stan yang semua penjaganya wanita muda dengan laptop di tangannya. Mereka bukan menjual produk yang terkait dengan Alquran, tapi memamerkan klasifikasi dan kajian mendalam Alquran terkait dengan disiplin ilmu biologi, fisika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya.
Persis di pintu keluar, saya mendapat suguhan pameran yang tidak kalah menarik, yaitu patung para nabi, mulai Nabi Adam, Nuh, Ibrahim yang sedang berjihad melawan kaum pembangkang. Tetapi, tidak ada patung Nabi Muhammad.
Di tempat itu pula Pameran Buku Internasional diadakan setiap tahun dengan suasana yang jauh lebih meriah. Setelah mengelilingi tempat tersebut, baru saya paham mengapa namanya musala (bukan masjid). Mungkin agar bisa lebih leluasa untuk mengadakan even-even akbar setiap saat.
Yang membuat saya takjub, semua Alquran yang dipamerkan oleh negeri dengan 97 persen penganut Syiah itu sama persis dengan milik kaum Suni.
Setelah keluar dari tempat pameran, saya bermimpi suatu saat tidak boleh lagi ada bentrokan antara Suni dan Syiah. Sebaliknya, masing-masing bisa bersama-sama membangun peradaban dunia dengan nuansa rahmatan lilalamin. (Jawapos) [Sumber](http://musadiqmarhaban.wordpress.com/2010/12/16/pengalaman-ulama-suni-indonesia-belajar-di-komunitas-syiah-iran-2-habis/)/Posted on Desember 16, 2010 by Musadiq Marhaban
0 comments to "Hidup Persatuan Islam!!! : Ulama Suni Indonesia “Belajar” di Komunitas Syiah Iran"