Pembajakan kitab tidak hanya dilakukan oleh penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah di Lebanon terhadap kitab Sirajut Thalibin karya Syekh Ihsan Jampes. Belakangan diungkap beberapa manipulasi dalam kitab terbitan Timur Tengah yang beredar di Indonesia.
Penerbit Wahabi Hapus Pembahasan Tentang Tawashul
Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar Jombang KH Aziz Masyhuri mengungkapkan, dalam kitab Al-Adzkar terbitan Saudi Arabia, salah satu bagian penting yang menjelaskan tentang ajaran tentang berdoa dengan perantara atau tawashul sengaja dihapus, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Wahabi. Padahal kitab yang dikaji di berbagai pesantren itu ditulis oleh ulama Sunni yang menganjurkan tawashul.
Saat berkunjung ke redaksi NU Online pertengahan bulan lalu, mantan ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) ini menuturkan, dirinya telah lama menemukan manipulasi itu, bahkan sejak awal awal tahun 2000.
Selain kitab Al-Adzkar, alam kitab Tafsir Shawi, misalnya, ditengarai terjadi penghapusan beberapa baris, sehingga memenggal isi pokok kitab tersebut.
Menurut Kiai Aziz, pihaknya sempat mengirimkan surat protes kepada pihak penerbit Saudi Arabia atas sepengetahuan Dr KH Agil Al Munawwar, menteri Agama saat itu, tetapi surat protes itu tidak pernah ditanggapi oleh mereka.
Ia menduga masih banyak kitab yang sisinya sudah diacak-acak seperti itu. Karenanya ia meminta PBNU dan kalangan pesantren untuk kritis terhadap keaslian kitab yang dikaji.
”Kita perlu terus mentashih kembali kitab-kitab yang akan dikaji di pesantren, agar tidak menyebabkan kepeincangan dan kesesatan,” katanya
Sesepuh NU yang rajin menghimpun arsip NU ini juga berharap agar penyelidikan terhadap kasus pembajakan kitab Sirajut Thalibin sekaligus dijadikan momentum untuk mengkaji kitab yang ada, baik dari segi hak cipta maupun dari segi matan atau isinya agar bila terjadi penyimpangan bisa segera di luruskan.
“Ini salah satu bentuk menjaga nilai-nilai Aswaja yang saat ini memang sdang banyak menghadapi tantangan baik dari kelompok liberal yang marak di kalangan muslim Timur Tengah, maupun rongrongan dari kelompok fundamentalis Islam sebagaimana dilakukan terhadap kitab Al-Adzkar tersebut,” katanya.
(NU Online/http://www.nu.or.id)
Dari Muhammad bin Abdul Wahab Hingga Kerajaan Saudi
Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab. |
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di Uyaynah, ia terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota itu ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan dengan cara yang brutal. Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan mereka semua sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, masih di Najd Tahun 1744. Di situlah Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab.
Penaklukan dan pembantaian pun dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak tahun 1932 hingga kini.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di kota Karbala’ (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: “Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah. Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala”.
Muhammad Finati, seorang muallaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : “Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka”.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujahid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang). Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh.
Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Hampher seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia.
Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafoar [Majaz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selainnya (Wahaby) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.
Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada’ Uhud di Baqi’ (Madinah) dan para keluarga Rasul di Ma’la (Makkah).
Di Indonesia, misalnya, kaum Nahdhiyyin (NU) ‘kebingungan’, karena kaum Wahabi ‘membajak’ atribut Ahlussunnah Wal Jamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh penganut keempat mazhab Sunnah; mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-akhir ini mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti yang dikenakan kaum Nahdhiyin. Walau demikian, sangat mudah untuk melihat tanda-tanda zahir dari kelompok tersebut. Mereka suka mesyirikkan dan membid’ahkan kelompok muslim lainnya. Dari sisi penampilan pun mereka mempunyai ciri khas sendiri. Selain suka mencukur rambut kepala, mereka juga berlomba dalam masalah panjang-panjangan jenggot dan tinggi-tinggian celana bahkan bisa sampai ke pertengahan betis.
Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia, termasuk penghancuran pipa minyak yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Wahhabi, yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Bin Laden sang ketua al-Qaedah adalah seorang Wahabi tulen kelahiran Arab Saudi. Ia dibesarkan dan dijadikan anak angkat oleh CIA - USA. Konon anak angkat itu kini telah menjadi anak durhaka terhadap ibu angkatnya, USA. Bidan yang melahirkan wahabisme adalah kekuatan Imperialis Inggris, dan kini menjadi ‘kartu as’ pemerintahan biadab USA untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh umat Islam. Nampaknya, skenario keji ini mulai menunjukkan hasil yang menggembirkan bagi USA dan kekuatan anti Islam lainnya ketika isu-isu tentang ancaman perang saudara di Irak menjadi headline seluruh media Barat yang diikuti secara ‘latah’ oleh media-media Indonesia. Jadi antara Inggris (pembonceng Zionis di Tim-Teng), keluarga Saud, Wahabisme dan USA (sekutu Inggris dan Israel) adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tidak terlalu mengherankan jika Wahaby selalu menghamba terhadap kerajaan Saudi. Dan sementara keluarga Saudi selalu bertekuk lutut di hadapan USA saudara kembar Inggris (penyokong kekuasaan keluarga Saud) dalam banyak masalah, termasuk memberi dukungan secara sembunyi-sembunyi terhadap Zionisme Internasional dan turut membenci negara-negara yang anti Israel. Hal itu karena Israel mendapat dukungan penuh dari USA dan Inggris.
Wallahu A’lam
Rendah Diri Kaum Wahabi
Belakangan, ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, dan pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat. Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka segelintir saja. |
Saidiman
Dalam sebuah diskusi di Paramadina beberapa waktu lalu, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut kelompok Islam Wahhabi sebagai kelompok Islam yang memiliki rasa rendah diri yang sangat tinggi. Kelompok ini kemudian menutupi rasa rendah dirinya dalam bentuk mental mudah tersinggung, gampang mengkafirkan orang, dan aksi-aksi kekerasan. Mereka menganggap diri dan kelompoknyalah yang memiliki otoritas kebenaran sejati. Kelompok-kelompok lain adalah kafir, penghuni neraka, dan kalau perlu harus dimusuhi bahkan dibasmi.
Belakangan, ciri-ciri rasa rendah diri seperti dikemukakan Gus Dur itu mudah ditemui dalam praktik fatwa sesat, pengusiran, teror, dan pembakaran rumah-rumah kelompok keagamaan di Indonesia yang mereka anggap sesat. Tentu saja mereka tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Meski terus sesumbar mewakili aspirasi kelompok mayoritas umat, kenyataannya mereka segelintir saja.
Ideologi yang dikembangkan kelompok yang gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat ini sangat mirip dengan ideologi Islam yang sekarang dianut kerajaan Arab Saudi, Wahhabisme. Bahkan kebanyakan pengamat mengatakan bahwa hampir semua gerakan Islam garis keras dewasa ini merupakan bagian dari, atau setidaknya dipengaruhi oleh, kelompok Wahhabi. Ideologi inilah yang dianut secara resmi oleh Taliban di Afganistan dan jaringan al-Qaidah yang beberapa tahun ini aktif melakukan kegiatan teror di pelbagai belahan dunia.
Gus Dur menyebut kelompok Wahhabi memiliki rasa rendah diri yang sangat besar karena ideologi ini berasal dari satu wilayah pinggiran di jazirah Arab, yaitu Najd. Kota Najd adalah satu wilayah yang dalam sejarah Islam tidak pernah memunculkan intelektual atau pemimpin Islam yang diakui. Wilayah ini malah terkenal sebagai wilayah yang kerap melahirkan para perampok suku Badui. Nabi sendiri mengakuinya dalam salah satu hadis. Orang-orang Najd juga adalah kelompok orang yang paling akhir masuk Islam. Bahkan Najd melahirkan tokoh oposan terhadap nabi Muhammad yang amat terkenal: Musailamah al-Kazzab (Musailamah Sang Pembohong). Musailamah mendeklarasikan diri sebagai nabi pesaing untuk menandingi popularitas kenabian Muhammad saat itu.
Selain Wahhabi, ideologi garis keras pada masa-masa awal Islam, Khawarij, juga didirikan orang-orang Najd. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa Wahhabisme sebenarnya hanyalah bentuk baru dari ideologi Khawarij. Orang-orang Khawarijlah yang mempopulerkan konsep takfir (pengkafiran) dan bahkan pembunuhan terhadap mereka yang tidak setuju dengan pendapatnya. Kelompok inilah yang kemudian membantai sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, dan melancarkan aksi yang sama terhadap Gubernur Damaskus saat itu, Amr Bin Ash.
Kaum Wahhabi menjadi kekuatan yang destruktif ketika mereka melakukan aliansi mengejutkan dengan sekelompok bandit pimpinan Muhammad Ibn al-Saud dari wilayah Dir’iyyah. Al-Saud sendiri adalah keturunan Banu Hanifah, salah satu klan yang di masa lalu menjadi pendukung utama Musailama al-Kazzab. Sejak saat itulah kaum Wahhabi terus melancarkan intimidasi dan teror dalam bentuk pengkafiran dan pembantaian terhadap orang-orang yang mereka anggap kafir (kelompok Syi’ah, mayoritas Sunni, dan orang-orang non-Muslim). Arab Saudi lalu mereka kontrol, sampai saat ini, sehingga menjadi negara yang paling tertutup dan paling tidak bebas di seluruh dunia.
Wahhabi kemudian juga dikenal sebagai gerakan anti-ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber keterbelakangan umat Islam. Mereka menolak apapun yang baru, seperti teknologi dan jaringan informasi, karena itu dianggap bid’ah. Dengan tegas mereka menolak demokrasi. Mereka mengurung perempuan di dalam rumah. Mereka mengharamkan nyanyian. Mereka membenci kesenian. Memanjangkan jenggot bagi laki-laki dewasa adalah kewajiban. Buku-buku tasawuf dan filsafat yang merupakan salah satu warisan kekayaan intelektual Islam dianggap barang haram. Praktik kehidupan sosial seperti ini tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Afganistan di bawah kekuasaan Taliban yang berideologi Wahhabisme.
Dengan keuntungan minyak yang masih mengucur sampai hari ini, penguasa Saudi sukses mengekspor ideologi Wahhabi ke seluruh pelosok dunia, tidak hanya ke negara-negara Islam, melainkan juga ke Eropa dan Amerika. Menurut Hamid Alghar, dalam buku Wahhabism: A Critical Essay, kelompok ini berhasil meraih pengikut sekitar 10% dari keseluruhan umat Islam di seluruh penjuru dunia. Anak-anak muda yang menyediakan diri menjadi martir dalam kegiatan bom bunuh diri di Eropa dan Amerika Serikat dalam beberapa tahun ini, sebetulnya datang dari generasi yang benar-benar terdidik secara “Barat.” Tapi, ideologi yang diekspor penguasa Saud-Wahhabi telah menggerakkan mereka untuk melakukan aksi terorisme.
Keluarga Saud dan Wahhab yang kini menguasai otoritas politik dan agama di Arab Saudi sesungguhnya bukanlah keluarga yang dikenal saleh, kalau tidak dapat disebut kurang bermoral. Stephen Sulaiman Schwartz, dalam The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, menyebut keluarga al-Saud sangat gemar menghambur-hamburkan kekayaan Saudi untuk keperluan judi dan main perempuan. Dengan kelakuan semacam itu, jumlah pangeran Saudi saat ini ditaksir mencapai 4.000 orang. Artinya, seorang raja yang memiliki ratusan istri dan selir bukanlah dongeng belaka di Arab Saudi.
Schwartz menyebut dukungan terhadap Wahhabisme yang dilakukan penguasa Saudi adalah bentuk pengelabuan atas praktik tak bermoral yang mereka lakukan. Ideologi yang disebarkan oleh keluarga mantan bandit inilah yang kemudian dianut, atau setidaknya mempengaruhi, kelompok Islam Indonesia yang belakangan gemar mengkafirkan dan mengeluarkan fatwa sesat terhadap mereka yang berbeda pendapat. Pengetahuannya terhadap Islam dan sejarahnya tidak mendalam, bahkan mereka bukan orang-orang yang cukup religius. Saya percaya bahwa kekerasan bukanlah pantulan dari religiositas seseorang atau sekelompok orang. Mungkin, rasa rendah diri itulah yang justru mendatangkan brutalisme.
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual. |
Muchtar Luthfi
PELOPOR PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF
”Ahmad bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab “Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama. Dari situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab “al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya –termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan, lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi. Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal: “Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia (Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]Jelas metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi. Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.Melihat kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini, meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi. Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan (Qudrat)…dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut sebagai sifat khabariyah”. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi (kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri, termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]
FAKTOR MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI
Dalam melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama, menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam, termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu, lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam memahami agama, yaitu dengan cara tekstual. Syeikh Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal- adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah, pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh, keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam. Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula yang dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.Fenomena semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i seorang tokoh Muktazilah dizamannya. Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul “al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh Ahmad bin Hambal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya, dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali betapa ia masih mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama, berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya, menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah. Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran mereka.
KECURANGAN KELOMPOK SALAFI
Setiap golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah. Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah, bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam ajaran Islam.Singkat kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme, sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat. Mereka tahu bahwa kelompok Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama. Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya, sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi (Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19] Jika mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia. Segala bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.Yang lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi –yang didukung dana begitu besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran –termasuk kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]Namun sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi. Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).Dalam kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara: “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu, Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi saudaraku…(kadza…wa…kadza)...”. Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan Khalifah-ku”. Begitu pula hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin, bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:“Jika mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]
SALAFI (WAHABI) DAN KHAWARIJ
Tidak berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi) memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini. Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw, dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan “mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.[22] Paling tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama, sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[23] Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap tidak sesuai dengan akidah mereka.Kedua, sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.Ketiga, sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.Keempat, seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun mempunyai kendala yang sama.Kelima, kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya, ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda: “Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25]
Penulis: Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.
Rujukan:
[2] Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3] As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4] As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5] Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
0 comments to "Kitab Sunni dibajak Wahabi !!!!"