Pengamat politik membandingkan kejahatan yang dilakukan oleh Arab Saudi dengan brutalitas Israel, menyusul invasi militer Riyadh ke Bahrain dalam rangka membantu memadamkan protes anti-pemerintah.
Pada tanggal 14 Maret, Arab Saudi mengirim seribu pasukannya ke Bahrain untuk menindak para pengunjuk rasa Bahrain yang menuntut pengakhiran dinasti al-Khalifa.
Hal ini mendorong pengamat politik untuk meninjau kembali kejahatan rezim Saudi sepanjang sejarah dan mengemukakan pertanyaan, apakah bedanya rezim Saudi dan Israel?"
Rezim Zionis menginvasi Palestina dan mengganti namanya menjadi Israel, dan dinasti Saudi menyerang Hijaz dan menjadikan nama keluarga sebagai nama negara Arab Saudi.
Israel menyerang Lebanon dan Gaza dengan dalih mewujudkan keamanan sementara Saudi melancarkan serangan terhadap warga sipil Bahrain guna mencegah gelombang protes anti-pemerintah itu menyebar menyebar ke Arab Saudi
Israel melanggar berbagai ketentuan internasional dan penggunaan senjata non-konvensional terhadap warga Gaza dan Lebanon. Adapun Arab Saudi menggunakan peluru tajam dan gas saraf dalam menyerang warga Bahrain yang sedang menggelar protes damai.
Israel menyerang area permukiman, rumah sakit dan sekolah-sekolah, sementara Arab Saudi menyerang ambulans dan rumah sakit di Bahrain.
Israel mengandalkan penculikan, pemboman dan berbagai operasi teror ke negara lain demi mempertahankan hegemoninya. Adapun Saudi telah menyiapkan AlQaeda guna melanggengkan dominasinya dan mengirim kelompok teroris ke Irak guna melancarkan teror di pendudukan tersebut.
Dengan perbandingan tersebut, masih belum jelas pula siapa yang yang lebih kriminal dan kejam antara Israel dan Arab Saudi. Namun satu fakta yang pasti bahwa keduanya mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. (IRIB/MZ/SL/17/3/2011)Pejabat itu kepada BBC (17/3) mengatakan, "Di saat Sheikh Salman bin Hamad al-Khalifa tengah bersiap-siap berunding dengan kelompok oposisi Bahrain dan berjanji akan membentuk sebuah parlemen yang memiliki weweng menetapkan undang-undang, serta akan membentuk sebuah pemerintahan dari perwakilan rakyat, namun di saat yang sama pasukan keamanan Bahrain menyerang universitas yang terletak tidak jauh dari Bundaran Mutiara."
"Aparat keamanan menembaki warga dan keesokan harinya pasukan militer Arab Saudi tiba di Bahrain," tambahnya.
Fenomena itu menurut para pejabat tinggi yang dekat dengan keluarga al-Khalifa, merupakan bukti perselisihan pendapat hebat dalam keluarga al-Khalifa.
Di satu sisi, putra mahkota Bahrain tergolong pihak yang mendukung perundingan dan dialog dengan para demonstran. Akan tetap Sheikh Khalifa bin Salman al-Khalifa yang hingga kini telah menjabat sebagai Perdana Menteri selama lebih dari empat dekade, cenderung frontal dan menekankan pemberangusan protes rakyat.
Di sisi lain, di puncak kekuasaan yaitu Raja Bahrain tampak kebingungan menghadapi dua pendapat tersebut.
Raja telah memberikan wewenang penuh kepada putranya untuk berunding dengan kelompok oposisi, namun keluarga kerajaan Saudi terus menekan pemerintah Bahrain agar menumpas protes rakyat.
Sumber tersebut menambahkan, "Dua pekan lalu saya mengetahui bahwa pemerintah Saudi tidak akan membiarkan rezim al-Khalifa tumbang dan dengan segala cara Riyadh akan mencegah hal itu terjadi. Karena mereka khawatir jika al-Khalifa runtuh maka pemerintahan akan dipegang oleh kelompok Syiah." (IRIB/MZ/17/3/2011)
Koran al-Jarida terbitan Kuwait (17/3) melaporkan, Menteri Luar Negeri Kuwait, Sheikh Mohammad al-Sabah mengatakan, "Saya akan berangkat hari ini ke Bahrain untuk menyerahkan surat dari Emir (Kuwait) kepada saudaranya Raja Hamad bin Isa al-Khalifa."
Sumber itu menyebutkan bahwa Kuwait sedang mencoba berperan sebagai mediator guna membantu menyelesaikan krisis daripada mengirim pasukan ke Bahrain.
Sejak pertengahan Februari lalu, ribuan demonstran anti-pemerintah di Bahrain menggelar protes massif menyerukan pengakhiran dinasti al-Khalifa, yang berkuasa selama hampir dua abad.
Pada tanggal 13 Maret, negara-negara Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar, menyatakan akan mengirim pasukan militer ke Bahrain dalam memberangus protes warga.
Hingga kini lebih dari 12 orang tewas dan sekitar 1.000 lainnya cedera selama protes berlangsung di Bahrain.(IRIB/MZ/SL/17/3/2011)
Kirim Tentara ke Bahrain, Dalam Negeri Saudi Rusuh
Pemerintah Arab Saudi mengirimkan pasukan militer ke Bahrain untuk menumpas protes anti rezim Khalifa, di saat aksi protes rakyat di negareinya sendiri kian meningkat dari sebelumnya.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi Menentang Penyiksaan di Bahrain yang berbasis di London, Rodney Shakespeare kepada Press TV dalam sebuah wawancara Kamis (16/3)
"Jika digelar pemilihan umum yang bebas dan adil di Arab Saudi, maka 99 persen rakyat akan memilih melawan rezim. Itulah sebabnya mereka mencegah gelombang demokrasi di Bahrain," tambah Shakespeare.
Pengamat Timur Tengah ini menggambarkan serangan hari Rabu oleh polisi anti huru-hara Bahraian dan pasukan Arab Saudi terhadap demonstran sebagai "pembantaian secara sengaja dan terorganisir."
"Para demonstran adalah orang-orang yang selama puluhan tahun telah mengemukakan tuntutannya secara moderat dan memprotes dengan cara non-kekerasan," kata Shakespeare.
Dia menuding AS turut bertanggung jawab atas pembantaian pemrotes. "Sinyal penumpasan brutal datang ketika Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengunjungi kawasan baru-baru ini,"tegasnya.
Setidaknya enam orang tewas di Bahrain ketika pasukan negara ini yang dibantu militer Saudi melancarkan serangan brutal terhadap para demonstran anti-pemerintah di Manama pada Rabu.
Dalam sebuah laporan yang dirilis Kamis (17/3), Amnesti International menyerukan pada pemerintah Barat untuk menghentikan pengiriman senjata ke Bahrain. Sebab senjata itu digunakan rezim Manama untuk menumpas para demonstran damai.
Lebih dari 1.000 tentara Arab Saudi dan 500 polisi dari Uni Emirat Arab, yang didukung tank dan helikopter, membantu pemerintah kaya minyak itu untuk menumpas aksi protes rakyatnya sendiri yang menuntut keadilan.(IRIB/PH/18/3/2011)
Ketua Wefaq Desak Raja Abdullah Tarik Tentara Saudi dari Bahrain!
Di tengah meningkatnya pertumpahan darah di Bahrain, pemimpin partai oposisi terbesar Bahrain mendesak Raja Arab Saudi segera menarik pasukannya keluar dari negara itu.
"Militer Saudi harus menarik diri dari Bahrain, dan Raja Abdullah sendiri yang harus menginstruksikannya segera," kata Sheikh Ali Salman, ketua faksi Syiah Al Wefaq pada hari Kamis.
Arab Saudi bersama anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) lainnya, mengirim angkatan bersenjata ke Bahrain untuk membantu pemerintah Manama menumpas demonstran damai yang memperjuangkan haknya.
"Kami menyerukan supaya PBB menyelidiki atas peristiwa yang terjadi di Bahrain sejak 14 Februari sampai sekarang,"tegas Salman.
Kemarin, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Navi Pillay mengecam langkah baru pemerintah Manama menyita rumah sakit negeri di tengah tindakan agresi yang diambil oleh pasukan pemerintah Bahrain yang dibantu tentara Saudi dan negara Arab lainnya.
"Terjadi penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan dan pemukulan terhadap para demonstran dan petugas medis, serta pengambilalihan rumah sakit dan pusat kesehatan oleh pasukan keamanan Bahrain,"katanya.(IRIB/PH/18/3/2011)
Tentara Saudi Makin Brutal, Perawat Bahrain Ditembak Mati
Penembak jitu Arab Saudi menembak mati seorang perawat Bahrain, ketika staf medis ini mencoba mencapai rumah sakit di ibukota.
Sebagaimana dilaporkan Press TV, saksi mata menuturkan korban diserang kemarin (Kamis,17/3) di desa Qadam saat menuju Rumah Sakit Salmaniya.
Para pengunjuk rasa di negara yang mayoritas penduduknya Syiah itu menuntut reformasi konstitusi dan perubahan sistem monarki yang telah memimpin selama 230 tahun. Para demonstran menggelar kemah damai di Bundaran Mutiara sejak 14 Februari lalu.
Aksi kekerasan pemerintah Manama yang dibantu tentara Saudi dan negara Arab lainnya memicu kecaman dan protes masyarakat dunia dari berbagai negara termasuk Iran, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi. Mereka mengelar unjuk rasa memprotes invasi yang dipimpin Saudi di Bahrain dan tindakan keras terhadap para demonstran anti-rezim.(IRIB/PH/18/3/2011)
Ahmadinejad:Waspadai Plot Musuh di Timur Tengah
Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan, situasi di kawasan saat ini menuntut kewaspadaan tinggi melawan skema orang-orang yang berusaha untuk mendominasi dunia.
"Kekuasaan kolonial, khususnya Amerika Serikat puas atas terjadinya krisis di sejumlah negara regional"," kata Presiden Ahmadinejad dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Suriah Walid al-Muallem di Tehran pada hari Kamis.
Kedua pejabat tinggi ini membahas transformasi regional terbaru dan menegaskan urgensi mengambil tindakan yang tepat untuk memulihkan perdamaian dan memenuhi kepentingan negara-negara regional.
"Meningkatkan kerjasama dan negosiasi antara kedua negara demi kepentingan semua bangsa di kawasan adalah sebuah kebutuhan kolektif,"katanya.
Sementara itu, Menteri Lauar Negeri Suriah menyinggung posisi Iran dalam menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan."Suriah memandang Iran sebagai kekuatan regional yang besar, memiliki peran penting dalam membantu negara-negara regional lain," kata Muallem.
Menlu Suriah mengatakan musuh bertujuan menyulut perpecahan di antara bangsa-bangsa regional."Tehran dan Damaskus dapat bergandengan tangan untuk memimpin perkembangan yang sedang berlangsung dalam mendukung negara-negara lain di kawasan "tegasnya.
Volume perdagangan kedua negara saat ini menembus $ 3 miliar dan diprediksi akan meningkat mencapai $ 5 miliar dalam waktu dekat.
Sejalan dengan tawaran kedua negara untuk meningkatkan hubungan bilateral, Perdana Menteri Suriah Muhammad Naji Otri berkunjung ke Iran awal Maret lalu, dan mengadakan pembicaraan dengan pejabat senior Iran tentang upaya meningkatkan hubungan bilateral dan menyikapi peristiwa yang sedang berlangsung di Timur Tengah dan Afrika Utara.(IRIB/PH/18/3/2011)
Muslimah Diturunkan dari Pesawat Amerika
Seorang perempuan Muslim dari San Diego menuntut para kru Southwest Airlines didisiplinkan karena mencoretnya dari penumpang penerbangan maskapai tersebut karena mengenakan jilbab.
Muslimah bernama Irum Abassi (Rabu, 16/3) mengatakan dirinya dipaksa turun dari pesawat di San Jose pada hari Ahad (13/3) setelah seorang pramugari menilainya mencurigakan.
Abassi menambahkan, dikatakan kepadanya bahwa seorang pramugari mendengarnya mengatakan "it's a go", sebuah istilah yang terkadang digunakan untuk mengkonfirmasikan berjalannya sebuah operasi.
Abassi kepada wartawan mengaku ketika pesawat hendak berangkat ia mengatakan, "Aku harus pergi," sebelum ia menutup telepon ponselnya.
Southwest Airlines meminta maaf kepada Abassi dan memberinya tiket untuk penerbangan lain.
Juru Bicara Southwest Airlines, Chris Mainz, mengatakan pihaknya tengah menyelidiki masalah ini, tapi tidak akan ada tindakan (disiplin) terhadap pegawainya.(IRIB/MZ/SL/17/3/2011)
Barat Suplai Senjata ke Bahrain
Lembaga Amnesti Internasional mendesak negara-negara Barat untuk menghentikan pengiriman senjata ke Bahrain. Press Tv melaporkan, desakan itu disampaikan Amnesti Internasional menyusul tindak kekerasan yang dilakukan pemerintah Bahrain terhadap warga yang menggelar demonstrasi damai di sejumlah daerah termasuk ibukota Manama.
Dalam serbuan brutal pasukan keamanan Bahrain yang didukung tentara dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sejumlah orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Amnesti Internasional mendesak AS dan negara-negara Barat untuk meninjau ulang kebijakannya terkait penjualan senjata kepada Bahrain.
Pembubaran paksa demonstran di Bundaran Mutiara Manama yang diwarnai bentrokan dan aksi kekerasan pasukan keamanan negara itu menjatuhkan korban tewas sementara ratusan orang terluka. Nampak bekas peluru gas air mata dan peluru buatan Amerika dan Perancis di bundaran tersebut.
Oliver Sprague, Direktur Program Senjata di Lembaga Amnesti Internasional mengatakan, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa Inggris menyuplai Bahrain dengan gas airmata dan berbagai perlengkapan militer. Kemungkinan besar gas air mata dan senjata itu digunakan dalam aksi kekerasan terbaru di negara ini. (IRIB/AHF/17/3/2011)Seperti dilaporkan televisi al-Alam, Sekjen OKI Ishanoglu yang berbicara di Baghdad Irak mengatakan, Organisasi Konferensi Islam berniat mengirim delegasi ke Bahrain untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap para demonstran sipil dan membuka pintu bagi dilangsungkannya perundingan.
Menurutnya, rakyat Bahrain menyampaikan tuntutan yang sah dalam demonstrasi damainya.
Menyinggung perkembangan akhir-akhir ini di negara-negara Arab, Ihsanoglu mengatakan, "Dunia Islam saat ini berada di periode sejarah yang sangat penting, dan sejumlah negara tengah mengalami perubahan yang sudah semestinya terjadi."
Sekjen OKI meyakini bahwa intervensi dalam urusan negara lain dan pertumpahan darah tidak layak terjadi. Seraya berharap krisis yang sedang terjadi dapat diselesaikan lewat perundingan, Ihsanoglu menandaskan, OKI akan tetap membela tuntutan sah bangsa-bangsa Muslim. (IRIB/AHF/17/3/2011)Menyusul pengerahan pasukan rezim-rezim Arab ke Bahrain, Ayatollah Jaafar Sobhani, Ayatollah Abdollah Javadi Amoli, Ayatollah Lutfollah Shafi Golbaigani, dan Ayatollah Naser Makarim Shirazi yang masing-masing adalah ulama terkemuka di Iran, mengecam keras langkah negara-negara Arab atas Bahrain. Mereka mengeluarkan statemen secara terpisah yang isinya mengecam radikalisme terhadap masyarakat Bahrain.
Kecaman keras juga muncul dari Perdana Menteri, Turki Recep Tayyip Erdogan. Sambil memperingatkan Arab Saudi yang mengerahkan pasukannya ke Bahrain, Erdogan mengatakan, "Hingga saat ini, segala konflik antarmuslim dengan provokasi pihak lain menguntungkan pihak-pihak lain. Kami tidak ingin menyaksikan konflik sektarian antarummat Islam dan terulangnya peristiwa Karbala. Sebab, masalah ini menyakitkan ummat Islam."
Erdogan secara tegas mengkritik kebijakan Riyadh terkait Bahrain, dan mengatakan, "Pihak kami sangatlah jelas bahwa kami bukan berpihak pada sumur-sumur minyak. Kami berpihak pada rakyat, demokrasi, perdamaian dan persaudaraan."
"Kami tidak akan terjebak dalam kubangan para pedagang senjata. Kami meneriakkan; Wahai saudara janganlah bunuh saudara lain!!!" tegas Erdogan di sidang para wakil Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).
Masih mengenai Bahrain, Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, mengecam perlawanan terhadap rakyat Bahrain. Dikatakannya, "Negara-negara Arab harus mengambil tauladan dari nasib diktator Saddam Hussein. Di Bahrain, kita kini menyaksikan barisan rezim-rezim dalam menumpas rakyat. Ini adalah hal yang buruk sekali!!!"
"Bukankah kalian ingin mengendalikan pemerintah? Ketika kalian menekan mayoritas masyarakat, kalian akan memerintah siapa?" tegas Ahmadinejad.
Jumlah populasi Bahrain mencapai 700 ribu warga. Dari seluruh jumlah populasi Bahrain, sekitar 600 ribu warga memprotes rezim. Untuk itu, pemerintah Bahrain harus mengabulkan permintaan masyarakat yang sudah menjadi tuntutan mayoritas. Jika tidak demikian, pemerintah Bahrain akan kehilangan rakyatnya.
Yang sangat disesalkan, Arab Saudi yang mengatasnamakan diri sebagai "Khadimul Haramain" yang artinya adalah "Pelayan Dua Kota Suci", malah menjadi komando rezim-rezim Arab lainnya supaya berpartisipasi dalam pembantaian rakyat Bahrain. Pada saat yang sama, Erdogan yang negaranya saat ini juga menjadi kiblat ummat Islam mengeluarkan peringatan keras kepada negara yang mengklaim sebagai "Khadimul Haramain." Pantaskah Arab Saudi disebut Hadimul Haramain? Akal sehat semua ummat Islam akan bersikap sama seperti Erdogan, menolak klaim Arab Saudi sebagai pelayan dua kota suci, Makkah dan Madinah. (IRIB, Mashreghnews/AR/17/3/2011)Lebih dari seribu pasukan militer Saudi dikerahkan ke Bahrain di bawah komando pasukan Dewan Kerjasama Teluk Persia. Berdasarkan kesepakatan negara-negara anggota organisasi tersebut, pasukan PGCC akan berada di bawah komando negara tujuan. Koran al-Ayam Bahrain belum lama ini melaporkan, pasukan PGCC diturunkan untuk menjaga keamanan Bahrain. Televisi Al Jazeera juga melaporkan bahwa Arab Saudi mengirimkan pasukannya ke Bahrain untuk membantu Raja Hamad bin Isa Al Khalifa dalam menumpas demonstran anti-pemerintah.
Riyadh dan Manama memiliki hubungan politik dan ekonomi yang kuat. Arab Saudi tercatat sebagai penyokong dana terbesar Bahrain. Kebanyakan komunitas Syiah Saudi di wilayah Al Sharqiyah juga punya ikatan kekeluargaan dengan Syiah Bahrain. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Riyadh terhadap peningkatan protes rakyat di Saudi.
Pemerintah Manama dalam sebuah rilisnya membenarkan kehadiran pasukan Arab Saudi di Bahrain dan misi itu sejalan dengan kesepakatan kerjasama enam negara anggota PGCC. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates dalam pertemuan dengan putra mahkota Bahrain di Manama, menyatakan bahwa jika para pemimpin Bahrain ingin mencegah intervensi Iran di negaranya, maka mereka perlu mempercepat proses reformasi. Gates juga menyatakan dukungannya atas stabilitas Bahrain.
Mencermati proses yang ada, Amerika sepertinya tidak begitu tertarik atas perubahan rezim-rezim monarki dan otoriter di kawasan Teluk Persia. Riyadh dan Manama dapat menjadi penentu stabilitas Gedung Putih di kawasan, karena Saudi tercatat sebagai produsen minyak terbesar, sementara Bahrain menjadi tempat bagi Armada Kelima Angkatan Laut Amerika.
Dari sisi lain, Amerika tengah berupaya mengubah kebijakan stabilitas regional menjadi kebijakan Iranphobia. Langkah ini bertujuan memperkokoh hubungan regional dan memelihara kehadirannya di tengah negara-negara Arab di kawasan Teluk Persia. Saudi sebagai pemain aktif di kawasan, ditugaskan untuk mengelola transformasi di Bahrain, pertama mengontrol kawasan berpenduduk Syiah dan kedua mengendalikan protes rakyat dengan alasan mencegah pengaruh Iran.
Memperhatikan langkah-langkah yang tempuh Amerika dan Saudi di Bahrain, jelas terlihat ada koalisi terarah antara tiga negara. Riyadh dan Washington berupaya mengelola perkembangan di kawasan strategis Teluk Persia demi tujuan-tujuan regionalnya. Kali ini, Amerika kembali dipaksa untuk memilih antara demokrasi dan stabilitas, tentu setelah mereka belajar dari revolusi Mesir yang menjatuhkan Hosni Mubarak. (IRIB/RM/17/3/2011)Revolusi rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara membuat pasif kebijakan luar negeri Amerika dalam merespon gerakan itu. Negara adidaya ini kelabakan menghadapi badai revolusi yang menerjang sekutu-sekutunya di kawasan. Transformasi beberapa bulan lalu menunjukkan bahwa Washington selama ini memberi dukungan penuh kepada para penguasa tiran dan pemerintah boneka di kawasan. Namun ketika sudah tidak ada lagi harapan untuk mempertahankan para rezim despotik, Gedung Putih memutar haluan 180 derajat dan menampilkan dirinya sebagai pendukung demokrasi dan reformasi.
Amerika melalui kebijakan kontradiktif, tengah berupaya menjaga kepentingannya di kawasan, terlepas dari siapa yang akan berkuasa di negara-negara yang diterpa badai revolusi. Menurut perspektif mereka, Mesir adalah sebuah faktor kunci dan penentu di kawasan Timur Tengah. Jika Paman Sam tidak mampu lagi mengontrol sistem otoriter di Mesir, maka negara itu harus menunggangi gelombang tuntutan demokrasi dan tampil sebagai pendukung revolusi rakyat.
Namun ada juga yang menganalisa bahwa lengsernya Mubarak tidak akan mengubah pendekatan Mesir terhadap Amerika dan rezim Zionis Israel. Meski demikian, tumbangnya seorang diktator melalui pemberontakan rakyat, merupakan sebuah gerakan besar dalam menciptakan demokrasi di Mesir. Pada akhirnya, Amerika akan berupaya membajak revolusi rakyat Mesir untuk kepentingannya.
Transisi kekuasaan dari Mubarak kepada Dewan Tinggi Militer Mesir dan penegasan dewan itu untuk melaksanakan semua perjanjian internasional, termasuk kesepakatan Camp David dengan Israel, adalah sinyal atas kebenaran analisa beberapa pengamat. Perubahan signifikan kemungkinan tidak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri dan keamanan pemerintah baru Mesir. Hal ini karena intervensi Amerika demi kepentingannya.
Sementara itu, para diktator di Bahrain, Yaman dan Libya tengah sibuk menumpas protes rakyat setelah mendapat lampu hijau dari Washington. Gedung Putih sepertinya mulai mengubah cara penanganan protes rakyat di negara-negara sekutunya itu. Kali ini, Amerika menginzinkan para diktator menggunakan kekerasan dan membungkam perlawanan rakyat. Amerika tidak akan segan-segan memusnahkan setiap proses demokrasi yang tidak menguntungkan dirinya di Timur Tengah. Selama ini, Amerika mengganyang Iran pasca kemenangan Revolusi Islam dan memboikot pemerintah demokratis Hamas di Palestina. (IRIB/RM/16/3/2011)Di tahun ini pula kita saksikan bangkitnya masyarakat internasional mendukung rakyat Palestina. Meningkatnya dukungan negara dunia atas terbentuknya negara merdeka Palestina juga menjadi saksi atas hal ini serta kian terkucilkannya Israel di percaturan dunia. Hingga saat ini tercatat 140 negara dunia menyatakan dukungannya soal pembentukan negara merdeka Palestina. Tak ketinggalan, Majelis Umum PBB merilis draf resolusi soal hal bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya. Draf ini berhasil diratifikasi dengan suara mayoritas. Draf resolusi Majelis Umum PBB kembali menekankan hak bangsa Palestina menentukan nasibnya termasuk pembentukan negara independen.
Di sisi lain, Amerika Serikat sebagai pendukung utama Rezim Zionis Israel mengkritik dukungan luas rakyat dan negara dunia terhadap bangsa Palestina. Tahun ini dapat juga disebut sebagai tahun dukungan besar Amerika Serikat terhadap rezim ilegal Israel. Kebijakan utama Washington saat ini adalah mencegah meluasnya dukungan dunia internasional terhadap rakyat Palestina. Para petinggi Washington pun tak segan-segan menyebarkan konspirasi di berbagai organisasi internasional untuk mencapai tujuan mereka.
Amerika beberapa waktu lalu menveto draf resolusi usulan Palestina di Dewan Keamanan PBB. Hal ini ditempuh Washington untuk mencegah diloloskannya resolusi mengutuk pembangunan distrik Zionis di wilayah Palestina. Dengan demikian Amerika kembali mencegah upaya dunia internasional untuk memaksa Israel menghentikan kebijakan arogannya. Sudah bukan rahasia lagi jika Amerika kerap memanfaatkan hak vetonya untuk menggagalkan berbagai resolusi PBB anti Israel. Tak hanya itu, Amerika juga di berbagai organisasi internasional melakukan hal serupa dan menentang lolosnya resolusi PBB anti Zionis.
Poin penting dalam kebangkitan dunia internasional dalam mendukung rakyat Palestina adalah peran penting muqawama dan perjuangan rakyat Palestina sendiri. Muqawama dan kesabaran rakyat Palestina memperjuangkan haknya menyita perhatian publik dunia. Intifadah rakyat Palestina memainkan peran vital dalam menyedot dukungan internasional. Tahun 1389 HS juga disebut-sebut sebagai tahun kegagalan perundingan damai antara pemerintah Otorita Palestina dan Rezim Zionis Israel. Tak hanya itu, perundingan damai ini malah membuat Israel kian congkak dan keras kepala. Rezim ilegal ini semakin brutal membantai warga Palestina dan melanjutkan pembangunan distrik Zionis di kawasan Palestina.
Saeb Erekat, mantan juru runding Otorita Palestina yang baru-baru ini terpaksa mengundurkan diri karena terbongkarnya pengkhianatan pemerintah pimpinan Mahmoud Abbas menandaskan, perundingan damai dengan Israel sepenuhnya gagal. Menurut Erekat, Israel hanya membicarakan blokade, pemusnahan bangsa Palestina dan pembangunan distrik Zionis. Rezim ini tidak pernah bersedia membicarakan perdamaian. Nabil Shaath, anggota komisi pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyebut perundingan damai dengan Israel gagal. Ia juga menilai perundingan ini sia-sia dan hanya menguntungkan Israel, kerena sejak awal perundingan ini didesain untuk mensukseskan ambisi Tel Aviv.
Pernyataan sejumlah petinggi Otorita Palestina secara nyata mengindikasikan gagalnya proses perundingan damai di Timur Tengah dan berlanjutnya kebijakan arogan serta buas Israel dalam membantai rakyat Palestina. Oleh karena itu, kelompok muqawama menyerukan suara rakyat bertekad melanjutkan perjuangannya melawan Israel hingga tercapai cita-cita bangsa Palestina dalam merebut kembali hak legal mereka dan mendirikan negara independen dengan ibukota al-Quds.
Poin penting lain tahun lalu adalah terbongkarnya sejumlah pengkhianatan pemerintah Otorita Palestina terhadap cita-cita bangsa Palestina. Fenomena ini berbuntut pada bubarnya kabinet pemerintahan Mahmoud Abbas. Salam Fayyad selaku perdana menteri di pemerintahan Otorita Ramallah beberapa waktu lalu mengajukan pengunduran dirinya kepada Abbas. Di sisi lain, Abbas kembali menunjuk Fayyad untuk membentuk kabinet baru.
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi Hamas di parlemen Palestina, Yahya al-Abadisah menyebut Fayyad tidak memiliki legalitas memangku jabatannya untuk menjadi wakil bangsa Palestina. Ia menandaskan, Fayyad di mata rakyat tidak memiliki legalitas karena pengangkatannya yang tidak sah. Dalam kondisi seperti ini, Otorita Ramallah melakukan manuver baru demi mencari legalitas bagi dirinya dengan melakukan sejumlah perubahan dasar serta menggelar sandiwara pemilu di Tepi Barat tanpa melibatkan warga Jalur Gaza.
Gelombang pengunduran diri pejabat Otorita Ramallah menunjukkan kondisi krisis yang dihadapi pemerintahan Abbas. Belum lagi kasus terbongkarnya pengkhianatan mereka terhadap rakyat membuat kondisi Abbas beserta kroninya semakin terjepit. Sikap Otorita Ramallah selama ini yang senantiasa mendukung kebijakan Amerika Serikat dan Israel serta mengabaikan hak bangsa Palestina membangkitkan protes luas di kalangan rakyat. Namun lagi-lagi Abbas dengan berbagai cara berusaha mencegah pemerintahannya bergabung dengan rakyat.
Sami Abu Zuhri, juru bicara Hamas mengatakan, terbongkarnya sejumlah dokumen yang menunjukkan pengkhianatan Otorita Ramallah bukan hanya menunjukkan bahwa pemerintahan Abbas tidak berusaha memperjuangkan hak bangsa Palestina, bahkan Otorita Ramallah disinyalir sebagai penghalang terealisasinya hak rakyat. Menurut Abu Zuhri, di antara dosa-dosa Otorita Ramallah adalah mengabaikan masalah al-Quds, pemulangan pengungsi Palestina serta terlibat dengan Israel dalam memblokade Jalur Gaza serta serangan brutal rezim ilegal Tel Aviv ke Gaza pada perang 22 hari di akhir tahun 2008.
Berkas pengkhianatan Otorita Ramallah yang terbongkar menunjukkan pemerintahan Abbas memberikan konsesi besar kepada Israel terkait al-Quds dan hak kembalinya pengungsi Palestina. Mencermati kinerja pemerintah Otorita Ramallah selama ini maka dipastikan pemerintahan ini dibentuk hanya untuk mensukseskan kebijakan arogan Israel, memecah belah kelompok Palestina serta melicinkan aksi penumpasan pejuang oleh Israel.
Di sisi lain, Israel saat ini tengah dirundung berbagai krisis. Dan berdasarkan fakta rezim ini tengah berjalan ke arah kemusnahan mengingat meningkatnya krisis dalam negeri yang dialami Tel Aviv. Konflik internal di Israel ditandai dengan pengunduran diri tiga menteri dari Partai Buruh di kabinet Benyamin Netanyahu. Benjamin Eliezer, Menteri Perdagangan dan Tenaga Kerja, Menteri Urusan Sosial Israel, Isaac Herzog dan Menteri Urusan Minoritas, Avishai Braverman baru-baru ini mengundurkan diri dari pemerintahan Netanyahu.
Sementara itu, Ehud Barak, Menteri Peperangan juga mengundurkan diri dari jabatan ketua Partai Buruh serta berencana membentuk partai sendiri. Menyusul pengunduran diri Barak dari Partai Buruh sejumlah anggota parlemen dari partai ini juga mengatakan mengikuti jejak menteri peperangan. Mengingat keluarnya tiga menteri dari Partai Buruh sebagai anggota koalisi terkuat Netanyahu maka diprediksikan pemerintahan koalisi akan bubar. Gelombang pengunduran diri para pejabat Israel ini juga menunjukkan perebutan kekuasaan di antara para petinggi Israel.(irib/17/3/2011)
0 comments to "Arab Saudi atau Israel yang Lebih Kriminal..???!!!!! Arab Saudi, Pelayan Masjidil Haram atau Barat?"