Penunjukkan Nouri al Maliki sebagai kandidat Perdana Menteri Irak dari Koalisi Nasional pada permulaan Oktober 2010 (Mehr 1389 HS) membuka kesempatan terbentuknya pemerintahan baru di Irak. Keputusan untuk menunjuk Maliki sebagai kandidat Perdana Menteri diambil setelah kelompok-kelompok Syiah Irak yang tergabung dalam Koalisi Nasional melakukan sejumlah pertemuan dan lobi. Meski pertemuan anggota Koalisi Nasional untuk menunjuk Maliki sebagai kandidat tunggal Perdana Menteri digelar tanpa kehadiran Partai Fadhilat dan Majlis Tinggi Islam Irak, namun hal ini bukan berarti kedua kubu ini menentang pencalonan Maliki. Hal ini diungkapkan oleh Khaled Asadi, anggota Aliansi Negara Hukum.
Sambutan luas kubu politik Irak menyikapi langkah yang diambil Koalisi Nasional mengajukan Maliki sebagai kandidat tunggal sebagai Perdana Menteri membuat Iyad Allawi, ketua List al-Iraqiya terpaksa mundur dari sikapnya. Ia juga membatalkan tuntutannya yang sebelumnya gencar disuarakan. Chanel televisi al-Furat dalam sebuah laporannya menyebutkan, Allawi dalam sebuah pidatonya di depan tokoh-tokoh kabilah di Provinsi Babil dan Najaf siap untuk bersikap lebih lunak demi kepentingan nasional.
Di awal November 2010 akhirnya kubu politik Irak berhasil meraih kesepakatan terkait ketua tiga jabatan tinggi negara ini. Osama al-Nujaifi dari List al-Iraqiya terpilih menjadi Ketua Parlemen. Jalal Talabani tetap pada posisinya sebagai Presiden. Nouri al Maliki mendapat mandat untuk membentuk kabinet. Adapun Ketua List al-Iraqiya, Iyad Allawi harus puas menduduki ketua Dewan Tinggi Kebijakan Strategis. Akhirnya Maliki pada Desember 2010 mengajukan nama-nama menteri di kabinetnya dan menyerahkannya kepada parlemen untuk mendapat mosi percaya. Ia pun berhasil mendapat mosi percaya dari anggota parlemen. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan baru di Irak.
Dari Tunisia dilaporkan, setelah didera demo selama satu bulan akhirnya diktator Zine El Abidine Ben Ali terpaksa lari meninggalkan negerinya ke Arab Saudi. Dengan demikian Tunisia memasuki fase baru dalam sejarah. Perdana Menteri pemerintahan Ben Ali, Mohamed Ghannouchi tampil memimpin sementara Tunisia, namun ia tak lama memimpin karena mendapat penentangan dari rakyat. Berdasarkan pasal 57 undang-undang dasar Tunisia, Ketua Parlemen Fouad Mebazaa ditunjuk menggantikan Ghannouchi pada 15 Januari 2011.
Fouad Mebazaa dalam wawancara televisi pertamanya setelah diangkat menjadi presiden sementara Tunisia menekankan partisipasi seluruh kubu, tak terkecuali kubu oposisi yang menentang pemerintah. Ia menandaskan, mengingat kepentingan nasional mengharuskan terbentuknya pemerintahan bersatu maka perdana menteri harus melaksanakan hal ini dalam waktu yang singkat. Sementara itu, rakyat Tunisia tetap pada tuntutannya untuk membersihkan pemerintahan baru dari oknum-oknum mantan diktator Ben Ali. Menyusul desakan rakyat, Perdana Menteri Ghannouchi pada 27 Februari 2011 terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Beji Caid Essebsi.
Sementara itu, Diktator Mesir Hosni Mubarak pun akhirnya menyusul rekannya dari Tunisia setelah didemo rakyatnya selama 18 hari. Hari Jum'at 11 Februari 2011 menjadi hari penting di Mesir. Dalam perjalanannya, Mesir pernah menjadi kebanggaan Dunia Arab, namun sejak berkuasanya Mubarak pada 1981 negara Firaun ini mengalami masa suram. Setelah rakyat Mesir menanggung penderitaan selama 30 tahun akibat tekanan diktator Mubarak, pada 25 Januari habislah kemarahan rakyat. Mereka menggelar aksi demo luas menentang kezaliman Mubarak dan pada 11 Februari, Omar Sleiman, wakil Mubarak di layar kaca secara resmi mengumumkan pengunduran diri diktator Mesir.
Berita pengunduran diri Mubarak bukan hanya disambut gembira rakyat Mesir, namun rakyat Arab dan kawasan juga menyambut gembira berita ini. Selanjutnya Mohamed Hussein Tantawi, mantan menteri pertahanan dan ketua Dewan Tinggi Militer Mesir mengambil alih pemerintahan. Saat ini rakyat Mesir masih melanjutkan tuntutannya seperti pencabutan kondisi darurat yang telah berlaku selama 30 tahun, pembentukan pemerintahan sipil, pengesahan undang-undang dasar baru, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berpolitik.
Setelah Tunisia dan Mesir, kini giliran Libya. Diktator Libya, Muammar Gaddafi yang berkuasa lebih dari 40 tahun pun tak lepas dari kondisi ini. Kini rakyat Libya menggelar aksi demo menuntut pengunduran diri Gaddafi. Bahkan di negara ini kondisinya lebih parah di banding di Mesir dan Tunisia. Gaddafi ternyata lebih brutal dalam menghadapi tuntutan rakyatnya. Ia pun tak segan-segan membantai rakyatnya demi melanggengkan kekuasaannya. Di sisi lain, rakyat revolusioner Libya tetap melanjutkan perjuangannya menggulingkan Gaddafi. Mereka pun menguasai gudang amunisi dan menduduki sejumlah kota di negara ini.
Al-Zawiyah, Brega, Benghazi, el Beyda adalah sejumlah kota yang saat ini berhasil dikuasai rakyat. Menyaksikan hal ini Gaddafi kian geram dan mengancam akan menumpas rakyat yang menentangnya dengan berbagai cara. Untuk mewujudkan ancamannya tersebut, Gaddafi tak segan-segan mengerahkan jet-jet tempurnya membombardir rakyat sipil. Dalam pidatonya hari Jum'at 25 Februari, Gaddafi kepada pendukungnya di Bundaran Tripoli mengatakan,"Bersiap-siaplah mempertahankan Libya." Dengan lantang Gaddafi berkata,"Kita akan berperang dengan mereka dan mengalahkannya."
Ia juga berjanji kepada orang-orang bayarannya dan militer pro pemerintah memberi kebebasan mereka menggunakan senjata dan gudang senjata negara dibuka bebas bagi mereka. Pasukan bayaran bersama militer pro Gaddafi membantai rakyat revolusioner Libya di Tripoli dan sejumlah kota lainnya. Hingga berita ini diturunkan belum ada konfirmasi detail mengenai jumlah korban tewas dan luka akibat brutalitas Gaddafi.
Sejumlah laporan menyebutkan serangan orang-orang bersenjata terhadap rakyat yang baru saja menunaikan shalat Jum'at dan bersamaan dengan berkumandangnya yel-yel anti Gaddafi. Sejumlah laporan menyebutkan, aksi protes warga bukannya surut, tapi malah kian marak dan warga juga terlibat bentrokan dengan militer di sejumlah kota.
Aksi buas pasukan bayaran dan militer pro Gaddafi terhadap rakyat hingga kini menelan korban tewas lebih dari 1400 orang. Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB, Navi Pillay menyatakan kekhawatirannya atas kondisi Libya dan menyeru masyarakat internasional campur tangan guna membela rakyat Libya serta mengakhiri aksi kekerasan di negara ini.
Sementara itu, Yaman juga tak luput dari imbas kebangkitan rakyat di kawasan. Rakyat Yaman pun bangkit menentang kekuasaan Presiden Ali Abdullah Saleh dan menuntutnya mundur dari jabatannya. Oposisi Yaman berjanji untuk meningkatkan protes terhadap rezim Presiden Ali Abdullah Saleh, yang kini didesak untuk meletakkan jabatannya. Mohammed Al Sabry, pemimpin koalisi penentang pemerintah pada hari Senin (7/3) mengatakan,"Para pengunjuk rasa sedang mempelajari beberapa pilihan untuk meningkatkan protes." Ia menandaskan,"Kami berencana untuk menggelar "hari di mana semua rakyat Yaman turun ke jalan" atau "Jumat Kemarahan" ataupun opsi lain."
Protes mulai menyapu negara Arab miskin itu pada bulan Januari 2011. Puluhan orang tewas dan ratusan lagi menderita luka-luka akibat sikap represif pasukan keamanan. Yaman juga diterpa protes di penjara utama ibukota, Sanaa. Polisi menggunakan pentungan dan melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan para narapidana.
Kelompok oposisi dan tokoh agama juga telah mengusulkan sebuah peta jalan transisi, yang akan mengakhiri jabatan Saleh pada 2011. Namun Presiden Yaman menolak usulan yang diberikan kepadanya melalui mediasi tokoh-tokoh agama. Terinspirasi oleh protes-protes Tunisia dan Mesir, ribuan warga Yaman terus mementaskan aksi unjuk rasa anti-rezim di seluruh negeri, termasuk Sanaa.
Sejumlah negara Arab seperti Bahrain, Kuwait, Oman, Jordania dan Arab Saudi dalam beberapa hari ini juga dirundung protes luas rakyat yang menuntut reformasi. Pemerintahan monarki Arab sepertinya berada diujung tanduk dan mereka harus melepas kekuasaan mereka. Kebangkitan rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi topik hangat di media regional dan internasional. Barat yang selama ini menjadi pelindung utama diktator Arab pun kian hati-hati bersikap karena takut dicela dunia internasional.(irib/19/3/2011)
0 comments to "Tumbangnya Para Diktator Arab"