Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Al-Udzma Sayed Ali Khamenei menilai sangat penting penyusunan dan penulisan sejarah Revolusi Islam yang mendalam dan benar lantaran bisa menjadi kekuatan yang berpengaruh dan sumber inspirasi.
Rahbar dalam pertemuan dengan para pejabat dan peniliti Pusat Dokumentasi Revolusi Islam kemarin (Rabu, 20/4) menyatakan, "Dalam penulisan sejarah Revolusi Islam, peningkatan kualitas dan memberikan perhatian kepada jutaan pembaca dari generasi muda yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang Revolusi Islam dan permasalahan yang terkait dengannya, harus dijadikan sebagai prioritas utama".
Ayatollah Khamenei menambahkan, "Seiring dengan meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, meningkatnya hubungan internasional, dan kebangkitan besar rakyat, maka penulisan sejarah Revolusi Islam sangat berbeda dengan penulisan sejarah lainnya".
Menurut beliau, penyusunan dan penulisan sejarah revolusi yang demikian agung itu mesti disertai dengan perhatian serius terhadap kualitas penulisan sejarah. Rahbar mengingatkan, "Dalam penulisan sejarah Revolusi Islam, kualitas penulisan dan penyampaian, serta kualitas dalam menentukan prioritas harus benar-benar diperhatikan".
Lebih lanjut Ayatollah Khamenei menjelaskan bahwa masyarakat di negara-negara lain juga merupakan pembaca sejarah Revolusi Islam. Sayangnya, mayoritas masyarakat dunia tidak memiliki informasi yang tepat mengenai Revolusi Islam. Sementara sejarah revolusi di berbagai belahan dunia lainnya sudah banyak ditulis dan diterjemahkan baik lewat buku maupun roman yang sangat menarik.(irib/21/4/2011)Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad seraya memperingatkan skenario busuk Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel, mengatakan duo itu tengah berupaya untuk menciptakan sebuah Timur Tengah di bawah dominasi mereka.
"Mereka menyatakan ingin mewujudkan Timur Tengah baru dan lebih besar di bawah dominasi AS dan Zionis. Namun, saya katakan kepada mereka bahwa Timur Tengah baru dan lebih besar akan terbentuk tanpa kehadiran AS dan Israel," tegas Ahmadinejad dalam pidatonya di tengah kerumunan besar warga kota Sanandaj, ibukota Provinsi barat Kurdistan, pada hari Rabu (19/4).
Dia menambahkan bahwa musuh sedang mencoba untuk mengobarkan perang antara pemerintah dan rakyat serta berupaya menciptakan konflik etnis melalui tipu daya. Ditandaskannya, dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara regional telah menyadari bahwa Amerika Serikat dan Zionis merupakan musuh utama mereka.
Ahmadinejad mencatat bahwa AS dan sekutunya berniat untuk menginjak-injak hak-hak sah negara-negara regional demi mendukung kepentingan ilegal mereka sendiri.
"Saya ingin mengatakan bahwa kekuatan arogan berada dalam kekeliruan. Kali ini, negara-negara regional akan menggagalkan semua rencana jahat mereka melalui persatuan, kewaspadaan dan iman," tandas Ahmadinejad.
Ia menegaskan, kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan seluruh dunia akan menyingkirkan kekuatan angkuh.
"Kekuatan arogan mencoba untuk menipu bangsa-bangsa. Mereka menekan bangsa Iran agar merelakan hak-hak legalnya, tetapi perlawanan dan keteguhan bangsa ini telah mengalahkan arogansi Barat," tutup Ahmadinejad. (IRIB/RM/PH/20/4/2011)Kebangkitan rakyat mulai dari Afrika Utara hingga ke negara-negara emir di Teluk Persia dalam menentang rezim-rezim otokratik dan despotik, telah menjungkir-balikkan perimbangan politik dan geopolitik di kawasan Timur Tengah. Fenomena itu sangat berdampak buruk bagi rezim Zionis Israel melebihi pihak-pihak lain. Kekhawatiran Tel Aviv itu terefleksikan dalam berbagai laporan dan pemberitaan media massa Barat dan juga dari pernyataan para pejabat Israel sendiri.
Koran Financial Times terbitan Inggris dalam laporannya mengenai dampak buruk dari kondisi di Timur Tengah terhadap masa depan Israel dan juga kekhawatiran para pejabat Zionis menyebutkan, "Orang-orang Israel mengikuti gelombang protes rakyat regional dengan penuh kekhawatiran". Ditambahkan bahwa kekhawatiran tersebut dengan mudah disaksikan dari pernyataan para pejabat tinggi Tel Aviv. Sebagian di antara mereka mengkhawatirkan esensi dan tujuan sebenarnya kelompok-kelompok oposisi Arab. Sebenarnya kekhawatiran yang sama juga dirasakan oleh Barat. Namun kekhawatiran mereka tidak seberapa jika dibandingkan dengan kekhawatiran Israel.
Pengamat politik dan mantan direktur kementerian luar negeri Israel, Shlomo Avineri mengatakan, "Agenda Israel sangat berbeda dengan agenda Eropa atau Amerika Serikat. Bagi orang yang hidup di Eropa, instabilitas yang terjadi di Mesir sangat buruk. Akan tetapi di sini (Israel) kondisi seperti itu, bukan hanya buruk melainkan juga akan mengubah kehidupan. Setelah 30 tahun berdamai dengan Mesir, sekarang tidak jelas apa yang akan terjadi. Kekhawatiran Israel juga semakin meningkat menyusul bentrokan dengan kelompok-kelompok Palestina pimpinan Hamas di Jalur Gaza".
Di lain pihak, pernyataan Efraim Halifi, mantan ketua Dinas Rahasia Israel, merefleksikan shock berat para pejabat Israel dalam mereaksi kebangkitan rakyat di negara-negara Timur Tengah. Kepada BBC ia mengakui terjadinya perubahan pentas potlik di Timur Tengah seraya mengatakan, "Kondisi yang ada ini tidak akan bertahan lama, bahkan sebelum berbagai peristiwa di Mesir, saya tidak mampu memprediksikan sampai kapan kondisi ini dapat dipertahankan. Namun dengan situasi sekarang ini, sulit sekali untuk mengontrol kondisi. Oleh karena itu, Israel perlu menyusun politik baru."
Menurut seorang analis Israel, fenomena saat ini bak kisah seribu satu malam, ‘jin revolusi' telah terbebaskan dari lampu sihir, dan saat ini terbang bebas di atas langit Timur Tengah. BBC dalam laporannya menyangkut dampak dari kebangkitan rakyat kawasan khususnya tumbangnya rezim diktator Hosni Mubarak di Mesir menyebutkan, "Dalam 35 tahun terakhir, hubungan strategis dengan Mesir yang stabil, merupakan pondasi seluruh politik strategis Israel, namun kini pondasi itu telah sirna."
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, dalam sebuah pernyataannya yang dikemukakannya karena kekhawatiran mendalamnya atas transformasi di Timur Tengah, ia tidak mampu menyembunyikan lagi kekhawatirannya jika sampai revolusi di Timur Tengah terinspirasi dari Revolusi Islam Iran. Dikatakannya, "Kami tidak tahu apakah revolusi di dunia Arab mirip dengan revolusi tahun 1989 di Eropa Timur atau lebih mirip dengan Revolusi Islam Iran tahun 1979."
Ditambahkannya, "Kami berharap, revolusi di kawasan lebih mirip dengan revolusi di Eropa Timur, namun kami tidak dapat memastikannya, sehingga kami juga tidak dapat menentukan politik apa yang harus dijalankan. Lima tahun lalu, terjadi revolusi di Lebanon dan lebih dari satu juta warga Lebanon turun ke jalan-jalan menuntut perubahan demokratik di negara itu. Lima tahun berlalu, dan kini kami berhadap-hadapan dengan Hizbullah. Begitu juga beberapa tahun lalu kami, mundur dari Jalur Gaza, dan kini kami terpaksa berhadap-hadapan dengan Hamas."
Pada hakikatnya, perubahan di Timur Tengah dan kendala yang dihadapi politik Amerika Serikat menyangkut Timur Tengah, telah dimulai sejak kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Pasca Revolusi Islam, Amerika Serikat berupaya mengubah geopolitik di kawasan menjadi anti-Iran. Tujuannya adalah menguasai sumber-sumber minyak di kawasan dan juga menjamin ketenteraman rezim Zionis Israel. Politik itu tidak akan berhasil jika tidak diimbangi dengan langkah rezim-rezim Arab.
Rezim Arab seperti di antaranya, rezim Mubarak di Mesir, memainkan peran strategis dalam memuluskan politik Amerika Serikat untuk Timur Tengah dan juga politik sadis rezim Zionis Israel. Proses perundingan damai rezim-rezim despotik Arab dengan Israel, dimulai dengan ditandatanganinya perjanjian Camp David antara Amerika, Israel, dan Mesir pada tahun 1979. Pada tahun yang sama, tokoh revolusioner Mesir, Anwar Saadat juga diteror oleh seorang perwira militer Khaled Islambuli. Hosni Mubarak muncul menggantikan posisi Anwar Saadat.
Selama 31 tahun era kekuasaannya, Mubarak menjadi pelaksana politik Amerika Serikat untuk Timur Tengah. Di lain pihak, rezim Zionis Israel juga dengan mudah menggulirkan politik penjajahannya dengan mengandalkan rezim Mubarak. Melalui sebuah perundingan bertele-tele dengan sebuah kelompok Palestina, Israel mampu mengklaim diri sebagai pihak yang mendukung perdamaian di kawasan. Namun menyusul gelombang revolusi di kawasan saat ini, rangkaian perundingan tersebut telah terlupakan.
Seperti yang telah disebutkan, perimbangan politik dan geopolitik di Timur Tengah mulai berubah sejak kemenangan Revolusi Islam Iran. Dalam satu dekade terakhir, proses perubahan di kawasan sedemikian cepat sehingga Israel terpaksa harus mengubah kebijakannya sewaktu-waktu. Intifada Palestina, memperkokoh front perjuangan Islam di Lebanon dan Palestina pendudukan. Penarikan mundur pasukan rezim Zionis dari Lebanon selatan pada tahun 2000, merupakan titik awal dari berakhirnya era pendudukan Israel.
Sejak dibentuk secara ilegal pada tahun 1948, rezim Zionis tidak pernah mundur dari sebuah kawasan tanpa memperoleh konsesi. Namun penarikan mundur dari Lebanon selatan itu dilakukan tanpa mendapat konsesi dan pada hakikatnya merupakan pengakuan kekalahan Israel terhadap gerakan muqawama Lebanon. Hal yang sama juga menimpa Israel di Jalur Gaza. Ketidakmampuan Tel Aviv menghadapi perlawanan heroik Hamas, memaksa militer Israel menarik mundur pasukan dan mengosongkan pangkalannya di Jalur Gaza.
Pada tahun 2006 dan 2009, Israel melancarkan serangan massif ke Lebanon dan Palestina setelah mendapat lampu hijau dari Amerika Serikat. Serangan tersebut tidak lain bertujuan memberangus gerakan muqawama di Lebanon dan Palestina. Namun perlawanan dahsyat para pejuang Hizbullah selama 33 hari dan perjuangan para anggota Hamas dan warga Gaza selama 22 hari, telah meruntuhkan mitos ‘tak terkalahkan' yang hingga kala itu disandang oleh militer Zionis. Menyusul kekalahan memalukan itu, pemerintahan mantan perdana menteri Ehud Olmert, runtuh dan bubar. Tidak hanya itu, kepercayaan warga Zionis terhadap kemampuan para pejabat Israel dalam menjamin keselamatan dan keamanan pun menurun tajam.
Namun yang dihadapi rezim Zionis Israel saat ini, jauh lebih mengkhawatirkan. Yang dipertaruhkan Israel saat ini adalah masa depan eksistensinya. Betapa tidak, dukungan politik, finansial, dan militer Amerika Serikat dan pemerintahan Eropa ternyata tidak mampu mempertahankan rezim-rezim despotik dan otokratik Arab. Keamanan Israel pun berada di ujung tanduk.
Di sisi lain, perundingan damai Timur Tengah yang dikampanyekan Amerika Serikat juga telah lama berakhir dan bahkan telah "dimuseumkan" menyusul transformasi terbaru di kawasan. Juru Bicara Hamas, Qadhi Hamd, dalam hal ini memberikan penjelasan baru kepada BBC dan mengatakan, "Menurut saya, rakyat regional akan menorehkan sejarah baru, baik di Palestina, Tunisia, Mesir, maupun di negara-negara lain. Dalam waktu dekat, kondisi akan berubah total. Oleh karena itu, menurut saya Israel harus memahami bahwa era penjajahan telah berakhir, karena rakyat tetangga Israel, seperti di Mesir, Lebanon, dan Suriah, telah geram dan mereka semua mendukung muqawama serta menentang pendudukan".(irib/20/4/2011)
Saat ini media massa memainkan peran penting dalam proses komunikasi dan informasi di antara bangsa-bangsa di dunia. Selain itu, media massa yang mengikuti transformasi di bidang politik, sosial dan budaya dapat membantu mengubah keyakinan yang berujung pada perubahan. Oleh karena itu, media-media massa punya kemampuan untuk menuntun masyarakat ke arah yang ideal. Di sisi lain, dunia tengah mengalami perubahan dengan cepat dan media hadir dalam setiap transformasi yang terjadi. Transformasi seperti perubahan sosial, ekonomi dan bahkan perang menjadi obyek liputan media.
Selama beberapa bulan terakhir, negara-negara Islam di Timur tengah menjadi perhatian dunia. Masyarakat internasional juga ingin mendapatkan berita yang benar dan detil mengenai bagaimana rakyat di kawasan ini bangkit melawan rezim despotik. Di sini media-media meliput dan menayangkan transformasi ini sesuai dengan kadar independensi dan profesionalitasnya. Menyiapkan laporan dan berita tentang kebangkitan rakyat Timur Tengah serta menampilkan program terkait gelombang tuntutan kebebasan dan keislaman merupakan aksi biasa yang dilakukan media-media di masa kini. Tapi pekerjaan paling penting media-media ini adalah mengarahkan berita-berita ini sesuai dengan kepentingannya. Semua pandangan dan pemikiran setiap media dapat dicermati dengan mengkaji arah berita dan laporan yang disampaikan.
Terlepas dari radio, televisi dan media cetak Barat yang berkali-kali menyampaikan berita dan laporan bohong atau setidak-tidaknya telah disimpangkan, namun sudah menjadi kewajiban bagi media negara-negara Islam untuk tampil lebih serius dan menentukan. Dalam kondisi saat ini, media-media Islam punya peran pusat dan sangat berpengaruh. Bagaimana tidak, transformasi di negara-negara Islam dimulai dengan tumbangnya mantan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang berujung pada perubahan besar formasi politik Timur Tengah dan Afrika Utara. Aksi demonstrasi rakyat menuntut perubahan di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika Utara telah menciptakan transformasi penting.
Perubahan yang terjadi di kawasan akhirnya makin meluas mencakup negara-negara lain. Rakyat di kawasan semakin benci dengan kehadiran pihak-pihak asing di negaranya. Selain itu, faktor penting yang tidak boleh dilupakan bahwa Islam menjadi basis dari kebangkitan mereka. Di sini, media-media Islam punya peran penting dalam terbentuknya dan berlanjutnya pemahaman umat Islam. Hal ini dapat dipahami dari meningkatnya audien media-media ini selama terjadi aksi-aksi di pelbagai negara kawasan. Sementara sebagian media internasional justru perannya semakin berkurang yang terbukti lewat turunnya audien mereka. Hal ini kembali pada pemahaman umat Islam yang semakin baik mengenal tujuan media-media Barat. Sebaliknya, mereka melihat media-media regional ternyata lebih jujur ketimbang media Barat.
Guna memainkan peranan lebih luas dalam meliput kebangkitan Islam dan pentingnya membentuk sebuah front media. Untuk itu wakil-wakil dari 60 media audio visual anggota "Persatuan Radio dan Televisi Islam" (IRTVU) menyelenggarakan seminar untuk lebih mendekatkan pandangan terkait masalah ini. Dalam seminar yang dilakukan pada 14-15 April ini telah dikaji mengenai mekanisme penyampaian informasi yang tepat terkait transformasi Timur Tengah dan bagaimana meliput proses kebangkitan Islam ini secara lebih baik lagi.
Hassan Razi, Wakil Sekjen IRTVU dalam pertemuan itu mengatakan, "Pembentukan front media Islam menghadapi front media Barat dan bagaimana meliput kebangkitan Islam bangsa-bangsa muslim merupakan fokus utama yang dibicarakan para peserta seminar ini."
Sementara Shawgi Abu Shaer, penanggung jawab jaringan pemberitaan Palestine To Day dalam pidatonya mengatakan, "Pesan utama kebangkitan bangsa-bangsa regional adalah kebebasan dari kebergantungan dan imperialisme Amerika. Menyampaikan pesan ini merupakan misi utama kami." Menurut saya, ujarnya, substansi utama seluruh kebangkitan ini adalah Islam. Kebangkitan ini akan terus berkembang menghadapi rezim Zionis Israel yang dilihat sebagai akar seluruh permasalahan di kawasan. Menurutnya, liputan yang tepat terkait transformasi bersejarah ini merupakan kewajiban yang harus dipikul oleh media-media Islam.
Khalid al-Suyuti, wartawan Mesir yang juga ikut dalam seminar ini mengucapkan terima kasih kepada lembaga Persatuan Radio dan Televisi Islam seraya mengatakan, "Suara revolusi rakyat Mesir telah disampaikan kepada dunia oleh media-media massa. Dukungan media-media ini yang sejatinya memainkan peran penting menciptakan solidaritas bangsa-bangsa terhadap kebangkitan rakyat Mesir."
Sementara Saleh al-Masri, Manager Radio Quds dari Gaza yang ikut dalam seminar ini dalam wawancaranya mengatakan, "Pembentukan front media dalam menghadapi penyimpangan opini publik yang dilakukan oleh Amerika dan Barat merupakan sebuah kebutuhan penting. Kita semua harus bergerak ke arah sana. Front media ini akan memainkan peran menentukan dalam menggagalkan politik Amerika yang tengah berusaha menyimpangkan kebangkitan bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Afrika Utara."
Seminar dua hari yang diselenggarakan Persatuan Radio dan Televisi Islam di Beirut itu juga mengkaji pengalaman Republik Islam Iran sebagai negara Islam yang berhasil menciptakan hubungan dengan rakyat muslim. Saat ini di departemen World Service IRIB masih beroperasi lebih dari tiga puluh radio dan beberapa televisi yang menggunakan bahasa asing. Tugas mereka adalah menyampaikan informasi berimbang sekaligus menyingkap kebijakan-kebijakan imperialis Barat. Televisi al-Alam dan al-Kautsar yang berbahasa Arab dan Press TV yang berbahasa Inggris aktif meliput pelbagai peristiwa dunia Islam.
Satu poin penting yang banyak diperhatikan oleh para peserta seminar IRTVU di Beirut ini adalah penekanan mereka agar rakyat senantiasa berpartisipasi aktif guna meraih segala tuntutannya. Mereka juga menekankan peran penting Islam sebagai basis dari kebangkitan rakyat di kawasan. Semua ini harus dilakukan tanpa melupakan upaya menyingkap rencana keji internasional untuk menciptakan fitnah di tengah-tengah umat Islam. Dan yang terakhir adalah komitmen untuk tetap melakukan pengawasan detil dan berkelanjutan media-media atas transformasi yang terjadi pasca kebangkitan rakyat.
Perlu diketahui bahwa Persatuan Radio dan Televisi Islam telah melakukan aktivitasnya sejak empat tahun lalu. Hingga saat ini ada 200 radio, televisi dan media cetak dari 30 negara Islam yang menjadi anggota organisasi ini. Organisasi IRTVU berusaha untuk menggagalkan monopoli media yang dilakukan Barat dalam menyampaikan informasi terkait perubahan penting dunia dan kawasan. Seminar terbaru yang dilakukan organisasi ini di Beirut secara khusus diselenggarakan untuk membahas kebangkitan Islam di dunia Islam. Semua ini menunjukkan kewaspadaan luar biasa yang ditunjukkan para insan media dan tanggung jawab terkait perubahan yang terjadi di dunia Islam. (IRIB/SL/NA/19/4/2011)
Mengkritisi Standar Ganda Barat terhadap Kebangkitan Islam di Timur Tengah
Kebangkitan dan revolusi rakyat di sejumlah negara-negara Arab terus berkobar untuk menumbang rezim-rezim otoriter. Tuntutan kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang bersih dan adil terus berkumandang mulai dari Libya hingga Yaman dan Bahrain. Tentu saja dengan kian makin meluasnya gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah, mau tak mau Barat terutama AS yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan terpaksa memberikan dukungan mesti dengan penuh kemunafikan dan motif tersembunyi.Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam rangkaian pidatonya di awal tahun baru Iran 1390 HS baru-baru ini, kerap menyinggung isu transformasi di Timur Tengah dan memaparkan beragam analisa mengenai kebijakan standar ganda AS terhadap revolusi rakyat di dunia Arab.
Ketika sebuah rezim mengabaikan kepentingan dan maslahat nasional serta merendahkan martabat bangsanya lantaran takut terhadap kekuatan arogan semacam AS dan rezim zionis Israel, tentu cepat atau lambat mereka akan menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri. Rakyat niscaya tidak akan tinggal diam begitu saja dan bangkit menghidupkan kembali harga diri negaranya. Situasi inilah yang kini terjadi di negara-negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Bahrain, dan Yaman.
Dalam pandangan Ayatollah Khamenei, penyebab utama kebangkitan rakyat Mesir dipicu oleh terjalinnya kerjasama luas antara Hosni Mubarak dengan Israel. Rahbar menjelaskan, "Dalam kasus blokade Gaza, jika Hosni Mubarak tidak bekerjasama dengan Israel, tentu Israel tidak akan bisa sebegitu brutalnya menekan Gaza dan melakukan kejahatan yang demikian kejinya. Namun Hosni Mubarak ternyata menjalin kerjasama dan turun ke lapangan. Gerbang keluar-masuk Gaza pun ditutup. Setelah itu tersebar informasi, rakyat Gaza menggali terowongan bawah tanah. Lantas ia pun segera membangun tembok baja setinggi 30 meter hingga di kedalaman bawah tanah untuk membendung terowongan dan menangkal aksi rakyat Gaza. Tindakan itu dilakukan oleh Hosni Mubarak. Rakyat Mesir pun merasa harga dirinya dicederai. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di negara-negara lain".
Rahbar berkeyakinan, partisipasi langsung rakyat dan nuansa keagamaan revolusi rakyat Timur Tengah merupakan ciri utama transformasi akhir di kawasan. Digelarnya demo-demo besar yang umumnya digelar pasca shalat jumat atau berjamaah, teriakan Allahu akbar, peran aktif para ulama dan mubaligh dalam rangkaian aksi unjuk rasa, semakin memperkuat identitas keislaman gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah. Namun akibat minimnya pengetahuan dan lemahnya analisa para politisi AS mengenai kondisi rakyat regional, mereka pun akhirnya sering melontarkan beragam reaksi dan pandangan yang kontradiktif.
Menyikapi reaksi AS terhadap gerakan revolusi rakyat Timur Tengah itu, Ayatollah Khamenei menuturkan, "Apa yang selalu terlihat kasat mata dari tindakan AS adalah dukungannya terhadap rezim-rezim diktator. Hosni Mubarak dibela sedemikian rupa hingga di akhir waktu yang memungkinkan. Namun ketika tidak memungkinkan lagi, dia pun disingkirkan begitu saja".
Pemimpin besar Revolusi Islam Iran itu menambahkan, "Apa yang menimpa Barat dan AS merupakan kenyataan yang sulit diterima oleh mereka. Mesir merupakan salah satu pilar utama politik AS di Timur Tengah. Washington sangat bergantung pada pilar tersebut. Karena itu, ketika Hosni Mubarak di Mesir atau pun Ben Ali di Tunisia telah hengkang, AS pun berusaha keras mempertahankan sistem kekuasaan yang ada. Para pejabatnya boleh saja berganti, namun sistem harus tetap bertahan. Oleh sebab itu, mereka pun berupaya sebisa mungkin memasang seorang perdana menteri yang bisa dijadikan boneka. Akan tetapi rakyat terus bangkit berjuang dan melumpuhkan konspirasi tersebut. Rezim-rezim buatan itu pun tumbang. Sehingga berkat karunia dan kehendak Ilahi, rangkaian kekalahan AS di kawasan terus berlanjut".
Rahbar mengungkapkan, setelah kehilangan pion-pion politiknya di Mesir dan Tunisia, AS lantas menerapkan dua model konspirasi. Pertama, mempraktekkan politik pragmatis dan kedua melakukan politik rekayasa. Mulanya, Washington berusaha sebisa mungkin mengarahkan transformasi politik di Mesir dan Tunisia untuk kepentingannya. Guna merealisasikan tujuan tersebut, dengan munafiknya AS pun berpura-pura mendukung gerakan revolusi. Namun berkat kesadaran dan kewaspadaan rakyat, kedok hipokrit AS itu pun segera terbongkar.
Gagal merealisasikan politik pragmatisnya, AS lantas menjalankan strategi berikutnya dengan menerapkan politik rekayasa. Strategi itu diterapkan terhadap negara-negara yang menentang hegemoni Paman Sam. Terkait hal ini, Ayatollah Khamenei menjelaskan, "AS berusaha menciptakan revolusi seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya dan negara-negara lainnya untuk kemudian diterapkan di negara-negara seperti Iran dan memunculkan sebuah gerakan yang lebih pantas disebut sebagai dagelan politik. Namun untungnya, bangsa Iran berhasil menggagalkannya".
Menanggapi ajakan dan seruan Presiden AS Barack Obama kepada rakyat Iran untuk melakukan revolusi dan menumbangkan pemerintahan Republik Islam Iran, Rahbar menyebut tindakan presiden AS itu berangkat dari kebodohan dan kelalaiannya. Rahbar menuturkan, "Dia (baca: Presiden AS) menyatakan rakyat yang berkumpul di Lapangan Azadi Tehran tak lain adalah rakyat Mesir yang berada di lapangan Al-Tahrir. Memang benar apa yang dikatakannya. Setiap tahun tanggal 12 Februari, rakyat yang sama berkumpul di Lapangan Azadi meneriakkan yel-yel ‘Matilah AS!'".
Pembantaian dan kezaliman terhadap rakyat tak berdosa Libya merupakan hal yang ditentang oleh siapapun. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Ali Khamenei pun mengutuk keras aksi brutal tersebut. Serangan militer rezim Muammar Gaddafi terhadap para demonstran pro-revolusi dan intervensi militer AS dan sekutunya terhadap Libya, kedua-keduanya merupakan hal yang juga tidak bisa diterima. Rahbar dalam pernyataannya yang ditujukan kepada Barat terutama AS menegaskan, "Jika kalian memang benar-benar tulus membantu rakyat Libya. Semestinya sejak awal kalian bantu mereka. Beri mereka senjata, beri mereka fasilitas! Beri mereka senjata penangkis anti-serangan udara! Tapi sudah sebulan berlalu kalian biarkan rakyat Libya terus-menerus menjadi korban pengeboman. Selama sebulan kalian hanya duduk menyaksikan rakyat dibantai. Lantas kini kalian ingin bertindak?"
Rahbar menilai intervensi militer Barat sejatinya bukan bertujuan untuk membantu rakyat Libya tapi guna merampas minyak dan menarget sejumlah kepentingan lainnya. Ayatollah Khamenei menjelaskan, "Kalian tidak datang untuk membela rakyat. Kalian hanya mengejar minyak Libya. Kalian ingin menduduki negara itu. Kalian ingin menjadikan Libya sebagai pangkalan untuk mengawasi dua pemerintahan revolusioner Mesir dan Tunisia mendatang. Niat kalian sungguh sangat keji!"
Di bagian lain pidatonya, Rahbar mengkritik keras sikap PBB dalam menyikapi gerakan revolusioner rakyat Timur Tengah dan menilai sikap tersebut hanya menguntungkan negara-negara arogan. Dia menilai sikap seperti itu sungguh sangat hina bagi sebuah otoritas yang berfungsi sebagai pembela hak bangsa-bangsa.
Kebangkitan rakyat Bahrain sebagaimana di negara-negara Arab lain, merupakan gerakan revolusioner untuk menumbangkan rezim-rezim diktator. Tuntutan utama mereka sungguh sangat wajar. Mereka hanya menginginkan pemilihan umum yang adil dan bebas. Semua rakyat memiliki hak yang sama untuk memberikan suara. Namun lantaran mayoritas rakyat Bahrain adalah muslim Syiah, maka sejumlah politisi dan kalangan Media di negara-negara Teluk Persia yang merasa kekuasaannya terancam berusaha mengesankan revolusi di Bahrain sebagai konflik antar mazhab, antara Sunni dan Syiah.
Dalam kritikannya mengenai masalah itu, Rahbar menandaskan, "Sekelompok orang jahat berusaha menampilkan kasus di Bahrain sebagai konflik Sunni dan Syiah. Ironisnya, sejumlah kalangan yang dikenal tidak memiliki niat jahat justru termakan oleh isu tersebut. Jika memang di antara mereka masih memiliki iktikad baik, saya nyatakan kepada mereka. Jangan kalian anggap isu tersebut sebagai konflik Sunni-Syiah. Itu merupakan pelayanan terbesar kepada AS. Itu merupakan pelayanan terbesar bagi musuh-musuh umat Islam. Tidak ada konflik antara Syiah dan Sunni!".
Secara umum, di mata Ayatollah Khamenei kebangkitan rakyat Timur Tengah sejatinya beridentitaskan Islam dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan keadilan, kebebasan, mendirikan pemerintahan yang independen dan bermartabat. Maraknya gerakan kebangkitan Islam di kawasan akhir-akhir ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung lagi. Bahkan Barat pun mengakui bahwa transformasi yang lebih besar di Timur Tengah akan segera lahir.(irib/6/4/2011)
0 comments to "Skenario busuk Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel untuk menciptakan sebuah Timur Tengah di bawah dominasi mereka"