Home � Meniru Tuhan

Meniru Tuhan


MANUSIA dianugerahi sifat dan kapasitas yang mirip sifat Tuhan. Misalnya saja, kemampuan mendengar, berbicara, melihat, dan mencipta. Kesemuanya itu menyerupai sifat Tuhan. Maka untuk membedakannya, untuk Tuhan, ditambah dengan ‘maha’. Sedangkan kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak berarti bila dibandingakan dengan sifat dan kapasitas Tuhan.

Lalu, bolehkah kita meniru Tuhan?



Meniru Tuhan memang tidak dilarang, bahkan dianjurkan sebagaimana sabda Rasulullah, “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Alquran.” Yang dimaksud tentu meniru dan menginternalisasi sifat Tuhan agar kita menjadi pribadi yang baik, yang mencerminkan sifat-sifat-Nya. Jadi, bukan meniru Tuhan dalam arti kita meniru zat-Nya, karena hal semacam ini sangat tidak mungkin, dan dapat menjerumuskan kita ke jurang syirik.

Sifat Tuhan yang paling sering disebut adalah rahman-rahim. Tiap memulai pekerjaan selalu kita ucapkan basmalah. Di situ terkandung pesan agar dalam setiap pikiran, ucapan, dan tindakan dijiwai semangat kasih-sayang sehingga kita menjadi pribadi penyebar atau transmitter sifat ilahi yang senantiasa menyebarkan kasih-sayang dimanapun berada. Dengan melakukan zikir dan perenungan asmaul husna, asma Allah yang serbaindah dan baik, semoga terjadi penetrasi sifat ilahi ke dalam hati, pikiran dan tindakan kita.

Meneladani akhlak atau sifat-sifat Tuhan bukanlah penyimpangan. Asalkan, tidak difahami sebagai hendak menyaingi dan menantang Tuhan seperti Firaun. Sebagai makhluk yang diciptakan dengan citra Tuhan dan mendapatkan percikan ruh-Nya, sudah tentu kita memiliki unsur-unsur Ilahi dan kesamaan sifat dengan Penciptanya.

Unsur-unsur Ilahi ini sejatinya adalah instrumen yang dianugerahkan Tuhan kepada makhluk-Nya. Supaya ia menginsafi hakikat dirinya, untuk selanjutnya mengenal, mendekat, dan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan (habb min Allah).

Unsur-unsur Ilahi itu adalah instrumen yang ditanamkan Tuhan ke dalam diri kita supaya kita menerima pancaran cahaya-Nya.

Ketika kita sanggup membersihkan diri dan berusaha taqarrub (mendekat) pada-Nya, maka kita akan mendekati sifat-Nya, mengingat jati diri kita sebenarnya fitri, hanif, yang memudahkan untuk terhubung dengan Sang Pencipta.

Karena itulah hubungan kita dan Tuhan sebenarnya sangat dekat, dan dapat diilustrasikan dengan besi yang ditempelkan dan digosok-gosokkan dengan magnet. Pada awalnya, besi itu hanyalah penerima yang pasif, dan hanya bisa pasrah ditarik oleh magnet.

Namun, ketika kita menggosoknya berulang-ulang, lama-kelamaan partikel penyusun besi secara alami akan teratur seperti partikel magnet, sehingga besi yang tadinya bersifat pasif dapat berubah menjadi aktif, dan bahkan menjadi magnet baru. Tentu saja, kualitas magnet baru itu berbeda dan tidak setara dengan magnet yang asli. Proses semacam inilah yangdisebut meniru atau meneladani sifat-sifat Tuhan bagi kita melalui proses internalisasi dan imitasi.

Meniru atau meneladani sifat dan nama Tuhan yang benar akan menghasilkan pribadi yang lentur dalam menghadapi kehidupan ini. Ya, Tuhan, berilah kami anugerah kemampuan untuk bertakhalluq, yang dapat mengantarkan kami menjadi orang-orang bertakwa.(*)(b.post)

Tags:

0 comments to "Meniru Tuhan"

Leave a comment