Home � Ramadhan berdarah di negara Yaman

Ramadhan berdarah di negara Yaman


Syiah Yaman, Muslim Yang Terdholimi
Ramadhan tahun ini di Yaman merupakan bulan berdarah. Meski bulan Ramadhan, namun babak keenam serangan militer pemerintah Yaman terhadap warga Syiah tak juga berhenti. Serangan babak keenam itu yang digelar sejak 11 Agustus lalu itu terus berlanjut hingga kini. Sejak 2004 sampai sekarang, tentara Yaman sudah enam kali mengelar operasi militer terhadap warga Syiah di negara itu dengan beragam alasan. Sebagian besar warga Syiah berada terpusat di wilayah utara Yaman. Berdasarkan data yang ada, aksi kekerasan militer itu telah merenggut 4 ribu nyawa dari kedua belah pihak. Sementara sekitar 100 ribu lainnya terpaksa mengungsi.
Negeri tua Yaman memiliki latar sejarah yang penuh dengan pasang surut. Pada awal munculnya agama Islam, Nabi Muhammad saw mengutus Imam Ali as untuk menyebarkan Islam di Yaman. Masyarakat Yaman pun memeluk agama tauhid ini dengan hati terbuka dan tanpa pertumpahan darah ataupun perang. Masyarakat muslim Syiah di Yaman juga senantiasa memainkan peran aktif hal itu ditandai dengan berkuasanya dinasti Zaidiyah selama bebera abad di negara ini. Sebagian data menunjukkan, sekitar 35 persen dari populasi penduduk Yaman merupakan warga Syiah namun ada juga yang menaksirnya hingga 45 persen. Mayoritas warga Ahlusunnah di negara ini bermazhab Syafi'i yang dikenal memiliki pandangan sangat dekat dengan keyakinan Syiah Zaidiyah, sebagai aliran yang dianut oleh mayoritas warga Syiah Yaman.





Perang antara pemerintah Yaman dan kelompok Al-Houthi yang dimulai dengan dilanggarnya kesepakatan gencatan senjata Doha. Operasi militer tentara Yaman dilancarkan untuk menumpas kelompok pejuang Syiah itu. Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan Al-Houthi, semenjak tentara Yaman berhasil membunuh Sayid Hosein Badreddin Al-Houthi, pimpinan masyarakat Syiah Zaidiyah dalam operasi militer pertama 2004 lalu. Tentu saja aksi militer pemerintah Yaman itu menyulut kemarahan warga Syiah dan justru memicu munculnya gerakan perjuangan yang juga dipimpin oleh keluarga besar Al-Houthi. Kini gerakan militan ini dipimpin Abdul Malik al-Houthi yang berpusat di wilayah Sa'da, barat laut Yaman. Kota itu terletak di kawasan perbukitan sehingga terbilang sangat strategis.

Meski Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh merupakan penganut Syiah Zaidiyah namun ia juga bertekad menggelar serangan baru untuk menumpas gerilyawan Al-Houthi. Namun demikian, para pejuang Al-Houthi pun terus menunjukkan perlawanan yang sengit.

Serangan darat dan udara tentara Yaman di provinsi Sa'da bukan hanya menarget gerilyawan Al-Houthi tapi juga warga sipil. Akibat serangan itu, ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Bahkan sebagian lembaga kemanusiaan internasional sangat mengkhawatirkan kondisi warga Syiah Yaman. Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) dalam laporannya menyatakan bahwa kondisi warga di kota Sa'da sangat kritis. UNHCR juga melaporkan bahwa jalur transportasi dan komunikasi kota tersebut dengan dunia luar juga terputus akibat perang. Bahkan, laporan UNHCR itu juga mengungkapkan, warga kota Sa'da tak lagi mampu keluar kota dan situasi di sana benar-benar dalam darurat penuh.

Jurubicara UNHCR, Andrej Mahecic mengungkapkan, jumlah pengungsi di Yaman dalam perang terakhir sekitar 35 ribu warga sementara jumlah totalnya sejak dimulainya perang sebesar 120 ribu jiwa. Demikian juga dengan Badan PBB urusan Anak-Anak (Unicef) juga menyatakan sangat prihatin dengan kondisi pengungsi di Yaman. Karena itu, pelbagai lembaga internasional dan partai oposisi mendesak pemerintah Yaman menghentikan operasi militernya dan segera menangani persoalan pengungsi. Tekait hal ini, Sekjen Organisasi Konferensi Islam (OKI) Ekmeleddin Ihsanoglu menuntut pemerintah Yaman menghentikan serangan militernya di bulan Ramadhan, menghindari penggunaan aksi kekerasan dan mengembalikan stabilitas. Enam partai politik Yaman yang tergabung dalam Fraksi Pertemuan Bersama juga mendesak digelarnya gencatan senjata dan meminta pihak yang bertikai kembali ke meja perundingan. Fraksi ini juga mengkritik pemerintah Yaman lantaran telah bertindak sebagai pihak yang memulai perang.

Di sisi lain, kelompok Al-Houthi telah menyatakan kesiapannya untuk menggelar gencatan senjata serta menghendaki dibukanya kembali jalur transportasi dan ditariknya tentara Yaman dari posisinya. Sebelumnya, kelompok pejuang Syiah Zaidiyah ini juga meminta diadakannya gencatan senjata selama bulan Ramadhan. Namun pemerintah Sana'a tak juga menggubrisnya dan bertekad untuk terus menumpas militan Al-Houthi.

Belakangan, Televisi Al-Jazeera dalam liputannya mengungkap aksi tentara Yaman yang menggunakan bom fosfor. Tidak hanya itu saja, presiden Yaman juga merangkul para mantan perwira rezim Baath Irak untuk membantu tentara Yaman. Pemerintah Sana'a juga meminta Qatar yang sebelumnya menjadi penengah, tidak lagi campur tangan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang menjadi penyebab utama munculnya perang antara pemerintah Yaman dengan warga Syiah di negara itu selama lima tahun terakhir ini? Jawaban pertanyaan itu mesti dicari melalui tiga skala yang berbeda, internal, regional dan internasional.

Pada skala internal, faktor utamanya adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial di kalangan warga Syiah. Kendati Yaman merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah serta memiliki posisi strategis di dekat laut Merah dan selat Mandab namun negara ini masih saja didera kemiskinan. Buruknya kinerja pemerintah dan maraknya korupsi menyebabkan kemiskinan di negara itu kian berkembang luas. Tentu saja kondisi ini membuat warga Syiah makin terpinggirkan dan miskin.

Selain itu, warga Syiah di Yaman juga kerap menjadi korban ketidakadilan dan diskriminasi. Mereka senantiasa mendapat hambatan yang sulit untuk memasuki struktur politik, birokrasi, dan militer. Hak-hak sipil mereka yang paling mendasar pun juga diabaikan oleh pemerintah Yaman. Fasilitas sosial yang bisa mereka nikmati pun sangat minim. Ketimpangan inilah yang menyulut munculnya konflik antara warga Syiah dengan pemerintah.

Di sisi lain, kemenangan Revolusi Islam Iran, gerakan Hizbullah Lebanon, dan Hamas di Palestina juga turut membakar semangat para aktifis Syiah di Yaman untuk bangkit memberontak pemerintah Yaman dan memperjuangkan hak-hak warga Syiah yang selama ini selalu diabaikan. Selain itu, maraknya propaganda musuh yang menyebarkan isu ancaman bulan sabit dan hegemoni Syiah di Timur Tengah turut mendorong pemerintah Yaman untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap warga Syiah. Tentu saja, masuknya infiltrasi pemikiran Wahabi dan salafi radikal di tubuh pemerintah Yaman juga menjadi faktor penting. Sebab, kalangan Wahabi merupakan penentang utama aliran Syiah dan bahkan sebagian ulama mereka mengkafirkan Syiah dan menghalalkan pembunuhan terhadap warga Syiah.

Sementara itu, di skala regional Arab Saudi selaku negara yang memiliki garis perbatasan sekitar 800 km dengan Yaman juga berperan penting dalam perang saudara di Yaman. Riyadh khawatir, membaiknya kondisi sosial masyarakat Syiah di Yaman akan berpengaruh terhadap warga Syiah Arab Saudi yang berada di dekat perbatasan Yaman. Sebab jika itu terjadi, maka masyarakat Syiah Arab Saudi pun akan tergerak untuk menuntut hak-hak mereka terhadap Riyadh. Selama warga Syiah di Arab Saudi pun kondisinya tak jauh berbeda dengan saudara mereka di Yaman. Oleh karena itulah, pemerintah Riyadh mendukung Sana'a untuk menumpas gerakan pejuang Syiah di Yaman. Sejumlah laporan bahkan mengungkapkan, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi turut membombardir posisi gerilyawan Al-Houthi.

Pada tingkat internasional, Yaman terbilang sebagai sekutu AS. Di mata Washington, masyarakat Syiah bisa menjadi kekuatan yang berpotensi mengancam kekuasaan pemerintah Yaman. Karena itu, Gedung Putih juga turut mendukung aksi represif tentara Yaman terhadap warga Syiah. Di sisi lain, media-media internasional juga tak banyak mengungkap masalah ini, bahkan terkesan mendukung aksi kekerasan pemerintah Sana'a.[islammuhammadi/mt/irib]

0 comments to "Ramadhan berdarah di negara Yaman"

Leave a comment