Nikah Siri Pelanggaran Administratif Bukan Pidana
JAKARTA - Praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
Untuk itu, rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam draf RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSAS) Asrorun Niam Sholeh dalam rilis yang diterima okezone, Selasa (16/2/2010). "Masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya," ujar Niam.
Niam setuju terhadap keharusan pencatatan pernikahan, untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak atau motif negatif dalam pernikahan. "Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib," tegasnya.
Walau demikian, dia mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana," demikian tegas doktor bidang hukum Islam ini menjelaskan.
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta
upaya kriminalisasi administrasi negara. Dan ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, tegas Niam, harus dilihat secara komperehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan," ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri telantar, Niam berusaha mengurai secara proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya," ujarnya.
Dia menjelaskan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya," ujarnya mengingatkan.
Sekadar diketahui, Kementerian Agama telah mengajukan RUU Perkawinan yang mengatur masalah nikah siri, kawin kontrak, dan poligami. Dalam draf RUU tersebut menyebutkan pelaku nikah siri akan dikenakan pidana kurungan maksimal tiga bulan dan denda maksimal Rp5 juta. (sumber:Dadan Muhammad Ramdan - Okezone)
JAKARTA, SELASA - Baru mencuat beberapa hari, Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama tentang Perkawinan yang memuat sanksi pidana kepada pelaku nikah siri sudah menuai pro-kontra.
Menanggapi rencana ancaman pidana terhadap pelaku nikah siri tersebut, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga JE Sahetapy berpendapat rencana pemerintah tersebut secara tidak langsung telah membuat agama tidak bisa memainkan peranannya soal aturan nikah sirih.
Sahetapty tidak setuju rencana mempidanakan pelaku nikah sirih, karena melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). "Kalau pemerintahnya yang larang, berarti agamanya itu sudah impoten. Seharusnya, agamanya yang harus larang, bukan pemerintah yang larang," kata Sehetapy usai menghadiri peluncuran buku Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi di Hotel Century, Jakarta, Selasa (16/2/2010).
"Saya tidak setuju, nanti lama-lama orang bohong dipidanakan. Itu kan hak seseorang, kalau sudah suka sama suka tidak bisa dong," katanya.
Ia menyarankan pemerintah agar tidak bermain peraturan yang bersentuhan dengan masalah agama. "Pemerintah jangan sampai lancang turut campur soal itu," pungkas Sahetapy.
Pendapat berbeda disampaikan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Laica Marzuki. Menurutnya, nikah sirih memang layak dipidanakan karena jika dibiarkan maka korban dari anak-anak perrempuan akan terus bertambah. "Karena itu orang yang melakukan nikah siri harus dipidanakan. Karena yang menjadi korban adalah anak perempuan kita, mereka tersesat dalam suatu ikatan suci pernikahan," kata Laica..
Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama Ahmad Jauhari menyarankan jika pihak suami tidak mampu memberikan rasa keadilan kepada istrinya, maka tidak perlu nikah sirih. "Kalau enggak bisa berbuat keadilan satu saja istrinya, enggak usah banyak-banyak, " katanya.
Seperti diberitakan, Kementerian Agama telah mengajukan RUU Perkawinan yang mengatur masalah nikah siri, kawin kontrak, dan poligami. RUU itu menyebutkan pelaku nikah siri akan dikenakan pidana kurungan maksimal tiga bulan dan denda maksimal Rp5 juta.
(Persda Network/coz)/b.post
0 comments to "Nikah Siri"