Benarkah Mazhab sebagai Faktor Perpecahan?
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan perpecahan dalam tubuh umat muslim. Salah satu di antaranya adalah (fanatisme) mazhab. Tapi benarkah demikian?
Penyebab Perpecahan Kedua: Mazhab
Oleh: Ustaz Muhammad Waiz Zadeh Khurasani
Dalam diskusi kita tentang mazhab sebagai salah satu faktor perpecahan, pertama kita harus menjelaskan makna mazhab sesungguhnya dan pada tingkat mana ia dapat menjadi penyebab perpecahan.
Mazhab berbeda dengan agama (dîn). Ketika kita mengatakan agama Islam, maka maksud kita adalah mereka yang percaya dan menjalankan apa yang ada di dalam Alquran dan sunah yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Tapi mazhab adalah sebuah jalan yang muncul di antara umat muslim sebagai cara untuk membawa kejernihan agama.
Di atas semua itu, kita bisa bicarakan 3 (tiga) kategori mazhab yang menerangkan tiga dimensi Islam:
- Dimensi keimanan (kepercayaan) dan bentuk mazhab teologi seperti Asyari, Muktazilah, Syiah, dan lain-lain sebagai fondasi keimanan. Pengikut sebuah mazhab mempertahankan kepercayaannya bahwa jalan menuju agama sejati adalah jalan yang mereka lalui, dan semua sepakat bahwa jalan mazhab berbeda dengan jalan agama.
- Dimensi praktis dan fikih (hukum agama).
- Dimensi akhlak dan irfan (sufistik).
Biasanya, ketika perselisihan pendapat di antara mazhab dibicarakan, dimensi kedua (perbedaan fikih) muncul ke permukaan. Sekte-sekte ini berhubungan dengan empat mazhab Suni utama dan masyhur dan dua atau tiga mazhab Syiah, termasuk mazhab yang kurang popular di antara kedua kelompok.
Inilah bukti bahwa dalam beberapa hal mazhab-mazhab di atas saling berhadapan dengan lawan teologi mereka, dan dalam beberapa hal mereka berbeda. Sebagai contoh, mazhab Syiah memiliki independensi dalam dimensi keimanan dan fikih, dan masing-masing adalah akibat wajar yang dibutuhkan bagi yang lain. Namun hal ini tidak berlaku bagi mazhab Suni, di mana mungkin saja seseorang bermazhab fikih Syafii namun bermazhab teologi Muktazilah atau Asyariah.
Beberapa Sudut Pandang Asal Usul Mazhab
Perbedaan sudut pandang tentang asal-usul mazhab ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:
Kelompok pertama adalah kelompok Salafi, atau mereka yang menjaga kesetiaan pada salaf saleh dan percaya bahwa asal-usul mazhab dalam Islam adalah inovasi (bid'ah). Pemimpin kelompok ini adalah [para pengikut] Wahabi. Salah seorang pemimpin mereka bernama Syekh Nasiruddin Albani yang menulis sebuah buku tentang berbagai bid'ah yang muncul bahkan di dalam mazhab Ahlussunah. Dalam hal ini ia mengeluarkan berbagai pendapat yang tidak sesuai dengan seleranya sebagai bid'ah.
Mereka percaya bahwa Islam saat ini haruslah sama dengan Islam pada masa Nabi saw., sahabat dan salaf saleh, di mana belum ada mazhab, tarekat, atau perbedaan yang muncul. Segala hal yang muncul setelah masa itu adalah bid'ah.
Kelompok kedua memegang keyakinan bahwa perkembangan mazhab-mazhab yang ada sebagai sebuah peristiwa positif. Namun kelompok ini juga membuat kekeliruan karena mereka secara khusus menempatkan mazhab dalam posisi agama; memaksakan bahwa siapapun yang menentang akar dan ranting-ranting mazhabnya berarti menentang agama.
Pandangan kelompok kedua ini berlawanan langsung dengan kelompok pertama. Sudut pandang kelompok pertama menyatakan bahwa seharusnya tidak ada mazhab karena berarti bid'ah, sedangkan kelompok kedua menyatakan bahwa “mazhab saya” dijadikan ukuran agama dan siapapun yang tidak setuju dengan “mazhab saya” berarti tidak setuju dengan Islam.
Dari dua pendapat di atas, yang mana seharusnya yang kita setujui? Mana yang mewakili kebenaran?
Kita tidak bisa mengambil pandangan (pertama) bahwa mazhab bertentangan dengan sifat dasar Islam. Alquran menyatakan, “Maka apakah mereka tidak mentadaburi Alquran…?” (QS. 47: 24) dan “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…” (QS. 9: 122)
Tujuan utama Alquran adalah untuk mengajak pembacanya berpikir, mengerti (fahm), dan memahami secara mendalam (fiqh). Bukankah dalam pengertian umum, tafaqquh (menjadi paham) dalam dimensi keyakinan, praktik, dan akhlak sangat membutuhkan pemikiran, deduksi (istinbat [kesimpulan hukum]), dan ijtihad (usaha intelektual untuk memperoleh kesimpulan hukum)?
Tentu saja dapat dikatakan bahwa Islam sendiri yang memiliki fondasi ijtihad dan pembentukan opini (pendapat) seseorang. Karena itu Islam harus membolehkan bagi perbedaan opini dalam tingkat yang masuk akal. Karena tidak mungkin bagi Quran untuk berada di satu tangan dan memerintahkan kita untuk tafaqquh dalam agama, tapi disisi lain dalam banyak persoalan yang timbul dikatakan, “Hanya ini dan tidak ada yang lain!”
Kebetulan ulama dari semua mazhab percaya bahwa dalam isu-isu fundamental (dharurî) tidak ada ruang untuk ijtihad dan taklid. Tetapi, hal-hal fundamental itu dapat menjadi dan digunakan sebagai basis untuk ijtihad dalam isu-isu nonfundamental.
Di sini penting untuk diingatkan bahwa isu-isu dalam Islam memiliki 3 (tiga) bidang beserta 3 (tiga) kategorinya. Satu kategori terdiri dari isu-isu fundamental, isu yang sama termasuk bidang fikih, akhlak, dan keyakinan yang pada masa Nabi dan salaf saleh ada secara umum, tapi saat itu belum ada pengawasan cermat dan studi. Sebagai contoh, tidak pernah timbul pertanyaan, apakah firman Tuhan itu tidak diciptakan dan kekal (qadim) atau diciptakan dan baru (hadits)? Apakah sifat-sifat Ilahi terpisah atau serupa dengan zat-zat Ilahi? Pertanyaan seperti itu bahkan tidak pernah diajukan. Semua itu telah dibicarakan bahwa Tuhan yang Esa telah dijelaskan dengan segala sifatnya yang telah disebutkan di dalam Alquran.
Akan tetapi, karena perkembangan ilmu-ilmu Islam dan pertanyaan seperti itu muncul di dunia Islam, apa yang seharusnya dilakukan? Apakah benar dengan mengatakan bahwa seharusnya tidak ada diskusi semacam itu sama sekali?
Hasil pembatasan diskusi semacam itu adalah semua warisan keislaman dalam segala bidangnya akan tertinggal. Hal itu berarti bahwa perluasan fikih mazhab-mazhab harus dihapus, karena di masa-masa awal sejarah Islam tidak ada fikih; hanya ada Quran dan sunah. Dalam bidang teologi juga demikian, seluruh penelitian dari berbagai mazhab harus dimusnahkan, karena terlalu sering bermunculan. Hal yang sama juga harus dilakukan dalam bidang akhlak.
Jika ulama terdahulu dunia Islam juga mempertimbangkan bahwa segala pemikiran dan metodologi yang baru sebagai bidah, apa yang diharapkan dari seseorang seperti Al-Ghazali yang datang sekitar akhir abad kelima dan menghasilkan buku-buku dalam seluruh keilmuan Islam seperti fikih, usul, teologi, dan akhlak? Atau akankah mungkin bagi seseorang seperti Syekh Thusi untuk muncul di abad yang sama?… Atau akankah Ibnu Taimiah dan muridnya Ibnu Qayyim, pendiri pemikiran Salafi, bangkit di abad kedelapan? Bukankah mereka menggunakan ilmu pengetahuan abad sebelumnya dalam menyusun dan menuliskan pandangannya?
Kecacatan dalam pandangan tersebut sangatlah jelas. Islam sendiri telah mendorong ijtihad, pemikiran, dan perenungan [dalam kandungan ayat]: a falâ ta’qilûn (tidakkah kalian menggunakan akal?) dan a falâ tatafakkarûn (tidakkah kalian memikirkannya?) dan pasti orang-orang dibolehkan untuk memikirkan berbagai macam masalah. Tentu saja ada syarat-syarat tentang bagaimana proses menghasilkan pendapat [fatwa] yang dijelaskan di tempat lain. Kita harus sadar bahwa Tuhan selalu hadir dan menyaksikan ketika kita mengeluarkan pendapat.
Ijtihad haruslah eksis, dan keberadaannya mengharuskan perbedaan jalan dan kecenderungan [berbeda]; semuanya adalah rahmat (dari Allah). Tentu saja seharusnya perbedaan mazhab tidak digunakan untuk tujuan-tujuan politik, seperti yang sayangnya telah terjadi. Perbedaan diperlukan untuk mencapai kebenaran, dan sebelum kita sampai pada kebenaran ini, perbedaan akan eksis dan baik. Hanya perbedaan seperti itulah yang ada bahkan setelah kebenaran menjadi jelas:
“…setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata…” (QS. 2: 213)
Perbedaan di dalam dan [yang berasal] dari diri mereka bukanlah penyebab perselisihan. Tidak akan berakhir perbedaan pendapat dalam dunia ilmiah, dalam sebuah displin seperti fisika, kimia, dan medis. Lalu kenapa perbedaan pendapat dalam fikih, kalam, dan ilmu keislaman lainnya bermasalah? Perbedaan semacam ini seharusnya tidak menjadi penyebab perselisihan, kebencian, dan pertumpahan darah! Hal seperti itu hanya akan muncul ketika kekuatan politik berlawanan dengan satu pendapat dan menjadikannya sebagai bagian untuk meningkatkan strategi politik mereka sendiri.
Penerjemah: ejajufri © 2010
Sumber: Al-Taqrib (A Journal of Islamic Unity)
0 comments to "Mazhab sebagai Faktor Perpecahan?"