Cerita Maulid Dari Sungai Mesa (1) Lampu Padam, Habib Salah Sebut Marga
SUNGAI MESA pukul 20.40 Wita. Jemaah Mushala Al Hinduan baru terisi setengahnya. Di barisan depan, duduk menghadap hadirin Habib Agil bin Salim Bahsin Pal 1. Di pojok terlihat Habib Abdullah bin Ahmad AlHamid Pal 1 bersisian dengan Habib Alwi bin Abdurrahman AlHabsyi Gresik. Jika penuh mushalla yang terletak di tepi sungai Martapura ini cukup menampung 100 lebih jemaah.
Pemadaman listrik PLN di kawasan Sungai Mesa membuat panitia cukup repot. Acara yang rencananya digelar setelah shalat Isya ini menjadi mundur. Said Abdillah AlKaff yang menjadi seksi kelancaran acara dibuat sibuk untuk menyediakan mesin pembangkit genset.
“Kalau dua (genset) saja sebenarnya kurang kuat, sejak tadi kita jalan mencari bantuan pinjaman genset ke sana kemari,” ujarnya.
Lampu di Mushalla Al Hinduan memang menyala terang benderang berkat topangan genset. Sekian puluh menit sebelumnya, Said Dimyati Assegaf Ashofi sambil menenteng tas berisi peralatan kamera video terlihat berbincang santai dengan jemaah lainnya di sebuah kios kecil di samping mushalla. Sejumlah warga dan panitia yang lain sedang menggelar karpet untuk alas duduk.
Said Mustahar Ba’bud yang menemani Mata Banua terlihat cukup sibuk menjadi panitia penyambutan tamu. Mengisi waktu selama acara belum dimulai, Mustahar sempat mengajak naik ke loteng (lantai dua mushalla) untuk meninjau bagian dalam mushalla yang menurut keterangan sudah berdiri sebelum tahun 40-an ini. Tampak sekitar sepuluh orang jemaah wanita berusia 40-60 tahun duduk-duduk beralas sajadah. Satu lembar atap plafon triplek tampak terbuka. Tak ada penerangan di loteng mushalla.
Bangunan Mushalla AlHinduan bersebelahan dengan bangunan tua lainnya milik keluarga Haji Noor, orang kaya di Sungai Jingah. Menurut Mustahar, bangunan tua dua tingkat yang pernah menjadi gudang tikar itu pernah menjadi gedung sekretariat organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Berdasarkan catatan sejarah, NU memang pernah menggelar Muktamar Nasional ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1936. Perhelatan akbar ini dipusatkan di Sungai Mesa.
Sungai Mesa adalah kampung tua di Banjarmasin. Di kawasan ini dulu, selama dua tahunan dari 1857-1859 tinggal Sultan Tamjidillah, saudara seayah Pangeran Hidayatullah. Sungai Mesa adalah kampung kraton. Tamjidillah, dengan dukungan pemerintah Belanda, mengendalikan kerajaan Banjar dari Sungai Mesa.
“Di halaman pintu masuk mushala ini, dulu waktu renovasi pernah ditemukan meriam, sempat ditinjau orang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tapi kemudian tanahnya ditutup lagi karena kalau digali dapat membahayakan fondasi bangunan mushalla,” tutur Mustahar.
Grup Maulid Habsyi dari Kelurahan Alalak Kabupaten Barito Kuala melantunkan syair-syiar pujian kepada Nabi. Pukulan tarbang dari sejumlah remaja usia SMP itu membuat malam sedikit hangat. Beruntung malam itu Banjarmasin tak diguyur hujan seperti biasanya. Jika tidak bisa dibayangkan jemaah yang duduk lesehan di bawah tenda yang didirikan di badan jalan bakal kurang nyaman karena terpaan air hujan.
Selang beberapa menit, tepatnya jam 20.57 tibalah berturut-turut Habib Muhammad bin Ahmad AlHabsyi (Abuya), Habib Hud bin Abdullah AlKaff dan Habib Ali bin Muhammad Assegaf.
Ketika asyrakal, serentak semua hadirin berdiri. Salah satu panitia berkeliling mendatangi jemaah mushalla satu-persatu untuk mencipratkan wewangian dari sebotol parfum.
Usai pembacaan syair Maulid Habsyi, Ketua Panitia Maulid Said Musa AlHabsyi pun segera menyampaikan kata sambutan tanda acara segera dimulai tepat jam 21.33. Rombongan penceramah Habib Yahya bin Muhammad Ba’bud dari Jakarta tiba di tempat acara jam 21.35. Habib Yahya dikawal oleh dua bersaudara Said Sulaiman Alaydrus dan Said Muhammad Alaydrus.
Tepat jam 21.37 Said Ahmad AlHabsyi tampil sebagai qari membacakan ayat-ayat suci Alquran. Jemaah diam menyimak kumandang suara keturunan Kapten Arab Habib Hasan bin Idrus AlHabsyi ini.
Selanjutnya, Said Muhammad AlHabsyi, saudara Said Ahmad, menyampaikan kata sambutan selaku pengagas acara dari Ikatan Keluarga Pemuda Alawiyyin (IKAPA) Kalimantan Selatan. IKAPA adalah organisasi sosial, agama dan kekeluargaan yang anggotanya masih terhitung memiliki ikatan kekerabatan.
Anggota IKAPA adalah keturunan Imam Ahmad bin Isa AlMuhajir (853-954 Masehi), keturunan Nabi dari cucu beliau Syaidina Husin bin Ali bin Abi Thalib yang hijrah dari Madinah, ke Irak selanjutya bermukim dan akhirnya beranak-pinak di Hadramaut (Yaman). Tiap anggota memiliki marga (clan keluarga) namun ujung-ujungnya silsilah mereka bertemu di Imam Ahmad AlMuhajir. Keluarga mereka disebut juga Bani Alawi, Ba’alwi atau Alawiyyin, sebuah nama yang dinisbatkan kepada Alwi bin Ubaidillah, cucu Ahmad AlMuhajir. Masyarakat Banjar menyebut mereka dengan panggilan habib, ayip, sayyid atau said.
Ketika pelaksanaan Maulid Nabi tahun 2008 di Mushala AlHinduan, yang waktu itu mendatangkan pencemah Habib Muhammad bin Shaleh Alatas dari Hadramaut, Habib Aboe Bakar AlHabsyi (anggota DPR RI yang kini juga calon Wakil Gubernur Kalsel 2010-2015) sempat salah menyebut marga salah satu habib sepuh yang hadir. Habib Agil bin Salim “Bahsin” (yang merupakan marga yang tumbuh dari cabang keluarga Assegaf), oleh Habib Aboe Bakar dipanggil dengan nama Habib Agil “Bahasyim”. Bahasyim adalah marga yang disandang Habib Hamid Wali (yang dikenal pula di masyarakat sebagai Habib Basirih, karena Habib Hamid bin Abas Bahasyim ini tinggal dan berkubah di Kampung Basirih).
Kejadian salah sebut marga ini terulang lagi ketika Said Musa AlHabsyi secara spontan menyebut nama Said Muhammad “Alaydrus”. Nama Said Muhammad, yang datang dan memberi kata sambutan mewakili pasangan calon gubernur-wakil gubernur Zairullah Azhar-Habib Aboe Bakar AlHabsyi, oleh Said Musa dipanggil menjadi Said Muhammad “AlHabsyi”. Berbeda dengan Habib Aboe Bakar, yang sempat meralat, Musa tak sempat mengoreksi kesalahan itu. Hanya segelintir jemaah yang menyadari adanya kekeliruan itu, sempat meluruskan soal tertukarnya marga Alaydrus menjadi AlHabsyi ini. (bersambung)
Cerita Maulid Dari Sungai Mesa (2/Habis) Pesan Persatuan dari Kampung Tua
NGOBROL SANTAI - Usai menyampaikan ceramah, Habib Yahya bin Muhammad Ba’bud (kanan) ngobrol santai dengan Habib Abdullah bin Ahmad AlHamid, Habib Alwi bin Abdurrahman AlHabsyi dan Habib Ali bin Muhammad Assegaf.
KAMPUNG Sungai Mesa yang biasanya hiruk-pikuk oleh lalu-lalang kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, pada malam itu relatif tenang. Kendaraan yang melintas di jalan itu tak bisa menuju ke jurusan jembatan 9 November (jembatan Pasar Lama) maupun ke Jalan Pahlawan.
Arus lalu-lintas dari Jalan Kapten P. Tendean dibelokkan ke Simpang Sungai Mesa. Sebuah mobil BPK (Barisan Pemadam Kebakaran) dan pagar kayu dipasang sebagai batas, untuk menandai adanya kegiatan perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh warga di Mushalla AlHinduan. Pagar serupa dipasang dari arah turun jembatan sehingga pelintas tak bisa berbelok ke kanan. Sudah menjadi kebiasaan, setiap warga menggelar hajatan kampung, jalan di kawasan itu ditutup.
Sejarawan Idwar Saleh menyebutkan di perempatan terakhir abad ke-18 ketika pemerintahan Sultan Tamjidillah yang berkedudukan di Martapura, maka di Banjarmasin yang di bawah kekuasaan kerajaan Banjar diperintah seorang Menteri Besar yang bernama Tumenggung Suta Dipa.
Pusat kediaman tumenggung ini adalah kampung kraton yang sekarang ini letaknya antara jembatan 10 November sepanjang Sungai Mesa Laut, Jalan Sungai Mesa Darat sampai ke tepi Sungai Martapura.
Pada suatu waktu, kampung ini ribut karena diamuk kerbau jalang dan tak satupun yang berani menangkapnya. Tumenggung Suta Dipa memanggil anaknya yang bernama Anang untuk membinasakan binatang itu.
“Pembinasaan kerbau ini menjadi soal besar dan menarik perhatian Panembahan. Atas jasa ini si Anang diberi gelar Kiai Mesa (Maesa) Jaladri dan setelah Tumenggung Suta Dipa meninggal, Kiai Mesa Jaladri diangkat raja menjadi Menteri Besar kerajaan Banjar di Banjarmasin.” (Idwar Saleh, dalam bukunya Banjarmasih, Sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya Kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950).
Masih menurut Idwar, oleh Kiai kemudian diperintahkan menggali sebuah saka di sekitar kampung kraton ini yang kemudian bermuara ke Sungai Martapura. Oleh rakyat, saka itu dinamakan Sungai Kiai Mesa, yang dewasa ini kita kenal dengan nama Sungai Mesa.
Di kampung kraton inilah dulu raja Banjar terakhir bersemayam, yaitu Sultan Tamjid Alwasikbillah. Setalah kerajaan dihapuskan (1860) dan Sultan Tamjid dibuang ke Bogor oleh pemerintah Belanda, kampung kraton berhenti menjadi kraton. Rumah bekas kraton pun sudah habis dibongkar dan kampung kraton diganti nama kampung Sungai Mesa.
Karena terletak di tepi sungai, kampung ini juga mengundang daya tarik bagi sejumlah pendatang untuk bermukim di kawasan ini. Salah satunya adalah Habib Hamid bin Alwi AlKaff. Habib Hamid adalah pedagang besar asal kampung 10 Ilir Palembang yang berniaga dengan menggunakan perahu pinis. Ia bolak balik membawa barang dagangan dari Palembang-Jawa-Banjar. Ia mendirikan rumah di Sungai Mesa. Empat anaknya: Husin, Alwi, Esah dan Khadijah lahir di Sungai Mesa. Habib Hamid meninggal dunia di Palembang.
Husin, salah satu putra Habib Hamid, meneruskan kegiatan dagang orangtuanya. Husin sempat tinggal di Pekalongan dan pandai membuat batik. Husin mempunyai kerabat dekat keluarga AlKaff yang tinggal di Kampung Penatu. Putri Husin, Syarifah Fetum menikah dengan Alwi bin Muhammad, keturunan keluarga AlKaff lainnya yang kelahiran Barabai. Kakek Alwi, Habib Salim bin Ahmad adalah pendatang asal Palembang yang bermukim dan wafat di Barabai.
Selain keluarga AlKaff, Kampung Sungai Mesa juga menjadi tempat kediaman keluarga Assegaf, Ba’bud, AlHabsyi dan Alaydrus. Para buyut keturunan keluarga inilah yang meramaikan setiap kegiatan takmir keagamaan di Mushalla AlHinduan Sungai Mesa.
Mustahar Ba’bud, salah satu aktivis Mushalla AlHinduan, yang sibuk sebagai seksi penyambut tamu acara Maulid Nabi malam itu, memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan Habib Yahya bin Muhammad Ba’bud, ketika penceramah asal Jakarta ini baru tiba dan memasuki mushalla. Yahya sempat menatap sebentar, tersenyum, dan bergegas menuju ke barisan depan. Jemaah mushalla yang lain juga menyalami dengan hangat dan hormat.
Saat menyampaikan uraian ceramahnya, Yahya mengajak jemaah terutama bagi mereka yang masih memiliki orangtua agar berbuat baik kepada keduanya dan tidak meninggalkan amalan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
“Anak yang masih mempunyai orangtua, berbaktilah. Shalat akan hancur karena durhaka kepada orangtua. Bumi ini tempat berbuat baik, hasilnya di akhirat. Perbanyaklah shalawat karena shalawat itu tidak melalui (dicatat oleh) Rakib dan Atib tapi langsung ke Rasulullah,” katanya.
Yahya juga mengungkapkan bahwa cinta kepada keluarga Nabi (ahlul bait) itu merupakan kewajiban. Sejak dulu, kata dia, pembicaraan mengenai keluarga Nabi yakni Ali, Fatimah, Hasan dan Husin, selalu membuat pihak tertentu tidak suka.
“Bahkan jika suatu majelis membicarakan nama Ali, Fatimah, Hasan dan Husin, ada yang berkata ‘loncati saja bab ini… ini kecintaan yang berlebihan’,” ungkapnya.
Keluarga Nabi, kata Yahya, hijrah karena mengalami gangguan.
Ada yang dibunuh, hidup berpindah-pindah dan diusir dari tanah kelahirannya. “Dari Basrah mereka pindah ke Yaman. Karena itu mereka tersebar, ada yang di India, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat, Kanada, Sudan.”
Mengutip Imam Ja’far Shodiq, ia menyatakan Islam adalah agama kecintaan yang memberikan rahmat bagi semesta alam. Tidak ada agama melainkan cinta. Kecintaan merupakan dasar agama.
“Segala sesuatu itu ada fundamennya. Membangun rumah ada fundamennya supaya kuat. Fundamen Islam cinta kepada ahlul bait Rasul SAW,” katanya.
Khusus untuk Alawiyyin, ia berpesan agar banyak mempelajari kitab-kitab perjuangan datuk-datuk mereka yang terdahulu. “Setiap Alawiyyin harus belajar bahasa Arab supaya mengerti.”
“Muslimin harus bersatu, Alawiyyin harus bersatu, persatuan lebih penting dari ibadah kita. Kaum muslimin bersaudara, persatuan itu dilandasi kecintaan,” ujar Yahya menutup ceramahnya.***
0 comments to "Cerita Maulid Dari Sungai Mesa Banjarmasin"