dscf5437

NGOBROL SANTAI - Usai menyampaikan ceramah, Habib Yahya bin Muhammad Ba’bud (kanan) ngobrol santai dengan Habib Abdullah bin Ahmad AlHamid, Habib Alwi bin Abdurrahman AlHabsyi dan Habib Ali bin Muhammad Assegaf.

KAMPUNG Sungai Mesa yang biasanya hiruk-pikuk oleh lalu-lalang kendaraan, baik roda dua maupun roda empat, pada malam itu relatif tenang. Kendaraan yang melintas di jalan itu tak bisa menuju ke jurusan jembatan 9 November (jembatan Pasar Lama) maupun ke Jalan Pahlawan.

Arus lalu-lintas dari Jalan Kapten P. Tendean dibelokkan ke Simpang Sungai Mesa. Sebuah mobil BPK (Barisan Pemadam Kebakaran) dan pagar kayu dipasang sebagai batas, untuk menandai adanya kegiatan perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh warga di Mushalla AlHinduan. Pagar serupa dipasang dari arah turun jembatan sehingga pelintas tak bisa berbelok ke kanan. Sudah menjadi kebiasaan, setiap warga menggelar hajatan kampung, jalan di kawasan itu ditutup.

Sejarawan Idwar Saleh menyebutkan di perempatan terakhir abad ke-18 ketika pemerintahan Sultan Tamjidillah yang berkedudukan di Martapura, maka di Banjarmasin yang di bawah kekuasaan kerajaan Banjar diperintah seorang Menteri Besar yang bernama Tumenggung Suta Dipa.

Pusat kediaman tumenggung ini adalah kampung kraton yang sekarang ini letaknya antara jembatan 10 November sepanjang Sungai Mesa Laut, Jalan Sungai Mesa Darat sampai ke tepi Sungai Martapura.

Pada suatu waktu, kampung ini ribut karena diamuk kerbau jalang dan tak satupun yang berani menangkapnya. Tumenggung Suta Dipa memanggil anaknya yang bernama Anang untuk membinasakan binatang itu.

“Pembinasaan kerbau ini menjadi soal besar dan menarik perhatian Panembahan. Atas jasa ini si Anang diberi gelar Kiai Mesa (Maesa) Jaladri dan setelah Tumenggung Suta Dipa meninggal, Kiai Mesa Jaladri diangkat raja menjadi Menteri Besar kerajaan Banjar di Banjarmasin.” (Idwar Saleh, dalam bukunya Banjarmasih, Sejarah singkat mengenai bangkit dan berkembangnya Kota Banjarmasin serta wilayah sekitarnya sampai dengan tahun 1950).

Masih menurut Idwar, oleh Kiai kemudian diperintahkan menggali sebuah saka di sekitar kampung kraton ini yang kemudian bermuara ke Sungai Martapura. Oleh rakyat, saka itu dinamakan Sungai Kiai Mesa, yang dewasa ini kita kenal dengan nama Sungai Mesa.

Di kampung kraton inilah dulu raja Banjar terakhir bersemayam, yaitu Sultan Tamjid Alwasikbillah. Setalah kerajaan dihapuskan (1860) dan Sultan Tamjid dibuang ke Bogor oleh pemerintah Belanda, kampung kraton berhenti menjadi kraton. Rumah bekas kraton pun sudah habis dibongkar dan kampung kraton diganti nama kampung Sungai Mesa.

Karena terletak di tepi sungai, kampung ini juga mengundang daya tarik bagi sejumlah pendatang untuk bermukim di kawasan ini. Salah satunya adalah Habib Hamid bin Alwi AlKaff. Habib Hamid adalah pedagang besar asal kampung 10 Ilir Palembang yang berniaga dengan menggunakan perahu pinis. Ia bolak balik membawa barang dagangan dari Palembang-Jawa-Banjar. Ia mendirikan rumah di Sungai Mesa. Empat anaknya: Husin, Alwi, Esah dan Khadijah lahir di Sungai Mesa. Habib Hamid meninggal dunia di Palembang.

Husin, salah satu putra Habib Hamid, meneruskan kegiatan dagang orangtuanya. Husin sempat tinggal di Pekalongan dan pandai membuat batik. Husin mempunyai kerabat dekat keluarga AlKaff yang tinggal di Kampung Penatu. Putri Husin, Syarifah Fetum menikah dengan Alwi bin Muhammad, keturunan keluarga AlKaff lainnya yang kelahiran Barabai. Kakek Alwi, Habib Salim bin Ahmad adalah pendatang asal Palembang yang bermukim dan wafat di Barabai.

Selain keluarga AlKaff, Kampung Sungai Mesa juga menjadi tempat kediaman keluarga Assegaf, Ba’bud, AlHabsyi dan Alaydrus. Para buyut keturunan keluarga inilah yang meramaikan setiap kegiatan takmir keagamaan di Mushalla AlHinduan Sungai Mesa.

Mustahar Ba’bud, salah satu aktivis Mushalla AlHinduan, yang sibuk sebagai seksi penyambut tamu acara Maulid Nabi malam itu, memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan Habib Yahya bin Muhammad Ba’bud, ketika penceramah asal Jakarta ini baru tiba dan memasuki mushalla. Yahya sempat menatap sebentar, tersenyum, dan bergegas menuju ke barisan depan. Jemaah mushalla yang lain juga menyalami dengan hangat dan hormat.

Saat menyampaikan uraian ceramahnya, Yahya mengajak jemaah terutama bagi mereka yang masih memiliki orangtua agar berbuat baik kepada keduanya dan tidak meninggalkan amalan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

“Anak yang masih mempunyai orangtua, berbaktilah. Shalat akan hancur karena durhaka kepada orangtua. Bumi ini tempat berbuat baik, hasilnya di akhirat. Perbanyaklah shalawat karena shalawat itu tidak melalui (dicatat oleh) Rakib dan Atib tapi langsung ke Rasulullah,” katanya.

Yahya juga mengungkapkan bahwa cinta kepada keluarga Nabi (ahlul bait) itu merupakan kewajiban. Sejak dulu, kata dia, pembicaraan mengenai keluarga Nabi yakni Ali, Fatimah, Hasan dan Husin, selalu membuat pihak tertentu tidak suka.

“Bahkan jika suatu majelis membicarakan nama Ali, Fatimah, Hasan dan Husin, ada yang berkata ‘loncati saja bab ini… ini kecintaan yang berlebihan’,” ungkapnya.

Keluarga Nabi, kata Yahya, hijrah karena mengalami gangguan.

Ada yang dibunuh, hidup berpindah-pindah dan diusir dari tanah kelahirannya. “Dari Basrah mereka pindah ke Yaman. Karena itu mereka tersebar, ada yang di India, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat, Kanada, Sudan.”

Mengutip Imam Ja’far Shodiq, ia menyatakan Islam adalah agama kecintaan yang memberikan rahmat bagi semesta alam. Tidak ada agama melainkan cinta. Kecintaan merupakan dasar agama.

“Segala sesuatu itu ada fundamennya. Membangun rumah ada fundamennya supaya kuat. Fundamen Islam cinta kepada ahlul bait Rasul SAW,” katanya.

Khusus untuk Alawiyyin, ia berpesan agar banyak mempelajari kitab-kitab perjuangan datuk-datuk mereka yang terdahulu. “Setiap Alawiyyin harus belajar bahasa Arab supaya mengerti.”

“Muslimin harus bersatu, Alawiyyin harus bersatu, persatuan lebih penting dari ibadah kita. Kaum muslimin bersaudara, persatuan itu dilandasi kecintaan,” ujar Yahya menutup ceramahnya.***