Home , , � Kejamnya Liberalisme Ekonomi

Kejamnya Liberalisme Ekonomi





Tentang Liberalisme Ekonomi (1): Sri Mulyani Itu Orang Baik Kok!

Kompas hari ini menurunkan tulisan Sindhunata yang memuji-muji Sri Mulyani. Kebetulan, saat browsing, saya ketemu grup facebook “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani”. Di sana, banyak yang memuji2 SMI dengan kata “Saya percaya pada integritas SMI”, “Saya percaya Bu Sri orang baik.”

Sebelum saya komentari, saya mau cerita dulu. Dalam sebuah diskusi di kelas, saya mengkritik liberalisme. Dosen saya, seorang profesor senior, membela liberalisme dan mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi menghindar dari liberalisme yang sudah sedemikian mengglobal. Yang harus dilakukan Indonesia adalah menyiasati ‘hidup’ dalam liberalisme yang sudah menjadi keniscayaan. Diskusi kami baik-baik saja, tidak ada yang tersinggung. Kami berbeda pendapat, tapi tidak saling memaksakan. Tapi ada satu hal yang saya catat: pada sebagian orang, bahkan setingkat profesor sekalipun, memang sangat mungkin sedemikian yakinnya pada liberalisme. Bukan berarti orang yang yakin pada kebenaran liberalisme adalah orang jahat; justru saya sangat yakin dosen saya ini hatinya baik. Sikapnya yang santun dan tidak tersinggung saat saya kritik, membuktikan hal itu.

Jadi, melihat begitu banyak orang yang sedemikian percaya bahwa SMI orang baik, saya yang tidak kenal SMI, merasa perlu juga percaya bahwa dia memang baik, tidak korup, punya semangat membenahi Depkeu, dll (seperti kata orang-orang itu). Tapi teman, problemnya BUKAN pada kepribadian SMI, tapi pada keyakinannya (atau bahkan ‘keimanannya’) bahwa liberalisme adalah ideologi yang bisa menyejahterakan manusia. Melalui ekonomi liberal, kata para liberalis, dunia akan makmur dan manusia akan mencapai kemuliaannya. Kalaupun dalam proses liberalisasi ada banyak yang menjadi korban, kata liberalis, itu adalah resiko. Setiap keberhasilan perlu menerjang resiko. Biarlah segelintir orang mati kelaparan asal mayoritas orang bisa terselamatkan dan hidup makmur, begitu prinsip mereka. Percayalah, kata liberalis, setelah semua krisis terlalui, dunia akan mencapai kemakmuran dan perdamaian abadi.

[Sebentar..sebentar.. mungkin ada yang nanya, “Kata siapa SMI liberal?” Jawabannya rada panjang. Jadi, buat yang belum percaya bahwa SMI adalah pendukung ekonomi liberal, silahkan cari sendiri. Saya tidak tuliskan di sini karena terlalu panjang, nanti gak fokus.]

Lanjut. Masalahnya, ideologi liberalisme adalah alat bagi segelintir orang haus darah dan uang untuk menghisap darah dan uang umat manusia, demi menumpuk uang sebanyak-banyaknya (mungkin inilah representasi yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua ; seandainya ia memiliki lembah emas kedua, ia ingin memiliki lembah emas yang ketiga. Baru puas nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau kembali kepada-Nya.” –hadis riwayat Bukhori Muslim)

Orang-orang baik pembela liberalisme mungkin tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka diperalat para vampire ini. Mereka (mungkin) dengan keyakinan baik, menyebarkan ideologi liberalisme ke seantero dunia. Bahkan para ahli ekonomi yang (konon) baik hati seperti SMI, yang sudah digembleng habis-habisan dalam lembaga-lembaga pendidikan liberal, mempraktekkan liberalisme untuk menangani perekonomian negara masing-masing.

Ketika liberalisme mengglobal, negara-negara dunia ketiga (Indonesia dan teman-teman senasibnya) terpuruk, kekayaannya habis untuk membayar hutang kepada para renternir berbaju sinterklas (Bank Dunia, IMF, dan geng-nya), mungkin memang bukan orang-orang baik inilah yang mendapat keuntungan (selain gaji bulanan yang lumayan). Mungkin orang-orang baik ini memang tidak korup dan bahkan berusaha memberantas korupsi.

Lalu, kemana perginya uang dalam jumlah giga-raksasa yang dihisap dari negara-negara dunia ketiga itu? Tentu saja, masuk ke rekening para vampire ini.

Sekarang, soal integritas. Apa sih integritas itu sebenarnya? Kalau menurut saya, integritas artinya punya watak baik yang integral, menyatu, tidak setengah-setengah, tidak ambigu. Karena itu, menilai seorang pejabat itu memang harus dari sisi integritasnya. Dia harus baik secara integral. Kita tidak bisa menyebut seorang pejabat itu baik karena dia sederhana, low profile, atau rajin sholat SAJA. Dia harus punya kebaikan yang bisa dirasakan oleh mayoritas rakyat. Kasus SMI, mungkin dia baik, mungkin dia punya semangat memberantas korupsi di Depkeu. Tapi dia berusaha memperbaiki perekonomian di Indonesia dengan percaya pada keampuhan HUTANG dan resep-resep ekonomi liberal. That’s the problem. Analoginya, kayak seorang dokter di kampung saya, dia baik dan dermawan, tapi dia memberi antibiotika overdosis pada anak kecil yang hanya flu biasa. Akhirnya, anak itu masuk RS.

Pertanyaan selanjutnya, di manakah letak kesalahan liberalisme?

Insya Allah saya tulis lain waktu, mohon doanya.

sumber:dinasulaeman.wordpress.com (7/5/2010/6:58am)

Tulisan terkait:Peran Bank Dunia dalam Kemunduran Perekonomian Indonesia.


Tentang Liberalisme Ekonomi (2): Membongkar Kerapuhan Asumsi Liberalisme

Seperti saya duga, mencoba mengkritik liberalisme hanya dalam 1000 kata (untuk konsumsi blog) adalah tantangan yang berat. Rasanya jauh lebih mudah menulis makalah 3000 kata (seperti yang biasa diperintahkan oleh dosen saya:D). Spektrum liberalisme sangat luas dan masing-masing pemikir liberal mengemukakan pendapatnya yang kadang-kadang saling bertentangan. Karena itu, saya akan membatasi diri untuk membahas mengenai asumsi liberalisme. Dengan penuh kerendahan hati, saya mengakui bahwa saya masih pada tahap belajar. Karena itu, segala sumbang saran terkait perdebatan asumsi ini akan saya pertimbangkan, demi memperbaiki kualitas tulisan ini (dan memperbaiki pemahaman saya sendiri). Terimakasih.

Pengetahuan dibangun atas dasar berbagai asumsi. Asumsi adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir karena dianggap/diduga benar. Misalnya, Einstein membangun teori Relativitas dengan dilandasi asumsi bahwa kecepatan cahaya selalu tetap dalam kondisi apapun. Darimana datangnya asumsi itu? Bisa jadi dari pemikiran mendalam (berfilsafat), tapi seringkali juga sekedar berasal dari pengamatan singkat pada kenyataan di sekitar si pemikir sehingga sifatnya sangat terikat pada ruang dan waktu. Misalnya, saya sering kecopetan di biskota. Karena saat saya kecopetan selalu saja yang ada di sekitar saya adalah orang-orang berbaju kucel, saya berasumsi bahwa orang-orang berbaju kucel berpotensi menjadi pencopet dan saya akan selalu hati-hati bila berada di sekitar orang berbaju kucel. Contoh lain, ketika seorang Karl Marx melihat fenomena (pada zamannya) gereja yang berkolusi dengan kapitalis dengan cara memberi dogma-dogma agama sehingga para tertindas tetap pasrah menerima nasibnya dan berharap kelak di surga mereka akan bahagia, dia berasumsi bahwa agama adalah candu yang dijadikan tempat menghibur diri bagi orang-orang tertindas.

Begitupun liberalisme. Liberalisme lahir pada Abad Pertengahan sebagai reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kerajaan dan gereja (pada zaman itu). Para pemikir zaman itu membangun berbagai asumsi, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penindasan, antara lain: manusia memiliki hak kebebasan dan manusia adalah makhluk yang rasional, sehingga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional demi kebaikannya sendiri. Karena itu, manusia tidak boleh ditindas oleh aturan agama atau aturan negara, kata mereka.

Liberalisme itu sendiri akhirnya menjadi asumsi yang melandasi berbagai ilmu pengetahuan. Misalnya, ketika asumsi liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik, lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpinnya dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar bebas : biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.

Kali ini saya hanya akan mengkritik asumsi liberalisme yang terkait dengan ekonomi, yaitu: demokrasi, perdagangan bebas, dan hak kepemilikan. Kaum liberal berasumsi bahwa perdamaian abadi dan kemakmuran manusia bisa dicapai melalui demokratisasi (dengan argumen bahwa negara demokrasi cenderung tidak akan berperang satu sama lain), perdagangan bebas (dengan argumen bahwa jika semua negara saling berhubungan dagang, akan muncul ketergantungan satu sama lain, sehingga negara-negara tidak akan saling berperang; selain itu, melalui perdagangan bebas, distribusi kemakmuran akan lebih merata karena negara-negara bisa saling menjual produknya), dan hak kepemilikan harus dilindungi (dengan argumen bahwa kegiatan ekonomi akan berjalan baik bila hak-hak kepemilikan para pelaku ekonomi dilindungi).

Sekarang, benarkah ketiga asumsi di atas? Kenyataan justru menunjukkan ketiga asumsi itu saling bertabrakan satu sama lain. Pertama, demokrasi. Indonesia pada rezim Soeharto dianggap tidak demokratis dan perlu reformasi supaya kemakmuran lebih merata. Tapi kini, setelah terjadi reformasi dan kita menganut demokrasi liberal (sampai-sampai, kita sekarang bebas-bebas saja mencaci-maki presiden dan para elit; para artis yang selama ini mengandalkan keseksian tubuh dianggap sah-sah saja mencalonkan diri jadi bupati), yang terjadi justru adalah Indonesia terjun bebas ke pasar bebas tanpa punya pengaman. Demokrasi liberal menciptakan situasi bahwa pemilik uanglah yang menang dalam pemilu. Ketika pemimpin negara sangat bergantung pada sumber uang (=pengusaha), sudah pasti kebijakan negara akan memihak kepada pemilik uang. Jadi, janji liberal bahwa demokrasi dan pasar bebas akan membawa kemakmuran tidak terbukti.

Sebaliknya, kaum liberal juga berasumsi bahwa bila sebuah negara bergabung dalam pasar bebas, maka di dalam negara itu akan terjadi proses demokratisasi, karena dalam pasar bebas, peran negara tidak sentral lagi. Akan ada banyak ‘pemain’ yang terlibat, terutama para pelaku pasar. Tapi kenyataan menunjukkan, pemerintah Burma tetap otoriter meski perusahaan-perusahaan transnasional berebutan berinvestasi di sana dan menghasilkan uang banyak. Jadi, asumsi liberal bahwa ‘perdagangan akan melahirkan demokrasi dan perdamaian’ tidak terbukti. Menyikapi fenomena seperti ini, sebagian pejuang demokrasi menyebut bahwa “pasar bebas adalah ilusi kaum liberal”. Di sini saja sudah terlihat, bahwa sesama ‘anak’ liberalisme malah saling menyalahkan.

Pasar juga harus dibiarkan bebas tanpa intervensi negara sama sekali (kata Hayek, pemikir neo-liberal) atau pasar bebas tapi negara juga berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendidikan supaya rakyat tetap bisa punya uang dan terlibat dalam pasar (kata Keynes, pemikir liberal lainnya). Tapi, kebebasan pasar ini kontradiktif juga dengan asumsi tentang ‘hak kepemilikan’. Jika benar-benar mau dibebaskan, seharusnya negara tidak berperan dalam perlindungan harta para kapitalis. Realitanya, saat perusahaan-perusahaan besar (yang punya channel di pemerintahan) dilanda kebangkrutan, negara turun tangan untuk melakukan bail out (dengan uang pajak yang diambil rakyat). Di sini, hak kepemilikan sebenarnya bermakna: “negara wajib melindungi kekayaan para kapitalis.”

Lanjut. Pendukung pasar bebas, saat dihadapkan pada kenyataan bahwa negara-negara berkembang yang ternyata malah semakin miskin setelah terjun bebas di pasar bebas, menyalahkan pemerintah yang korup dan tidak efisien sehingga perlu lebih didemokratisasi lagi. Sebaliknya, fakta menunjukkan semakin demokratis (artinya, semakin para kapitalis berkesempatan merajalela dalam tubuh pemerintahan), sebuah negara akan semakin terjun ke pasar bebas; dan pasar bebaslah yang justru malah menyeret berbagai bangsa ke jurang kemiskinan. Penyebabnya adalah karena sesungguhnya tidak ada pasar yang benar-benar bebas. Yang ada hanyalah kebebasan bagi si kuat untuk bertindak semaunya. Dalam tulisan saya yang ini, diuraikan betapa kejamnya konsep liberalisme ekonomi/pasar bebas.

Lalu hak kepemilikan. Sekilas memang benar, hak kepemilikan memang harus dilindungi. Namun, ketika asumsi hak kepemilikan ini dibangun atas asumsi liberalisme lainnya, yaitu ‘kebebasan’, maka yang terjadi adalah kebebasan bagi segelintir orang untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa bisa diganggu-gugat. Bahkan negara pun diwajibkan untuk melindungi kekayaan mereka dan menutup kerugian saat mereka bangkrut. Karena itu muncul fenomena aneh: ada orang Indonesia yang bisa masuk dalam daftar “10 Ten Orang Terkaya di Dunia” sementara ada 30 juta orang Indonesia lainnya harus hidup di bawah garis kemiskinan.

Dari uraian di atas, kita bisa melihat betapa rapuhnya asumsi-asumsi yang dipakai oleh kaum liberal. Sayangnya, tanpa menghiraukan kerancuan asumsi dasarnya, liberalisme disebarluaskan dan merasuk ke dalam berbagai sisi kehidupan manusia: politik, ekonomi, agama, seni-budaya, pendidikan, dll. Liberalisme sedemikian merasuknya di pemikiran kebanyakan orang sampai-sampai, asumsi liberalisme dianggap sebagai sebuah postulat (sesuatu yang sudah pasti benar), dan bahkan menjadi ideologi (keyakinan). Inilah mengapa (menjawab pertanyaan seorang komentator di blog saya), orang-orang pintar macam SMI dan para profesor ekonomi mati-matian berkeyakinan sedang ‘berbuat yang terbaik untuk Indonesia’, meski berbagai data dan argumen sudah disodorkan oleh sebagian pakar ekonomi lainnya mengenai betapa resep liberalisme hanya akan membawa Indonesia kepada kehancuran.[]

Pertanyaan selanjutnya: lalu, dimana jalan keluar?
Duh, mudah-mudahan ada energi ya.. :D

sumber:dinasulaeman.wordpress.com (10/5/2010/3:21am)

Kejamnya Liberalisme Ekonomi

© Dina Y. Sulaeman

Pendahuluan: Bunuh Diri Para Petani

Dalam sidang WTO di Cancun (Meksiko), 9 September 2003, seorang petani dari Korea Selatan, Lee Kyung Hae, melakukan aksi bunuh diri di depan gedung tempat berlangsungnya sidang. Saat itu dia menggunakan pakaian bertuliskan “WTO Membunuh Para Petani”. Lee adalah seorang petani padi yang memiliki lahan luas di Korsel, namun kemudian bangkrut karena negaranya dibanjiri oleh beras impor yang harganya jauh lebih murah. Lee memperjuangkan nasib petani di negaranya dengan berbagai cara, namun gagal. Sejak Korsel mematuhi aturan liberalisasi perdagangan, jumlah petani di negara itu telah berkurang setengahnya (dari sekitar 6 juta menjadi sekitar 3 juta petani). Padahal, Korsel adalah negara agraris, persis Indonesia. Perjuangan Lee berakhir dengan aksi bunuh diri di Cancun.[1]

Di India, pada tanggal 3 September 2009 lebih dari 50 ribu petani dari berbagai penjuru India berkumpul di New Delhi dengan membawa poster bertuliskan “WTO keluar dari pertanian”. Mereka memrotes Pemerintah India yang tidak melindungi petani lokal. Karena terikat perjanjian WTO, India hanya bisa melindungi 5 persen dari produk pertaniannya dari pemotongan tarif. Akibatnya, produk lokal India kalah bersaing dari produk pangan bersubsidi dari AS dan Uni Eropa.

Selain itu, WTO juga membuka peluang bagi perusahaan transnasional untuk membuka lahan pertanian di India. Industrialisasi pertanian, penggunaan bahan kimia, dan penghancuran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan agribisnis yang dimiliki AS sangat merugikan petani India. Jutaan petani India kehilangan mata pencaharian dan menjadi semakin miskin.[2] Sejak tahun 1995 hingga kini, tercatat lebih dari 36 ribu petani di India melakukan bunuh diri karena tak sanggup lagi menahan kemiskinan.

Sementara itu, di Indonesia, dampak WTO sudah sangat terasa. Indonesia sejak tahun 1994 telah menjadi anggota WTO dan diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1994. Namun, meskipun WTO mengklaim bahwa tujuan organisasi ini adalah “to improve the welfare of the peoples of the member countries” [3] kenyataannya, 15 tahun setelah begabung dengan WTO, Indonesia semakin lama justru semakin bergantung pada produk pangan impor. Negeri yang subur serta memiliki curah hujan tinggi dan banyak sumber daya manusia ini, setiap tahunnya harus menganggarkan dana sebesar 50 trilyun rupiah untuk mengimpor kedelai, gandum, daging sapi, susu, gula, bahkan garam. Nilai impor garam Indonesia per tahunnya mencapai 900 milyar rupiah.[4] Metro News (30/6/09) memberitakan bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri di Bali adalah petani.[5]

Saat ini, sekelompok kecil orang ternyata lebih kaya dari seluruh orang di benua Afrika. Hanya dengan memiliki 200 perusahaan, ¼ perekonomian dunia sudah dapat dikuasai para pemodal. General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dari Denmark, Ford lebih kaya daripada Afrika Selatan. Perusahaan-perusahaan kaya itu dipuji karena menanamkan investasi di negara-negara berkembang. Padahal yang terjadi, semua produk bermerek dibuat di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, nyaris seperti budak. Seperti dikatakan John Pilger, “Yang miskin semakin miskin sementara yang kaya semakin kaya luar biasa.”[6]

Globalisasi dan Liberalisasi

Apakah yang menjadi sumber segala kesengsaraan masyarakat Dunia Ketiga? Jawabnya, menurut penulis, adalah globalisasi yang berorientasi liberalisme. Banyak pendukung globalisasi yang ‘memuji’ globalisasi dengan alasan idealis, misalnya, “Dengan globalisasi tak ada lagi sekat-sekat antarnegara dan antarras. Suatu bangsa tidak mungkin lagi mengatasi berbagai persoalan hidupnya sendirian, perlu dilakukan kerjasama antarabangsa dunia. Dengan globalisasi, negara-negara kaya akan mendapat peluang untuk menolong negara-negara miskin, dengan cara mengalirkan modal dan investasi.”

Namun, para pendukung globalisasi itu melupakan ideologi dasar dari proses globalisasi yang saat ini berlangsung, yaitu liberalisme. Filosofi dasar dari liberalisme adalah kebebasan. Dalam pandangan liberalisme, society dibentuk oleh sebuah proses yang harus berlangsung secara bebas, tanpa boleh ada intervensi dari siapapun. Proses itu harus melibatkan semua anggota masyarakat. Konkritnya, pembentukan sebuah pemerintahan harus melalui proses yang tanpa intervensi ini, yaitu demokrasi, melalui pemilihan umum secara bebas. Pembentukan undang-undang juga harus dilakukan melalui proses bebas ini. Tak boleh ada intervensi, misalnya aturan agama.

Ketika ideologi liberalisme ini kemudian diterapkan dalam ekonomi, maka hasilnya adalah ekonomi pasar: biarkan semua pelaku pasar berproses tanpa intervensi darimanapun, maka pasar akan menemukan sendiri mekanismenya dan kemakmuran akan diraih oleh semua pihak yang ikut berinteraksi dalam pasar. Asumsi ekonomi liberal adalah pasar bebas dan pergerakan bebas modal akan menjamin investasi akan mengalir ke tempat yang paling menguntungkan. Perdagangan bebas akan memberi kesempatan kepada negara-negara untuk meraih keuntungan dari kelebihan komparatif mereka,[7] misalnya negara penghasil batu bara akan meraih keuntungan dengan menjual batu bara kepada negara yang tak punya batu bara; negara penghasil beras akan meraih keuntungan dengan menjual beras kepada negara yang kekurangan beras.

Ideologi liberalisme kemudian berkembang lagi menjadi bentuk yang lebih ekstrim, yaitu neoliberalisme. Neoliberal memiliki karakteristik utama ingin memperluas pasar dengan cara meningkatkan dan memformalisasi berbagai transaksi ekonomi. Tak heran bila para pemilik modal melakukan ekspansi besar-besaran, mulai dari toko kelontong yang buka cabang di berbagai negara (Walmart, Circle K, dll), hingga perusahaan penanaman jagung dan padi. Bila dalam liberalisme, para pelaku ekonomi cenderung menguasai properti, dalam neoliberalisme, yang dikuasai adalah modal sehingga mereka lebih leluasa memindahkan modalnya kemanapun yang lebih menguntungkan. Ngaire Woods menyebutnya, footloose modern bussiness [8], dimana pemodal dengan mudah keluar dari sebuah negara bila pemerintah negara itu tidak memberlakukan kebijakan liberal yang menguntungkan mereka. Hari ini pemodal bisa buka pabrik di negara A, namun bila esok hari negara B yang menawarkan upah buruh lebih rendah, dia akan menutup pabrik di A dan buka pabrik di negara B. Sama sekali tidak dipedulikan bagaimana nasib para buruh yang secara mendadak menjadi penganggur.

Bahkan, untuk menghindarkan diri dari kewajiban UU Tenaga Kerja, para pemilik modal memberlakukan sistem outsourcing dan sistem kontrak. Misalnya, untuk tenaga kebersihan, perusahaan A tidak langsung mempekerjakan pegawai, melainkan memakai jasa perusahaan kebersihan. Perusahaan kebersihan ini yang merekrut pegawai untuk kemudian bekerja di perusahaan A. Para pegawai itu mendapat gaji dari perusahaan kebersihan, bukan dari perusahaan A. Perusahaan kebersihan pun umumnya menggunakan sistem kontrak, per-3 bulan, atau bahkan per bulan, sehingga si pegawai sewaktu-waktu bisa kehilangan pekerjaan tanpa mendapat pesangon. Sistem ini tak lebih dari perbudakan abad modern.

Krisis finansial di Asia tahun 1998, adalah contoh nyata betapa sistem ekonomi yang berbasis liberalisme ini telah menyengsarakan sangat banyak orang dan menguntungkan segelintir orang. Ekonomi liberalisme mengizinkan pemilikan modal di tangan segelintir orang. Segelintir orang ini tidak peduli dengan nasib bangsa-bangsa, yang dipedulikannya adalah keuntungannya sendiri, Karena itu, ketika dilihatnya pasar Asia tidak menguntungkan, merekapun menarik modal secara besar-besaran dan mengalihkannya ke negara-negara lain. Akibatnya dalam sekejab, perekonomian Asia (terutama Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan) lumpuh dan jutaan orang mendadak miskin karena khilangan pekerjaan.

3 Pilar Globalisasi: IMF, World Bank, WTO

Pertanyaan selanjutnya, lalu mengapa negara-negara berkembang membiarkan perekonomiannya dipegang oleh segelintir pemodal asing yang sewaktu-waktu bisa menarik modalnya dan meninggalkan jutaan pengangguran dan kemiskinan? Jawabannya adalah karena tekanan dari IMF, Bank Dunia, dan WTO. Joseph Stiglitz menyebutkan bahwa cita-cita ideal globalisasi umumnya diterima oleh masyarakat dunia, namun ketika kini dunia menyaksikan bahwa ‘janji’ globalisasi tak tercapai, maka yang perlu diteliti adalah ketiga institusi yang mengatur (govern) globalisasi: IMF, World Bank, dan WTO.

IMF semula didirikan untuk menjamin stabilitas ekonomi global dan menyediakan dana pinjaman untuk negara-negara yang mengalami penurunan ekonomi supaya negara-negara tersebut bisa memulihkan kembali perekonomiannya. Sementara itu, Bank Dunia diniatkan untuk membantu negara-negara dalam membangun infrastruktur seperti jalan, bendungan, dll. Diharapkan, bila berbagai sarana publik telah dibangun, kemiskinan bisa tereliminasi. Namun, sejak tahun 1980-an, IMF dan WB berubah secara drastis menjadi institusi yang memimpin proses liberalisasi ekonomi di dunia. IMF baru mengucurkan dana pinjaman bila suatu negara telah melaksanakan syarat-syarat yang ditetapkan IMF: mencabut subsidi, meningkatkan pajak, liberalisasi pasar, dan meningkatkan suku bunga. Sementara itu, WB baru mau mengucurkan pinjaman bila sudah mendapatkan persetujuan IMF. [9] Dengan kata lain, IMF dan WB mengulurkan bantuan kepada negara-negara yang sedang terpuruk ekonominya, misalnya Indonesia, tapi mengajukan sejumlah syarat dan syarat itu ujung-ujungnya hanya menguntungkan negara-negara pemegang saham terbesar di IMF dan WB (yaitu negara-negara industri maju).

Bukti dari pernyataan di atas bisa terlihat jelas dalam perjanjian-perjanjian WTO. Liberalisasi perdagangan sebagaimana yang diperintahkan oleh IMF, mau tak mau membuat negara-negara berkembang bergabung dalam WTO. Semula, WTO didirikan untuk mengatur perdagangan dunia dengan tujuan yang mulia: agar perdagangan berjalan lancar sehingga barang dan jasa bisa tersebar merata ke seluruh dunia. Namun kenyataannya, perjanjian-perjanjian yang diatur oleh WTO sangat merugikan negara berkembang dan menguntung negara maju.

Perjanjian internasional yang dibuat dalam kerangka WTO mengikat seluruh anggotanya; jumlahnya lebih dari 11 jenis perjanjian. Tiga di antaranya adalah:

  1. Perjanjian Pertanian (AOA, Agreement on Agriculture).

Melalui AOA, WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk membuka pasar domestik untuk barang-barang impor dan sebaliknya, negara-negara anggota juga berhak melakukan ekspor ke negara manapun. Secara garis besar, ada tiga bidang yang diatur oleh AOA, yaitu:

  1. Market Acces (akses pasar): mewajibkan negara-negara menurunkan tarif dasar impor pertanian.
  2. Domestic Support (dukungan domestik): mewajibkan dibatasinya subsidi dan proteksi pemerintah terhadap sektor pertanian dalam negeri.
  3. Export Subsidy (subsidi ekspor): mewajibakan dibatasi atau bahkan dihapuskannya subsidi ekspor produk pertanian.[10]

Dua eksportir utama pertanian dunia, yakni AS dan Uni Eropa sangat diuntungkan oleh perjanjian seperti ini. Karena tarif dasar impor diturunkan, mereka bisa menjual produk mereka dengan harga murah di negara-negara berkembang. Sebelum adanya aturan AOA, umumnya produk impor dikenai pajak tinggi, sehingga harganya lebih tinggi dari produk dalam negeri. Dengan demikian, konsumen harus memilih: membeli produk impor yang berharga mahal namun berkualitas tinggi, atau produk lokal dengan harga murah meski kualitasnya tak sebagus produk impor. Namun, adanya penurunan tarif impor membuat harga barang impor seringkali malah lebih murah dari produk lokal. Akibatnya, produsen pertanian dalam negeri mengalami kerugian dan kemunduran.

Selain itu, larangan subsidi dan proteksi terhadap pertanian membuat para petani menjadi rentan. Harga produk mereka fluktuatif, ketersediaan benih dan pupuk juga tidak terjamin dan harganya tidak stabil. Petani negara berkembang juga tidak mendapatkan subsidi ekspor sehingga jika mereka mengekspor produk, harganya akan mahal sehingga sulit bersaing dengan produk dari AS atau Uni Eropa. Apalagi, petani-petani lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, umumnya miskin, memiliki lahan yang sempit, tidak terorganisasi, dan lemah. [11]

Sebaliknya, AS dan Uni Eropa justru melakukan pelanggaran terhadap AOA dengan tetap mensubsidi petani. Selain itu, mereka juga memiliki teknologi pertanian yang maju, modal yang besar, dan struktur organisasi yang kuat. Karena itulah mereka berhasil membanjiri negara-negara berkembang dengan produk-produk pertanian mereka, yang harganya lebih murah dari produk lokal. Dalam perjanjian AOA, kedua kelompok petani yang jelas-jelas beda level ini disuruh untuk berkompetisi di pasar bebas. Ketidakadilan ini sudah pasti akan membawa kekalahan bagi petani lokal.

  1. Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs, Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights)

Perjanjian TRIPs mewajibkan negara-negara anggota WTO untuk menghormati hak karya cipta intelektual (HAKI). TRIPs berlandaskan pada perjanjian-perjanjian internasional yang telah dibuat sebelumnya, yaitu:

a. Konvensi Paris (1967) mengenai Perlindungan tentang Kekayaan Industri

b. Konvensi Berne (1971) tentang Perlindungan Terhadap Karya Tulis dan Seni

c. Konvensi Roma (1971) tentang Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukkan, Produsen Rekaman Musik dan Organisasi Siaran,

d. Konvensi/Traktat Washington (1989) tentang perlindungan Rangkaian Elektronik Terpadu. [12]

Secara sekilas, memang TRIPs terlihat adil. Biar bagaimana pun, banyak perusahaan yang telah mengeluarkan biaya besar untuk melakukan inovasi dan pengembangan produk. Oleh karenanya, perlindungan hukum perlu diberikan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, bagi negara berkembang, dampak dari TRIPs justru sangat buruk. Sebagai contoh kasus, pada tahun 2004-206 diberitakan belasan petani Kediri diajukan ke pengadilan oleh PT BISI yang mayoritas sahamnya dikuasai konglomerat asing. Kesalahan para petani itu adalah menanam jagung dengan benih produksi PT BISI dan selanjutnya memperbanyak benih itu tanpa izin.[13]

Padahal, secara tradisional petani biasa menyimpan sebagian hasil panen sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Namun, TRIPs mengharuskan petani membayar royalti bila mereka menyimpan bibit di lahan sendiri. TRIPs memberikan hak monopoli kepada perusahaan produsen benih untuk mematenkan benih mereka dan karenanya tindakan para petani yang melakukan penyimpanan benih dan menanam benih itu dianggap sebagai tindakan kriminal.[14] Akibatnya, para petani kecil menjadi korban perusahaan-perusahaan besar yang melakukan praktek monopoli benih, pupuk, dan hak tanam terhadap suatu jenis tanaman pangan tertentu yang mereka klaim sebagai hasil temuan mereka dan mereka daftarkan hak patennya. [15]

Dampak TRIPs juga dirasakan negara-negara berkembang di bidang medis dan teknologi. Keharusan menghormati hak paten membuat negara-negara berkembang dilarang memproduksi obat-obatan atau teknologi yang sudah diklaim hak patennya oleh negara-negara maju. Sebagai contoh, dalam kasus flu burung yang menjadi endemik akhir-akhir ini, negara-negara berkembang harus mengimpor obat-obatan dari negara maju dengan harga sangat mahal. Mereka tidak diizinkan memperbanyak sendiri obat-obatan itu. Akibatnya, negara-negara berkembang menjadi sangat bergantung kepada pihak asing.

  1. Perjanjian Tekstil (ATC, Agreement on Textile and Clothing)

Salah satu isi perjanjian ATC adalah penghapusan kuota ekspor tekstil. Sebelumnya, negara-negara dunia terikat dalam perjanjian MFA (Multi Fiber Arrangement) tahun 1974, yang memberikan batasan kuota ekspor. Sebagai contoh, AS hanya boleh mengimpor kain dari India dalam jumlah/kuota tertentu yang sudah disepakati. Bila AS membutuhkan kain lebih banyak lagi, AS harus membelinya dari negara lain yang masih memiliki kuota. Dengan demikian, ada semacam jaminan pasar bagi negara-negara produsen tekstil. Namun, melalui ATC, disepakati bahwa mulai tahun 2005 sistem kuota dihapuskan.[16]

Pasar utama industri tekstil dunia adalah AS dan Uni Eropa. Penghapusan kuota akan memberi mereka akan keleluasaan memilih negara produsen tekstil, sehingga produsen tekstil yang kebanyakan adalah negara berkembang menjadi sangat rentan tekanan. AS dan Uni Eropa kini memberlakukan aturan-aturan khusus yang menjadi syarat bagi negara berkembang yang ingin mengekspor tekstil ke sana. Misalnya, UE mensyaratkan negara berkembang yang ingin mendapat kemudahan ekspor tekstil untuk meratifikasi 27 konvensi internasional di bidang perburuhan dan hak asasi manusia dan paling sedikit 7 dari 11 konvensi internasional di bidang lingkungan hidup. [17]

Hanya sebagian negara yang sudah sangat kuat industri tekstilnya dan kuat dari sisi kemampuan negosiasi bilateral, seperti India dan China, yang bisa memanfaatkan perjanjian ATC. Sebaliknya, ATC membawa dampak buruk bagi kebanyakan negara berkembang produsen tekstil, antara lain Indonesia dan negara-negara Amerika Latin. Padahal, bagi Indonesia industri tekstile adalah sektor yang sangat banyak menyerap tenaga kerja sehingga menjadi salah satu tulang punggung perekonomian rakyat. Dengan berkurangnya ekspor tekstil, telah terjadi PHK besar-besaran di pabrik-pabrik.[18]

Inilah yang disebut Stiglitz, negara-negara berkembang dan miskin bagaikan kapal layar kecil yang langsung disuruh berlayar di lautan buas, padahal lubang-lubang di kapal itu belum ditambal, kaptennya belum di-training, dan pelampung/alat pengaman belum dipasang di kapal kecil itu. IMF, WB, dan WTO telah memaksa negara-negara berkembang untuk bertempur dalam pasar bebas padahal sebenarnya mereka belum siap. [19]

Penutup

Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Mudahnya transportasi dan komunikasi, perdagangan internasional, penyebaran teknologi maju, dan pertukaran budaya antarbangsa, membuat dunia semakin mengecil. Namun, ada dampak negative globalisasi yang membuat negara-negara berkembang menjadi semakin miskin: yaitu dominasi tiga pilar globalisasi, IMF, Bank Dunia, dan WTO. Ketiga institusi itu telah memaksa negara-negara berkembang untuk menerapkan liberalisasi ekonomi dan mengabaikan prinsip “proteksi”. Padahal, negara-negara industri maju, sebelum terjun ke pasar bebas telah memberlakukan berbagai proteksi demi memperkuat perekonomian mereka. Bahkan di saat yang sama ketika negara-negara berkembang dilarang melakukan proteksi, negara-negara maju tetap melakukan proteksi terhadap produksi dalam negeri. Hal ini membuat jurang kekayaan semakin besar, segelintir orang menguasai kekayaan dunia, sementara milyaran orang hidup dalam kemiskinan.

*

Daftar Pustaka

Woods, Ngaire, 2001. International Political Economy in an Age of Globalization, Chapter 13 in John Baylis and Steve Smith (eds), The Globalization of World Politics, Oxford University Press.

Stiglitz, Joseph E. 2002. Globalization and Its Discontents. New York: W.W. Norton and Co.

Sumber internet:

Essay:

Bonnie Setiawan, Indonesia Under AoA Regime,

www.globaljust.org/file-pertanian/RejimAOA-WTO.pdf (diakses 17/3, 08:25)

Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani; Menyingkap Kejahatan Industri Pangan (2004: 91-92), sebagaimana dikutip dalam http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/mengapa-orang-indonesia-enggan-menjadi.html (diakses 17/3, 22:20)

[tanpa identitas penulis] HAKI dan Dampaknya Bagi Keragaman Hayati Kita, http://semarangkini.blogspot.com/2008/07/haki-dan-dampaknya-terhadap-keragaman.html (diakses 17/3, 22:10)

[tanpa identitas penulis] Jerat dan Tipu Daya WTO dalam AOA

http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/jerat-dan-tipu-daya-wto-dalam-aoa.html (diakses 17/3, 08:20)

Artikel/berita:

The WTO in Brief,

http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/inbrief_e/inbr00_e.htm (diakses 17/3, 21:05)

Mr. Lee Kyung Hae, http://www.globalexchange.org/campaigns/wto/1123.html (diakses 17/3, 9:51)

Petani India Melancarkan Protes terhadap WTO,

http://www.spi.or.id/?p=1179 (diakses 17/3, 9:58)

Indonesia Terjebak Impor Pangan, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/08/24/05502461/indonesia.terjebak.impor.pangan (diakses 17/3, 9:43)

Sebagian Besar Pelaku Bunuh Diri di Bali adalah Petani,

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2009/06/30/123/Sebagian-Besar-Pelaku-Bunuh-Diri-di-Bali-adalah-Petani (diakses 17/3, 10:10)

Kasus Penangkapan Petani Kediri:

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15920&cl=Berita (diakses 17/3, 21:53)

http://www.komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=177%3AALIANSI+PETANI+INDONESIA+MENGADU+KE+KOMISI+YUDISIAL&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=in (diakses 17/3, 21:50)

Elimination on Quotas of Textiles dan Clothing Imports http://www.whitecase.com/news/Detail.aspx?news=667 (diakses 17/3, 22:20)

Perdagangan Tekstil Sarat Kepentingan http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/05/00395312/perdagangan.tekstil.sarat.kepentingan (diakses 17/3, 22:30)

Film Dokumenter: “The New Ruler of The World”, karya John Pilger, www.youtube.com


[1] http://www.globalexchange.org/campaigns/wto/1123.html (diakses 23/9, 9:51)

[2] http://www.spi.or.id/?p=1179 (diakses 23/9, 9:58)

[3] The WTO in Brief, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/inbrief_e/inbr00_e.htm (diakses 23/9, 21:05)

[4] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/08/24/05502461/indonesia.terjebak.impor.pangan (diakses 23/9, 9:43)

[5] http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2009/06/30/123/Sebagian-Besar-Pelaku-Bunuh-Diri-di-Bali-adalah-Petani (diakses 24/9, 10:10)

[6] Pilger dalam film documenter “The New Ruler of The World”

[7] Woods 2001: 285

[8] Ibid: 291

[9] Stiglitz 2002: 12-15

[10] http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/jerat-dan-tipu-daya-wto-dalam-aoa.html ((diakses 22/9, 08:20)

[11] Bonnie Setiawan, Indonesia Under AoA Regime, www.globaljust.org/file-pertanian/RejimAOA-WTO.pdf ((diakses 22/9, 08:25)

[12] HAKI dan Dampaknya Bagi Keragaman Hayati Kita, http://semarangkini.blogspot.com/2008/07/haki-dan-dampaknya-terhadap-keragaman.html (diakses 23/9, 22:10)

[13] http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15920&cl=Berita, http://www.komisiyudisial.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=177%3AALIANSI+PETANI+INDONESIA+MENGADU+KE+KOMISI+YUDISIAL&catid=1%3ABerita+Terakhir&Itemid=295&lang=in (diakses 23/9, 21:50)

[14] HAKI dan Dampaknya Bagi Keragaman Hayati Kita, http://semarangkini.blogspot.com/2008/07/haki-dan-dampaknya-terhadap-keragaman.html (diakses 23/9, 22:10)

[15] Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani; Menyingkap Kejahatan Industri Pangan (2004: 91-92), sebagaimana dikutip dalam http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/04/mengapa-orang-indonesia-enggan-menjadi.html (diakses 23/9, 22:20)

[16] Elimination on Quotas of Textiles dan Clothing Imports, http://www.whitecase.com/news/Detail.aspx?news=667 (diakses 23/9, 22:20)

[17] Perdagangan Tekstil Sarat Kepentingan http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/05/00395312/perdagangan.tekstil.sarat.kepentingan (diakses 23/9, 22:30)

[18] ibid

[19] Stiglitz 2002: 17

sumber:dinasulaeman.wordpress.com

0 comments to "Kejamnya Liberalisme Ekonomi"

Leave a comment