Masyarakat kini dikepung oleh beragam jenis media massa. Mulai dari radio, televisi, parabola, hingga internet dan telepon seluler. Hampir-hampir sulit untuk dibayangkan kita bisa lepas dari jangkauan media. Di sisi lain, penggunaan beragam perangkat baru telekomunikasi untuk menjalin hubungan dengan orang lain telah memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap hubungan keluarga dan sosial. Sayangnya, sebagian besar media massa dunia saat ini dikuasai untuk kepentingan kapitalisme. Mereka berusaha melebarkan pengaruhnya ke negara-negara di dunia dengan beragam perangkat budaya dan media, dan berusaha menguasai opini publik.
Herbert Schiller, seorang penulis AS menuturkan, "Ketika sebuah negara berusaha melebarkan infiltrasi politik dan ekonominya ke negara-negara lain, tentu mereka juga akan berusaha menyebarkan budayanya ke negara sasaran". Menurut kritikus media asal Amerika itu, media massa merupakan salah satu perangkat terpenting Barat untuk mencengkramkan hegemoninya terhadap negara-negara lain.
Kini, posisi dan pengaruh media massa terhadap keluarga menjadi bahan perhatian utama para peneliti dan ilmuwan. Karena itu, baru-baru ini sejumlah aktifis dan cendikiawan perempuan dari 19 negara berkumpul di Tehran untuk menghadiri "Seminar Internasional Intelektual Muslimah". Dalam seminar yang digelar untuk kedua kalinya ini, peran media massa terhadap keluarga menjadi tema utama pembicaraan.
Keluarga adalah institusi sosial yang paling kecil. Keberlangsungan suatu masyarakat bergantung pada keberadaan keluarga. Karena itu, keberhasilan dan kegagalan suatu masyarakat ditentukan pula oleh keluarga sebagai elemen dasar masyarakat. Salah satu tolak ukur keluarga yang harmonis adalah adanya ikatan kasih sayang yang erat di antara anggotanya. Di sisi lain, pemanfaatan media secara tidak tepat juga bisa merusak bangunan keluarga.
Peran perempuan dalam perkembangan dan runtuhnya suatu budaya dan peradaban juga merupakan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Naluri khas perempuan yang suka terhadap keindahan dan kelembutan membuat lingkungan keluarga menjadi hangat. Namun jika naluri tersebut dilampiaskan secara berlebihan, justru bisa menjadi faktor yang merusak keutuhan keluarga. Perempuan bukan hanya bisa menjadi faktor vital dalam menciptakan keluarga yang ideal, tapi juga sebaliknya bisa menjadi biang utama hancurnya sebuah keluarga dan masyarakat.
Ibu Laleh Eftekhari, anggota parlemen Iran dalam sambutannya di Seminar Internasional Intelektual Muslimah menyatakan, "Selain bisa menjadi model konstruktif dan mampu membesarkan dan mendidik anak-anak dengan baik, perempuan juga bisa melahirkan anak-anak yang tidak layak, pesimis, dan acuh terhadap budaya dan identitasnya sendiri. Dalam media Barat, perempuan dianggap sebagai alat promosi dan mesin penghasil keuntungan bagi para kapitalis. Hal ini membuat posisi kemanusiaan dan hakiki perempuan menjadi merosot". Dia juga mengungkapkan bahwa saat ini Republik Islam Iran tengah mempersiapkan suatu dokumen yang membeberkan landasan hukum kehadiran perempuan di lingkungan keluarga dan sosial berdasarkan ajaran agama Islam. Dokumen tersebut bahkan menjadi perhatian dari banyak ilmuwan dunia.
Peran perempuan dalam ekonomi keluarga dan penetapan pola konsumsi merupakan salah satu isu yang banyak disorot media massa. Keberadaan media selaku perangkat proyek globalisasi berusaha menyeregamkan budaya masyarakat dunia dengan memperkuat mental konsumerisme dalam masyarakat, terutama kepada kaum perempuan. Mengomentari upaya media dalam memanfaatkan perempuan sebagai faktor pengubah norma-norma dalam keluarga, Ibu Mehrshad Shababi, cendikiawan muslimah dari Iran menyatakan, "Media memiliki andil penting dalam menciptakan kebutuhan dan mengubah selera konsumsi di tengah keluarga. Keluarga merupakan salah satu target utama media. Perangkat media massa merupakan peranti penting dalam membangun budaya, mentransfer norma dan nilai, serta mengembangkan taraf pengetahuan umum masyarakat. Karena itu, media bisa memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengubah pola konsumsi keluarga dan kebiasaan seseorang".
Di samping itu, sudah mafhum bagi siapapun bahwa media dapat dimanfaatkan sebagai perangkat yang bisa menyebarkan budaya jilbab dan kehormatan perempuan, atau pun sebagai alat penebar budaya pergaulan bebas. Saat ini pun media kerap kali memanfaatkan film-film bermuatan pornografi dan pornoaksi untuk menyerang kehormatan dan kesucian perempuan. Upaya itu dilancarkan sebagai cara untuk mengubah norma dan nilai-nilai budaya dan identitas nasional suatu bangsa. Pimpinan Fakultas Teologi Qatar, Haya Thamir menilai serius pengaruh media terhadap kehormatan perempuan. Terkait hal ini, ia menegaskan, "Hasil dari kehormatan adalah keberhasilan masyarakat dalam menikmati kehidupan yang sehat. Ada banyak faktor yang bisa mengancam kehormatan di tengah masyarakat Islam. Seperti menjauh dari agama, lunturnya peran pendidikan dan bimbingan keluarga, dan tersebarnya komoditas budaya menipu".
Ia mengingatkan, kita semua tahu bahwa media memainkan peranan penting dalam menyebarluaskan budaya pergaulan bebas dan kebobrokan moral, karena itu perlu diwujudkan upaya efektif dalam menghadapi beragam faktor yang berperan dalam menyebarkan budaya tidak Islami. Sehingga kita bisa membawa masyarakat ke peringkat yang ideal dari sisi moral.
Shu'lah Shakib, penulis dan jurnalis asal Bahrain, dalam sambutannya di seminar Tehran menyinggung tanggung jawab besar yang diemban media untuk menjaga kehormatan perempuan dan menyatakan, "Media massa mengemban tanggung jawab besar di hadapan pelemahan nilai-nilai kehormatan dan menyebarnya budaya pergaulan bebas. Keamanan dan rasa tentram merupakan kebutuhan semua orang dan terciptanya ketentraman hanya bisa terwujud dengan terjaminnya keamanan. Kini, media-media massa Barat memporak-porandakan keamanan negara melalui beragam program yang beracun dan destruktif serta membangkitkan hasrat seksual para remaja. Dengan mengusung slogan kebebasan dan persamaan, mereka memperkerjakan peremuan layaknya barang murah untuk melayani hasrat lelaki".
Media-media Barat juga kerap kali menyembunyikan ambisi terselubungnya dengan cara merekayasa fakta. Menanggapi masalah ini, Zainab Al-Saffar, dosen Universitas Lebanon menyatakan, "Kita sekarang hidup di sebuah dunia yang disesaki dengan beragam jaringan televisi politik, budaya, dan sosial. Negara-negara adidaya menggelontorkan banyak dana untuk menyokong jaringan tersebut untuk mengubah fakta". Dia menegaskan, salah satu cara untuk menghadapi aksi semacam itu adalah dengan cara mewujudkan persatuan dan solidaritas di antara kaum muslimah di bawah satu bendera demi membela Islam dan memerangi serangan budaya asing.
Mengomentari pengaruh media massa terhadap dunia saat ini, Ibu Bashari Ahmad, seorang pengajar perguruan tinggi dari Pakistan menandaskan, "Internet dan media elektronik menampakkan dunia sebagai satu buku yang sangat luas secara maya. Gelombang super cepat internet, pada satu sisi justru mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Di masa sekarang, negara-negara adidaya tidak hanya menggunakan cara-cara militer dalam mencapai tujuannya tapi juga melalui cara lain yang dikenal dengan istilah perang lunak. Lewat cara inilah mereka berusaha menundukkan bangsa-bangsa lain."
Ibu Bashari menambahkan, "Kekuatan-kekuatan adidaya dunia berusaha sedemikian rupa sehingga bangsa-bangsa lain berbicara dengan bahasa mereka dan mengikuti kebudayaannya. Karena itu mereka berusaha untuk memaksakan budaya Barat terhadap generasi mendatang. Abad ke-21 merupakan masa bagi masyarakat muslim untuk bangkit dari tidur lamanya. Lantaran media kini telah menebarkan sederet makian yang tidak benar terhadap umat Islam seperti sebutan terorisme dan agama yang mengajarkan kekerasan. Dengan cara menyebarkan konsep yang salah itu, media-media Barat berusaha memojokkan kebenaran. Karena itu, kaum ibu dan perempuan harus waspada dan berusaha memperkenalkan budaya dan identitas nasional dan agamisnya kepada anak-anaknya".
Dosen perguruan Pakistan itu juga menegaskan, "Pengetahuan perempuan dan meningkatnya kemampuan intelektual mereka merupakan hal yang vital dalam menjalin hubungan yang lebih baik dengan generasi mendatang".
Di akhir Seminar Internasional Intelektual Muslimah dibacakan deklarasi bersama. Dalam deklarasi itu ditegaskan kembali pentingnya peran aktif yang lebih besar masyarakat muslim di bidang media dan andil strategis perempuan dalam mencegah terjadinya perubahan identitas. Deklarasi tersebut juga menggaris bawahi peran menentukan perempuan dalam menghadapi serangan budaya asing.
Buku dan Budaya Membaca dalam Kehidupan Rahbar
Ada sejumlah nasihat Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei terkait urgensi buku dan budaya membaca setiap kali mengunjungi Pameran Buku Internasional Tehran.
Membaca Buku Harus Menjadi Kebiasaan
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei seusai mengunjungi Pameran Buku Internasional Tehran Ke-3 pada 9 Mei 1990 dalam sebuah wawancaranya mengatakan, "Membaca buku harus menjadi budaya kita. Kita harus membiasakan anak-anak membaca buku sejak kecil. Biarkan mereka membaca buku apa saja yang diinginkannya. Saat senggang seperti hari Jumat pastikan di hari itu ada kesempatan untuk membaca buku. Pastikan juga di musim panas saat liburan sekolah para remaja dan pemuda membaca buku. Biarkan mereka menentukan sendiri buku apa yang ingin dibaca hingga akhir. Orang-orang yang memiliki pekerjaan sehari-hari seperti para pegawai kantor, buruh, pedagang dan atau petani saat tiba di rumah hendaknya menyisihkan sebagian waktunya untuk membaca buku.
Bayangkan berapa banyak buku yang dapat dibaca selama setengah jam! Saya pribadi sempat menghabiskan buku 20 jilid atau lebih dengan menyisihkan waktu setiap harinya 10, 20 dan 45 menit.
Baca Buku Rutinitas Sebelum Tidur
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pada 16 Mei 1999 saat mengunjungi Pameran Buku Internasional Tehran mengatakan, "Semua anggota keluarga kami tanpa terkecuali setiap malam pasti tertidur dalam keadaan membaca buku. Saya sendiri juga demikian. Bukan di pertengahan membaca kemudian saya tertidur, tapi saya membaca supaya mengantuk. Setelah itu saya meletakkan buku lalu beranjak tidur. Seluruh anggota keluarga kami ketika hendak tidur pasti ada buku di sisi mereka. Menurut saya setiap keluarga Iran hendaknya melakukan hal yang seperti ini. Saya sangat berharap setiap orang tua membiasakan anak-anaknya sejak awal dengan buku, bahkan anak-anak sejak kecil sudah harus akrab dengan buku.
Baca Buku Bahkan di Bus
Di akhir kunjungan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei pada 11 Mei 1996 di Pameran Buku Internasional Tehran beliau mengatakan, "Saya sangat berharap masyarakat yang waktunya hilang begitu saja, seperti di bus, taksi, kendaraan pribadi dan di ruang-ruang tunggu semisal di ruang tunggu dokter. Semestinya mereka dapat menghabiskannya dengan membaca buku. Oleh karena itu, setiap orang harus punya persiapan buku saku mereka. Saat duduk di bus, mereka bisa menghabiskan waktunya dengan membaca hingga sampai ke tempat tujuan. Ketika tiba di tujuan, halaman yang dibaca ditandai untuk kemudian dilanjutkan di waktu lain.
Saya pribadi menamatkan membaca beberapa jilid buku tebal di bus. Hal itu terjadi sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran. Waktu saya punya kerjaan yang memaksa untuk bolak-balik Tehran-Mashad. Kondisi dalam bus pada waktu itu sangat menganggu penumpang. Saya berusaha untuk memandang terus ke bawah dan satu-satunya pekerjaan yang paling tepat adalah membaca buku. Sejam saya menghabiskan waktu di bus dengan membaca buku dan tidak ada waktu yang terbuang. Tempat kosong di bus biasanya ada setelah sejam, terkadang juga kurang dari itu. Tapi bagaimanapun juga setiap jam yang terlewatkan tidak begitu terasa buat saya karena waktu kosong saya terisi dengan membaca buku.
Baca buku Saat TV Tayangkan Iklan
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei saat diwawancarai di akhir kunjungannya ke Pameran Buku Internasional Tehran ke-9 pada 11 Mei 1996 mengatakan, "Terkadang kalian menyaksikan seseorang yang duduk di depan televisi menanti sebuah tayangan film. Saat itu televisi menayangkan iklan dan terkadang iklan sedemikian lamanya selama tayangan film itu hingga 20 menit. Mengapa orang harus menanti tanpa ada yang dilakukan selama 20 menit? Semestinya ada sebuah buku di tangan dan dimanfaatkan untuk membacanya selama 20 menit. Bila masyarakat kita punya kebiasaan memanfaatkan waktu kosongnya untuk membaca buku, masyarakat kita akan sangat maju, begitu juga budaya negara ini.[IRIB/SL]
0 comments to "Perempuan dan Keluarga dikepung media..??!!!..."