Jurubicara Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran, Ramin Mehmanparast menilai klaim Direktur Dinas Intelijen Pusat AS (CIA), Leon Panetta sebagai skenario propaganda anti Iran yang tidak berdasar dan infaktual.
Direktur CIA, Leon Panetta kemarin (Ahad,27/6/2010) dalam wawancaranya dengan televisi ABC, mengklaim bahwa Iran punya uranium yang cukup untuk memproduksi dua bom atom. Ditambahkannya, embargo ekonomi kemungkinan tidak akan menghalangi Iran untuk mencapai kemampuan nuklir.
Mehmanparast kepada televisi IRINN hari ini (Senin,28/6/2010) mengatakan, para pejabat keamanan Amerika Serikat telah memolopori perang lunak dan melancarkan propaganda untuk mengesankan program nuklir Iran bertujuan militer. Ditambahkannya, mereka berupaya menghalangi Iran untuk memperoleh hak-hak dasarnya dengan cara melancarkan propaganda.
"Pernyataan itu dikeluarkan pejabat AS saat rezim Zionis Israel dikenal sebagai ancaman terbesar dunia saat ini dan mengancam negara-negara lain dengan senjata nuklir," tandasnya.
Menurut Mehmanparast, dinas-dinas intelijen AS lebih mengetahui kalau Iran sama sekali tidak punya aktivitas nuklir militer. Ditambahkannya, Iran hanya menginginkan hak-hak legalnya dalam kerangka Traktat Non-Proliferasi Nukli (NPT).
"AS dan Israel tidak mampu menghalangi Iran untuk memperoleh hak-hak nuklirnya lewat tekanan politik dan perang urat saraf. Dan tidak ada yang percaya terhadap omong kosong dan tak berdasar seperti itu," tegasnya. (IRIB/RM/SL/28/6/2010)Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, (28/6) menyatakan kepada para wartawan di Kanada bahwa negaranya menutup zona udaranya untuk seluruh penerbangan Israel menyusul serangan militer Israel terhadap konvoi kapal bantuan kemanusiaan untuk Gaza Freedom Flotilla.
Erdogan yang berada di Toronto untuk menghadiri KTT G-20 tidak memberikan keterangan lebih lanjut mengenai hal itu. Sebelumnya (27/6), media-media Zionis mengkonfirmasikan larangan terhadap pesawat kargo militer Israel melintasi zona udara Turki dalam perjalanannya menuju Polandia. Pesawat tersebut terpaksa menggunakan rute alternatif.
Penutupan zona udara Turki itu memulai tahap baru ketegangan hubungan kedua negara, pasca krisis Freedom Flotilla yang sembilan di antara korbannya adalah warga Turki. Israel menolak meminta maaf secara resmi. Sebelumnya, pemerintah Turki juga memanggil duta besarnya dari Tel Aviv.
"Hingga kini kami telah mengambil langkah yang diperlukan sesuai undang-undang dalam negeri maupun ketentuan internasional. Dan kami tetap akan melanjutkannya," kata Erdogan sebagaimana dikutip Anatolia. Ditambahkannya bahwa hubungan Turki-Israel hanya akan kembali normal jika rezim Zionis menuruti tuntutan Turki.
Menurut Erdogan keputusan tersebut bukan bertujuan untuk pamer bahkan Turki sudah cukup bersabar menghadapi perkembangan yang terjadi.
Di lain pihak, Menteri Transportasi Israel menyatakan bahwa pihaknya tidak menerima peringatan atau pemberitahuan dari Ankara soal penutupan zona udara Turki tersebut. Meski demikian, menteri Israel itu mengklaim bahwa penerbangan komersial ke Turki tetap berlanjut. (IRIB/MZ/SL/28/6/2010)
Menteri Dalam Negeri Republik Islam Iran, Mustafa Mohammad Najjar mengatakan, saat ini perang lunak musuh lebih rumit dibanding dengan sebelumnya.
Najjar Senin (28/6/2010) seraya menekankan hal ini menandaskan, kita harus meningkatkan kesadaran rakyat Iran. Ditambahkannya, dewasa ini musuh berupaya berupaya merusak budaya dan keyakinan bangsa Iran melalui berbagai media termasuk parabola. Ia menekankan, musuh senantiasa kalah dalam menghadapi perlawanan rakyat Iran dan kali ini pun upaya mereka akan gagal.
Dalam kesempatan tersebut Najjar mengingatkan perang yang digelar musuh tak lama setelah kemenangan Revolusi Islam. Menurutnya, negara arogan dunia khususnya Amerika Serikat (AS) menyangka dapat menumbangkan pemerintahan Islam Iran dengan memanfaatkan perang delapan tahun Iran-Irak, kelompok teroris lokal dan membangkitkan friksi antaretnis. Namun setelah gagal melalui tindak kekerasan, musuh mulai beralih ke perang lunak.
"Proyek perang lunak telah dimulai sejak beberapa tahun lalu dan musuh berupaya menebar fitnah di masa pemilu presiden Iran guna menggapai ambisi mereka, namun upaya tersebut gagal berkat arahan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dan kesadaran rakyat, " tegas Najjar. (IRIB/MF/SL/28/6/2010)Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad membeberkan sejumlah prasyarat bagi dimulainya perundingan Iran dengan kelompok 5+1. Ahmadinejad dalam jumpa pers Senin (28/6/2010) sore waktu Tehran yang dihadiri oleh sejumlah wartawan dalam dan luar negeri mengatakan, "Sebagai balasan atas tindakan tidak etis yang dilakukan pihak barat Iran mengumumkan bahwa perundingan hanya akan dilaksanakan setelah pertengahan Agustus mendatang."
Ahmadinejad lebih lanjut mensyaratkan kepada pihak Barat untuk mengumumkan sikapnya secara transparan terkait kepemilikan bom atom oleh Rezim Zionis Israel.
Syarat kedua untuk perundingan baru dengan kelompok enam besar adalah komitmen keenam negara itu kepada perjanjian NPT sebagai traktat internasional.
Ahmadinejad menambahkan, "Syarat ketiga kejelasan maksud dari perundingan, apakah perundingan ini dimaksudkan untuk memupuk persahabatan atau memicu permusuhan."
Lebih lanjut Presiden Republik Islam Iran menegaskan bahwa perundingan ini tidak bisa dibatasi hanya dengan enam negara. (IRIB/AHF/29/6/2010)Komunitas Fakta 11 September 2001 dalam sebuah statemennya yang diterbitkan di Madrid mengungkapkan sejumlah fakta tentang pelaku dan dalang sebenarnya dari serangan teror 11 September 2001 seraya mengkritik kinerja Komite Pencari Fakta dalam hal ini.
Dalam statemen itu dinyatakan bahwa Wakil Presiden AS saat itu, Dick Cheney adalah salah satu dalang serangan tersebut. Komunitas ini dalam statemennya lebih lanjut menyoal kinerja Komite Pencari Fakta Serangan 11 September seraya mendesak komite tersebut untuk menjawab serangkaian pertanyaan keluarga para korban yang sampai saat ini belum terjawab.
"Setelah bekerja selama 442 hari, Komite ini belum bisa memberikan jawaban yang memuaskan atas 70 persen pertanyaan keluarga para korban serangan teror 11 September," ungkap statemen tersebut.
Teori yang dipaparkan oleh pemerintah AS terkait peristiwa serangan teror 11 September 2001 sampai saat ini telah ditolak oleh lebih dari 120 perwira tinggi militer, intel, polisi dan pejabat pemerintahan di AS, juga oleh lebih dari 500 arsitek, lebih dari 100 pilot dan pakar kedirgantaraan serta lebih dari 200 dosen di AS. (IRIB/AHF/29/6/2010)
Pasca kegagalan Barack Obama, Presiden Amerika menutup penjara Guantanamo hingga bulan Januari lalu, kini Presiden AS ini secara tersirat menyatakan keraguannya mengadili para dalang peristiwa 11 September di New York. Saat diwawancarai CNN, Obama mengatakan, saya tidak menutup kemungkinan dibukanya pengadilan semacam ini di New York, tapi saya punya keyakinan harus dikaji terlebih dahulu sisi keamanannya. Ditambahkannya, penolakan semua kota, kepala daerah dan polisi New York atas pengadilan ini membuat masalahnya lebih rumit.
Tahun lalu, Eric Holder, Jaksa Agung Amerika mengkonfirmasikan bahwa Khalid Sheikh Mohammed, dalang utama serangan 11 September 2001 bakal diadili di kota New York bersama 4 anggota AlQaeda lainnya di dekat reruntuhan gedung kembar WTC. Gedung Putih berharap dilakukannya pengadilan terhadap mereka bakal mempercepat proses kepastian nasib para tahanan Gitmo. Namun rakyat Amerika menentang keras keputusan ini.
Para pendukung Neo-Konservatif di dua partai Republik dan Demokrat menilai pengadilan para pemimpin AlQaeda di tanah Amerika bertentangan dengan program anti-teroris. Mereka mengklaim masalah ini bakal membahayakan keamanan nasional Amerika. Sementara mayoritas warga New York juga menilai pengadilan para pelaku peristiwa 11 September di kota ini sama artinya menghina para korban dan keluarga mereka.
Bagaimanapun juga, eskalasi penentangan pendukung Neo-Konservatif dan para pejabat kota New York atas pengadilan 5 anggota senior AlQaeda di kota ini membuat masalah ini masih belum menemukan titik terang.
Kegagalan Obama menyelenggarakan pengadilan ini tentu saja menjadi pukulan berat bagi kemampuan pemerintahnya dalam mewujudkan janji-janji yang kadung diobral. Selama setahun ini, pemerintah Obama mendapat tekanan hebat dari para penentang dan pengritiknya. Kenyataan ini membuat Obama harus menilai kembali program anti-teroris selangkah demi selangkah.
Bagaimana tidak, pada awalnya Obama tidak meneruskan langkahnya mengadili para pelaku penyiksaan terhadap para tahanan Guantanamo, setelah itu ia menghentikan proses publikasi gambar-gambar penyiksaan di penjara Abu Ghuraib. Langkah selanjutnya terkait janji Obama untuk menutup penjara Gitmo hingga Januari tahun ini yang tidak terealisasi. Saat ini mulai muncul desas-desus soal kemungkinan tidak jadi diadilinya para pelaku peristiwa 11 September di New York.
Sementara di pekan-pekan terakhir, pemerintah Obama tengah berusaha mengembalikan kondisi keamanan Amerika sama seperti kondisi yang diberlakukan oleh George W. Bush. Padahal masalahnya hanya muncul dari upaya peledakan yang gagal terhadap pesawat penumpang Amerika yang terbang dari Amsterdam ke Detroit, Amerika.(irib/8/2/2010)
Baca juga:
0 comments to "Dalang 11 September ketahuan...!!!!???...."