Oleh: Dr Saifuddin MAg*
PERHELATAN akbar Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 berlangsung di Banjarmasin, pada 1-4 November 2010. Konferensi internasional itu menghadirkan para pakar kajian keislaman dan keindonesian dari berbagai negara.
Tema yang diusung cukup menarik, Reinventing Indonesian Islam (Menemukan Kembali Islam Nusantara). Penemuan identitas Islam Nusantara, meliputi akar sejarah, pergulatan identitas, kontinuitas dan perubahan menjadi salah satu topik utama yang dibicarakan selain dialektika Islam dan pluralitas budaya di kawasan Asia Tenggara.
Sejarah kedatangan Islam di wilayah Nusantara telah menjadi perdebatan panjang di kalangan para ahli, terutama menyangkut awal kedatangannya, tempat asal dan pembawanya.
Mengenai awal kedatangan Islam di Nusantara, setidaknya muncul dua teori. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 H/13 M. Pendapat itu antara lain bertolak dari laporan Marcopolo yang berkunjung ke wilayah Nusantara pada abad 13 M dan menegaskan adanya Kesultanan Islam Samudra Pasai.
Argumen pendukung lainnya, Islam masuk ke wilayah Nusantara setelah jatuhnya Baghdad pada 656 H/1258 M ketika banyak ulama berhijrah ke timur sebagai pelarian dari ancaman pembantaian Mongol.
Masyarakat Islam ada di wilayah Nusantara setelah kedatangan tasawuf pada abad ke-7 H. Itu diperkuat oleh Johns yang menyebutkan bahwa keberadaan para sufi dapat mempersatukan umat Islam setelah jatuhnya Baghdad untuk bangkit melaksanakan dakwah dan menyebarkan Islam. Mereka bermigrasi melewati batas negeri sendiri ke berbagai negeri lainnya membawa ajaran Islam.
Kedua, teori yang menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara pada abad ke-1 H/7 M. Pendapat itu antara lain didasarkan pada catatan resmi dan jurnal China pada periode Dinasti Tang 618 M yang secara eksplisit menegaskan bahwa Islam sudah masuk ke wilayah Timur Jauh, yakni China dan sekitarnya, termasuk Nusantara, pada abad I H.
Ada juga laporan Cina yang menegaskan keputusan bangsa Arab mengirim utusan kepada Kerajaan Jawa. Dalam laporan itu terdapat isyarat tentang Kerajaan Ho Long yang berdiri di salah satu pulau di Laut China Selatan. Kerajaan tersebut mengirim utusan pada 640 M, 666 M, dan 674 M.
Bukti lainnya adalah peninggalan Islam di Nusantara. Di Desa Leran, Gresik, misalnya, ditemukan sebuah makam yang bertuliskan huruf Arab dengan angka tahun 431 H/1039 M.
Menyangkut kedatangan Islam, ada yang menyatakan Islam dibawa dari Arabia, terutama Hadhramaut. Ada juga yang bilang dari Gujarat dan Malabar dan Sebagian lainnya menyebut dari Persia.
Siapa yang membawa Islam ke Nusantara juga terjadi silang pendapat. Ada yang menyebutkan penyebar Islam di Nusantara adalah pedagang muslim.
Ada juga yang menyebutkan Islam dibawa oleh para sufi, pengembara yang melakukan syiar Islam di Nusantara. Mereka berhasil mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke-13 M.
Islam Nusantara dapat dipandang sebagai sebuah entitas karena memiliki karakter yang khas karena perbedaan sejarah, latar belakang geografis, dan budaya yang dipijaknya.
Secara umum, karakteristik Islam Nusantara lebih moderat, toleran, dan akomodatif karena masuk ke Nusantara melalui cara damai, tidak dengan kekuatan senjata.
Di samping itu, para pembawa Islam ke Nusantara umumnya para sufi yang lebih toleran dan akomodatif terhadap komunitas lain dan praktik keagamaan lokal. Watak semacam itu juga tercermin pada strategi dakwah wali songo yang lebih mengedepankan cara persuasi, adaptasi, dan akomodasi, bukan lewat jalan konfrontasi.
Selain corak tasawufnya yang kental, Islam yang masuk ke Nusantara umumnya juga mengikuti aliran ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja). Aswaja merupakan paham paling moderat di antara aliran Islam yang ada. Paham Aswaja yang dikembangkan di Nusantara memiliki beberapa karakteristik, seperti tawasuth dan itidal (moderat dan berlaku adil), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang).
Wajah Islam Nusantara yang ramah, moderat, dan toleran jelas masih terus menjadi pemadangan hingga kini. Namun, belakangaan eksistensinya mulai mendapatkan tantangan dengan hadirnya Islam radikal dari Timur Tengah.
Tradisi kenusantaraan pun makin pudar. Nuansa Timur Tengah yang dipaksakan, ditambah lagi upaya mereka membawa konflik di Timur Tengah ke kawasan ini, memicu berbagai ketegangan, bahkan konflik di kalangan pengikut Islam sendiri dan dengan penguasa setempat.
Hal ini terjadi ketika Islam yang baru datang mengubah strategi dakwah para wali dan sufi, sehingga kehilangan kemampuan beradaptasi. Padahal, strategi dakwah yang dijalankan para wali dan sufi selama ini lebih menekankan pada harmoni dan adaptasi, bukan konfrontasi, sehingga Islam mudah diterima dan menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas muslim Nusantara.
Kehadiran Islam radikal ke Nusantara telah menampilkan dua sisi wajah Islam, yakni Islam yang ramah, moderat, dan toleran dengan Islam yang kaku, ektrem, dan intoleran.
Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, kelompok Islam radikal itu memiliki semangat, loyalitas, dan militansi tinggi yang tidak dimiliki oleh kaum muslim mayoritas.
Akhirnya masa depan Islam di negeri ini amat tergantung pada dialektika antara Islam moderat yang dianut mayoritas penduduk Nusantara dengan Islam radikal.
*Dosen IAIN Antasari Banjarmasin
BANJARMASIN - Hari ini, Minggu (24/10/2010) ribuan warga Banjarmasin mengikuti fun walk yang digelar panitia Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) di halaman PSB IAIN Antasari Banjarmasin.
Fun walk merupakan kegiatan penunjang ACIS ke-10 yang didukung sepenuhnya oleh Banjarmasin Post Group, Adaro, Bank Kalsel, dan Tri (3).
Ribuan warga juga akan disuguhkan beragam hiburan. Disela-sela hiburan akan dilakukan pengundian hadiah dan acara ceremonial tentang edukasi sekilas ACIS yang akan disampaikan oleh ketua panitia.
"Ketua panitia memaparkan tujuan, latar belakang, narasumber seminar dan berbagai hal yang terkait dengan ACIS dan pelaksanaan seminar Internasional. Serta acara ceremonial dari pihak sponsor," kata Staf Kesekretaritan ACIS, Irfan Islami.
Dijelaskan, semua persiapan kegiatan fun walk telah semaksimal mereka lakukan. "Jumlah peserta fun walk sebanyak 1.800 peserta," ucapnya.
Selain mahasiswa IAIN Antasari, peserta kegiatan kerja sama anatara direktorat Pendidikan tinggi Islam bersama IAIN Antasari itu, juga berasal dari masyarakat Banjarmasin.
"Seribu pendaftar pertama mendapatkan kaus kegiatan dengan biaya pendaftaran Rp 10.000. Sedang sisanya dikenakan biaya pendaftaran Rp 5 ribu tanpa diberi kaus," ucapnya.
Ditambahkannya, Peserta diharapkan sudah berkumpul dihalaman PSB IAIN Antasari pukul 06.00 Wita. Jalan sehatnya akan dilepas oleh pejabat Kementrian Agama, Rektor IAIN Antasari, pimpinan Umum Banjarmasin Post Group, serta pimpinan pendukung dan sponsor lainnya seperti Adaro, Bank Kalsel, Tri, BRI dan lainnya secara bersamaan.
Ketua Panita ACIS Lokal, Ahmad Khairuddin, mengatakan fun walk dikonsep untuk memanaskan dan menggaungkan ACIS kepada warga Banua sebelum seminar internasional itu dilaksanakan pada 1-4 Nopember 2010.
"Gaung seminar internasional yang bertajuk "Menemukan Kembali Islam Nusantara" akan makin semarak dan terkesan meriah bila diketahui oleh warga Banua," ucapnya.
Selain fun walk sebagai acara pendukung, kegiatan pameran islami bertemakan pendidikan, bazar kerajinan daerah, dan berbagai macam jenis kuliner khas daerah di halaman Hotel Arum Banjarmasin, saat berlangsungnya ACIS.
(kk/*)
0 comments to "Menyambut ACIS X di Banjarmasin"