Ada banyak hal yang dilakukan oleh orang seluruh dunia tanpa mengenal usia, jenis kelamin, ras, dan agama. Hal-hal seperti makan, minum, bernapas adalah yang biasa teringat. Tapi ada juga satu bentuk hiburan yang orang seluruh dunia nikmati hingga pada titik tertentu dalam kehidupan mereka: nonton film. Mulai dari klip YouTube pendek dari seorang sutradara lokal sampai dengan trilogi seperti Lord of the Rings, film datang dalam berbagai bentuk dan bisa mempengaruhi kita dalam beragam cara—positif dan negatif—baik kita sadari atau tidak. Ini bergantung dari jenis film yang tonton dan pesan, jika ada, yang mereka coba sampaikan. Imam-imam ahlulbait a.s. mengajarkan kita bahwa ada pelajaran (hikmah) dalam segala hal yang kita lihat. Menerapkan pesan ini ke dalam seluruh aspek kehidupan dapat membuat hal sederhana seperti menonton film menjadi sebuah kesempatan untuk meningkatkan nilai diri kita.
Untuk memperjelas, kita tidak membicarakan film dengan adegan maksiat terang-terangan seperti nudisme dan perilaku tidak senonoh lainnya. Meski film apapun bisa memiliki pesan positif yang baik, namun jika mengandung segala yang dilarang bagi kita untuk dilihat dan didengar, menontonnya jelas dilarang. Seperti biasa, jika dalam keraguan, mengaculah pada aturan dari marjak taklid Anda.
Fokus pembicaraan kali ini adalah tentang bagimana kita dapat memanfaatkan hal keseharian seperti menonton film untuk meningkatkan diri sendiri. Sering kali orang menyaksikan film hanya untuk menghabiskan waktu atau melepas lelah dari keseharian. Meskipun hal ini tidak benar-benar dilarang, tapi juga bukan cara terbaik untuk menghabiskan waktu. Sebagai pengikut ahlulbait, kita harus selalu mencari cara terbaik dalam melakukan dan memanfaatkan waktu, dan memastikan diri bahwa kita melakukannya hanya karena Allah. Cara terbaik untuk melakukan hal tersebut adalah melalui perbuatan yang semakin langka di masa sekarang: merenung.
Nabi suci saw. pernah bersabda bahwa merenung tentang suatu hal selama satu jam lebih utama daripada ibadah satu tahun penuh. Kalau nonton film bisa membawa perenungan yang positif, bisakah dikatakan perbuatan tersebut punya peran dalam peningkatan diri? Mari kita ambil contoh dari film yang hampir semua orang pernah lihat, The Lord of the Rings. Aspek utama dari film ini adalah pertempuran batin Frodo tentang cincin dan usaha untuk mencegahnya untuk diambil alih. Memikirkan dan merenungkan tentang hal tersebut bisa membuat seseorang merefleksikan tentang pertempuran batin terus menerus yang kita miliki dengan setan. Inilah yang nabi saw. sebut sebagai jihad akbar dan pemenang dari pertempuran ini akan menjadi individu yang berhasil. Meskipun setiap orang berpikir dengan cara yang berbeda dan memiliki arus pemikirannya sendiri, contoh tadi menunjukkan bagaimana hal tersebut mungkin untuk meningkatkan kepribadian seseorang dengan merenungkan secara sederhana tema yang ditampilkan dalam sebuah film.
Cara lain untuk memastikan bahwa kita mendapat hasil maksimal dari film adalah memiliki niat yang baik sebelum menyaksikannya. Hampir semua yang dilakukan karena Allah dapat terhindar dari dosa, termasuk nonton film. Seseorang bisa menyaksikan film Avatar terkenal dan kembali tanpa apa-apa selain kagum pada visual dan efek khusus. Pada saat yang sama, orang lain bisa menyaksikan film yang sama tapi merenung tentang pengaruh keserakahan dan penindasan dan memikirkan cara untuk menguranginya di dunia ini. Seseorang harus memiliki niat untuk belajar dan merenungkan sebelum menyaksikan film tertentu. Memiliki niat yang baik sebelum melakukan apapun adalah sebuah konsep yang bisa dan harus diaplikaskan dalam segala hal.
Seperti banyak dari kita nonton film, kita harus memilih dengan teliti film apa yang akan kita lihat dan bagaimana kita menyaksikannya. Apa yang kita terima melalui penglihatan dan pendengaran akan menjadi refleksi diri kita sendiri, karenanya kita harus berhati-hati dalam hal ini, dan berdoa kepada Yang Mahakuasa sebagaimana yang kita lakuan pada malam Jumat: “Jadikan aku (mampu) mengambil manfaat dari kekuatan mendengar dan melihat (penegasan dan persepsi kebenaran)…”
Ada beberapa film islami yang dapat kita ambil manfaatnya. Kita harus melakukan yang terbaik untuk mendukungnya karena mereka secara langsung mempromosikan nilai-nilai islami dan mengecam kemaksiatan. Menyebarluaskan film tersebut harus menjadi tujuan kita karena dapat menjadi cara alternatif untuk menyebarkan Islam di era masa kini. Seperti biasa, kita harus selalu menjauh dari hal-hal yang dilarang oleh mata dan telinga, dan memiliki niat yang bersih sebelum melakukan apapun. Insya Allah, kita akan melakukan semua tindakan semata-mata karena Allah.
Penulis: Wajahat Hussain |
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2011 |
Catatan: Itu sengaja saya selipin video kompilasi kutipan menarik dari 40 film |
Artikel Terkait: |
Resep Rahasia Sebelum Nonton Film
Perlahan-lahan kami menjadi sadar. Beberapa tahun yang lalu, saya berjalan menuju kantor setelah kebaktian Minggu pagi untuk mencari kantong sandwich di meja yang berisikan tiga brownies coklat. Sekelompok orang bijak yang tidak dikenal yang tahu kalau saya suka coklat menaruhnya di sana, bersama dengan secarik kertas yang bertuliskan sebuah cerita. Saya segera duduk dan mulai memakan brownie pertama sambil membaca cerita berikut.
Dua orang remaja memohon izin kepada ayahnya untuk pergi ke bioskop menyaksikan film yang semua temannya telah lihat. Setelah membaca ulasan film itu di internet, sang ayah menolak permintaan mereka.
“Ayah, kenapa enggak boleh?” mereka mengeluh. “Ini film di atas 13 tahun kok, dan usia kami jauh di atas 13 tahun!”
Ayahnya menjawab, “Karena film itu mengandung adegan telanjang dan menggambarkan ketidaksopanan sebagai perilaku yang dianggap normal dan wajar.”
“Tapi ayah, semua itu hanya bagian kecil dari film! Itu kata teman-teman kami yang sudah melihat. Film itu dua jam lamanya, dan adegan seperti itu cuma beberapa menit dari keseluruhan film! Film ini berdasarkan kisah nyata, tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan, dan ada tema lain seperti keberanian dan pengorbanan. Ulasan film juga menyebutkan hal itu!”
“Jawaban ayah ‘tidak’, dan itu jawaban final. Kalian dipersilakan untuk tetap di rumah malam ini, ajak beberapa teman kalian, dan menyaksikan salah satu koleksi video bagus yang kita miliki. Tapi kalian tidak akan pergi dan nonton film itu. Akhir pembicaraan.”
Dua remaja itu berjalan sedih menuju ruang keluarga dan tiduran di sofa. Ketika mereka mengeluh, mereka terkejut mendengar suara ayah mereka yang sedang menyiapkan sesuatu di dapur. Mereka segera menyadari aroma lezat brownies yang dipanggang, dan salah seorang dari mereka berkata, “Ayah pasti merasa menyesal, dan sekarang ia berusaha untuk menebusnya dengan membuat brownies untuk kita. Mungkin kita bisa membujuknya dengan pujian ketika beliau keluar dan meminta izin kembali untuk pergi ke bioskop setelahnya.”
Waktu itu saya mulai memakan brownies kedua dari kantong sandwich dan berpikir apakah ada hubungannya antara brownies yang saya makan dengan membaca kisah brownies. Saya melanjutkan membaca.
Remaja itu tidak kecewa. Segera ayah mereka muncul dengan sepiring brownies hangat, yang ditawarkan kepada anak-anaknya. Mereka mengambil satu per satu.
Lalu ayah mereka berkata, “Sebelum kalian memakannya, ayah ingin mengatakan sesuatu: Ayah sangat menyayangi kalian berdua.”
Remaja itu saling tersenyum dan menatap. Ayah sudah melunak. “Itu sebabnya ayah membuat brownies ini dengan bahan-bahan terbaik sejak awal. Kebanyakan bahan-bahannya organik; tepung organik terbaik, telur terbaik, gula organik terbaik, vanila termahal, dan coklat.” Brownies itu nampak lezat dan para remaja itu mulai tidak sabar dengan ucapan panjang ayahnya.
“Tapi ayah ingin jujur kepada kalian. Ada satu bahan yang ayah tambahkan dan tidak biasanya ditemukan dalam brownies. Ayah mendapatkan bahan itu dari halaman belakang. Tapi kalian tidak perlu khawatir, karena ayah hanya menambahkannya sedikit untuk brownies kalian. Jumlahnya praktis tidak seberapa. Jadi lanjutkan makan dan ayah ingin tahu apa yang kalian pikirkan.”
“Ayah, maukah ayah beri tahu bahan rahasia itu sebelum kami lanjutkan makan?”
“Kenapa? Jumlah yang ayah tambahkan sangat sedikit. Hanya satu sendok penuh. Kalian bahkan tidak merasakannya.”
“Ayolah Ayah, katakan pada kami bahan apa itu.”
“Jangan khawatir! Bahannya organik, sama seperti yang lainnya.”
“Ayah?!”
“Baiklah kalau kalian memaksa. Bahan rahasia organik itu… kotoran anjing.”
Saya langsung berhenti mengunyah brownies kedua dan meludahkannya ke tempat sampah samping meja kantor saya. Saya melanjutkan membaca, dengan ketakutan di sisa paragraf.
Kedua remaja itu langsung menjatuhkan brownies mereka ke piring dan mulai memeriksa jari-jari mereka dengan takut.
“Ayah! Kenapa ayah lakukan itu? Ayah telah menyiksa kami dengan aroma brownies yang dimasak setengah jam lalu dan sekarang ayah memberi tahu dengan menambahkan kotoran anjing! Kami tidak mau makan brownies itu lagi!”
“Kenapa tidak? Jumlah kotoran anjing itu sangat sedikit dibandingkan dengan bahan lainnya. Tidak akan membahayakan kalian. Semua sudah tercampur dengan bahan lain. Kalian bahkan tidak merasakannya. Sama seperti brownies lainnya. Ayo, lanjutkan makan!”
“Tidak, Ayah, tidak akan!”
“Itulah alasan yang sama kenapa ayah tidak mengizinkan kalian pergi menyaksikan film itu. Kalian tidak tahan dengan sedikit kotoran anjing di brownies, tapi membiarkan sedikit ketidaksopanan di film itu? Kita berdoa agar Tuhan tidak memberi kita ujian, lalu kenapa kita yang berhati baik menghibur diri sendiri dengan sesuatu yang akan membekas dengan dosa dalam pikiran kita yang akan menggiring kita pada ujian setelah kita menyaksikan itu pertama kalinya?”
Saya membuang semua yang teringat pada brownies kedua, begitu juga brownies ketiga yang belum disentuh. Apa yang nampak lezat beberapa menit yang lalu menjadi menjijikkan. Hanya karena sedikit kesempatan, apa yang saya makan menjadi sedikit tercemar. (Tentu saja bukan yang itu… tapi saya tidak bisa meyakinkan diri sendiri).
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010 |
Catatan: Orang yang lebih tua harus tetap memantau orang yang lebih muda atas apa yang mereka saksikan di televisi atau film. Tentu kita semua tahu (atas apa yang saya perhatikan), hampir kebanyakan film Barat—khususnya Hollywood—menampilkan adegan seksual atau kekerasan, misalnya. Menariknya, film dengan adegan seperti itu tidak hanya dimainkan oleh manusia, tapi juga dalam bentuk animasi, yang sangat diminati oleh anak-remaja. “Children have never been very good at listening to their elders, but they have never failed to imitate them,” kata James Arthur Baldwin. |
Artikel Terkait: |
Korban Kekerasan Tayangan Media
Kita perlu tahu tentang hal ini untuk menjaga anak-anak, keponakan, dan siapa pun yang kita sayangi untuk menghindari tayangan yang sarat kekerasan. Tentu tidak dengan cara keras, tapi dengan menghindarinya dan memberikan alternatif lain yang lebih bermanfaat. Perlu kita sadari bahwa tidak semua kartun dan film animasi adalah untuk anak-anak. Orang tua wajib ikut menyaksikan dan mengawasi acara kartun yang dilihat anaknya.
Mulai dari Tom and Jerry, Scooby-Doo, Powerpuff Girls, Spongebob, hingga Happy Tree Friends dipenuhi dengan kekerasan, misteri-mistik, hingga hal-hal negatif lain yang tidak patut bagi perkembangan anak. Tidak mengherankan kalau kita kadang melihat anak kecil berani ngelawan orang tua, remaja yang penuh amarah dan gemar tawuran, sehingga dewasanya bisa melakukan hal yang lebih buruk.
Korban Kekerasan Tayangan Media
Oleh: Nabila Rizvi
Kalau kita duduk dan menyaksikan acara televisi, meskipun hanya 10 menit, cobalah untuk terus memperhatikan betapa banyak perilaku penyerangan dan kekerasan yang kita lihat—pasti kita akan kaget! Baik itu film, kartun, komik, permainan, iklan, buku, internet, atau bahkan mainan anak-anak, kita semua diarahkan kepada kekerasan dari sejak kecil. Menurut Asosiasi Psikologi Amerika, seseorang menyaksikan 8.000 pembunuhan dan 100.000 perilaku kekerasan di televisi selama masa kanak-kanak!
Tapi apa sebenarnya “perilaku penyerangan dan kekerasan”? Sebuah “perilaku penyerangan” adalah kesungguhan untuk menyakiti atau memperoleh keuntungan orang lain (secara psikologi), sedangkan sebuah “perilaku kekerasan” adalah kekuatan sesungguhnya yang digunakan untuk melawan orang lain (secara fisik). Dengan definisi tersebut, banyak yang kita temukan di media adalah kekerasan dan penyerangan.
Akademi Psikiatri Anak dan Remaja Kanada memberikan rincian untuk sebuah studi yang dilakukan oleh dua profesor Université Laval tentang kekerasan di televisi. Mereka menemukan bahwa rata-rata seseorang menyaksikan 7.636 perilaku kekerasan fisik dan psikis setiap tahun. Melihat jumlah televisi yang orang saksikan, artinya ada 83,05 perilaku kekerasan setiap jamnya—mengejutkan, bukan? Bahkan kita tidak menyadari bahwa jumlah itu sangat tinggi!
Media di sekeliling kita telah meningkatkan jumlah konten kekerasan secara drastis setiap tahunnya. Dalam studi sama yang dilakukan oleh dua profesor, data menunjukkan bahwa konten penyerangan meningkat hingga 325 persen hanya dalam dua tahun!
Masih teringat dengan fenomena “six-pocket”—gagasan bahwa keluarga yang punya sedikit anak, maka terdapat lebih banyak uang untuk masa muda—media khususnya menargetkan generasi muda karena mereka lebih punya banyak modal untuk membeli produk-produk media.
Sejak usia rawan tiga tahun, pemaparan kepada berbagai bentuk media dimulai. Ketika anak mulai dewasa, konten kekerasan mulai meresap ke dalam kartun dan mainan. Meskipun mereka tampak tidak berbahaya, secara teknis, dunia Bugs Bunny dianggap [mengandung] kekerasan—semua kasus di mana besi besar dijatuhkan di atas kepala tokoh dan ancaman yang terus-menerus mengejar satu tokoh lain akan dianggap sebagai perilaku kekerasan dan penyerangan.
Pada tahun 1950an, sebuah penelitian dilakukan di mana 12 anak-anak berusia 4 tahun dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok satu ditunjukkan kartun berjudul The Little Red Hen, sementara kelompok yang lain ditunjukkan kartun Woody Woodpecker. Kartun yang kelihatan lucu itu, Woodpecker secara teknis lebih mengandung kekerasan dibandingkan Red Hen. Setelah menyaksikan kartun, kelompok yang melihat Woodpecker mempertunjukkan perilaku lebih agresif dibandingkan kelompok lain.
Sebuah penelitian yang lebih terkenal dilakukan oleh psikolog Alfred Bandura yang dilakukan pada tahun 1960-an yang berhubungan dengan teori “pembelajaran sosial”-nya. 72 anak laki-laki dan perempuan mulai dari usia 3-6 tahun mengambil bagian dalam studi; studi ini membagi anak-anak ke dalam berbagai sub-kelompok berdasarkan jenis kelamin dan kecenderungannya. Mereka melalui serangkaian tahap di mana kelompok pertama ditunjukkan lingkungan penuh kekerasan, sementara kelompok kedua ditunjukkan lingkungan penuh kedamaian.
Salah satu studi utama dalam penelitian itu melibatkan seseorang yang melakukan kekerasan verbal dan fisik terhadap balon badut. Ketika anak-anak punya kesempatan untuk bermain dengan badut itu, mereka langsung meniru perilaku kekerasan yang sebelumnya dilihat. Kelompok anak-anak yang lain melihat seseorang bermain bersama badut, sehingga mereka melakukan hal yang sama ketika diberikan mainan. Bagian lain dari penelitian melibatkan anak-anak mengambil sekumpulan mainan—mereka yang ditunjukkan perilaku agresif memilih palu dan senjata panah, sementara anak-anak yang lain memilih krayon dan perlengkapan teh.
Penelitian ini mendukung teori Bandura tentang pembelajaran sosial (social learning) yang menunjukkan perilaku berbeda dapat dipelajari dari lingkungan seseorang, meskipun orang itu sebenarnya hanya melihat dan tidak terlibat secara aktif. Mengingat hal itu, pemuda juga dapat dipengaruhi oleh selera teman-temannya—jika video game kekerasan yang setiap orang mainkan, maka akan menambah risiko dan pengaruh kekerasan media, ikut serta atau tidak.
Setelah bertahun-tahun terekspos—tidak perlu mencari kekerasan, tapi sudah dikelilingi olehnya—hasilnya adalah habituation dan desensitization. Sementara desensitisasi mengacu pada kurangnya respon yang tepat ketika melihat kekerasan, habituasi mengacu pada ketidaksadaran akan peristiwa kekerasan. Terlepas dari perbedaannya, keduanya sangat berbahaya, khususnya bila terbawa sejak usia muda.
Insiden mengerikan seperti penembakan di Columbine dan Virginia Tech menggambarkan bagaimana pengaruh desensitisasi. Meskipun tidak diragukan ada pengaruh lain yang berperan dalam setiap peristiwa teragis, kekerasan media juga memainkan peran penting dalam mempengaruhi perilaku penembak. Penembak Columbine mengatakan bahwa dia dipengaruhi oleh game “Doom” dan “Quake”, lokasi penembakan [dipengaruhi] adegan film The Basketball Diaries, dan berbagai kelompok musik seperti KMFDM dan juga Marilyn Manson. Penembak Virginia Tech juga dipengaruhi oleh hal-hal serupa, begitu juga Rage karya Stephen King. (Buku ini tidak dicetak lagi karena banyak menginspirasi berbagai penembakan).
Contoh lain peristiwa yang terinspirasi oleh video permainan. Seorang pembajak mobil berusia 17 tahun menembak seorang polisi dan membunuh dua orang lain, kemudian mengatakan, “Hidup ini seperti video game, setiap orang terkadang harus mati.” Sebuah contoh bagaimana kekerasan dalam media menyebabkan perilaku irasional dan berbahaya pada anak-anak seperti kejadian ketika seorang anak berusia enam tahun—yang mengaku mempelajari bagaimana menyetir dari video permainan—mengendarai mobil dan akhirnya menabrak. Contoh-contoh seperti itu akan terus terjadi, dan kekerasan media tidak diragukan lagi merupakan sumber ‘inspirasi’.
Terlepas dari semua penelitian itu, tapi tidak semua orang menjadi jahat hanya karena ekspos mereka, kan?
Pendukung kekerasan dalam media menyebutkan alasan seperti inoculation (“suntikan”) dan catharsis (perasaan bawaan). Teori inokulasi menyatakan gagasan membangun ketahanan (resistance) tentang sesuatu dengan “menyuntikkan” elemen yang sama. Konsep katarsis menyatakan bahwa kekerasan di media tidaklah nyata—seseorang dapat mengeluarkan amarah dalam video permainan daripada mencelakai seseorang. Katarsis dapat membantu mengembangkan “kesadaran” seseorang yang tidak mengekspresikan perilaku penyerangan dan kekerasan kepada orang lain.
Ada juga sejumlah kritik berkaitan dengan proses penelitianyang dilakukan: tidak seperti kehidupan sehari-hari, anak-anak di laboratorium benar-benar fokus pada kegiatan penelitian; sikap para peneliti seperti menganjurkan beberapa reaksi dari anak-anak, mendorong mereka untuk melakukan “apa yang diharapkan” dari mereka; anak-anak sadar akan perbedaan antara melakukan kekerasan terhadap sesama manusia dan mainan; anak-anak dari penelitian tidak selalu akurat mewakili masyarakat. Secara umum, penelitian memiliki bias yang berpengaruh pada hasilnya.
Alasan lain adalah karena realita: kekerasan ada di sekeliling kita—kalau pun kandungan kekerasan dari acara TV, film, internet, dan permainan dihapuskan, bagaimana dengan berita? Laporan perang dan pembunuhan yang muncul akan tetap memberikan setiap orang terbuka pada kekerasan. Karena alasan itu, nampaknya sia-sia untuk menyalahkan menyaksikan kekerasan ketika segalanya tak dapat dihindari.
Kekerasan jelas hadir bahkan dalam kartun anak-anak, tapi itu tidak berarti mereka harus dilarang—tidak semua orang dipengaruhi oleh media sehingga mereka menjadi keras. Masalah muncul ketika anak-anak ditinggalkan untuk menyaksikan dan bermain apapun yang mereka inginkan, atau jika apa yang mereka lihat tidak dibicarakan.
Sekarang ini, kartun, film, dan permainan mengutamakan kekerasan sebagai hal penting. Banyak bentuk media mempertunjukkan perilaku kekerasan tanpa memikirkan akibat: tokoh kartun yang didorong dari bukit, kemudian hidup lagi dan sehat di episode berikutnya—korban dan pelakunya tidak menderita. Secara alami, seseorang mampu membedakan antara fantasi (khayalan) dan realitas (kenyataan), tapi jika terus diarahkan pada perilaku kekerasan tanpa mempertimbangkannya, seseorang bisa jatuh pada perilaku desensitisasi. Oleh karena itu, psikolog menganjurkan bahwa kebiasaan sederhana orang tua yang berkomentar atas kekerasan dalam sebuah kartun dapat dengan mantap mempengaruhi reaksi anak terhadapnya.
Dengan mengikuti sistem rating di berbagai bentuk media, memastikan dengan sadar dan dengan lantang membedakan antara fantasi dan realita, dan memastikan bahwa kita sadar ada banyak konseksuensi atas perilaku kekerasan, kesempatan mengembangkan kepribadian keras jadi sangat rendah. Kekerasan di media yang begitu luas tidak dapat dielakkan, dan kita tidak bisa mengontrolnya—tapi apa yang bisa kita control adalah bagaimana kita memilih untuk melihatnya, dan itu membuat segalanya berbeda.
Penerjemah: Ali Reza Aljufri © 2010
mainsource:http://ejajufri.wordpress.com/2010/04/11/korban-kekerasan-tayangan-media/
0 comments to "Film : WASPADA : Mengambil Pelajaran dari Film"