Masyarakat Bahrain kembali menggelar aksi demo, hari ini (Jumat, 25/3). Aksi demo hari ini disebut sebagai "Hari Kemarahan."
Sebagaimana dilaporkan Kantor Beritar Reuters, berbagai kelompok dan aktivis di negara ini mengkoordinasi aksi demo hari Jumat dalam rangka menuntut pemerintah Bahrain supaya menerima tuntutan-tuntutan legal mereka. Menurut rencana, aksi demo akan digelar hari ini di seluruh penjuru Bahrain sebagai aksi protes atas rezim Bahrain yang tak menghiraukan tuntutan-tuntutan rakyat.
Sebelumnya , Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam kebijakan pemerintah Bahrain yang dinilai melanggar ketentuan internasional dengan menindak para aktivis dan staf medis. Juru bicara Kantor HAM PBB , Rupert Colville, mengatakan, "Ini sangat penting bahwa pihak berwenang Bahrain harus mematuhi standar internasional. Warga tidak boleh ditangkap secara sewenang-wenang, mereka tidak boleh ditahan tanpa bukti yang jelas atas kejahatan mereka."
Setelah rezim Bahrain tak mampu mengendalikan para pendemo, Manama meminta bantuan rezim-rezim Arab supaya mengerahkan pasukannya ke Bahrain. Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) akhirnya mengerahkan pasukan mereka mendampingi pasukan Bahrain untuk membantai para pendemo pro demokrasi.
Belum lama ini, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Tuntutan masyarakat Bahrain hanyalah menggelar pemilu yang setiap satu suara sama dengan satu orang. Apakah ini tuntutan yang berlebihan?!! "
Mengenai intervensi Arab Saudi dan mitra-mitranya, Rahbar mengatakan, "Intervensi militer Arab Saudi terhadap Bahrain adalah langkah keliru. Langkah ini menyebabkan Arab Saudi dibenci masyarakat dunia." Dikatakannya pula, "Jika AS dibenci masyarakat di kawasan, maka itu tidaklah terlalu penting karena jarak AS yang sangat jauh dengan kawasan. Akan tetapi jika Arab Saudi dibenci di masyarakat kawasan, maka itu adalah kerugian yang besar. Untuk itu, Arab Saudi telah melakukan kesalahan dan negara manapun yang melakukan langkah ini juga akan dihadapkan pada kekeliruan yang sama." (IRIB/Farsnews/AR/25/3/2011)Raja Abdullah, Raja Arab Saudi meminta kepada rakyat dan para pejabat negara ini untuk tidak lagi menyebutnya dengan ungkapan "raja".
Menurut laporan ISNA mengutip Kantor Berita Arab Saudi SPA, Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Raja Arab Saudi dalam pertemuannya dengan Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Sheikh, Mufti Arab Saudi dan sejumlah ulama negara ini mengatakan, "Saya meminta kepada seluruh pejabat dan rakyat Arab Saudi agar tidak lagi memanggil dengan sebutan 'raja'. Karena sebutan 'raja' hanya layak disandang oleh Allah Swt. Kita semua adalah hamba-Nya."
"Saya berharap untuk tidak ada lagi yang menyebut saya dengan sebutan ini," tegas Raja Abdullah.
Raja Abdullah pada September 2005 lalu telah meminta kepada warga negara ini agar tidak mencium tangannya dan keluarga kerajaan sebagai bentuk penghormatan.
Pertemuan Raja Abdullah dengan Mufti Arab Saudi juga dihadiri Abdulrahman al-Athiyah, Sekjen Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) dan sejumlah menteri serta pejabat tinggi negara kaya minyak itu. (IRIB/SL/PH/24/3/2011)Para demonstran Turki melihat, masuknya militer Arab Saudi ke Bahrain dan menyerang para demonstran penuntut keadilan tidak ubahnya dengan penyerangan militer Israel ke Palestina dengan membunuhi rakyat mazlum Palestina. |
Menurut Kantor Berita ABNA, ratusan warga Turki berkumpul di depan kantor Konsulat Arab Saudi untuk Turki di Istanbul. Mereka mengecam campur tangan Arab Saudi atas konflik internal Bahrain dengan mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan aksi unjuk rasa rakyat Bahrain.
Para demonstran Turki melihat, masuknya militer Arab Saudi ke Bahrain dan menyerang para demonstran penuntut keadilan tidak ubahnya dengan penyerangan militer Israel ke Palestina dengan membunuhi rakyat mazlum Palestina.
Tuntutan demonstran Turki, agar Saudi segera menarik pasukan militernya dari Bahrain, dan menuntut agar rezim Al Khalifah memenuhi tuntutan sah rakyatnya. Dengan menyuarakan, "Rakyat Bahrain adalah Saudara Kami", dan kecaman terhadap rezim Al Khalifah dan Al Saud atas kezaliman dan kediktatoran mereka, para demonstran juga menuntut agar organisasi-organisasi Islam dan penegak HAM tidak berdiam diri saja dalam menyikapi tragedi kemanusiaan yang terjadi di Bahrain.
Dalam aksi tersebut, para demonstran menunjukkan kemarahannya dengan membakar bendera AS, Israel dan poster Malik Abdullah. Unjuk rasa aktivis HAM dan Kemanusiaan juga tengah berlangsung di Ankara, ibu kota Turki dengan tuntutan yang serupa. Mereka meminta agar Saudi segera menarik pasukan militernya dari kawasan Bahrain.
Kantor hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam kebijakan pemerintah Bahrain yang dinilai melanggar ketentuan internasional dengan menindak para aktivis dan staf medis.
Kantor berita Reuters (23/3) mengutip pernyataan juru bicara kantor tersebut, Rupert Colville, "Ini sangat penting bahwa pihak berwenang Bahrain harus mematuhi standar internasional. Warga tidak boleh ditangkap secara sewenang-wenang, mereka tidak boleh ditahan tanpa bukti yang jelas atas kejahatan mereka."
Menurut keterangan kantor PBB itu, para aktivis dan staf medis Bahrain ditangkap menyusul lebih dari 100 orang telah dilaporkan hilang sejak aksi kekerasan aparat terhadap para demonstran anti-pemerintah pekan lalu.
Menurut Colville, "Situasi di Bahrain masih sangat mengkhawatirkan dengan banyaknya jumlah korban tewas dan laporan tentang orang hilang yang mencapai 50 hingga 100 kasus dalam seminggu terakhir."
Ditambahkannya, "Dua di antara orang yang sebelumnya dinyatakan hilang ditemukan mati."
Pejabat PBB itu lebih lanjut menjelaskan"Warga tidak boleh dipukuli atau dilecehkan secara fisik oleh aparat keamanan, korban cedera juga tidak seharusnya dicegat untuk mendapat perawatan medis, dan berdasarkan laporan hal ini masih terjadi di Bahrain."
Sementara itu, seorang perempuan di Bahrain, meninggal setelah menderita luka tembak di kepala.
Colville juga menyinggung berbagai laporan terkait penahanan atau ancaman terhadap orang-orang yang berbicara kepada media.
"Mereka yang ditangkap termasuka di antaranya adalah para aktivis politik, aktivis HAM, dokter dan perawat dari rumah sakit Salmaniya," ungkap Colville.
"Banyak dari mereka yang melaporkan situasi dalam negeri Bahrain kepada dunia luar, komunikasi mereka telah diputus dan dalam beberapa kasus bahkan ponsel anggota keluarga mereka juga telah diputus," tegas Colville.
Colville menegaskan bahwa protes damai sama sekali bukan tindak kejahatan dan memberikan informasi kepada wartawan tidak bertentangan dengan logika, bukan kejahatan, atau bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Sedikitnya 20 orang tewas dan sekitar 1.000 lainnya cedera sejak protes anti-pemerintah mengguncang Bahrain pada pertengahan Februari lalu.
Di sisi lain, para demonstran menegaskan bahwa mereka tidak akan menghentikan demo sampai tuntutan mereka terpenuhi yaitu kebebasan dan pembentukan pemerintahan monarki konstitusional serta hak yang seimbang dalam pemerintahan. (IRIB/MZ/MF/23/3/2011)
Bahrain: Perjuangan di “Kota Dosa”
©Dina Y. Sulaeman"Manama is one such beautiful city, where there is river of alcohol and fishes of pretty girls," demikian promosi di sebuah situs traveling.
Bila Anda browsing di situs-situs traveling tentang tempat-tempat favorit untuk berpesiar, sangat mungkin Anda menemukan kategori "sin city" (kota dosa). Ada sepuluh kota ‘paling berdosa' di dunia ini, tempat di mana kaum hedonis difasilitasi dalam melampiaskan nafsu bejat mereka, mulai dari minuman keras, judi, hingga mencari pelacur. Kota dosa urutan 10 adalah Berlin, urutan 9 adalah Macau, urutan pertama adalah Pattaya. Dan, Manama, ibu kota Bahrain yang berpenduduk mayoritas muslim itu, berada di urutan ke delapan! Sebuah situs traveling menulis, bahwa tiap akhir pekan, laki-laki dari Arab Saudi akan berbondong-bondong datang ke Bahrain, mengendarai mobil-mobil mewah, melewati jembatan King Fahad. Jembatan sepanjang 16 mil itu juga sering dijuluki jembatan "Johnny Walker", merek minuman keras. Tak heran, karena laki-laki Saudi kebanyakan melewati jembatan itu dengan tujuan untuk berpesta pora menenggak minuman keras yang konon dibatasi di Arab Saudi. Masih menurut situs traveling itu, pelacur juga mudah didapat di Manama. Sungguh sebuah kota yang bergelimang dosa.
Dan, menurut Anda, bagaimana perasaan rakyat Bahrain? Bahrain adalah sebuah negara di Timur Tengah dengan budaya Islam yang sangat kental. Penduduknya adalah muslim, yang kebetulan 60%-nya bermazhab Syiah. Kaum muslim, apapun mazhabnya, bila hidup di tengah kebejatan dan kebobrokan yang dipertontonkan secara terang-terangan seperti yang terjadi di ‘kota dosa' itu, pastilah akan merasa terhina. Ketika rasa terhina rakyat Bahrain mencapai puncaknya, mereka bangkit untuk menuntut pergantian rezim.
Ketika gelombang protes rakyat Bahrain semakin memuncak, para lelaki dari Arab Saudi juga datang berbondong-bondong melewati jembatan Johnny Walker itu. Namun, kali ini mereka datang dengan membawa senjata. Moncong senjata diarahkan kepada para demonstran yang bertangan kosong.
Tepat tanggal 14 Maret, sekitar 1000 tentara Saudi memasuki Manama dengan tujuan untuk membantu rezim Al Khalifa dalam membungkam demonstrasi rakyat Bahrain. Mereka menyerbu kampus Bahrain University, menembaki sekitar 350 pemuda muslim yang berdemo menuntut demokrasi, dengan gas air mata dan peluru karet. Mereka juga merangsek ke lapangan Pearl tempat berkumpulnya para demonstran dan kembali menyerang tanpa kenal ampun. Puluhan orang gugur dan ratusan lainnya terluka.
Serbuan pasukan dari Arab Saudi ini terjadi hanya dua hari setelah Menhan AS, Robert Gates, menemui Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al Khalifa di Manama. Sebagian besar analisis politik yang saya baca menyebutkan bahwa dalam kunjungan ini keduanya memang saling bersepakat untuk mempertahankan rezim Al Khalifa di Bahrain dengan cara apapun, termasuk dengan membunuhi rakyat Bahrain. Tentu saja, AS tetap beretorika dan menyatakan ‘menyesalkan kekerasan yang terjadi di Manama."
AS dan Uni Eropa telah memertontonkan kemunafikan paling dahsyat: mengirim pasukan ke Libya untuk ‘membebaskan' rakyat Libya dari Qaddafi serta mendorong terjadinya demokratisasi di Libya; namun pada saat yang sama, membiarkan (dan bahkan mendukung) raja-raja Arab membungkam tuntutan demokrasi di Bahrain. Kemunafkan mereka sudah bukan rahasia lagi. Standar ganda Barat dalam menghadapi Bahrain dan Libya hanyalah pengulangan dari sekian banyak standar ganda yang mereka pertontonkan sepanjang sejarah.
Namun yang menyedihkan adalah sikap kaum muslimin: mengapa hanya karena kebetulan penduduk Bahrain mayoritasnya Syiah, lalu mereka dianggap tak patut dibela? Tidakkah sikap seperti ini setali tiga uang dengan sikap AS dan sekutunya? (IRIB/24/3/2011)
0 comments to ""Jum'at berdarah " Apakah Hari Ini Rezim-Rezim Arab menyikat habis Pendemo Bahrain???!!!???Raja Abdullah: Tolong Jangan Panggil Saya Raja Arab Saudi?!"