Citizens International meminta Raja Arab Saudi, Abdullah dan Dewan Kerjasama Teluk Persia (GCC) supaya menarik pasukannya dari Bahrain. Menurut Citizens International, sama sekali tidak ada alasan bagi Arab Saudi untuk menempatkan pasukannya di Bahrain.
Dalam bagian statemennya, Citizens International menegaskan, "Tidak ada ancaman eksternal atas Bahrain. Di negara ini hanya terjadi protes damai oleh para pendukung reformasi demokratis."
Citizens International juga meminta Raja Hamad bin Isa Al-Khalifa supaya memilih opsi dialog dengan para pengunjuk rasa daripada harus menggunakan kekerasan dan pembantaian atas warga tak berdosa.
Statemen itu juga mengecam klaim Raja Hamad Al-Khalifa yang menuding para pendemo pro-demokrasi sebagai ulah pihak asing. Yang dimaksud pihak asing di sini adalah Republik Islam Iran??? Menurut Citizens International, tudingan itu sama sekali tidak berdasar. Disebutkannya pula, tudingan Raja Hamad Al-Khalifa itu sengaja dimunculkan untuk mengalihkan opini umum dari isu-isu seperti korupsi, tidak adanya demokrasi dan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia di Bahrain.
Sebelumnya, Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak menyatakan bahwa Malaysia mendukung tindakan Arab Saudi dan negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (GCC) yang diistilahkan sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian, rekonsiliasi dan stabilitas jangka panjang di Bahrain. Dikatakannya pula, "Malaysia menolak segala tindakan yang dilakukan kelompok teroris yang mengacaukan stabilitas dan keamanan negara (Bahrain)."
Sementara itu, Turki mengecam intervensi Arab Saudi dan rezim-rezim Arab lainnya. PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, belum lama ini mengatakan, "Pihak kami sangatlah jelas bahwa kami bukan berpihak pada sumur-sumur minyak. Kami berpihak pada rakyat, demokrasi, perdamaian dan persaudaraan."Ia menambahkan, " Kami tidak akan terjebak dalam kubangan para pedagang senjata. Kami meneriakkan; Wahai saudara janganlah bunuh saudara lain!!!"
"Apa yang terjadi di Bahrain adalah tragedi Karbala, " tegas Erdogan yang mengecam keras intervensi Arab Saudi dan rezim-rezim Arab lainnya atas Bahrain.
Belum lama ini, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei menyatakan bahwa intervensi militer Arab Saudi terhadap Bahrain adalah langkah keliru. Dikatakannya, "Langkah ini menyebabkan Arab Saudi dibenci masyarakat dunia."
"Jika AS dibenci masyarakat di kawasan, maka itu tidaklah terlalu penting karena jarak AS yang sangat jauh dengan kawasan. Akan tetapi jika Arab Saudi dibenci di masyarakat kawasan, maka itu adalah kerugian yang besar. Untuk itu, Arab Saudi telah melakukan kesalahan dan negara manapun yang melakukan langkah ini juga akan dihadapkan pada kekeliruan yang sama, " tegas Rahbar.
Berikut ini adalah statemen lengkap Citizens International;
24th March 2011
Saudi and GCC troops must be withdrawn from Bahrain
Citizens International calls on King Abdullah of Saudi Arabia and the Gulf Cooperation Council (GCC) to withdraw their troops from Bahrain for there is absolutely no reason for them to be there.
There is no external threat to Bahrain but only peaceful protests by the people demanding democratic reforms and an end to the archaic form of government by hereditary rulers.
King Hamad bin Eisa Al Khalifa, instead of using violence and killing and wounding hundreds of peaceful protesters, should have entered into a dialogue with the leaders of the democracy movement for establishing a constitutional democratic government in Bahrain with equal rights for all its citizens.
King Hamad recently claimed that the peaceful demonstrations of Bahrainis for democracy form part of a foreign plot which, with Saudi troops, has now been foiled. This is totally baseless and is directed at Iran to divert attention from the root cause of the protests which is corruption, lack of democracy and serious violation of human rights by his regime.
He should realize that he and other repressive regimes cannot continue to fool the Arab masses anymore by blaming Iran for the glorious peoples' struggles for freedom and democracy in the Arab world. They cannot play on sectarian differences to keep the people divided in order to perpetuate their illegitimate regimes. Sunnis and Shias are one - Muslims - and jointly demand an end to dictatorships and hereditary rule and for freedom, democracy and justice.
The Egyptian and Tunisian people have shown the way for the emergence of progressive and democratic Arab governments. It is only a matter of time before the remaining Arab dictators and hereditary rulers who do not listen to the voices of their people will be dumped into the dust-bin of history.
We call on Malaysians and all those who cherish freedom and democracy, wherever they may be, to support the struggle of the people of Bahrain, Saudi Arabia and other Arab countries for freedom, democracy and justice.
S.M Mohamed Idris
Chairman
Citizens International
(IRIB/AR/27/3/2011)
Perlakuan kejam terhadap para demonstran Bahrain oleh pasukan Arab Saudi dan antek-antek pro-rezim al-Khalifa terus berlanjut di saat pemerintah Bahrain meningkatkan bantuan bagi para imigran asing.
Kantor berita Fars melaporkan, tunjangan dan bantuan tersebut berlangsung sementara warga pribumi Bahrain hidup dengan fasilitas yang sangat terbatas. Kondisi tersebut diperburuk dengan tingkat pengangguran yang menanjak. Kebijakan pemerintah ini dilakukan dalam rangka mengubah susunan demografi Bahrain dengan meningkatkan jumlah imigran asing serta memberikan kepada mereka berbagai kemudahan.
Berdasarkan laporan itu, menyusul gelombang protes warga, banyak imigran asing yang telah mendapat status kewarganegaraan Bahrain direkrut menjadi polisi dan diinstruksikan menindak para pendemo. Namun menyusul mereka tidak memiliki keterikatan batin dengan Bahrain, sebagian besar mereka segera meninggalkan negera itu. Bahkan sebagian besar di antara mereka cedera akibat serangan pasukan Arab Saudi dan antek-antek rezim al-Khalifa.
Di sisi lain, dalam rangka membujuk imigran asing untuk tidak segera meninggalkan Bahrain, para pejabat rezim al-Khalifa, selain menemui mereka, juga menjanjikan para imigran yang sebagian besarnya berasal dari Pakistan itu untuk mendapatkan tunjangan seumur hidup dari pemerintah.
Gelombang eksodus imigran asal Pakistan itu terjadi setelah bentrokan antara imigran asal Pakistan dan warga pribumi yang menewaskan sejumlah imigran. Sebagian besar imigran Pakistan memiliki peran besar dalam bekerjasama dengan rezim al-Khalifa dalam menindak para demonstran.
Janji tunjangan seumur hidup terhadap imigran asal Pakistan itu sangat kontras dengan pengusiran seluruh imigran asal Iran, Lebanon, dan Irak, dari Bahrain. Bahkan para imigran dari tiga negara tersebut diancam teror jika tidak segera meninggalkan Bahrain???!!! Inikah Keadilan!!! (IRIB/MZ/SL/27/3/2011)Meski pemerintah Bahrain telah menetapkan jam malam dan undang-undang darurat militer, warga Bahrain tetap melanjutkan aksi protes di seluruh negeri. Press TV melaporkan, warga yang menentang kekuasaan rezim Al-Khalifah tetap terjun ke jalan-jalan tanpa peduli dengan undang-undang militer.
Hari Ahad (27/3) warga memenuhi jalan-jalan ibukota Manama menggelar aksi protes terhadap kekuasaan rezim Al-Khalifah.
Rakyat Bahrain rencananya juga akan menggelar demonstrasi besar-besaran di kota Manama hari Selasa mendatang, demikian dikatakan Sadeq Al-Jamri salah seorang tokoh oposisi.
Al-Jamri menyinggung undang-undang darurat militer yang telah ditetapkan pemerintah untuk masa tiga bulan, seraya mengatakan, undang-undang darurat ini diterapkan oleh rezim yang didukung oleh tentara dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar. Tapi rakyat akan tetap menggelar aksi protesnya.
Sejak rakyat Bahrain menggelar demonstrasi anti rezim 14 Februari 2011 lalu, tercatat sedikitnya 24 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka akibat tindakan represif tentara Bahrain yang didukung oleh tentara dari Arab Saudi yang Wahabi. (IRIB/AHF/28/3/2011)Di tengah-tengah berlangsungnya rapat kabinet paripurna, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyempatkan diri menerima Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Kerajaan Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, di Ruang Pertemuan Kantor Presiden, Kamis (24/3/2011) pukul 16.00 WIB. Pangeran Bandar datang didampingi asistennya, Rehab Masoud, dan Staf Kedubes Arab di Jakarta, Mohammad Al-Sufi. Demikian dilaporkan situs Presiden RI, www.presidenri.go.id.
Kali ini presiden merilis statemen yang menyatakan sejauh mana hubungan mesra antara Indonesia dan Arab Saudi. Saat menyambut Pangeran Bandar, SBY mengatakan,"Hubungan kita baik, solid, dan bertambah baik. Saya dan Raja Abdul Aziz juga selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan melakukan diskusi pada pertemuan G-20,"
Presiden juga menyampaikan terimakasih atas simpati dan bantuan Arab Saudi dalam berbagai bencana di Indonesia. "Oleh karena itu, saya berharap kedatangan Anda ke Indonesia akan dapat memperkuat hubungan antara kedua negara kita," Presiden SBY menambakan, dalam bahasa Inggris.
Ketika menerima Pangeran Bandar, Presiden SBY didampingi Menlu Marty Natalegawa, yang juga sedang mengikuti rapat kabinet terbatas. Rapat kabinet sendiri membahas, antara lain, penanganan TKI dan WNI yang sedang mengalami masalah di Arab Saudi.
Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional yang juga Utusan Khusus Raja Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan bin Abdul Aziz Al-Saud, menyampaikan perkembangan situasi Timur Tengah, khususnya di Bahrain, terkait pengiriman pasukan Arab Saudi dan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperative Council - GCC). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memahami kebijakan tersebut??!!!.
Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah menyampaikan hal ini dalam keterangan pers, usai mendampingi Presiden SBY menerima Pangeran Bandar, di Kantor Presiden, Kamis (24/3) petang. "Presiden memahami pertimbangan GCC untuk mengirimkan pasukan mereka termasuk dari Arab Saudi," kata Faiz.
Kepada Utusan Khusus Raja Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud itu, lanjut Faiz, Presiden SBY menyampaikan harapannya agar situasi di Bahrain dapat kembali normal. "Dan segera ada satu penyelesaian damai yang dapat disepakati oleh bangsa Bahrain," Faiz menambahkan.
Seperti diketahui, Bahrain kini sedang dilanda krisis politik. Arab Saudi dan negara-negara anggota GCC mengirimkan pasukannya ke Bahrain --yang diistilahkan sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian, rekonsiliasi, dan stabilitas jangka panjang di negeri berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa itu.
Sebelum ke Indonesia, Pangeran Bandar juga melakukan kunjungan ke Malaysia dan bertemu Perdana Menteri Datuk Seri Najib Tun Razak.
Sepertinya Arab Saudi gencar melakukan sosiliasi terkait sikapnya mengintervensi urusan internal Bahrain. Pengiriman militer oleh Arab Saudi ke Bahrain dengan dalih mengamankan kondisi Manama mendapat kritikan luas dan sempat di sebut-sebut sebagai kesalahan terberas Riyadh sepanjang sejarah. Untuk memulihkan citranya, penguasa Saudi terpaksa melakukan berbagai lobi ke negara-negara, termasuk Indonesia.
Pemerintah Indonesia mendesak pihak-pihak yang terlibat pertikaian di Libya segera melakukan gencatan senjata. Hal itu untuk mencegah bertambahnya korban jiwa, khususnya dari kalangan warga sipil Libya.
Dikatakan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, konflik di Libya hanya dapat diselesaikan melalui proses politik, yakni melalui dialog. "Kita merasa sekarang harus segera diumumkan dan dihormati gencatan senjata oleh semua pihak," katanya kepada Tempo di kantornya, Jum'at 25 Maret 20112.
Pihak-pihak yang harus melakukan gencatan senjata, kata Marty, antara lain pemerintah Libya dibawah Presiden Muammar Qadhafi, pihak oposisi Libya yang mendesak Qadhafi lengser dari tampuk kepemimpinan, serta pasukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang membombardir militer Libya.
Pemerintah Libya, menurut dia, harus segera mengakhiri serangan-serangan yang ditujukan kepada rakyatnya sendiri. Kelompok pemberontak atau oposisi juga harus menanggalkan cara-cara kekerasan yang justru membawa korban di antara warga Libya sendiri. "Pihak masyarakat internasional juga harus melihat cara-cara lain untuk bisa melindungi warga sipil Libya," katanya.
Seperti diberitakan, sejak Ahad 20 Maret lalu, pasukan Amerika Serikat dan sekutunya membombardir Libya dengan ratusan rudal yang dimuntahkan dari pesawat Tomahawk maupun kapal perang Inggris dari arah laut. Sasaran pasukan ini sedikitnya 20 lokasi yang diyakini sebagai pusat kekuatan angkatan udara Qadhafi.
Ini merupakan serangan militer Amerika dan sekutunya sejak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi memberlakukan operasi militer di Libya, Kamis pekan lalu. Bahkan, terakhir, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang beranggotakan 28 negara juga sepakat memimpin operasi militer di Libya. (IRIB/Tempointeraktif/ www.presidenri.go.id/26/3/2011)Krisis di Bahrain semakin parah dengan campur tangan Riyadh yang mengirim pasukannya ke negara ini. Meski dikritik banyak pihak, namun sepertinya Arab Saudi tetap melanjutkan intervensi militernya ke Bahrain.
Di saat rakyat Bahrain melanjutkan aksi unjuk rasa menentang rezim al-Khalifa, Arab Saudi mengirim bantuan militer ke negara tetangganya itu. Dilaporkan, tank-tank Saudi bergerak melintasi perbatasan kedua negara Arab ini. Koran al-Masry al-Youm melaporkan Riyadh mengirimkan 30 tank ke Bahrain untuk mendukung pemerintahan al-Khalifa dan memberangus suara protes rakyat Bahrain yang semakin meningkat.
Para saksi mata mengatakan 15 kendaraan pengangkut tank yang masing-masing membawa dua tank bergerak menuju Bahrain. Menyusul berlanjutnya protes anti-rezim monarki Bahrain, pengiriman mesin-mesin perang dari Arab Saudi ke Bahrain pun meningkat melalui jalur lintasan sepanjang 25 km yang menghubungkan perbatasan kedua negara.
Riyadh mengirimkan kendaraan militer lapis baja untuk menyelamatkan singgasana Raja Bahrain, Syeikh Hamad bin Isa al-Khalifa berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Bahrain dan Arab Saudi. Sementara itu, protes rakyat menentang rezim di Bahrain tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan setelah hampir dua minggu berlalu. Para demonstran menuntut pengunduran diri rezim, reformasi konstitusional dan tahta raja.
Sebelumnya, rakyat memblokir jalan-jalan menuju parlemen yang menyebabkan gagalnya pelaksanaan sidang parlemen hari itu. Majelis Tinggi yang dianggotai oleh 40 pejabat yang langsung ditunjuk oleh raja, berencana menggelar sidang darurat hari itu. Namun sidang tersebut terpaksa dibatalkan karena aksi para demonstran.
Para pemrotes menuntut pembebasan tahanan politik dan aktivis sosial, penghapusan diskriminasi, kebebasan sipil dan kesetaraan bagi seluruh warga Bahrain baik Sunni maupun Syiah. Para demonstran menyatakan akan tetap melanjutkan aksi protesnya untuk menggulingkan rezim al-Khalifa selama haknya tidak dipenuhi. Parpol Bahrain juga menyatakan tidak akan menghentikan protesnya di negara seluas 750 kilometer persegi itu.
Sheikh Hassan Isa, anggota Fraksi Wafaq menyatakan segala cara yang dilakukan rezim untuk memberangus suara rakyat tidak akan membuahkan hasil apapun dan sia-sia belaka. Karena revolusi rakyat terus berlanjut dan tidak bisa dihentikan oleh tekanan penguasa. Rakyat dan berbagai partai politik Bahrain mengecam intervensi Arab Saudi atas negara ini dan menilainya justru akan semakin memperkeruh keadaan. Sejatinya, alih-alih meminta bantuan Riyadh, Raja Khalifa seharusnya mendengarkan tuntutan rakyat dengan melakukan reformasi di negara monarki konstitusional itu.
Intervensi militer Arab Saudi ke Bahrain membuat para pemimpin dan tokoh terkemuka Manama sangat khawatir. Mereka bahkan meminta organisasi internasional termasuk Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk aksi Riyadh dan segera turun tangan. Para pemimpin revolusi rakyat Bahrain dalam pesannya kepada Sekjen PBB, Ban Ki-moon meminta bantuan secepatnya kepada rakyat Bahrain akibat ancaman militer asing. Aqil al-Musawi, jubir aliansi ulama 14 Februari Bahrain memperingatkan negara Arab soal pengiriman pasukan ke negara ini. Ia mengatakan,"intervensi asing dan dukungannya terhadap rezim al-Khalifa tidak akan melunturkan tekad kuat rakyat."
Abdul Jalil Khalil Ibrahim, ketua Fraksi Partai al-Wefaq di parlemen menandaskan, kehadiran pasukan PGCC di Bahrain tidak dapat diterima. Hasan Mushaima, sekjen Partai al-Haq menegaskan,"langkah Arab Saudi mengirim pasukannya ke Bahrain untuk menumpas demonstrasi rakyat merupakan intervensi nyata dalam urusan internal Manama dan pelanggaran terhadap kedaulatan sebuah negara." Ia juga memperingatkan aksi bungkam negara lain atas langkah Arab Saudi dan meminta organisasi internasional serta PBB mengutuk intervensi Riyadh. Khalil Marzuq, wakil satu ketua parlemen Bahrain dalam komentarnya mengatakan, sikap rezim Bahrain mengundang pasukan PGCC untuk menyelesaikan krisis di negara ini menunjukkan legalitas penguasa telah sirna.
Marzuq menyikapi dalih pemimpin Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar soal pengiriman pasukan ke Bahrain yang katanya sesuai dengan koridor perjanjian pertahanan di PGCC. Ia mengatakan, berdasarkan kesepakatan bersama anggota PGCC, pasukan multinasional di organisasi ini hanya dikerahkan jika negara anggota mengalami ancaman dari sesama anggota, atau negara lain. Haytham Manna, anggota komisi HAM Arab juga menyebut intervensi asing di Bahrain tidak dapat diterima. "Opsi militer yang ditempuh rezim Bahrain untuk menyelesaikan krisis sama halnya dengan aksi bunuh diri rezim ini sendiri dan menghapus legalitas yang dimilikinya," tambahnya.
Di tingkat internasional, Sekjen PBB, Ban Ki-moon sangat mengkhawatirkan pengiriman pasukan Arab Saudi dan Emirat ke Bahrain. Dalam statemennya ia menandaskan kekhawatiran dan kemarahannya atas aksi Riyadh dan Abu Dhabi. Menurutnya, PBB akan tetap melanjutkan interaksinya dengan pemerintah dan kelompok anti pemerintah Bahrain. Tak lupa, Ban Ki-moon meminta negara tetangga Bahrain dan masyarakat internasional mendukung proses perundingan dan reformasi sejati di Manama.
Republik Islam Iran termasuk negara pertama di kawasan yang mereaksi pengiriman pasukan Arab Saudi, Emirat dan Qatar ke Bahrain. Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad dalam hal ini kepada wartawan menandaskan, kini harus disadari bahwa artileri dan tank bukan opsi terbaik menghadapi tuntutan rakyat. Ia menegaskan bahwa rakyat adalah pemilik sejati sebuah negara. Pengalaman menunjukkan bahwa kekerasan dalam menghadapi tuntutan rakyat tidak pernah berhasil. Menurut Ahmadinejad, para pemimpin Arab hanya mampu melanggengkan kekuasaannya dengan menarik simpati rakyat. "Aksi kekerasan dalam menghadapi tuntutan rakyat dengan menggelar senjata berat termasuk tank dan kendaraan lapis baja adalah tindakan brutal serta tak manusiawi," ungkap Ahmadinejad.
Ahmadinejad menegaskan, patut disayangkan sejumlah negara kawasan mengirim pasukan ke Bahrain untuk menumpas revolusi rakyat dan ini merupakan tindakan tak manusiawi. Departemen Luar Negeri Iran juga memberikan reaksinya dengan memanggil kuasa usaha Bahrain dan dubes Arab Saudi serta menyampaikan protesnya atas aksi kekerasan terhadap rakyat Bahrain. Deplu Iran juga memanggil dubes Swiss dan pelindung kepentingan AS. Iran memprotes dukungan Washington terhadap langkah Arab Saudi terhadap Bahrain baru-baru ini.
Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan juga menyikapi keras pengiriman militer Arab Saudi ke Bahrain. Ia memperingatkan petinggi Riyadh soal dampak intervensi militer ke Manama. Menurutnya hingga saat ini bentrokan dan friksi antar muslim hanya menguntungkan pihak asing, namun selanjutnya kami tidak ingin menyaksikan lagi adanya friksi antar umat Islam dan terjadinya Karbala lain. Karena hal ini menurut Erdogan akan kembali melukai perasaan umat Islam.
Sementara itu, para petinggi Arab Saudi tidak mengindahkan reaksi yang bermunculan dan tetap mengirim pasukannya ke Bahrain sesuai dengan kebijakan jangka panjangnya. Pengiriman pasukan Arab Saudi ke Bahrain di satu sisi dimaksudkan untuk mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat dan di sisi lain menenangkan rezim Riyadh soal ketakutannya atas kemenangan rakyat Bahrain.
Jika perjuangan rakyat Bahrain berhasil maka AS akan kehilangan salah satu pangkalan militer terpentingnya di kawasan. Hal ini juga dapat diprediksikan sebagai babak awal berakhirnya hegemoni Amerika di Teluk Persia sebagai kekuatan arogan.
Hal inilah yang membuat AS bersikap berbeda dalam mereaksi revolusi rakyat Bahrain. Terkait Bahrain dan Libya, Washington menerapkan standar gandanya dan mengutuk diktator Muammar Gaddafi serta memintanya secepatnya meletakkan jabatan. Namun terhadap pemimpin Bahrain, Gedung Putih lebih memilih bungkam. Malah pemerintahan Barack Obama tetap mendukung kekuasaan Sheikh Hamad bin Isa al-Khalifa???!!!.(irib/27/3/2011)
March 22, 2011
Analisis Menarik dari Duo Leverett!!!
Oleh Flynt Leverett dan Hillary Mann Leverett
Kami akan mengambil taruhan yang disodorkan oleh kapitalis-miliarder George Soros kepada Fareed Zakaria dari CNN minggu ini, bahwa “rezim Iran tidak akan bertahan dalam waktu setahun”. Sebenarnya, kami ingin meningkatkan taruhan bahwa tidak hanya Republik Islam akan tetap bertahan sebagai pemerintah Iran dalam waktu satu tahun, tetapi satu tahun dari sekarang, keseimbangan pengaruh dan kekuatan di Timur Tengah akan condong secara lebih jelas kepada Iran daripada yang sudah-sudah.
Persis satu dekade silam, menjelang serangan 9/11, Amerika Serikat telah membudidayakan apa yang kerap disebut oleh para pembuat kebijakan Amerika sebagai “kamp moderat” yang kuat di kawasan tersebut, meliputi negara-negara yang relatif berhasil dijerumuskan ke dalam “perundingan damai” dengan Israel dan kerjasama strategis dengan Washington, yaitu Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk Persia lainnya, serta Maroko, Tunisia, dan Turki.
Di sisi lain, Republik Islam (Iran) memiliki aliansi pada tataran tertentu dengan Suriah, serta hubungan dengan kelompok-kelompok militan yang relatif kecil seperti Hamas dan Hizbullah. Sementara negara-negara “radikal” lainnya seperti Irak di bawah Saddam Hussein dan Libya di bawah Muammar al-Qaddafi bahkan jauh lebih terisolasi.
Sebagai akibat dari perang Irak, runtuhnya proses perdamaian Arab-Israel, dan beberapa manuver diplomasi yang cukup cerdik oleh Iran serta sekutu-sekutu regionalnya, keseimbangan pengaruh dan kekuatan di Timur Tengah telah bergeser secara signifikan melawan Amerika Serikat.
Skenario untuk “menyapih” Suriah dari Iran semakin menjadi fantasi karena hubungan Damaskus dan Teheran justru menjadi semakin strategis secara kualitas. Turki, di bawah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), telah mencatat kebijakan luar negeri yang benar-benar independen, termasuk kemitraan strategis konsekuensial dengan Iran dan Suriah.
Hamas dan Hizbullah, yang disahkan oleh keberhasilan mereka dalam pemilu, telah muncul sebagai aktor politik yang penting di Palestina dan Lebanon. Maka, semakin kecillah kemungkinan bahwa Irak pasca-Saddam akan menjadi aset strategis yang berarti bagi Washington dan semakin besar kemungkinan bahwa hubungan Baghdad paling penting adalah dengan Iran, Suriah, dan Turki. Dan, semakin tampak pula bahwa sekutu-sekutu AS seperti Oman dan Qatar berupaya menyelaraskan diri mereka dengan Republik Islam dan anggota-anggota lainnya dari “blok perlawanan” di Timur Tengah pada isu-isu high-profile di arena Arab-Israel—seperti ketika emir Qatar terbang ke Beirut seminggu setelah perang Lebanon 2006 untuk menjanjikan bantuan rekonstruksi besar-besaran bagi basis Hizbullah di bagian selatan dan secara terbuka membela perlawanan Hizbullah serta memuji kemampuan militernya.
Bahkan pada masa pemerintahan Obama, keseimbangan pengaruh dan kekuatan regional telah bergeser lebih jauh lagi dari Amerika Serikat dan condong kepada Iran serta sekutunya.
Republik Islam terus memperdalam aliansinya dengan Suriah dan Turki serta memperluas pengaruhnya di Irak, Lebanon, dan Palestina. Jajak pendapat publik, misalnya, terus menunjukkan bahwa para pemimpin kunci dalam “blok perlawanan” Timur Tengah—Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Suriah Bashar Assad, Hassan Nasrallah dari Hizbullah, Khaled Mishaal dari Hamas, dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan—sangat populer di seluruh kawasan daripada rekan-rekan mereka dalam kubu “rezim aliansi AS” di Yordania, Otorita Palestina, dan Arab Saudi.
Dan, sekarang, pemerintahan Obama berdiri tanpa daya ketika kesempatan-kesempatan baru bagi Teheran untuk mengatur ulang keseimbangan regional muncul di Bahrain, Mesir, Tunisia, Yaman, dan mungkin di tempat-tempat lain.
Jika rezim-rezim politik Arab “pro-Amerika” yang saat ini sedang menghadapi tentangan dan dijatuhkan oleh gerakan-gerakan protes yang signifikan menjadi lebih mencerminkan suara populasi mereka, maka mereka tidak akan ragu untuk mengurangi—atau setidaknya menjadi kurang antusias—kerjasama strategis dengan Amerika Serikat. Dan, jika rezim-rezim “pro-Amerika” ini tidak digantikan oleh rezim Islam yang didominasi kelompok Salafi, maka pemerintahan-pemerintahan Arab yang muncul dari kekacauan ini mungkin setidaknya akan menerima pesan Iran tentang “perlawanan” dan kemandirian dari Israel serta Barat.
Tentu saja, setiap pemerintahan di Kairo yang sedikit lebih representatif daripada rezim Hosni Mubarak tidak akan bersedia untuk tetap berkolaborasi dengan Israel dalam melanjutkan blokade Gaza atau untuk terus berpartisipasi dalam program penahanan rahasia CIA yang membawa kembali orang Mesir ke Mesir hanya untuk disiksa. Demikian juga, setiap tatanan politik di Bahrain yang menghormati realitas mayoritas penduduk Syiah di negara itu akan tegas menentang penggunaan wilayahnya sebagai basis bagi aksi militer AS terhadap kepentingan Iran.
Dalam beberapa tahun ke depan, semua perkembangan ini bahkan akan lebih menggeser keseimbangan regional untuk menjauh dari Amerika Serikat dan condong kepada Iran. Jika Yordania—sebuah negara klien AS yang setia—juga ikut bermain selama periode ini, maka ia akan condong lebih jauh ke arah Iran.
Terhadap hal ini, Soros, elit Amerika lainnya, media, dan pemerintahan Obama, berkeyakinan bahwa gelombang kebangkitan massa yang menurunkan satu demi satu sekutu AS di Timur Tengah sekarang akan juga menjatuhkan pemerintahan Republik Islam—dan juga mungkin pemerintahan Assad di Suriah. Keyakinan ini lebih terlihat sebagai kemenangan angan-angan daripada sebuah analisis yang mendalam.
Banyak dari para pelaku yang sama, tentu saja, bekerja keras untuk cukup terlibat dalam hiruk-pikuk setelah Pemilu Presiden Juni 2009 di Republik Islam Iran. Selama berbulan-bulan, kita mengalami klaim-klaim yang benar-benar tak beralasan bahwa pemilu telah “dicuri” dan bahwa Gerakan Hijau akan menyingkirkan rezim Iran.
Seperti juga Soros pada hari ini, banyak pakar memprediksi kematian Republik Islam pada 2009 atau 2010 seraya membuat kerangka-kerangka waktu dalam berbagai prediksi mereka—yang semuanya, menurut pengetahuan terbaik kami, telah berlalu tanpa terjadinya ledakan dalam sistem Iran. (Tapi jangan khawatir tentang dampak buruk dari malpraktek mengerikan tersebut terhadap karir mereka yang membuktikan diri tidak kompeten dalam analisis Iran. Pada hari ini, dalam Amerika yang bebas dari akuntabilitas, para “pakar” Iran yang begitu salah dalam analisis tentang Gerakan hijau pada 2009 dan 2010 itu telah kembali lagi.)
Sejak hari-hari pertama setelah pemilihan presiden Iran 2009, kami menunjukkan bahwa Gerakan Hijau tidak bisa berhasil dalam menjatuhkan Republik Islam, karena dua alasan dasar: gerakan ini tidak mewakili mayoritas masyarakat Iran dan mayoritas Iran masih mendukung gagasan tentang Republik Islam.
Dua faktor tambahan bermain pada hari ini, yang membuat semakin tidak mungkin bagi mereka yang mengorganisasi demonstrasi sporadis di Iran selama seminggu terakhir akan dapat mengatalisasi “perubahan rezim” di sana.
Pertama, apa yang tersisa dari Gerakan Hijau hanyalah bagian yang lebih kecil daripada masyarakat Iran dibandingkan dengan gerakan itu pada musim panas dan musim gugur 2009. Kegagalan para calon presiden yang kalah, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, untuk membuktikan pernyataan mereka tentang kecurangan pemilu dan peran penting Gerakan Hijau dalam demonisasi Barat terhadap Republik Islam sejak Juni 2009 tidaklah berfungsi positif bagi orang Iran di dalam Iran. Itu sebabnya, misalnya, mantan Presiden Mohammad Khatami diam-diam berupaya menjauhkan diri dari apa yang tersisa dari Gerakan Hijau—hal yang sama akan dilakukan setiap politikus reformis yang masih ingin memiliki masa depan politik di Republik Islam. Sebagai hasil dari salah perhitungan yang fatal oleh para pemimpin oposisi, mereka yang ingin mencoba lagi untuk mengorganisasi sebuah gerakan massa melawan Republik Islam memiliki peluang yang jauh lebih kecil daripada potensi yang mungkin bisa dimobilisasi. Ini jelas bukan potensi kemenangan, bahkan di era Facebook dan Twitter seperti sekarang ini.
Kedua, upaya untuk memulai kembali protes di Iran berlangsung pada saat kesempatan strategis terlihat nyata bagi Teheran di Timur Tengah. Keseimbangan regional bergeser, dengan cara yang berpotensi amat menentukan, dalam mendukung Republik Islam dan melawan Amerika. Dalam konteks ini, seruan Mousavi dan Karroubi kepada pendukung mereka untuk turun ke jalan pada 14 Februari—hanya tiga hari setelah pemerintahan Obama mengeluarkan desakan tersendiri bagi orang Iran untuk memberontak melawan pemerintah mereka dan ketika Obama dan tim keamanan nasionalnya terhuyung-huyung lantaran hilangnya Mubarak, sekutu lama Amerika di Mesir—adalah sebuah kesalahan luar biasa.
Rakyat Iran tidak akan mengakui orang-orang yang mereka anggap berkerja melawan kepentingan nasional sebagai kampiun politik. Dua dari rival paling menonjol kubu konservatif Ahmadinejad—mantan Presiden Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan mantan komandan Garda Revolusi dan kandidat presiden Mohsen Rezai—secara terbuka dan mengkritik Mousavi dan Karroubi atas tindakan dan pernyataan terbaru mereka. Ketua Parlemen Ali Larijani, rival lain Ahmadinejad, mengatakan bahwa Parlemen mengutuk aksi agitasi menyesatkan dari Zionis, Amerika, anti-revolusioner, dan anti-nasional, tuduhan yang mengarah kepada kedua pemimpin Gerakan Hijau yang menurutnya telah jatuh ke dalam perangkap yang dirancang Amerika.
Upaya-upaya AS untuk campur tangan dalam politik internal Republik Islam biasanya kurang bijaksana dan seringkali menjadi bumerang. Namun, kinerja pemerintahan Obama menetapkan standar baru dalam hal ini. Di antara konsekuensi lainnya, inisiatif pemerintah Obama terbaru untuk memprovokasi kerusuhan di Iran akan menempatkan apa yang tersisa dari kubu reformis dalam politik Iran pada kerugian yang lebih besar menjelang pemilihan parlemen tahun depan dan pemilu presiden berikutnya pada 2013. Kubu reformis sekarang dalam bahaya karena dikaitkan dengan gerakan oposisi yang semakin terpinggirkan dan terdiskreditkan karena secara efektif melakukan kehendak Amerika.
Pada tingkat yang lebih strategis, pendekatan pemerintahan Obama pasca-Ben Ali dan pasca-Mubarak bagi Iran telah menempatkan kepentingan AS dalam bahaya yang serius. Hal ini berisiko hilangnya kemungkinan berhubungan secara konstruktif dengan Republik Islam yang semakin berpengaruh. Lebih luas, pada saat dimana Amerika Serikat perlu mengetahui bagaimana berhubungan dengan tatanan politik dan gerakan-gerakan Islam yang benar-benar independen, yang merupakan pengganti paling mungkin bagi otokrasi “pro-Amerika” di Timur Tengah, pendekatan pemerintah Obama kepada Iran malah mengambil arah sebaliknya.
Amerika Serikat menghadapi tantangan serius di Timur Tengah. Posisi strategisnya di bagian penting dari dunia ini terus mengikis di depan mata kita. Terlibat dalam fantasi tentang perubahan rezim di Iran hanya akan membuat situasi menjadi lebih buruk.(www.foreignpolicy.com)
Flynt Leverett adalah peneliti senior di New America Foundation Washington, DC., dan seorang profesor di Pennsylvania State University School of International Affairs. Dari Maret 2002 hingga Maret 2003, dia menjabat sebagai direktur senior untuk urusan Timur Tengah pada Dewan Keamanan Nasional AS. Sebelumnya, ia adalah seorang ahli kontraterorisme di Departemen Luar Negeri AS Bagian Perencanaan Kebijakan, dan sebelum itu ia menjabat sebagai seorang analis senior CIA selama delapan tahun.
Hillary Mann Leverett adalah CEO Strategic Energy and Global Analysis (STRATEGA), sebuah konsultan risiko politik. Pada September 2010, dia menjabat sebagai dosen dan peneliti senior pada Yale University’s Jackson Institute for Global Affairs.
0 comments to "Muslim Iran menumbangkan orang Persia yang antek Zionis saja masih disebut sebagai Revolusi Syiah, apalagi rakyat Bahrain VS Zionis + pemerintah korup"