Bahrain di Teluk Persia termasuk negara yang bergejolak anti-rezim arogan yang berkuasa di negara ini. Dalam beberapa hari terakhir ini, media-media dan kalangan politisi meliput gejolak di negara-negara seperti Mesir, Tunisia, Libya, Yaman dan Yordania. Akan tetapi peliputan berita terkait kebangkitan rakyat Bahrain dipenuhi dengan penyensoran. Para pejabat AS berupaya mengarahkan gejolak di negara-negara Afrika utara dan Timur Tengah demi kepentingan Washington di kawasan. Untuk itu, mereka kurang menaruh perhatian besar pada kebangkitan rakyat di Bahrain.
Kebangkitan yang terjadi di Bahrain mempunyai banyak kemiripan dengan kebangkitan rakyat di negara-negara kawasan. Akan tetapi Bahrain juga mempunyai perbedaan dengan negara-negara Arab lainnya. Perbedaan inilah yang membuat Bahrain kurang direaksi serius oleh Washington dan Televisi Aljazeera yang akhir-akhir ini menjadi media yang spesial dalam meliput gejolak di Timur Tengah. Salah satu perbedaan Bahrain dengan negara-negara lain adalah demografi populasi dan ideologi masyarakat negara ini. Menurut data yang ada, sekitar 70 persen warga dari sekitar satu juta warga Bahrain bermadzhab Syiah.
Meski mayoritas masyarakat Bahrain bermadzhab Syiah, namun kekuasaan dipegang oleh keluarga Al-Khalifa yang bermadzhab Sunni. Tak dapat dipungkiri, nasib masyarakat Bahrain sama dengan negara-negara Arab lainnya yang tengah bergejolak. Mereka juga ditindas oleh sebuah keluarga. Kondisi ini juga dapat disaksikan di Tunisia, Mesir dan Libya. Pada prinsipnya, gejolak yang muncul di Bahrain bermula dari semangat yang sama dengan masyarakat Timur Tengah lainnya setelah ditindas sebuah keluarga lalim yang berkuasa tanpa mempedulikan rakyat.
Bahrain dan Syiah
Sebelum dan sesudah pemisahan dari Iran dan pengumuman independensi pada tahun 1970, para raja Bahrain memberantas semua gerakan pro-keadilan Syiah . Mereka juga menangkap, mengasingkan dan membunuh para pemimpin gerakan Syiah. Akibatnya, kebangkitan Syiah terjadi di seluruh penjuru di negara ini pada tahun 1999. Masyarakat mayoritas Bahrain yang juga bermadzhab Syiah menuntut penegakan demokrasi dan pencabutan diskriminasi. Kebangkitan masyarakat Syiah itu menewaskan dan mencederai puluhan warga. Lebih dari itu, ratusan orang dijebloskan ke penjara.
Raja Bahrain saat ini, Sheikh Hamad bin Isa Al-Khalifa setelah memegang tampuk pemerintah pada tahun 1999, menjanjikan akan melakukan perombakan politik bahkan ia meratifikasi sebuah piagam yang dinamai "Piagam Persembahan Nasional". Akan tetapi janji hanyalah janji. Hingga kini, Hamad bin Isa Al-Khalifa tidak merealiasikan janji tersebut. Kondisi politik di Bahran terus mengalami stagnan.
Menyusul pergolakan di Tunisia dan Mesir, rakyat Bahrain terpanggil melakukan penentangan anti-rezim arogan yang tak menghiraukan aspirasi masyarakat. Masyarakat Bahrain kembali bangkit melawan pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri Sheikh Khalifa bin Salman Al-Khalifa sejak tahun 1971.
Di tengah kian getolnya politik AS bersikap anti-revolusi dan gerakan Islam di Timur Tengah, masyarakat Bahrain tambah bersikeras mempertahankan tekad mereka untuk lepas dari cengkeraman asing. Selain itu, mereka juga menolak tegas rezim keluarga Al-Khalifa yang tidak memenuhi keinginan rakyat.
Pada dasarnya, keluarga Al-Khalifa tidak akan mampu berkuasa atas masyarakat mayoritas di Bahrain tanpa dukungan Inggris dan AS. Sebelum berpisah dari Iran, Bahrain berada di bawah pendudukan Inggris. Pada prinsipnya, para penjajah asal Eropa dan AS menaruh perhatian spesial pada negara pulau Bahrain ini. Sejak tahun 1970, Portugal, Inggris dan AS mencengkeram negara ini.
Pangkalan Militer AS
Setahun setelah independen, Raja Bahrain pada tahun 1971 menandatangani nota pejanjian militer bersama dengan AS. Berdasarkan kesepakatan tersebut, tanah seluas 40 kilometer persegi diserahkan kepada AS. Kesepakatan itu kemudian menjadi landasan perluasan kerjasama militer kedua negara pada tahun 1977. Dari hasil pengokohan kerjasama militer tersebut, Angkatan Laut AS mendapat kemudahan dalam skala luas di Pelabuhan Salman Bahrain.
Menyusul agresi Irak atas Kuwait pada tahun 1991, posisi militer AS di Bahrain kian diperkuat. Sejak tahun 1993, komando Angkatan Laut AS ditempatkan di Bahrain. Pada bulan Januari 1995, Bahrain menjadi tempat bercokolnya Armada Kelima Angkatan Laut AS. Dengan demikian, kapal induk AS akan bercokol secara langgeng di Bahrain. Selain itu, Bahrain menjadi sarang satuan militer yang mencakup kapal-kapal militer dan kapal selam yang dikendalikan dari luar Teluk Persia.
Armada Kelima Angkatan Laut AS di Bahrain berfungsi sebagai penjaga kepentingan-kepentingan ilegal AS di Teluk Persia, Laut Oman, Teluk Aden dan bagian dari Laut Merah. Pada tanggal 26 Mei, Angkatan Laut AS memulai pelaksanaan proyek perluasan Armada Kelima Angkatan Laut AS di Pelabuhan Salman yang terletak di timur Manama. Dana proyek itu diumumkan senilai 580 juta dolar AS yang dianggarkan Angkatan Laut AS.
Menurut rencana, proyek itu juga melebar ke wilayah darat. Proyek di darat itu seluas 28 hektar yang akan digarap empat tahap. Menurut rencana, proyek besar Angkatan Laut di Bahrain akan tuntas hingga tahun 2015. Melalui proyek itu, luas pangkalan militer AS di Bahrain akan melebar dua kali lipat. Selain itu, militer AS juga berniat meningkatkan kemampuan dan kapasitas Armada Kelima Angkatan Laut AS. Akan tetapi perkembangan terbaru di negara ini membuat rencana AS dihadapkan pada nasib yang tidak jelas.
AS sangat membutuhkan Bahrain untuk terus mengeruk cadangan minyak di Timur Tengah. Washington juga meyakini bahwa tidak ada seperti keluarga Al-Khalifa di Bahrain yang dapat melayani Washington dengan baik. Al-Khalifa benar-benar menjadi pelayan AS, bahkan negaranya siap diduduki untuk kepentingan AS. Karena inilah AS mendukung penuh keluarga Al-Khalifa untuk tetap berkuasa di negara ini. Apalagi pihak-pihak yang melawan rezim adalah kelompok Syiah. AS mempunyai trauma tersendiri atas negara-negara yang mayoritasnya bermadzhab Syiah seperti Iran dan Irak.
Efek Domino
Yang jelas, AS dan para penguasa di Timur Tengah benar-benar khawatir akan perubahan sistem yang mengarah pada demokrasi. Hampir semua negara di Timur Tengah menerapkan sistem kerajaan dalam memerintah rakyat. Dengan sistem kerajaan, rakyat sama sekali tidak mempunyai peran untuk menentukan nasib mereka dalam mengatur sistem negara, termasuk urusan minyak yang melimpah di Timur Tengah.
Di antara negara-negara Arab hanya Kuwait yang mempunyai sistem parlemen. Itupun wewenangnya sangat terbatas. Para emir di negara-negara Timur Tengah dapat disebut sebagai orang-orang terkaya di dunia. Pada umumnya, kekayaan mereka dihasilkan dari perdagangan minyak.
Dengan meningkatnya kesadaran rakyat, sistem kerajaan adalah sistem yang tidak dapat diterima. Apalagi para penguasa yang biasa duduk di kursi kekuasaan berasal dari sebuah keluarga yang mementingkan kepentingan mereka dibanding kepentingan rakyat. Tak diragukan lagi, kondisi ini membangkitkan aksi protes rakyat atas para penguasa yang lalim.
Pada umumnya, para raja itu bertahan semenjak masa penjajahan Eropa. Dengan demikian, para emir itu adalah warisan imperialisme yang diskenario sedemikian rupa sehingga kepentingan Barat tetap terjaga di kawasan. Ini adalah permainan cantik Barat untuk menghilangkan jejak penjajahan di kawasan. Melalui tangan-tangan para raja yang rakus dan lalim ini, Barat tetap dapat mengeruk kekayaan di Timur Tengah, hingga kini.
Akan tetapi sistem kerajaan telah berakhir. Menurut analis politik, kehancuran rezim diktator Ben Ali di Tunisia dapat diibaratkan seperti efek domino yang akan menghancurkan seluruh sistem arogan di Afrika Utara. Inilah yang dikhawatirkan oleh Barat. Sebab, gejolak di Bahrain adalah kelanjutan kebangkitan rakyat di Timur Tengah.
Kekhawatiran itu tenyata bukan dialami Barat saja, tapi juga Arab Saudi. Kerajaan Saudi juga meminta Bahrain supaya terus menekan kebangkitan rakyat di Bahrain. Menurut keyakinan keluarga Kerajaan Saudi, kebangkitan Bahrain dapat dikatakan sebagai benteng pertama untuk menghadapi kebangkitan rakyat. Jika rezim Bahrain gagal menghadapi kebangkitan rakyatnya, maka Arab Saudi akan terancam menjadi sasaran berikutnya.
Sistem despotik di Timur Tengah benar-benar berada di ujung tanduk. Sejarah membuktikan bahwa kekerasan dan intimidasi atas rakyat bukanlah solusi, bahkan kian membangkitkan amarah rakyat. Terlebih hal itu terjadi di era informasi. Bahkan tergulingnya sejumlah rezim di Afrika utara belum lama ini dapat dikatakan sebagai buntut dari kekerasan atas rakyat.
Penyensoran berita terkait perkembangan terbaru di Bahrain malah justru akan membongkar skandal baru bagi Barat, khususnya AS yang selama ini mengklaim sebagai pembela demokrasi dan kebebasan berekspresi. Meski Bahrain menjadi anak tiri di mata media-media, masyarakat Bahrain yang sudah muak dengan arogansi rezim, tetap akan melanjutkan perjuanganan mereka. Apalagi kebangkitan rakyat Bahrain kali ini sudah menelan korban yang tidak sedikit. (IRIB/AR/NA/2/3/2011)
Peran Media dalam Transformasi Timur Tengah
Timur Tengah dan Afrika Utara selama dua bulan terakhir dilanda berbagai peristiwa penting. Timur Tengah yang terbentang dari Yaman dan Bahrain hingga Tunisia, Mesir dan Libya terus membara. Kebangkitan rakyat dari Tunisia yang berhasil menggulingkan rezim Ben Ali kini mulai merambah ke negara lain. Dengan setia, media massa Iran mengawal transformasi di Timur Tengah dan menyuarakannya ke segenap penjuru dunia.Jaringan televisi layanan dunia seperti Press TV dan Al-Alam memainkan peran penting dalam menyuarakan tuntutan sejati bangsa-bangsa Arab dan Afrika Utara. Kedua stasiun televisi Iran ini menyajikan berita secara objektif mengenai kejadian sebenarnya di Tunisia, Mesir dan negara di kawasan Timur tengah lainnya.
Al-Alam adalah stasiun televisi Iran berbahasa Arab yang relatif berusia muda, namun telah berhasil memainkan peran signifikan dalam menyuarakan kebenaran bagi masyarakat di kawasan Timur tengah.Terkait pemberitaan mengenai revolusi rakyat Mesir, Al-Alam melaporkan langsung dari Negeri Piramida itu melalui kantornya di Kairo. Tidak hanya itu, seiring meningkatnya aksi protes rakyat Mesir, al-Alam menempatkan jurnalis baru di berbagai kota penting di Mesir seperti Alexandria, Ismailiyah, dan kota lainnya. Update berita terbaru mengenai transformasi Mesir yang dilakukan al-Alam menempatkan televisi ini menjadi salah satu media terpercaya di kawasan. Berbagai situs dan kantor berita melaporkan berita terbaru di Mesir mengutip dari Al-Alam.
Pasca lengsernya Mubarak, masyarakat Mesir dan kawasan, terutama kalangan muda mengakui kredibilitas Al-Alam sebagai media yang terpercaya. Namun di sisi lain, rezim Mubarak yang berusaha memberangus suara rakyatnya melakukan berbagai upaya untuk membungkam suara al-Alam. Betapa tidak, kantor Al-Alam diserang dan sejumlah wartawannya dianiaya petugas keamanan Mesir. Tidak hanya itu, rezim Mubarak juga memutus frekuensi televisi al-Alam.
Sebelumnya, pada tahun lalu siaran televisi Iran seperti al-Alam dan Sahar diputus secara sepihak oleh Nilesat milik Mesir dan Arabsat milik Arab Saudi. Terang saja, keputusan sepihak rezim Arab ini, bertentangan dengan ketentuan hukum internasional mengenai akses teknologi infrastruktur informasi dan telekomunikasi yang ditegaskan dalam deklarasi Jenewa.
Sontak, para pengelola 30 media massa dunia mengecam pemutusan siaran sepihak tersebut. Namun keputusan tersebut justru disambut hangat situs resmi Departemen Luar Negeri rezim Zionis Israel dan mantan Duta Besar Israel di Mesir.
Televisi al-Alam yang melaporkan realitas sebenarnya di Palestina memicu kemarahan Tel Aviv. Al-Alam dengan transparan mengungkapkan berbagai dimensi kejahatan rezim Zionis untuk menyadarkan dunia Arab mengenai kejahatan Israel terhadap Palestina.
Pembatasan sepihak terhadap televisi al-Alam berlangsung di saat undang-undang pers menegaskan dukungan terhadap kebebasan media, keragaman informasi dan hak pemirsa untuk mengakses informasi yang beraneka ragam. Sebaliknya menghilangkan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak individu. Namun larangan siaran bagi televisi al-Alam justru tidak menurunkan jumlah pemirsa televisi ini. Sebaliknya, berdasarkan polling terbaru mengenai media pemberitaan di Timur Tengah, kedudukan televisi Al-Alam meningkat di tengah pemirsa dunia Arab dan menjadi salah satu chanel televisi terfavorit di Timur Tengah.
Kinerja pemberitaan al-Alam yang objektif mendapat sambutan luas dari masyarakat Timur Tengah. Ketika sejumlah media massa mainstream di kawasan dan dunia menerapkan kebijakan tebang pilih, al-Alam tampil memberitakan kejadian dengan kacamata yang lebih objektif dan terlepas dari kepentingan politik yang sering membonceng setiap pemberitaan media massa. Contohnya liputan tentang gerakan protes rakyat Bahrain yang mayoritas Syiah yang tidak menjadi perhatian media-media massa kawasan dan dunia. Bahkan televisi garda depan semacam Aljazeera yang lantang dalam memberitakan revolusi Mesir, tidak bisa diharapkan untuk objektif memberitakan peristiwa yang terjadi di Bahrain.
Nadir Al-Malah, penulis dan aktivis politik Bahrain merasa kecewa atas kinerja sejumlah media massa yang tidak memperdulikan suara rakyat Bahrain. Aktivis politik Bahrain ini menilai sikap bungkam negara-negara Arab di Teluk Persia dalam menyikapi transformasi di Bahrain dipicu oleh ketakutan mereka sendiri. Penulis Bahrain ini menuturkan, "Sikap bungkam media massa Arab sangat mengherankan. Semua tahu negara-negara Arab di Teluk Persia merasa terancam atas protes rakyat dan perubahan di negaranya." Nadir menegaskan, "Bahkan Liga Arab sendiri bersikap bungkam menyikapi pembantaian massal di Bahrain. Namun saya akan tetap menyuarakan tuntutan pengunduran diri dari kabinet dan pengadilan para penjahat yang telah membantai rakyat Bahrain."
Kini Internet menjadi media penting di era globalisasi dewasa ini. Media massa AS berharap internet menjadi alat penekan bagi negara-negara yang menentang kebijakan Barat. Tidak tanggung-tanggung Washington mengucurkan jutaan dolar untuk membiaya proyek dunia maya ini demi melicinkan ambisinya. Namun kini, internet justru menjadi salah satu alat penekan kelompok oposisi rezim diktator Arab yang notabene boneka AS. Berdasarkan data terbaru, jumlah pengguna internet di Mesir melampaui 20 juta orang yang mendekati seperempat dari populasi di Negeri Piramida ini. Rata-rata usia pengguna internet di Mesir berkisar 24 tahunan. Adapun pengguna di Tunisia rata-rata sepertiga dari populasi di negara ini. Namun di negara yang berada di bawah pemerintahan diktator Gaddafi, pengguna internet di negara ini hanya 18 persen dari populasi negara itu.
Ditinjau dari aspek usia, rata-rata pengguna internet di Timur Tengah adalah kalangan muda yang memiliki semangat dan menginginkan perubahan di negaranya. Mereka membuat blog-blog dan situs untuk melakukan penyadaran terhadap masyarakat dalam menuntut hak-haknya yang diberangus rezim diktator. Gerakan di dunia maya inilah yang mempercepat tumbangnya rezim diktator semacam Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir. Di Libya yang berada dalam kungkungan proteksi keras rezim Gaddafi, situs dan blog menjadi sumber berita penting dalam mendorong kemenangan protes rakyat melawan rezim diktator.
Sejatinya, media massa memberikan kontribusi besar dalam memantik perubahan yang terjadi di Timur Tengah. Revolusi Tunisia, Mesir dan Libya membuktikannya. (IRIB/PH/NA/1/3/2011)
Singgasana Raja Bahrain Terguncang, Saudi Turun Tangan
Di saat rakyat Bahrain melanjutkan aksi unjuk rasa menentang rezim Al-khalifa, Arab Saudi mengirim bantuan militer ke negara tetangganya itu.
Dilaporkan, tank-tank Saudi sejak Senin malam bergerak melintasi perbatasan kedua negara Arab ini.
Koran al-Masry al-Youm melaporkan Riyadh mengirimkan 30 tank ke Bahrain untuk mendukung pemerintahan Al-Khalifa dan memberangus suara protes rakyat Bahrain yang semakin meningkat.
Para saksi mata mengatakan 15 kendaraan pengangkut tank yang masing-masing membawa dua tank bergerak menuju Bahrain. Menyusul berlanjutnya protes anti-rezim monarki Bahrain, pengiriman mesin-mesin perang dari Arab Saudi ke Bahrain pun meningkat melalui jalur lintasan sepanjang 25 km yang menghubungkan perbatasan kedua negara.
Riyadh mengirimkan kendaraan militer lapis baja untuk menyelamatkan singgasana Raja Bahrain, Syeikh Hamad bin Isa al-Khalifa berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Bahrain dan Arab Saudi.
Sementara itu, protes rakyat menentang rezim di Bahrain tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan setelah hampir dua minggu berlalu. Para demonstran menuntut pengunduran diri rezim, reformasi konstitusional dan tahta raja.
Sebelumnya, rakyat memblokir jalan-jalan menuju parlemen yang menyebabkan gagalnya pelaksanaan sidang parlemen hari itu. Majelis Tinggi yang dianggotai oleh 40 pejabat yang langsung ditunjuk oleh raja, berencana menggelar sidang darurat hari itu. Namun sidang tersebut terpaksa dibatalkan karena aksi para demonstran.
Para pemrotes menuntut pembebasan tahanan politik dan aktivis sosial, penghapusan diskriminasi, kebebasan sipil dan kesetaraan bagi seluruh warga Bahrain baik Sunni maupun Syiah. Para demonstran menyatakan akan tetap melanjutkan aksi protesnya untuk menggulingkan rezim al-Khalifa selama haknya tidak dipenuhi. Parpol Bahrain juga menyatakan tidak akan menghentikan protesnya di negara seluas 750 kilometer persegi itu.
Sheikh Hassan Isa, anggota Fraksi Wafaq menyatakan segala cara yang dilakukan rezim untuk memberangus suara rakyat tidak akan membuahkan hasil apapun dan sia-sia belaka. Karena revolusi rakyat terus berlanjut dan tidak bisa dihentikan oleh tekanan penguasa.
Rakyat dan berbagai partai politik Bahrain mengecam intervensi Arab Saudi atas negara ini dan menilainya justru akan semakin memperkeruh keadaan. Sejatinya, alih-alih meminta bantuan Riyadh, Raja Khalifa seharusnya mendengarkan tuntutan rakyat dengan melakukan reformasi di negara monarki konstitusional itu.(IRIB/PH/2/3/2011)Arab Saudi mengirim sekitar 30 tank ke Bahrain yang terlihat kemarin malam (Senin, 28/2) melintas di jalan lintas Raja Fahd yang menghubungkan kedua negara.
Di sisi lain, protes pro-demokrasi di Bahrain tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan setelah hampir dua minggu. Para demonstran menuntut pengunduran diri rezim, reformasi konstitusional dan tahta raja.
Para saksi mata mengatakan jalan lintas itu diblokir saat "15 kendaraan pengangkut tank yang masing-masing membawa dua tank bergerak menuju Bahrain," demikian dilaporkan koran al-Masry al-Youm hari ini (1/3).
Menyusul berlanjutnya protes anti-rezim monarki Bahrain itu, transfer mesin-mesin perang dari Arab Saudi ke Bahrain itu pun meningkat melalui jalan lintas sepanjang 25 km yang menghubungkan perbatasan kedua negara.
Transformasi itu menyusul keputusan militer Bahrain Sabtu (26/2) menarik kendaraan mereka keluar dari Bundaran Mutiara di Manama, pasca serangan mematikan terhadap para demonstran.
Transfer tank dari Arab Saudi itu akan berlanjut malam ini (1/3) di saat kelompok oposisi Bahrain dan para pengunjuk rasa di Manama menolak meninggalkan Bundaran Mutiara.
Kekhawatiran terhadap intervensi Saudi di Bahrain muncul ke permukaan pekan lalu setelah sejumlah laporan yang dirilis Rabu (23/2). Para pejabat Saudi kepada para pejabat AS menyatkaan bahwa mereka "siap untuk campur tangan" dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi rezim Bahrain. (IRIB/MZ/RM/1/3/2011)Gelombang kebangkitan Islam dan revolusi rakyat di sejumlah negara Islam khususnya di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah memaksa para petinggi Barat terlebih AS dan Rezim Zionis Israel untuk mereaksi. Perdana Menteri Rezim Zionis Benyamin Netanyahu dalam wawancara dengan Koran Daily Telegraph yang terbit hari Rabu (1/3) berbicara soal revolusi dan kebangkitan rakyat di Dunia Arab saat ini. Netanyahu mengaku dirinya senang dengan tumbangnya kekuasaan rezim-rezim diktator tapi di saat yang sama ia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya atas perkembangan yang sedang terjadi. Katanya, "Israel bakal terimbas oleh badai yang sedang menerpa kawasan."
Di bagian lain pembicaraannya PM Israel mengkritik sikap Barat yang disebutkan tak peduli dengan transformasi di Iran. Dia mengatakan, "Jika Iran sampai berhasil membuat senjata nuklir maka negara itu akan menguasai seluruh cadangan minyak di dunia dan kawasan akan menjadi ajang perlombaan senjata nuklir. Kondisi itu tentu akan mengancam Israel dan Eropa."
Seiring dengan itu, Menteri Peperangan Zionis Ehud Barak hari Selasa lalu kepada televisi Chanel 2 Israel menyebut transformasi di Dunia Arab saat ini sebagai tragedi sejarah yang menurutnya bakal menimbulkan ancaman dan instabilitas. Sebelum ini, Presiden Israel Shimon Perez mengaku gembira dengan perkembangan yang sedang terjadi di Dunia Arab, sebab rangkaian peristiwa ini akan membantu memperluas demokrasi di kawasan.
Pernyataan kontradiktif dan tidak sejalan yang disampaikan oleh para petinggi Rezim Zionis menunjukkan kecemasan kaum Zionis yang berlebihan terhadap fenomena kebangkitan Islam. Dan, itu pula yang diakui oleh PM Israel dalam sebuah wawancara seperti dilaporkan oleh koran al-Akhbar cetakan Beirut.
Dengan mengangkat isu nuklir Iran, Barat terutama AS dan Israel sebenarnya bermaksud memalingkan opini umum dunia dari perkembangan yang terjadi di negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Sebab, Barat menyadari bahwa gerakan massa yang sedang terjadi di Afrika Utara dan Dunia Arab saat ini adalah kebangkitan Islam yang percikannya muncul dari Iran. Pernyataan-pernyataan para petinggi Zionis semisal Benyamin Netanyahu menunjukkan kebuntuan mereka dalam menghadapi fenomena yang sama sekali baru ini.
Yang mesti diwaspadai adalah kemungkinan AS dan Israel melakukan aksi-aksi brutal dalam kondisi seperti ini. Sebab, pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan bahwa AS dan Israel akan melakukan cara-cara brutal saat membentur kebuntuan. (IRIB/AHF/2/3/2011)Kemenangan revolusi rakyat di Tunisia dan Mesir menginspirasi gerakan-gerakan rakyat negara-negara Arab lainnya. Berikut gambar-gambar pergolakan rakyat di Bahrain. |
0 comments to "Revolusi Bahrain Di-Anak-Tiri-kan Media ??? Kenapa..demi Zionis lagi..ooh..semoga tidak demikian....."