Para menlu anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) hari Rabu (20/4) mengakhiri sidang dengan mengeluarkan statemen bersama yang mengulang klaim klise terkait intervensi Iran dalam urusan internal negara-negara Arab. Menteri Luar negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed bin Sultan Al Nahyan dalam konferensi pers mengatakan, "Iran harus mengubah kebijakannya." Statemen ini mengemuka di saat gelombang protes rakyat tertindas Bahrain tidak bisa dibendung oleh rezim Manama.
Sebulan terakhir ini, rezim Al Khalifa menggunakan kekerasan dalam menyikapi para pendemo damai. Hal itu juga didukung rezim-rezim Arab, terutama Saudi. Ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terang-terangan. Akan tetapi sangat disayangkan Uni Eropa dan P-GCC malah cenderung bersikap standar ganda dan memilih bungkam.
Tak diragukan lagi, apa artinya sebuah hak asasi manusia bagi Barat?!! Selama rezim-rezim di kawasan menguntungkan Barat, pelanggaran hak asasi manusia harus segera dijustifikasi sedemikian rupa untuk tetap menjaga kepentingan Barat di kawasan. Hak asasi manusia hanyalah sebuah alat untuk menjaga hegemoni. Menurut teori imperialisme, hak asasi manusia sama sekali tidak mempunyai substansi independen. Dengan ungkapan lain, substansi hak asasi manusia bergantung penuh pada kepentingan kekuasaan.
Sangat disayangkan, negara-negara anggota P-GCC yang semestinya memperingatkan anggota pelanggar hak asasi manusia, malah bersedia membungkam hak sipil yang paling rendah, yakni hak memilih. Pada dasarnya, masyarakat Bahrain hanya menuntut hak pilih yang merata bagi semua rakyat. Namun tuntutan demokrasi yang selalu didengungkan di dunia ini, malah dianggap tuntutan kriminal yang harus dibungkam. Inilah dualisme nyata Barat dan para penguasa yang hanya mendahulukan kepentingan kelompok tertentu atau keluarga dari kepentingan rakyat.
Sementara itu, Republik Islam Iran menentang segala bentuk diskriminasi dan kekerasan kepada rakyat yang menuntut hak mereka. Namun penentangan ini malah dianggap sebagai bentuk intervensi Tehran atas negara-negara di kawasan. Padahal Iran mempunyai kebijakan luar negeri yang jelas. Segala bentuk penindasan dan kekerasan adalah hal yang ditolak oleh Republik Islam Iran. Apakah sikap semacam ini adalah hal yang salah?!! Oleh karena itu, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi menulis surat secara terpisah kepada Sekjen PBB dan Ketua Dewan Keamanan (DK) PBB supaya mengupayakan penghentian pembunuhan massal di Bahrain.
Apa yang terjadi di Bahrain sama halnya dengan gejolak rakyat di Tunisia, Mesir, Libya dan negara-negara kawasan lainnya yang menuntut hak mereka. Akan tetapi P-GCC berusaha menyimpangkan fenomena yang terjadi di Bahrain dan mengangkat isu Syiah-Sunni. Dalam hal ini, Iran adalah sasaran yang tepat dijadikan sebagai kambing hitam. Apalagi pemerintah Iran disebut-sebut sebagai sealiran dengan mayoritas masyarakat Bahrain yang juga penentang rezim Al-Khalifa. (IRIB/AR/NA/21/4/2011)Departemen Luar Negeri AS setiap tahun, mempublikasikan laporan pelanggaran hak asasi manusia negara-negara dunia. AS mengklaim diri sebagai pemimpin dunia. Dengan laporan seperti ini, AS ingin diakui sebagai super power di dunia. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hak asasi manusia mendapat perhatian besar sedemikian rupa dari Washington? Puluhan pakar dikerahkan untuk mempublikasi laporan tahunan hak asasi manusia (HAM) di seluruh dunia. Mengapa AS yang berkekuatan besar dari sisi militer dan ekonomi, masih membutuhkan kebijakan yang mengesankan sebagai pembela HAM di dunia?
Kecenderungan semacam ini sebenarnya muncul setelah hancurnya kekuatan Timur. AS setelah perang dingin, kehilangan Uni Soviet yang juga musuh terbesar di dunia yang secara tidak langsung melegalkan intervensi AS di berbagai negara. Setelah berakhirnya perang dingin, AS tidak memproduksi produk domestik bruto terbesar, tidak menganggarkan anggaran terbesar militer dan gudang senjata, serta tidak mempunyai hak untuk mengintervensi negara-negara.
Mau tidak mau, Washington dituntut untuk menjustifikasi superioritasnya di hadapan masyarakat dunia. Karena inilah, AS mengklaim sebagai pembela HAM dan demokrasi, bahkan klaim itu sengaja dimunculkan lebih kentara dibanding periode perang dingin.
Pelanggaran HAM di AS
Pada faktanya, hak asasi manusia adalah isu penting bagi kebijakan AS. Dari laporan itu, negara yang menjadi pendukung AS atau bukan dapat diketahui dengan baik. Laporan tahunan HAM yang dirilis Deplu AS juga dijadikan sebagai sikap AS atas negara-negara di dunia. Tak diragukan lagi, Republik Islam Iran menjadi pelanggan tetap dalam laporan pelanggaran HAM yang dirilis Deplu AS.
Iran disinggung sebanyak 80 halaman dalam laporan tahunan HAM yang dirilis Deplu AS. Pemublikasian pelanggaran HAM oleh Deplu AS dapat dikatakan sebagai tindakan pengulangan rutin. Akan tetapi perilisan itu kini kurang menjadi perhatian di dunia menyusul pelanggaran HAM AS di negeri sendiri dan negara-negara lain.
Pelanggaran HAM oleh AS sudah menjadi rahasia umum. Meski demikian, AS tetap tak malu diri dengan terus merilis daftar nama-nama negara yang diklaim sebagai pelanggar HAM. Iran, Rusia, Cina dan sejumlah negara lain penentang kebijakan Washington menjadi pelanggan tetap dalam daftar nama pelanggar HAM yang dibuat oleh AS. Bahkan klaim pelanggaran negara-negara itu dijabarkan secara detail.
Sejumlah media AS juga mengakui perilisan daftar nama negara pelanggar HAM sebagai alat Washington untuk menyudutkan negara-negara yang dianggap melawan kebijakan Gedung Putih. Buletin Foreign Policy yang juga termasuk media terkemuka di AS mempertanyakan klaim-klaim AS yang menuding Iran sebagai palanggra HAM. Dalam buletin itu disinggung bahwa AS tak memperhatikan hak manusia yang paling mendasar. Hal itu terjadi pada tindakan tentara AS yang dikirim ke negara-negara lain. Buletin juga menyebut pemberlakuan sanksi atas Iran sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang nyata oleh AS.
Media terkemuka AS itu juga menyinggung kejahatan-kejahatan AS seperti serangan militer ke dua negara, penculikan, penyiksaan atas ribuan tahanan di Guantanamo, Begram dan Abu Ghraib. Sumber yang sama juga menyebutkan kasus 15 tentara AS yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan penyiksaan terhadap para tahanan. Dilaporkan, "Dari 15 tentara hanya satu orang yang dinyatakan sebagai pelanggar hak asasi manusia dan penyiksa para tahanan. Pengadilan juga hanya menyatakan tiga dari semua tentara yang tersangka sebagai pihak yang bersalah, sedangkan sisanya dinyatakan bebas."
Koran lainnya yang mengungkap kriminalitas dan pelanggaran hak asasi manusia AS adalah Washington Post. Koran itu menyebutkan, sejumlah tentara AS membantai warga sipil Afghanistan yang tak bersalah. Bahkan disebutkan bahwa mereka membantai warga tak berdosa di Afghanistan dengan maksud hiburan. Ini benar-benar pelanggaran hak asasi manusia yang sama sekali tak dapat ditolerir. Yang lebih menyeramkan lagi, sejumlah tentara AS setelah membantai warga-warga sipil yang tak berdosa, memotong-motong jasad mereka.
Masih mengenai kekejian AS, Washington Post juga mengungkap bahwa AS benar-benar memanfaatkan Peristiwa 11 September dengan menangkapi semua pihak yang hanya dicurigai sebagai teroris. Mereka diculk dan dijebloskan ke penjara-penjara rahasia. Tak dapat dipungkiri, pembuatan penjara-penjara rahasia merupakan pelanggaran nyata. Para warga yang hanya sebatas dicurigai sebagai teroris langsung dipenjarakan tanpa prosedur pengadilan. Ini semua dilakukan oleh AS yang mengklaim sebagai pendukung HAM. Lebih dari itu, penyiksaan para tahanan di penjara-penjara rahasia menjadi skandal tersendiri bagi AS.
Obama dan HAM
Banyak skandal pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS. Sebagian pelanggaran HAM itu disebutkan dalam buku biografi Mantan Presiden AS, George W.Bush. Setelah itu, Barack Obama muncul sebagai Presiden AS yang menang dalam pemilu setelah mengangkat slogan-slogan pemanis yang di antaranya adalah penutupan penjara-penjara rahasia dan pengadilan atas para pelaku penyiksa di masa pemerintah Bush. Namun setelah Obama duduk di kursi kepresidenan, slogan yang disuarakan hanya sebatas janji tanpa realisasi.
Beberapa lama setelah menjadi Presiden AS, Obama menyatakan bahwa tidak ada pengusutan hukum bagi para perwira yang terlibat dalam kekerasan interogasi dan penangkapan para warga yang dicurigai teroris. Menurut pandangan Obama, para perwira hanya melakukan ketetapan dan instruksi yang ada. Untuk itu mereka tidak dapat diadili." Lebih lanjut, Obama mengatakan, "Menghabiskan waktu untuk mengecam masa lalu, tak akan menyelesaikan masalah."
Dalam laporan Kementerian Kehakiman AS disebutkan bahwa menelanjangi secara paksa, memukul perut dan muka, mencampur aduk makanan, membenturkan ke tembok buatan, mengikat dengan ikatan yang menyakitkan, menggunakan serangga dalam mengintimidasi para tahanan, mengeksekusi adalah hal -hal yang dikategorikan sebagai palanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi menggunakan cara penyiksaan terburuk untuk interogasi terhadap tersangka tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia."
Iranphobia
Departemen Luar Negeri AS merilis laporan tahunan pelanggaran hak asasi manusia dan menjadikan Iran sebagai negara yang disorot secara khusus dalam laporan itu. AS sengaja melakukan itu dengan beberapa tujuan. Di antara tujuannya adalah Iranphobia di tingkat kawasan. Dengan cara ini, pengaruh Revolusi Islam Iran dapat diantisipasi di tengah gejolak kebangkitan rakyat di kawasan.
Tak diragukan lagi, kebangkitan rakyat secara serentak di kawasan merupakan kegagalan total politik AS. Apalagi AS selama ini dikenal sebagai sahabat dekat rezim-rezim penindas. Dengan kebangkitan rakyat di kawasan, AS benar-benar dihadapkan pada kondisi yang membingungkan. Pada saat yang sama, rezim-rezim penindas di kawasan adalah pihak-pihak yang menguntungkan kebijakan Washington.
Kebencian masyarakat atas AS bahkan dapat dipastikan sebagai faktor kebangkitaan rakyat di kawasan. Di Mesir, masyarakat menolak intervensi AS yang selalu merugikan kepentingan bangsa. Hal itu ditunjukkan rakyat Mesir dengan tetap berada di Bundaran Al Tahrir selama Hosni Mubarak yang juga antek utama AS di kawasan, tak diadili dan dihukum. Di Bahrain, masyarakat tetap menuntut demokrasi di negara mereka yang malah dihabisi oleh rezim Al Khalifa dan Saudi. Semua itu menunjukkan bahwa AS akan terkucilkan di kawasan, bahkan dunia. Selamat tinggal AS. (IRIB/AR/NA/21/4/2011)
Komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (IRGC), Brigadir Jenderal Mohammad Ali Jafari mengatakan, pangkalan militer Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel di Timur Tengah, semua berada dalam jangkauan rudal Iran.
"Meskipun kami mampu meningkatkan jangkauan rudal kami, tapi kami tidak berpikir itu diperlukan, karena saat ini musuh ekstra-regional, Zionis Israel, berada dalam jangkauan rudal kami," tegas Brigjend. Ali Jafari seperti dikutip Fars News Agency pada hari Jumat (22/4).
"Sedangkan untuk pasukan Amerika, mereka akan lebih dekat kepada kita daripada Israel, sehingga mereka juga berada dalam jangkauan daya tembak kami," tambahnya.
Selama ini, Israel dalam berbagai kesempatan mengancam akan menyerang Iran dan sasaran utama adalah fasilitas nuklir damai negara ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, Iran telah menorehkan prestasi besar di bidang pertahanan dan mencapai swasembada peralatan penting militer. Sejak kemenangan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979, negara ini telah memulai kampanye untuk kemandirian dalam industri pertahanan dan meluncurkan proyek-proyek militer.
Pada tanggal 16 April lalu, Iran berhasil menguji coba sistem pertahanan rudal baru yang diberi nama Sayyad-2 (Hunter II) dan dalam waktu dekat akan dilibatkan dalam operasi militer. Rudal ini memiliki kemampuan bersaing dalam perang elektronik dan juga dapat diandalkan dalam menghadapi sistem radar musuh.
Sayyad-2 adalah versi penyempurnaan dari sistem pertahanan rudal Sayyad-1. Sistem ini terdiri dari rudal dua tahap yang dapat menarget semua jenis pesawat tempur, termasuk pesawat pembom, di jarak menengah dan tinggi. Sistem tersebut juga dilengkapi dengan hulu ledak 200 kilogram dan dapat bergerak menuju sasaran dengan kecepatan 1.200 meter per detik.
Iran menegaskan bahwa kekuatan militernya bukan ancaman bagi negara lain dan doktrin pertahanan negara didasarkan pada pertahanan. (IRIB/RM/23/4/2011)Shalat Jumat Tehran (22/4) dipimpin oleh Ayatullah Mohammad Emami Kashani. Dalam khotbah Jumatnya, Ayatullah Kashani menyatakan bahwa gerakan rakyat regional tidak akan surut dan aksi pembantaian tidak akan mampu memadamkan gerakan tersebut.
IRNA melaporkan, khatib shalat Jumat Tehran menegaskan bahwa gerakan rakyat regional berporos pada asas keislaman dan dalam rangka menegakkan panji "Muhammad Rasulullah".
Seraya mengkritik politik kaum adidaya dalam mendukung pembantaian warga tak berdosa, Ayatullah Kashani juga mengecam langkah Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) dalam mendukung penumpasan protes dan pembantaian warga.
Ditambahkannya, "Mereka yang termasuk negara Islam, alih-alih mencegah pembantaian warga Muslim di Bahrain, Libya, Yaman, dan negara-negara lain, serta mendukung rakyat, justru melontarkan pernyataan yang tidak ada hubungannya sama sekali".
Beliau menilai kebijakan PGCC dalam menyikapi protes rakyat regional menunjukkan kehinaan dan kemunkaran mereka serta ambruknya nilai-nilai kemanusiaan.
Ditujukan kepada Dewan tersebut, Khatib shalat Jumat Tehran menyatakan, "Jika kalian tidak beragama, maka jadilah kalian orang-orang yang bebas dan bermanusiawi". (IRIB/MZ/22/4/2011)
Sekitar 28 masjid dan 50 aula keagamaan di Bahrain dihancurkan sejak awal protes anti-rezim dimulai Februari lalu.
Para aktivis kepada Press TV hari ini (Jumat, 22/4) menyatakan bahwa masjid-masjid dihancurkan selama protes anti-pemerintah. Beberapa di antaranya di wilayah Karzakan, Salmabad, Bu Quwah, dan A'ali.
Warga Bahrain menggelar aksi protes anti-rezim monarki al-Khalifa sejak 14 Februari lalu.
Adapun, demonstrasi hari ini di Bahrain diberi nama "Jumat al-Quran" dalam rangka mengutuk aksi brutal para personil militer Arab Saudi terhadap para demonstran serta perusakan masjid-masjid.
Maret lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait, mengerahkan pasukan mereka ke Bahrain dalam rangka membantu pemerintah Manama menumpas protes rakyatnya.
Puluhan pengunjuk rasa tewas dan banyak lainnya hilang dalam aksi penumpasan protes oleh pasukan keamanan pimpinan militer Saudi di Bahrain.
Sebelumnya, Rabu (20/4) Ketua Pusat Hak Asasi Manusia Bahrain, Nabeel Rajab mengatakan, rezim Manama harus bertanggung jawab atas kejahatannya terhadap para pengunjuk rasa.
Meski penumpasan sadis itu dilakukan militer Arab Saudi, namun pemerintah Bahrain pada akhirnya yang harus bertanggung jawab atas represi brutal dan penganiayaan terhadap para demonstran.
Ditambahkannya bahwa pasukan Saudi telah melakukan banyak tindak kejahatan, termasuk di antaranya terhadap kemanusiaan di Bahrain, namun pemerintah Manama yang mengundang mereka, oleh karena itu rezim al-Khalifa harus bertanggung jawab. (IRIB/MZ/22/4/2011)
Amerika Utara dan Eropa Juga Harus Tegas Sikapi Krisis HAM di Bahrain
Rakyat Arab Saudi, Bahrain, dan Yaman menggelar protes tahap baru dalam lanjutan gerakan massa melawan rezim otokratik.
Para pengunjuk rasa anti-pemerintah di Arab Saudi menggelar protes massif hari ini (22/4) memprotes intervensi militer kerajaan Saudi di Bahrain dan juga atas pelanggaran hak asasi manusia di dalam negeri.
Protes anti-pemerintah terus digelar di Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir meski pemerintah telah mengeluarkan larangan menggelar berbagai aksi demo dan konsentrasi damai.
Amnesti Internasional kemarin (21/4) memperingatkan krisis hak asasi manusia yang memburuk dengan cepat di Bahrain.
Lembaga internasional itu menambahkan, negara-negara Amerika Utara dan Eropa, yang sangat vokal dalam mereaksi krisis hak asasi manusia di Libya, Tunisia dan Mesir, juga harus berbicara tegas tentang apa yang sedang terjadi di Bahrain.
Dalam statemennya Amnesti Internasional menyinggung aksi penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan di Bahrain. Sedikitnya empat tahanan meninggal dalam sel dalam kondisi yang mencurigakan.(IRIB/MZ/22/4/2011)
Ajak Bungkam Soal Bahrain, Saudi Sogok AS
Seorang pengamat politik mengungkapkan, Arab Saudi menggelontorkan bantuan keuangan yang besar kepada pembuat kebijakan di AS agar tetap bungkam dalam menyikapi intervensi militer Arab Saudi di Bahrain dalam menumpas protes anti-rezim.Ali al-Ahmed, direktur Institut Urusan Negara-Negara Teluk Persia (IGA) dalam sebuah wawancara dengan Press TV menuturkan, "Kerajaan Saudi telah berhasil mengambil hati Barat terutama Washington lewat berbagai cara untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan di negara itu seperti pemberian bantuan langsung tunai, menjalin kontrak bisnis dengan perusahaan Amerika, dan membeli saham media-media di negara itu".
al-Ahmed menjelaskan, kerajaan Saudi berusaha mencari kepentingan di kantor-kantor berita Amerika seperti ABC milik Disney dan Fox News milik News Corp."Keluarga kerajaan Saudi memiliki saham miliara dolar di kedua kantor pemberitaan tersebut", tambahnya.
Direktur IGA tersebut menegaskan, "Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh penguasa Arab Saudi adalah untuk membeli para pembuat kebijakan di AS- setidaknya mayoritas dari mereka -supaya tetap bungkam tentang Arab Saudi".
"Bahkan think tank di Washington DC, kebanyakan dari mereka, tidak menangani masalah Saudi dan menolak berbicara tentang hal itu. Kalapun mereka lakukan, mereka hanya berbicara secukupnya. Hal itu sengaja dilakukan adalah untuk menciptakan sebuah persepsi umum bahwa Arab Saudi adalah sekutu Barat", tambah al-Ahmed.
Dia juga menyebutkan, "Barangkali mantan Presiden AS Jimmy Carter adalah contoh paling buruk. Lantaran ia telah menerima lebih dari 35 juta dolar untuk lembaga hak asasi manusianya, Carter Center di Atlanta".
Ironisnya, menurut al-Ahmend, Carter tidak pernah mengangkat isu hak asasi manusia di Arab Saudi. Bahkan, ia menolak melakukannya.(irib/22/4/2011)
Keterlibatan Al-Mustaqbal Dalam Kerusuhan Suriah
Departemen Dalam Negeri Suriah di hari-hari terakhir mengumumkan bahwa dalam peristiwa pekan lalu yang terjadi di negara ini telah terbukti dilakukan oleh kelompok salafi bersenjata. Sekaitan dengan hal ini, Depdagri Suriah mengeluarkan pernyataan keras tidak akan mentolerir lagi aktivitas teroris. Sebaliknya Suriah akan mengerahkan seluruh kekuataannya untuk menciptakan stabilitas keamanan.Menyusul publikasi pernyataan Departemen Dalam Negeri Suriah, dari hari ke hari semakin jelas seberapa jauh keterlibatan kelompok al-Mustaqbal Lebanon yang dipimpin oleh Saad Hariri. Apa lagi kerusuhan Suriah telah mengambil puluhan korban yang berasal dari pelbagai kalangan, mulai dari rakyat sipil, perwira militer, anggota keamanan dan polisi negara ini.
Pengakuan Anas Kanj, seorang gembong perusuh yang ditayangkan oleh televisi Suriah menjadi bukti betapa para pelaku aksi teror dibayar dan dipersenjatai oleh Jamal al-Jarrah, anggota Fraksi al-Mustaqbal di Parlemen Lebanon. Sementara Ahmed Qasas, Jurubicara Hizb Ut Tahrir Lebanon yang kantor pusatnya berada di Tripoli, Lebanon baru-baru ini mengklaim bahwa segalanya telah terjadi. Apa lagi beberapa pekan lalu terjadi konflik senjata antara sejumlah orang bersenjata yang didukung oleh partai al-Mustaqbal dan pasukan militer dan keamanan Suriah di kota Baniyas dan Hims yang dekat dengan berbatasan Lebanon.
Sejatinya harus dikatakan bahwa bukti ini menunjukkan keterlibatan kelompok salafi yang mendapat dukungan politik, finansial dan senjata dari partai al-Mustaqbal yang dipimpin oleh Saad Hariri. Sementara Hizb Ut Tahrir adalah partai politik Lebanon yang menuntut dilakukannya demonstrasi hari Jumat di kota Tripoli guna mendukung apa yang disebut mereka revolusi Suriah. Di sisi lain, rakyat Lebanon sendiri menolak keras aksi provokasi kelompok salafi di Lebanon dan Suriah.
Hizb Ut Tahrir pada dasarnya dibentuk oleh Ahmad Fatfat yang juga anggota Partai al-Mustaqbal. Karena pada 2006 saat ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Lebanon, Ahmad Fatfat mengeluarkan perizinan pembentukan partai salafi Hizb Ut Tahrir. Namun yang perlu dicermati, pemberian izin Ahmad Fatfat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Lebanon. Sebab partai salafi ini secara terang-terangan menolak sistem pemerintahan Lebanon dan menuntut pemeritahan Khilafah Islamiyah di Lebanon.
Para pakar yang menganalisa partai salafi Hizb Ut Tahrir Lebanon ini menilai perilaku politik partai ini sangat berbahaya dan berpotensi menciptakan fitnah di Tripoli. Karena kelompok-kelompok Islam dan partai-partai politik di sana telah mengajak rakyat hari Jumat ini (22/4) menentang demonstrasi yang dilakukan oleh partai salafi ini. Ziad Baroud, Menteri Dalam Negeri Lebanon dan Gubernur Tripoli juga tidak memberikan izin demonstrasi bagi partai salafi ini, tapi mereka bersikeras untuk melakukannya dan memulai aksi demonstrasinya dari masjid al-Mansouri, Tripoli. (IRIB/SL/MZ/22/4/2011)
0 comments to "Bahrain di Antara HAM, Syiah dan Iran !!!!!"