Mengingat adanya pesan penting dan hikmah yang bisa diambil dari wawancara antara wartawan SYIAR dengan Habib Rizieq Shihab di rumahnya Gang Bethel ini, berikut ini saya kutipkan wawancara tersebut kembali.
Apakah Anda punya model negara ideal yang menjalankan syariat Islam?
Sekarang ini telah bermunculan negara-negara Muslim yang menjalankan hukum Islam. Di samping punya kelebihan, mereka juga punya kekurangan. Contohnya adalah Iran. Setelah Syah Iran tumbang, Ayatulah Khomeini dan pengikutnya membentuk Republik Islam Iran. Terlepas dari perbedaan mazhab yang ada, kita juga jangan lupa bahwa model kepemimpinan Islam ini ‘kan juga terlihat di Sudan meskipun sudah diacak-acak kekuatan asing. Kalau lemah, niscaya Iran pun akan diacak-acak. Sebagaimana kita tahu, sejak memproklamasikan diri sebagai Republik Islam, Iran langsung diserang Irak, dan terjadilah Perang Teluk. Iran dikerubuti berbagai macam negara dan tekanan Barat juga tidak berkurang. Artinya, tidak ada satu pun negara Islam di dunia ini yang akan luput dari tekanan. Di Aljazair, partai Islam sudah menang pemilu tapi dikhianati.
Di kalangan Syiah, Iran sudah menjadi contoh, meskipun ada perbedaan pendapat antara Khomeini dan Muhammad Jawad Mughniyah tentang konsep wilâyatul fâqih yang belum tuntas hingga saat ini. Polemik ini adalah salah satu wujud kekurangan Iran. Sedangkan dari segi sistem politik, Iran boleh dikatakan sudah menjadi percontohan. Kita berharap ke depan akan muncul negara-negara Islam lainnya yang bisa menjadi percontohan.
Ke depan, sikap ini perlu dikembangkan. Sebetulnya banyak perbedaan suni-Syiah, baik dalam ushul maupun furu’. Tapi kita ingin menjawab dalam realita kehidupan sehari-hari, apakah betul tidak ada jalan untuk mendudukkan mereka bersama? Apakah betul tidak ada ruang dialog di antara mereka?
Saya lihat banyak sisi yang bisa didialogkan. Selama secara terang-terangan dan terbuka mencaci-maki Abu Bakar, Umar, dan Utsman, berarti orang-orang Syiah telah menutup pintu dialog. Mustahil ada suni yang mau diajak dialog kalau mendengar dari mulut Syiah sesuatu yang jelek tentang mereka. Orang Syiah mesti memahami kejiwaan dan perasaan sensitif Sunni sehingga tidak mencaci-maki atau menghina, apalagi mengkafirkan mereka. Begitu juga sebaliknya. Suni tidak boleh menggeneralisasi bahwa semua Syiah itu kafir dan sesat. Kalau diambil, pasti sikap seperti ini akan menyakiti hati orang-orang Syiah. Ini juga akan menutup pintu dialog.
Perbedaan sekecil apa pun, bila disikapi dengan jiwa kerdil, dada sempit, sikap egois, dan mau menang sendiri, pasti akan mendatangkan perpecahan dan malapetaka. Apalagi kalau perbedaannya besar, wah sudah pasti hancur lebur. Sebaliknya, perbedaan sebesar apa pun, kalau disikapi dengan jiwa besar, dada lapang, sikap tafâhum, dan saling hormat, insya Allah tidak akan menimbulkan perpecahan.
Bila Syiah mengkritik kepemiminan Abu Bakar dengan cara ilmiah dan santun dan disertai dalil-dalil dan argumentasi yang baik, suni wajib menjawabnya. Kita pun mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan orang kafir yang bertanya tentang akidah kita. Seperti Ahmad Deedat terhadap pertanyaan-pertanyaan orang kafir. Begitu juga sebaliknya. Nah, kedua belah pihak (suni-Syiah—red) harus menjawab dengan santun.
Kalau Syiah, tanpa angin dan hujan, tiba-tiba mencaci Abu Bakar, itu sama saja ngajak perang. Kritik terhadap sahabat, yang bagi ahlusunah adalah tabu tetapi biasa bagi Syiah, hendaknya disampaikan dengan adab, ilmiah, akhlakul karimah, dan tidak emosional. Membangun hal seperti ini tidaklah mudah tetapi ini bisa menyatukan hati dan langkah dalam kalimatullah. Itu yang lebih penting.
Pandangan Anda tentang Syiah di Indonesia?
Kalau yang saya lihat selama ini, hubungan saya baik dengan kawan-kawan Syiah di Indonesia. Apa yang saya sampaikan ke Anda sekarang ini juga sudah saya sampaikan kepada mereka. Contohnya kepada Ustadz Hassan Daliel (Alaydrus), saya katakan, “Bib (habib—red.), kenapa kita bisa jalan bareng? Karena saya belum pernah mendengar Anda mencaci-maki sahabat. Nah, ini perlu dijaga. Yang saya dengar kritik antum juga sopan. Tapi kalau suatu saat saya mengkafirkan Anda dan Anda maki-maki sahabat, kita bisa musuhan.”
Iya, betul itu. Itu hal yang saya sangat catat. Waktu saya ke Iran kemarin, Khaled Meshaal (Ketua Depatemen Politik Hamas—red.) baru saja pulang dari Iran, tempat yang sama dengan yang kita datangi.
Jadi, hubungan Hamas dan Hizbullah yang saling topang dan bantu seharusnya menjadi potret bagi persatuan umat. Mereka tetap pada pendapatnya masing-masing. Tapi pada saat mempunyai musuh bersama yang bernama Israel dan Amerika, kekafiran dan kezaliman, Hamas-Hizbullah bisa duduk dan jalan bersama. Kita juga bisa melihat hubungan erat antara Hasan Nasrullah (Sekjen Hizbullah—red) yang Syiah dengan Fathi Yakan (tokoh Ikhwanul Muslimin di Lebanon) yang suni. Bahkan Nasrullah ngomong secara terbuka bahwa Fathi Yakan-lah yang pantas menggantikan Siniora. Inilah potret positif yang luar biasa di zaman modern ini.
Syiah bukan barang baru di Indonesia. Menurut sejarawan, Syiah datang dari Gujarat dan Persia. Setidaknya budaya Persia cukup dikenal dalam tradisi keberagamaan di Indonesia. Apakah ini bisa jadi salah satu faktor pemersatu Sunni-Syiah?
Iya, itu bisa jadi faktor. Tapi, tetap faktor utamanya adalah masalah jiwa besar dan akhlak yang baik. Orang Syiah yang berilmu dan berakhlak tidak akan mungkin dari mulutnya keluar caci-maki kepada umat lain. Tidak ada. Saya kenal ulama-ulama Syiah yang berakhlak dan berilmu. Tidak ada keluar kata-kata kotor dari mulut mereka. Jadi, bila ada aktivis-aktivis Syiah yang mengeluarkan kata-kata kotor tentang sahabat, saya jadi heran, mereka itu ngikutin siapa?
Jadi, semua kembali ke hati, yang gambarannya bisa dilihat dari mulut. Bila mulutnya sudah penuh umpatan dan caci-maki, pasti hatinya sudah jelek. Kalau hatinya baik, dia bisa menghargai orang. Dia bisa mengetahui dan menahan ucapannya yang bisa menyinggung saudaranya. Bila ingin menyampaikan kebenaran, ia menyampaikannya dengan santun. Bahkan bila kita berhadapan dengan orang kafir, meski mungkin hatinya mencaci-maki Islam, yang menyampaikan kritiknya dengan sopan, kita mesti menjawabnya. Nabi dulu juga berdialog dengan orang musyrik, kafir, Nasrani, dan Yahudi. Itu contoh bagi kita.
Begini, kita tidak bisa menggeneralisasi semua Syiah sesat atau semua Syiah tidak sesat. Sebab orang Syiah pun merngakui bahwa di internal Syiah pun terdapat macam-macam golongan, dan di dalamnya ada pula yang sesat, yakni yang menuhankan Ali, meyakini Jibril salah menyampaikan risalah, dan Alquran yang seharusnya lebih tebal daripada sekarang. Itu ada dan diakui oleh Syiah mainstream. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan fatwa MUI tadi adalah Syiah yang semacam itu.
Yang perlu disadari betul oleh Syiah adalah bahwa ahlusunah punya sikap tegas soal sahabat. Bagi suni, siapa pun yang mencaci-maki dan apalagi mengkafirkan sahabat akan dikatakan sesat. Ini kunci. Oleh karena itu, untuk mengambil jalan tengah, Syiah harus menahan diri dari mencaci-maki dan mengkafirkan sahabat. Ajaklah suni berdialog, seperti yang dilakukan kelompok Zaidiah yang masih bagian dari Syiah. Kenapa sunni dan Zaidiah bisa akrab? Bahkan, kitab-kitab Zaidiah, seperti Subulus Salâm dan Nailul Awthâr, dipakai di pondok-pondok (pesantren—red.) suni.
Sekali lagi, saya berpendapat, kita tidak bisa mengeneralisasi Syiah. Sebab, Syiah itu macam-macam: ada yang moderat, konservatif, ekstrem, dan bahkan ada yang kafir. Bahkan, Muhammad Jawad Mughniyah (ulama Syiah Lebanon—red.) dalam Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzâhib Al-Khamsah mengatakan bahwa Syiah ghulat adalah kafir. Katanya, gara-gara ghulat, kami, Syiah Ja’fariah, yang moderat jadi tertuduh. artinya, yang mengkafirkan Syiah ghulat bukan hanya MUI, bahkan ulama Syiah pun mengkafirkannya. Jadi kita perlu memahami konteks fatwa MUI tersebut.
Sumber: Majalah SYIAR Edisi Maulud 1428 H
0 comments to "HABIB RIZIEQ SHIHAB, “SEKALI LAGI, PERSATUAN INI ADALAH MASALAH HATI”."