Israel meningkatkan serangannya ke Jalur Gaza, menggugurkan sedikitnya lima warga Palestina dan mencederai puluhan lainnya.
Kemarin (7/4) Israel mengerahkan tank, kapal perang dan jet tempurnya secara serentak menyerang Jalur Gaza.
Dua warga Palestina gugur syahid dan 25 lainnya cedera di kota Gaza. Dua warga juga gugur syahid dan 14 cedera di Rafah.
Menurut keterangan seorang petugas medis, sebuah helikopter tempur Israel terbang di atas Gaza dan menembak mati pemuda berusia 17 tahun.
Militer Israel mengaku bahwa serangan pasukan udara dan daratnya ke Jalur Gaza telah telah merenggut nyawa lima warga Palestina.
Sumber medis Palestina mengatakan, sedikitnya 30 orang cedera dalam serangan pasukan Israel yang berlangsung selama tiga jam ke Jalur Gaza. Di antara korban cedera adalah seorang anak perempuan berusia 4 tahun.
Tel Aviv telah berulangkali membombardir Gaza sejak perang 22 hari di pada bulan Desember 2008 dan Januari 2009. Perang yang merenggut nyawa lebih dari 1.400 warga Palestina dan menimbulkan kerugian sebesar 1,6 milyar dolar terhadap perekonomian Gaza.
Serangan militer Israel itu diklaim sebagai antisipasi terhadap penembakan roket dari kawasan Jalur Gaza oleh para pejuang Palestina.
Berdasarkan laporan terbaru, Israel belum menghentikan serangannya ke Jalur Gaza. Data terbaru menunjukkan, dua lagi warga Palestina gugur syahid dalam serangan ke wilayah utara dan selatan Jalur Gaza. (IRIB/MZ/8/4/2011)
Rakyat Mesir Tuntut Pemutusan Hubungan dengan Israel
Lebih dari satu juta demonstran Mesir berkumpul di Bundaran Tahrir, Kairo, menuntut penguasa militer memutuskan hubungan dengan rezim Zionis Israel dan mencabut blokade Jalur Gaza.Para pengunjuk rasa menyuarakan kemarahan mereka terhadap Tel Aviv dengan membakar bendera Israel dan menuntut pembebasan Palestina, ujar seorang koresponden Press TV kemarin (Jumat,8/4).
Mereka berjanji akan membela warga Gaza, yang menderita akibat serangan masif Zionis dan empat tahun pengepungan dari segala arah. Mayoritas demonstran berjalan menuju Kedutaan Besar AS dari Bundaran Tahrir untuk memprotes serangan mematikan Israel di Gaza.
Para pengunjuk rasa merobek bendera Israel, ketika mereka mencoba menaikkan bendera Palestina di atas kedutaan Zionis itu. Perkembangan ini terjadi dua bulan setelah revolusi bersejarah yang menumbangkan Presiden Hosni Mubarak.
Mereka juga menuntut diadilinya Mubarak dan keluarganya serta para mantan pejabat di era diktator Mesir itu.
Selama ini, rezim Mesir di bawah kepemimpinan Mubarak melayani kepentingan Zionis dengan membantu dan bungkam terhadap pembantaian warga Gaza. Mesir telah memberlakukan blokade atas Jalur Gaza sejak pemerintah yang terpilih secara demokratis, Hamas mengambil alih wilayah itu pada tahun 2007. Langkah tersebut mengikuti kebijakan Israel, yang ingin melumpuhkan muqawama Palestina.
Partai politik utama Mesir, Ikhwanul Muslimin, baru-baru ini menuntut penguasa militer untuk mengambil tindakan dalam mematahkan blokade Gaza. Menurut mereka, blokade Gaza melayani kepentingan Israel dan Amerika Serikat serta mengancam stabilitas regional dan independensi. (IRIB/RM/9/4/2011)Seorang warga Yordania membakar diri di luar kantor Perdana Menteri Marouf al-Bakhit di ibu kota Amman.
Muhammad Abdul Karim berada dalam kondisi kritis dengan luka bakar tingkat tiga di wajah dan sebagian besar tubuhnya, demikian sumber medis melaporkan kemarin (Kamis,7/4).
Insiden ini adalah aksi bakar diri pertama di Yordania setelah tindakan serupa terjadi di sejumlah negara Arab terutama di Tunisia untuk memprotes kebijakan pemerintah.
Aksi Mohammed Bouazizi, penjual buah yang membakar dirinya sendiri di Tunisia memicu gelombang protes rakyat antipemerintah, dan berhasil menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali.
Polisi mengklaim pria berusia 45 tahun itu ingin menarik simpati polisi untuk mencabut catatan kriminalnya, termasuk pencurian dan perdagangan ilegal obat-obatan dan persenjataan ringan.
Sejak Januari lalu, Yordania dilanda protes rakyat menuntut reformasi politik. Demonstran menghendaki Raja Abdullah II menyerahkan sebagian otoritas, termasuk hak untuk menunjuk perdana menteri.
Sebanyak dua orang tewas dan lebih dari 150 lainnyacidera setelah loyalis pemerintah menyerang sebuah kamp pro-reformasi di dekat gedung Kementerian Dalam Negeri pada Maret lalu.
Sekitar 4.000 dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri menggelar aksi mogok menuntut perbaikan kondisi hidup dan gaji yang memadai.
Pihak oposisi telah memperingatkan pemerintah atas dampak protes rakyat Yodania sebagaimana revolusi Mesir pada bulan Februari yang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak dari jabatannya.(IRIB/PH/LV/8/4/2011)
Ketua Parlemen Republik Islam Iran, Ali Larijani mengecam pernyataan tendensius anti-Iran yang dikemukakan Menteri Luar Negeri Yordania, Nasser Judeh dan Jubir Parlemen Faisal Al-Fayez.
"Pejabat yang membuat pernyataan anti-Iran ... harus sadar apakah yang mereka katakan faktual atau tidak," tegas Larijani.
Sejumlah pejabat negara-negara Arab baru-baru ini mengeluarkan statemen anti-Iran yang menuding Tehran campur tangan dalam urusan Bahrain.
Ketua Parlemen Iran juga mengecam propaganda media Barat yang menuding Tehran menjadi sarang pemberontakan di Bahrain.
"Republik Islam memelihara perspektif kemanusiaan menyikapi transformasi terbaru di kawasan,"tegas Larijani.
Larijani mengatakan sejumlah pejabat di negara-negara Arab berusaha untuk menyulut perpecahan di kawasan, sekaligus memanipulasi perlawanan rakyat di Timur Tengah.
Pada hari Kamis, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga memperingatkan bahwa Amerika Serikat dan sekutu Barat-nya menyulut konflik Iran-Arab, dan melancarkan perang Syiah-Sunni.
Gelombang protes rakyat menghantam negara-negara Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk Bahrain. Pemerintah Bahrain melakukan tindakan keras militer terhadap demonstran anti-rezim yang menuntut reformasi konstitusional di negara monarki ini.
Sejak Maret lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait mengerahkan pasukan ke Bahrain untuk memperkuat serangan bersenjata militer rezim Manama. Hingga kini, sekitar 3.000 orang cidera dalam aksi penumpasan brutal yang dilakukan pemerintah.
Organisasi buruh PBB juga menyatakan keprihatinannya atas penganiayaan massal terhadap serikat buruh yang menggelar demonstrasi damai.
Dua hari lalu, pasukan keamanan Bahrain menyerang acara prosesi pemakaman seorang pengunjuk rasa anti-pemerintah di desa Karzakan dan membubarkan para pelayat secara paksa.
Para saksi mata menyatakan bahwa pasukan keamanan menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa yang mengikuti prosesi pemakaman Jassim Hassan Fardan, yang tewas di tangan aparat.
Lebih dari 25 orang tewas akibat aksi kekerasan pemerintah Bahrain terhadap pengunjuk rasa antirezim monarki yang telah berkuasa selama lebih dari 200 tahun.
Sebelumnya, Pengawas Hak Asasi Manusia pekan lalu menyatakan telah mendokumentasikan beberapa kasus penganiayaan yang dilakukan aparat keamanan terhadap pasien yang tengah dirawat di rumah sakit Salmaniya, Manama.
Bahrain dan Arab Saudi adalah sekutu utama AS di kawasan Teluk Persia dan Timur Tengah. Bahrain juga menjadi pangkalan armada besar kelima Angkatan Laut AS.(IRIB/PH/LV/8/4/2011)
Israel Makin Brutal Serang Gaza
Jet tempur rezim Zionis kembali menyerang Jalur Gaza yang menyebabkan setidaknya dua warga Palestina gugur.
"Serangan berdarah terjadi Jumat pagi (8/4) di daerah dekat perbatasan yang terletak di timur Khan Younis,"kata juru bicara layanan darurat kepada AFP.
Sehari sebelumnya, pasukan Israel menyerang Jalur Gaza yang menewaskan sedikitnya lima orang dan melukai puluhan lainnya.
Israel meningkatkan serangannya ke Jalur Gaza, menggugurkan sedikitnya lima warga Palestina dan mencederai puluhan lainnya.
Kemarin (7/4) Israel mengerahkan tank, kapal perang dan jet tempurnya secara serentak menyerang Jalur Gaza.
Dua warga Palestina gugur syahid dan 25 lainnya cedera di kota Gaza. Dua warga juga gugur syahid dan 14 cedera di Rafah.
Menurut keterangan seorang petugas medis, sebuah helikopter tempur Israel terbang di atas Gaza dan menembak mati pemuda berusia 17 tahun.
Militer Israel mengaku bahwa serangan pasukan udara dan daratnya ke Jalur Gaza telah merenggut nyawa lima warga Palestina.
Sumber medis Palestina mengatakan, sedikitnya 30 orang cedera dalam serangan pasukan Israel yang berlangsung selama tiga jam ke Jalur Gaza. Di antara korban cedera adalah seorang anak perempuan berusia 4 tahun.
Israel secara rutin membombardir Gaza sejak meletusnya perang 22 hari yang menewaskan lebih dari 1.400 orang termasuk perempuan dan anak-anak.
Sementara itu, Perdana Menteri rezim Zionis Benjamin Netanyahu Kamis menegaskan rezim Tel Avivtidak akan berhenti mengambil tindakan militer terhadap Jalur Gaza.(IRIB/PH/LV/8/4/2011)
Berkah Revolusi Rakyat Mesir, Kairo-Tehran Mesra
Menteri luar negeri Mesir menyerukan normalisasi hubungan dengan Iran, seraya mengatakan Kairo berkomitmen untuk meningkatkan hubungan dengan Tehran.
Pasca revolusi rakyat yang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak, Mesir tampak siap untuk membuka lembaran baru dengan Republik Islam. Nabil al-Arabi mengatakan negaranya akan memulai babak baru hubungan diplomatik dengan Iran. Demikian koresponden Press TV di Kairo melaporkan Kamis (7/4).
Pasca pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Austria, Michael Spindelegger di Kairo pada hari Rabu, al-Arabi menyatakan bahwa pemulihan hubungan Iran-Mesir tidak akan menimbulkan ancaman bagi siapa pun.
Pernyataan ini disambut baik oleh banyak politisi dan diplomat Mesir sebagai langkah yang sangat positif pasca meletusnya revolusi rakyat di Negeri Piramida itu.
"Saya sangat optimis terkait pemulihan hubungan diplomatik antara Iran dan Mesir, dan dampak positifnya bagi kedua negara dan kawasan Timur Tengah," kata Abdullah al-Ashal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri Mesir.
Dalam konferensi pers pertamanya sebagai menteri luar negeri Mesir, al Arabi mengatakan, Kairo siap untuk membuka lembaran baru dengan Republik Islam Iran. Menurut al Arabi, pemerintah Mesir tidak melihat Iran sebagai negara musuh dan kedua negara juga memiliki hubungan historis yang mengakar.
Menlu Iran, Salehi mengomentari pernyataan itu dengan mengatakan, meski mengalami pasang surut, hubungan historis antara kedua negara tetap berkelanjutan. "Rakyat Mesir telah membuka lembaran baru dalam sejarah negara itu dengan bergerak menuju terwujudnya keadilan,"tegasnya.
Iran dan Mesir tidak memiliki hubungan diplomatik sejak tahun 1980. Tehran memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir, setelah Kairo menandatangani perjanjian Camp David dengan rezim Israel pada tahun 1978, dan memberikan suaka kepada diktator Iran yang digulingkan rakyatnya sendiri, Shah Mohammad Reza Pahlevi.(IRIB/PH/LV/8/4/2011)
Politikus Iran: Negara Arab Takut Kebangkitan Islam
Hossein Sobhani-Nia, anggota Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri parlemen Iran menyatakan bahwa negara yang memusuhi Iran ketakutan atas merebaknya kebangkitan rakyat menentang penguasa despotik.Sobhani-Nia hari Kamis (7/4) menandaskan, negara di kawasan tidak segan-segan menghalalkan segala cara untuk menumpas tuntutan rakyatnya dan hal ini disebabkan mereka ketakutan atas kebangkitan Islam.
Ia menekankan dukungan spiritual bangsa Iran terhadap rakyat pecinta kebebasan di dunia. Dijelaskannya, pasca kemenangan revolusi Islam, bangsa Iran secara spiritual menilai mendukung seluruh bangsa dunia, yang menginginkan kebebasan sebagai tugas mulia dan kewajiban mereka. Menurutnya, hal inilah yang mendorong Iran mendukung perjuangan rakyat Bahrain.
Ia menambahkan, statemen anti-Iran para pejabat Arab tidak memiliki bobot dan mereka tidak layak untuk merilis pernyataan apapun setelah membantai rakyat Bahrain.
Sementara itu, para menteri luar negeri Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) hari Ahad lalu di akhir sidangnya di Arab Saudi, menyatakan kekhawatirannya atas intervensi Iran di kawasan. (IRIB/MF/7/4/2011)Prestasi Iran di bidang sains dan teknologi mengejutkan banyak kalangan terutama negara-negara Barat. Situs Newscientist baru-baru ini melaporkan publikasi ilmiah Republik Islam itu menduduki posisi tertinggi di dunia.
"Meski hubungan politik Iran dan AS tegang, tampaknya hubungan ilmuwan kedua negara justru semakin dekat. Buktinya, jumlah paper kolaboratif di antara mereka meningkat hampir lima kali lipat dari 388 menjadi 1831 selama periode yang sama (1996-2008),"Tulis Andy Coghlan, sebagaimana dikutip News Scientist (28/3).
UK' Royal Society, Inggris dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pekan lalu membandingkan publikasi global negara-negara dunia, dan menyebut Iran berada di garda depan di bidang publikasi ilmiah di Timur Tengah.
Laporan kredibel yang membandingkan publikasi ilmiah antara tahun 1993 -2003, dan 2004-2008 ini, memperlihatkan geliat pertumbuhan paper ilmiah di Iran yang sedang getol mengejar ketertinggalannya di bidang sains dan teknologi.
Sebelumnya, Institute for Scientific Information (ISI) melaporkan, Iran menyabet peringkat pertama dari kategori umum laju pertumbuhan paper ilmiah. ISI menegaskan, Saat ini, pertumbuhan ilmu pengetahuan di Iran 13 kali rata-rata tingkat dunia.
Perusahaan riset Kanada, Science-Metrix tahun lalu menempatkan Iran di peringkat teratas dunia dari kategori pertumbuhan produktivitas karya ilmiah dengan indeks pertumbuhan 14,4.
Kini, si bawah tekanan sanksi internasional, perkembangan sains dan teknologi di Iran melesat jauh dibandingkan satu dekade lalu.(IRIB/Newscientist/PH/LV/3/4/2011)
Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad memperingatkan upaya Amerika Serikat dan sekutu Baratnya untuk menciptakan konflik Iran-Arab dan perang Syiah-Sunni dalam usaha menyelamatkan rezim Zionis Israel, yang tengah runtuh.
Berpidato di tengah warga kota Kermanshah, barat Iran, Kamis (7/4), Ahmadinejad mengatakan, klaim Amerika tentang pembentukan dua pemerintahan di Palestina bermaksud untuk menyelamatkan Israel dan merusak front muqawama.
"Mereka mengatakan satu pemerintah Israel dan satu pemerintah Palestina. Slogan ini ditujukan untuk menyelamatkan pemerintah Zionis yang lemah," jelas Ahmadinejad seperti dilaporkan IRNA.
Presiden Iran mencatat bahwa skenario musuh yang "sangat rumit" bertujuan menebarkan perselisihan dan mengubah wajah Amerika di tengah negara-negara regional. Dia juga meminta negara dan bangsa kawasan untuk tetap waspada.
Seraya menyinggung upaya Barat, terutama Amerika Serikat, untuk membagi wilayah Yordania, Ahmadinejad menandaskan, musuh berniat untuk memecah Yordania. Mereka bahkan tidak bersedia memberikan sebagian wilayah Palestina yang diduduki demi mewujudkan kebohongannya.
"Anda harus tahu bahwa rezim Zionis Israel hampir runtuh dan tidak ada kekuatan yang dapat menyelamatkan rezim itu dari kehancuran," tegasnya. "Zionis tidak memiliki tempat di antara negara-negara regional dan juga negara-negara yang sudah mengenal wajah asli Amerika dan sekutunya," tambah Ahmadinejad.
"Era kolonialisme, perbudakan dan penjarahan sudah berakhir. Bangsa Iran berdiri bahu-membahu dengan bangsa-bangsa regional untuk melawan kekuasaan musuh dan membuat mereka putus asa," tandasnya. (IRIB/RM/MF/7/4/2011)Pemerintah Bahrain telah membagikan sebuah dokumen kepada wartawan di bandara Manama, mengklaim bahwa Iran terkait dengan krisis di negera itu, kata seorang aktivis Bahrain.
"Para wartawan yang datang ke Bahrain dalam beberapa hari terakhir telah diberikan sebuah dokumen di bandara. Berkas ini menginformasikan bahwa apa yang terjadi di Bahrain berhubungan dengan pemerintah Iran," ujar Nabeel Rajab, Presiden Pusat Hak Asasi Manusia Bahrain dalam sebuah wawancara dengan Press TV pada hari Senin (4/4).
"Pemerintah Manama mencoba meyakinkan wartawan bahwa demonstran tidak menuntut sesuatu, tidak ada isu HAM, tetapi hanya ada satu hal; pemerintah Iran mencoba untuk menciptakan krisis di Bahrain dengan mendukung beberapa orang yang pro-mereka," jelas Rajab.
"Tak satu pun wartawan yang datang ke Bahrain percaya klaim pemerintah Manama bahwa Iran terkait dengan protes tersebut. Sangat jelas bahwa warga memiliki tuntutan yang damai dan sah," tambahnya.
"Protes telah dipimpin oleh kelompok Syiah dan Sunni. Pemerintah mencoba untuk menghubungkan protes ini ke Iran. Kami katakan tidak, ini adalah masalah internal," tegas Rajab.
Mengomentari kekerasan yang dilakukan pemerintah Bahrain dalam menangani isu internal, Rajab menyimpulkan bahwa pemerintah mencoba untuk menyimpangkan opini publik, tetapi tidak berjalan efektif sebagaimana yang mereka inginkan.
Gerakan rakyat anti-pemerintah pecah di Bahrain pada pertengahan Februari lalu. Tindakan keras pemerintah telah menewaskan sedikitnya 26 orang dan melukai sekitar 1.000 lainnya. (IRIB/RM/SL/4/4/2011)Menteri Kehakiman Mesir, Muhammad al-Jundi kemarin (7/4) mengatakan, "Berdasarkan informasi terbaru, mantan diktator Hosni Mubarak, tidak mampu bergerak dan berjalan akibat masalah pada tulang punggungnya."
IRNA melaporkan, al-Jundi di sela-sela pertemuan antara Aliansi Pemuda Revolusioner dan Ketua Dewan Menteri Mesir, Doktor Issam Sharaf, mengatakan, "Jika pengacara Mubarak dapat membuktikan bahwa kliennya tidak mampu hadir di pengadilan, maka akan dibentuk komisi khusus terdiri dari para hakim dan jaksa yang akan menginterogasi Mubarak di kediamanya di Sharm al-Sheikh."
Al-Jundi mengatakan, "Seluruh bukti dan dokumen untuk menyidangkan Mubarak dan keluarganya atas tuduhan korupsi telah siap."
Di bagian lain pernyataannya, al-Jundi menegaskan, "Gamal Mubarak, putra Hosni Mubarak, akan disidang Ahad mendatang." (irib/8/4/2011)Pemerintah Jerman siap mengirim pasukan militernya ke Libya dalam menjalankan operasi kemanusiaan, dengan syarat parlemen negara ini menyetujuinya.
IRNA (7/4) melaporkan, Berlin akan menyetujui program tersebut jika PBB meminta bantuan kepada Jerman untuk mengirim pasukan dalam rangka menjaga penyaluran bantuan kemanusiaan ke Libya.
Sebelumnya, kesepakatan tersebut juga telah dibahas oleh Uni Eropa pada 21 Maret lalu.
Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle mengungkapkan bahwa negaranya siap untuk berpartisipasi dalam operasi kemanusiaan di Libya jika pihak parlemen setuju.
Sejumlah sumber Jerman menyatakan bahwa diperkirakan pengerahan pasukan militer ke Libya itu lebih mengacu pada upaya proteksi bantuan medis dan relokasi para pengungsi dari kawasan perang.
Dalam hal ini Westerwelle mengatakan, "Masalah terpentingnya adalah bahwa kami membantu manusia-manusia yang tengah menderita."(IRIB/MZ/8/4/2011)
Propinsi Miyagi kembali diguncang gempa berkekuatan 7.4 skala richter kemarin (7/4). Pemerintah telah mengeluarkan peringatan tsunami untuk kawasan pesisir di timur laut Jepang. Gempa itu terjadi di lepas pantai Miyagi di kedalaman 40 km.
Badan meteorologi Jepang mengeluarkan peringatan tsunami hingga satu meter untuk wilayah pesisir di timur laut negara itu.
11 Maret lalu, gempa bumi berkekuatan 9,0 skala richter, menggucang pulau utama Jepang dan menimbulkan tsunami hingga 7 meter. Tidak hanya itu, setelah gempa dan tsunami itu, Jepang dilanda gempa susulan hingga lebih dari 50 kali.
Menurut Badan Kepolisian Nasional, angka kematian mencapai 11.600 sementara 16, 500 orang hingga kini masih dinyatakan hilang.
Gempa 11 Maret itu dinilai bencana alam paling mematikan di Jepang sejak Gempa Besar Kanto pada 1923 yang menewaskan lebih dari 142.000 orang.
Menyusul gempa terbaru itu, para pekerja di instalasi nuklir Fukushima dievakuasi.
Tokyo Electric Power Company (TEPCO) (7/4) menyatakan, "Setelah gempa bumi dan peringatan tsunami, semua pekerja dievakuasi ke daerah yang aman. Semua pekerja juga telah dievakuasi dari lokasi dengan selamat."
Juru bicara TEPCO mengatakan, "Kami tidak memiliki informasi terkait adanya indikasi kelainan pada instalasi Daiichi Fukushima". Ditambahkannya bahwa pihaknya akan segera memberikan informasi tentang hal ini.
Belum ada laporan mengenai kerusakan dan korban akibat gempa di Propinsi Miyagi. Namun terjadi pemadaman listrik di Fukushima dan Yamagata.
Menurut US Geological Survey, pusat gempa terletak di lepas pantai di timur Jepang, di 140 kilometer dari Fukushima dan 345 kilometer dari Tokyo. (IRIB/MZ/8/4/2011)
Para Dokter Yaman Ubah Masjid Jadi Rumah Sakit Darurat
Para dokter Yaman dan mahasiswa mengubah sebuah masjid di ibukota menjadi rumah sakit darurat untuk merawat korban akibat aksi brutal aparat pemerintah.
Para mahasiswa fakultas medis dari Universitas Sanaa, bergabung dengan para dokter dalam membantu mengubah masjid menjadi rumah sakit darurat dengan dilengkapi 35 tempat tidur, dan peralatan medis. Puluhan perawat juga ikut berpartisipasi. Demikian dilaporkan Reuters.
Para relawan segera merawat pasien yang terkena tembakan peluru dan gas air mata.
Seorang dokter bernama Iman al-Awisi mengatakan, "Kami menerima banyak kasus, di sini."
Sejak akhir Januari, para demonstran menyerukan pemberantasan korupsi yang meluas dan pengangguran di Yaman, serta menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berkuasa secara despotik selama 32 tahun.
Sekitar 40 persen rakyat Yaman hidup dengan penghasilan kurang dari dua dolar per hari, dan sepertiga warga negara ini menghadapi kelangkaan pangan.
Ratusan ribu orang berdemonstrasi secara rutin di seluruh penjuru negeri, khususnya di ibukota serta di kota Aden dan Taiz.
Para demonstran tidak hanya menghadapi polisi anti huru hara melainkan juga para pendukung Presiden Saleh yang membawa pisau dan pentungan.
Presiden Saleh sendiri menyatakan tidak akan meletakkan jabatannya hingga tahun 2013 dan bersumpah akan mempertahankan kekuasaannya "hingga tetes darah terakhir."
Berdasarkan laporan lokal, sedikitnya 300 orang tewas dan banyak lainnya cedera sejak perlawanan anti-rezim Saleh dimulai awal tahun lalu.(IRIB/MZ/8/4/2011)
Yaman kembali Bersimbah Darah
Pasukan keamanan Yaman kembali menyerang sebuah aksi protes di selatan kota Taiz, menewaskan sedikitnya empat demonstran anti-pemerintah dan melukai beberapa orang lainnya.Saksi mata mengatakan, sekitar 200 pengunjuk rasa terluka setelah pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan gas air mata ke arah demonstran pada hari Jumat (8/4). Beberapa korban luka dilaporkan berada dalam kondisi kritis. Seorang anak berusia sembilan tahun juga termasuk di antara mereka, tulis kantor berita Xinhua.
Para pejabat rumah sakit di Taiz menuturkan, pasukan rezim telah menembakkan gas beracun terhadap para demonstran. Serangan itu terjadi saat pengunjuk rasa tengah menggelar prosesi pemakaman lima demonstran anti-pemerintah, yang tewas awal pekan ini. Mereka menuntut Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh untuk segera turun.
Aksi unjuk rasa anti-Saleh juga digelar di kota-kota utama lainnya di Yaman, termasuk Sana'a, Hodayda, Al Bayda, Aden, Abyan, dan Hadramout.
Kekerasan di Taiz terjadi tidak lama setelah Presiden Yaman menolak rencana pengunduran dirinya, yang disuarakan oleh Dewan Kerjasama Teluk Persia. Menurut sumber-sumber setempat, setidaknya 300 orang tewas dan banyak lainnya luka-luka sejak awal demonstrasi anti-Saleh di negara tersebut. (IRIB/RM/9/4/2011)Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengamanatkan sebuah tim ahli untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Libya, setelah kekuatan pro-Gaddafi dan NATO menggelar serangan udara di negara itu.
Panel tiga anggota bertugas menyelidiki pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang setia kepada Pemimpin Libya Muammar Gaddafi. Tim itu juga akan mengadakan investigasi terhadap aksi kekuatan revolusioner di timur Libya. Namun tidak menyinggung aksi NATO yang juga menewaskan warga sipil.
"Kita akan berbicara dengan semua orang. Kami akan mengunjungi rumah sakit, jadi kita akan berbicara dengan orang-orang yang terluka. Kami juga akan kunjungi penjara dan meminta keterangan para tahanan," ujar Cherif Bassiouni, ahli kejahatan perang Amerika Serikat dalam konferensi pers di Jenewa.
"Kami akan berbicara dengan kombatan, masyarakat sipil dan setiap orang yang memiliki informasi untuk dipelajari," tambahnya.
Anggota panel dijadwalkan akan mengunjungi semua bagian Libya sampai akhir April. Mereka diharapkan untuk melengkapi laporan sampai pertengahan Juni.
Pasukan Libya telah membunuh ribuan warga sipil sejak revolusi melawan Kolonel Gaddafi dimulai pada pertengahan Februari. Banyak warga sipil juga dilaporkan tewas sejak koalisi Barat menggelar serangan ke Libya.
NATO sendiri mengaku membunuh pejuang revolusioner dan warga sipil dalam serangan udara di timur Libya. Namun, aliansi militer ini menolak meminta maaf atas penembakan yang mematikan.
"Kami tidak akan meminta maaf," ujar Komandan NATO, Laksamana Russell Harding kepada wartawan di Naples pada hari Jumat.
Pada Kamis malam, sedikitnya lima pejuang anti-Gaddafi tewas dalam pemboman NATO yang mengenai tank-tank mereka. Di antara yang tewas terdapat seorang dokter di rumah sakit di Benghazi dan seorang jenderal. (IRIB/RM/9/4/2011)Pusat Hak Asasi Manusia Bahrain (BCHR) mengumumkan bahwa jumlah aktivis oposisi yang ditahan di negara Teluk Persia itu telah melampaui 500 orang.
Menurut BCHR, 17 perempuan juga berada antara tahanan tersebut dan 18 aktivis lainnya dilaporkan hilang. Demikian dilaporkan koresponden Press TV dari Manama pada hari Jumat (8/4).
Sejak awal protes di Bahrain, puluhan demonstran anti-pemerintah tewas dan banyak lainnya dinyatakan hilang. Jasad mereka yang hilang sering ditemukan hari berikutnya.
Kepala BCHR, Nabeel Rajab mengatakan, kini satu dari setiap 1.000 warga Bahrain berada dalam tahanan karena alasan politik. Para saksi mata juga menuturkan, pasukan rezim sedang melakukan pencarian dari rumah ke rumah untuk menahan aktivis oposisi.
Enam pemimpin oposisi juga telah ditangkap dan pemerintah Manama sejauh ini menolak memberikan informasi tentang nasib mereka. Mereka yang terdiri dari lima warga Syiah dan satu Sunni ditangkap pada 17 Maret lalu.
Di antara pemimpin oposisi yang ditangkap adalah Hassan Mushaima, Kepala Partai Haq, yang kembali ke Bahrain dari Inggris pada pertengahan Februari setelah Manama menjatuhkan dakwaan terhadap dirinya.
Menurut keluarganya, pasukan Arab Saudi bersama tentara Bahrain mengambil bagian dalam operasi penangkapan itu. (IRIB/RM/9/4/2011)Ratusan pengunjuk rasa anti-pemerintah, turun ke jalan-jalan di wilayah timur Arab Saudi untuk mengutuk intervensi militer negara itu di Bahrain.
Seraya melambai-lambaikan bendera Saudi dan Bahrain, pengunjuk rasa di kota Qatif dan Awamiyah pada hari Jumat (8/4) menyatakan solidaritas mereka dengan pengunjuk rasa anti-pemerintah di Bahrain dan menyerukan penarikan segera pasukan Saudi dari negara Teluk Persia itu.
Arab Saudi mengirimkan 1.000 pasukan ke Bahrain untuk membantu keluarga Al Khalifa dalam menumpas para demonstran.
Para pengunjuk rasa damai juga menyerukan reformasi politik dan kebebasan berekspresi di Arab Saudi. Kedua kota tersebut dikepung oleh pasukan keamanan seiring aksi demonstrasi, tapi tidak ada laporan tentang bentrokan atau penangkapan.
Wilayah timur Saudi yang kaya minyak, telah menjadi pusat protes anti-pemerintah selama beberapa pekan terakhir. Bulan lalu, kelompok HAM Saudi mengatakan bahwa pihak berwenang telah menangkap seratus demonstran atau mereka yang mengorganisir aksi itu.
Human Rights First Society (HRFS) juga mengungkapkan bahwa beberapa tahanan menjadi sasaran penyiksaan baik fisik dan mental.
Jurubicara Kementerian Dalam Negeri Saudi, Mansour al-Turki menolak untuk mengomentari laporan tersebut.
"Siapa saja yang melakukan tindak kekerasan yang dinilai kriminal oleh hukum Arab Saudi akan ditangkap dan siapa saja terbukti terlibat dalam menyerukan demonstrasi juga akan ditangkap dan dikirim ke pengadilan," kata Turki kepada Reuters.
Di Arab Saudi, unjuk rasa dan setiap aksi untuk menyuarakan perbedaan pendapat di depan umum dilarang dan dianggap ilegal. Ulama senior Wahabi di kerajaan Saudi juga mengecam demonstrasi oposisi dan menilanya "tidak Islami." (IRIB/RM/9/4/2011)Seiring dengan kian dekatnya batas waktu penarikan tentara AS dari Irak, Washington kini mulai bergerilya lagi untuk memperpanjang masa kehadiran militernya di Negeri Kisah 1001 Malam ini. Dalam pernyataan terbarunya, Menteri Pertahanan AS Robert Gates menandaskan, "Jika Irak masih menginginkan tentara AS, maka Pentagon pun terpaksa akan sesegera mungkin mempersiapkannya". Tentu saja, pernyataan Gates tersebut sangat kontras dengan kehendak pemerintah dan rakyat Irak yang menuntut diakhirnya secepat mungkin kehadiran militer AS setelah tahun 2011 nanti.
Berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani AS dan Irak di penghujung tahun 2008, seluruh tentara AS harus meninggalkan Irak selambat-lambatnya hingga 31 Desember 2011. Tak heran jika dalam satu-dua tahun belakangan, Pentagon terpaksa memangkas jumlah tentaranya di Irak dari 150 ribu serdadu menjadi 50 ribu. Dengan demikian, masih tersisa waktu 8 bulan lagi bagi AS untuk menarik seluruh tentaranya dari Irak sampai akhir tahun ini.
Kendati begitu, sampai sekarang masih terbersit beragam keraguan soal komitmen AS terhadap kesepakatan tersebut. Sepanjang sejarah pendudukan AS di berbagai negara dalam beberapa dekade terakhir, sulit sekali ditemukan suatu kasus di mana Washington menarik total seluruh kekuatan militernya dari negara taklukannya. Meski Perang Dunia II sudah lebih dari setengah abad berlalu, namun sampai kini puluhan ribu tentara AS masih bertahan di Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Meski Jerman terbilang sebagai anggota NATO, sementara Jepang dan Korea Selatan menjalin hubungan strategis dengan AS, namun Gedung Putih masih saja memandang dirinya sebagai pemenang sementara ketiga negara itu sebagai negara taklukan.
Melihat rekam jejak semacam itu, tidak mustahil kiranya jika AS bakal terus mempertahankan cengkaraman militernya di Irak dengan pelbagai alasan dan kedok. Sejumlah bukti menunjukkan, Pentagon berusaha mengendalikan secara tak langsung aksi-aksi teror yang dilancarkan kelompok-kelompok ekstrimis di Irak. Situasi tersebut sengaja dipertahankan AS sebagai dalih untuk mempertahankan kehadiran militernya. Sebab jika kondisi di Irak terus-menerus didera kekerasan dan instabilitas, maka mau tak mau pemerintah Irak pun terpaksa bakal meminta bantuan sehingga tentara AS kembali hadir layaknya sang juru selamat.
Dalam situasi seperti sekarang, kehadiran militer AS di Irak masih sangat strategis bagi kepentingan Gedung Putih di Timur Tengah. Terlebih dengan kian meningkatnya gerakan revolusi rakyat di dunia Arab, Washington pun tak ingin kehilangan lagi sekutu-sekutu dekatnya di kawasan, seperti yang menimpa Mesir dan Tunisia. Tak syak, kalau saja revolusi rakyat di negara-negara Arab seperti Bahrain, Yaman, Yordania, dan Arab Saudi berhasil menumbangkan rezim-rezim sekutu Washington, niscaya kehadiran militer Pentagon di Irak menjadi semakin strategis dan vital bagi kepentingan AS di kawasan. (IRIB/LV/8/4/2011)Selasa 29 Maret 2011, Menteri Luar Negeri baru Mesir Nabil El Arabi mengatakan bahwa negaranya siap untuk mempromosikan hubungan antara Tehran dan Kairo.
Bersamaan dengan itu, sekitar 40 perwakilan dari PBB, NATO, Uni Afrika dan Liga Arab yang hadir dalam Konferensi London menyerukan penguasa Libya Muammar Gaddafi untuk meletakkan kekuasaannya.
Rabu 30 Maret 2011, sedikitnya satu warga Palestina gugur syahid dan puluhan lainnya luka-luka akibat serangan pesawat tempur rezim Zionis Israel terhadap Jalur Gaza. Dua hari berikutnya, Perdana Menteri Rezim Zionis Israel Benyamin Netanyahu meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghentikan pengiriman bantuan ke Gaza.
Kamis 31 Maret 2011, situasi di Bahrain kian kritis. Pemerintah Bahrain kian meningkatkan aksi represifnya terhadap demonstran anti-pemerintah di ibukota Manama dan beberapa kota lain di sekitarnya.
Sementara itu, di hari yang sama, Presiden Suriah Bashar Assad dalam pidatonya menyatakan bahwa rangkaian peristiwa dan kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini di Suriah adalah konspirasi yang sudah dirancang sistematis oleh pihak asing termasuk dinas intelijen Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel.
Jumat 1 April 2011, Ribuan pengunjuk rasa kembali turun ke jalan-jalan di ibukota Yaman, Sanaa, menuntut diakhirinya kekuasaan otokratik Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berlangsung selama 32 tahun.
Menteri Luar Negeri baru Mesir Nabil El Arabi mengatakan bahwa negaranya siap untuk mempromosikan hubungan antara Tehran dan Kairo. Dalam konferensi pers pertamanya sebagai menteri luar negeri Mesir pada hari Selasa (29/3), El Arabi mengatakan, Kairo siap untuk membuka lembaran baru dengan Republik Islam Iran.
Menurut El Arabi, pemerintah Mesir tidak melihat Iran sebagai negara musuh dan kedua negara juga memiliki hubungan historis yang mengakar. Ditambahkannya, pembentukan hubungan diplomatik tergantung pada pihak Iran.
Pada bagian lain pernyataannya, El Arabi juga menyatakan kesiapan negaranya untuk melakukan dialog dengan Hizbullah Lebanon. Ditandaskannya, "Hizbullah merupakan sebuah partai di tengah masyarakat Lebanon dan jika kelompok itu tertarik untuk melakukan pembicaraan, kami akan menyambutnya."
Sebelumnya pada bulan Maret, Kepala Bagian Kepentingan Iran di Mesir, Mojtaba Amani mengatakan, hubungan antara Tehran dan Kairo, yang sudah lama membeku dapat dicairkan. Ditambahkannya, "Mengingat perkembangan saat ini di Mesir, maka tiba waktunya untuk memperluas hubungan bilateral kedua negara."
Pejabat Iran menyatakan bahwa hubungan diplomatik antara kedua negara hanya terbatas pada kerangka kepentingan sejak tahun 1979, tapi sudah saatnya kedua belah pihak membuat keputusan yang tepat berdasarkan peristiwa terkini dan transformasi di Mesir.
Tehran dan Kairo tidak memiliki hubungan diplomatik penuh sejak kemenangan Revolusi Islam Iran. Tehran memutuskan hubungan dengan Kairo setelah Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan rezim Zionis Israel dan memberikan suaka kepada Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi.
Sebagaimana disinggung dalam rangkuman berita, bersamaan dengan serangan udara pimpinan Amerika Serikat ke Libya, sekitar 40 perwakilan dari PBB, NATO, Uni Afrika dan Liga Arab yang hadir dalam Konferensi London pada hari Selasa lalu (29/3) menyerukan penguasa Libya Muammar Gaddafi untuk meletakkan kekuasaannya.
Peserta konferensi membentuk sebuah front bersatu untuk melanjutkan misi aliansi Barat di negara tersebut dan secara bulat setuju bahwa Gaddafi harus meninggalkan Libya. Mereka juga memutuskan bahwa operasi militer harus dilanjutkan hingga Gaddafi mematuhi tuntutan PBB untuk gencatan senjata, berhenti menyerang warga sipil dan memungkinkan bantuan kemanusiaan mencapai Libya.
Sebelum pertemuan itu, beredar spekulasi bahwa negara-negara Barat dan sekutunya menyetujui rencana untuk mengirim Gaddafi ke pengasingan. Namun, pernyataan akhir konferensi tidak menyebutkan strategi itu.
Sementara itu sekalipun mendapat tekanan kuat dunia internasional dan dua lagi dari pejabat seniornya mengundurkan diri, ternyata Muammar Gaddafi kembali mengumumkan bahwa dirinya tidak akan turun dari kekuasaannya.
Pernyataan itu kembali ditegaskan Gaddafi Kamis (31/3) lalu saat Moussa Koussa, Menteri Luar Negeri Libya menyatakan pengunduran dirinya dan hengkang ke Inggris melalui Tunisia. Mereaksi hal itu, Mustafa Gheirani, Jurubicara Kubu Revolusioner di Benghazi mengatakan, "Kami yakin bahwa rezim Gaddafi telah hancur dari dalam."
Presiden Suriah Bashar Assad dalam pidatonya Kamis (31/3) lalu menyatakan bahwa rangkaian peristiwa dan kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini di Suriah adalah konspirasi yang sudan dirancang sistematis oleh pihak asing termasuk dinas intelijen Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel.
Berbicara di parlemen dan disiarkan secara langsung oleh televisi resmi Suriah, Assad mengatakan, rakyat Suriah selalu berusaha mewujudkan stabilitas di negara sehingga konspirasi asing akan bisa digagalkan berkat kerja keras dinas keamanan yang bekerjasama dengan rakyat.
Seraya menyebut transformasi terkini di kawasan sebagai perkembangan yang akan berdampak pada isu Palestina, Assad menandaskan, kebijakan luar negeri Damaskus dibangun atas prinsip membela hak dan mendukung gerakan muqawama di Dunia Arab.
Assad menambahkan, Suriah tidak terpisah dari perkembangan yang sedang terjadi di negara-negara Arab. Karena itu, para pejabat negara ini akan berusaha keras memenuhi kebutuhan rakyat dan melakukan reformasi.
Presiden Suriah menyebut kerusuhan yang terjadi di negaranya sebagai fitnah yang harus dipadamkan. "Tidak ada kata tengah, Anda bisa memilih bersama fitnah atau melawannya dan berusaha untuk memadamkannya," tegasnya.
Sementara itu, pasukan keamanan Suriah menyatakan berhasil membongkar sebuah jaringan terorisme di kota Damaskus. Dalam operasinya, pasukan keamanan berhasil menangkap tujuh teroris termasuk tiga warga asing.
Sebelumnya, Selasa 29 Maret jutaan warga Suriah menggelar pawai akbar di seluruh penjuru negeri untuk menyatakan dukungan mereka kepada Presiden Bashar Assad. Mereka juga menekankan persatuan nasional dan perdamaian di negara itu.
Situasi kritis di Bahrain tak juga mereda. Pemerintah kerajaan Al-Khalifa kian brutal dan memperluas aksi kekerasan terhadap para demonstran anti-pemerintah di ibukota Manama dan beberapa kota lain di sekitarnya.
Rabu lalu (30/3), pasukan Bahrain, yang didukung oleh militer Arab Saudi, menyerang pengunjuk rasa di Diraz, Sanabis, Nuwaidrat dan Belad al-Qadim.
Pasukan keamanan juga berhasil membubarkan para pengunjuk rasa di Manama. Saksi mata mengatakan, seorang remaja berusia 15 tahun tewas di desa Saar.
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) menyatakan, pasukan pemerintah menyerang para korban luka tembak dengan peluru karet, gas air mata dan peluru tajam dan melarang pemberian perawatan medis kepada mereka.
Organisasi tersebut juga mengungkapkan bahwa pasukan keamanan mengambil alih Salmaniya Medical Complex pada tanggal 16 Maret dan menggunakannya untuk mengidentifikasi dan menangkap demonstran anti-pemerintah.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay menggambarkan penyitaan kompleks medis sebagai tindakan mengejutkan dan ilegal. Ia sangat mengkhawatirkan peningkatan kekerasan di negara Teluk Persia itu.(irib/4/4/2011)
Beberapa waktu lalu, dirilis sebuah buku berjudul "Cultural Cleansing in Iraq" (Pembasmian Kultural di Irak). Buku dengan sub-judul, "Why museums were looted, libraries burned and academics murdered" (Mengapa Museum Dijarah, Perpustakaan Dibakar, dan Akademisi Dibunuh?" itu membeberkan bagaimana bahayanya dampak dari kehadiran AS di Irak. Buku yang merupakan hasil kolaborasi dari 13 penulis AS dan Irak ini juga menyingkap kebohongan klaim-klaim palsu yang diusung Washington untuk membenarkan invasinya ke Irak sepertinya tudingan adanya senjata pemusnah massal di Irak.
Pada bagian pertama buku dipaparkan ambisi pemerintahan George W. Bush untuk melebarkan infiltrasi AS di tingkat global dan membangun ulang Timur Tengah yang sejalan dengan kepentingan Paman Sam. Tragisnya, ambisi tersebut memakan korban yang tidak sedikit. Ratusan ribu warga sipil tewas, rakyat Irak semakin dimiskinkan, budaya lokal pun dimusnahkan, dan Irak dihancurkan secara sistematis dalam berbagai dimensi. Pada ranah budaya, pemusnahan kultural itu dimulai dengan menjarah museum, perpustakaan, dan kampus. Namun seiring dengan lumpuhnya perangkat hukum dan meluasnya instabilitas di Irak, aksi penjarahan benda-benda bersejarah dan kekayaan kultural Negeri Kisah 1001 Malam itu pun menjadi tidak terkendalikan lagi.
Koran Irish Times terbitan Irlandia dalam artikelnya saat memperkenalkan buku tersebut mencatat, sebelum perang Irak digelar, banyak kalangan yang memperingatkan Gedung Putih dan Pentagon untuk melindungi tempat-tempat sensitif sehingga aksi-aksi penjarahan kultural bisa dihindari. Ironisnya, para penjarah terus bebas melakukan aksi jahatnya tanpa disentuh aparat hukum. Bahkan terkadang militer AS juga turut terlibat membantu para penjarah. Selain itu, militer AS juga menjadikan situs-situs bersejarah Irak seperti di Babel dan Sumer sebagai pangkalan militer sehingga mengakibatkan banyak kerusakan yang tidak mungkin bisa diperbaiki ulang.
Dr John Curtis, Kepala Bagian Timur Tengah Museum Britania dalam laporannya menyebutkan tentang sejumlah tempat di kawasan situs purbakala seperti di kota kuno Babel yang sudah beralih fungsi dan rata dengan tanah dijadikan sebagai tempat pendaratan helikopter dan tempat parkir kendaraan berat. Perlakuan semacam itu terhadap situs-situs sejarah dan peninggalan budaya merupakan aksi yang sama sekali tidak bisa diterima dan menunjukkan bahwa militer dan pemerintah AS sama sekali tidak beradab.
Penjarahan Museum Nasional Baghdad yang merupakan salah satu dari lima pusat penting penyimpanan benda-benda purbakala adalah contoh nyata dari kebiadaban militer AS. Ratusan benda purbakala museum tersebut dijarah dan diselundupkan ke negara-negara Barat. Menurut laporan, di AS saja ditemukan lebih dari seribu benda bersejarah Irak. Mengomentari kasus tersebut, Paul Zimansky, Professor Arkeologi di Universitas Boston AS menuturkan, "Kita telah bertindak sangat liar. Kita telah menginjak-injak hukum. Preman-preman telah menjarah benda-benda bersejarah dan kita hanya bisa menjadi penonton"
Tentu saja kasus tersebut bukan satu-satunya contoh dari aksi penjarahan kekayaan budaya suatu bangsa. Afghanistan juga pernah menjadi korban kebiadan seperti itu. Dewan Internasional Museum merilis daftar benda peninggalan sejarah Afghanistan yang diselundupkan ke luar negeri selama perang bergolak. Senarai yang dinamakan Daftar Merah itu memuat laporan tentang benda-benda bersejarah yang telah dicuri ataupun diperoleh lewat jalur ilegal.
Seorang detektif asal Inggris yang bertugas melacak benda-benda bersejarah hasil curian menuturkan, "Ribuan benda semacam itu banyak ditemukan di pelbagai pameran benda kuno ataupun di koper-koper para penumpang di banyak bandara".
Ironisnya lagi, Afghanistan bukan hanya banyak kehilangan benda-benda sejarahnya yang dirampok tangan-tangan jahil tetapi juga banyak situs purbakalanya yang rusak dan hancur akibat kebijakan ekstrim rezim Taleban. Setelah berhasil menguasai Afghanistan, rezim Taleban dengan ideologinya yang kolot memusnahkan pelbagai situs dan benda bersejarah yang berbentuk manusia dan hewan. Mereka bahkan menghancurkan patung Budha berukuran raksasa yang telah berusia ribuan tahun di pegunungan Bamiyan dengan ledakan dinamit.
Laporan terbaru memberitakan saat ini benda-benda bersejarah yang disimpan di Afghanistan terus mengalami penyusutan dan berkurang hingga sepertiga.
Di sisi lain, bersamaan dengan terjadinya kerusuhan di Mesir, museum-museum dan situs-situs bersejarah di negeri itu juga terancam bahaya. Media-media Mesir mengungkapkan, para penjarah menyerbu museum terkenal Mesir di Kairo sehingga banyak benda-benda bersejarah yang mengalami kerusakan.
Belakangan juga tersiar kabar bahwa kalangan Wahabi di Mesir telah beberapa kali menyerang dan berusaha menghancurkan makam-makam suci yang dikeramatkan oleh umat Islam. Tragisnya, aparat keamanan hanya bersikap pasif dan membiarkan begitu saja. Sementara UNESCO hanya menanggapinya dengan merilis pernyataan yang berisi seruan kepada negara-negara anggota untuk berupaya melindungi peninggalan bersejarah Tunisia, Libya, dan Mesir.
Sudah bertahun-tahun lamanya, isu penjarahan kultural telah memunculkan pembahasan hukum untuk melindungi benda-benda bersejarah di saat terjadi dan pasca krisis atau peperangan. Setidaknya terdapat tiga jenis konvensi yang mengatur mekanisme perlindungan terhadap peninggalan sejarah saat terjadinya krisis. Seperti Konvensi Tahun 1899 dan 1907 Den Haag, Konvensi Jenewa dan dua protokol tambahannya tahun 1949, serta Konvensi Den Haag 1954.
Ketiga konvensi itu menggariskan perlindungan terhadap peninggalan sejarah terhadap empat ancaman utama, seperti serangan brutal, kerusakan tak disengaja, penjarahan, dan pencurian. Konvensi yang telah diratifikasi oleh banyak negara itu, juga menetapkan peraturan untuk mencegah terjadinya penjarahan dan perusakan aset kekayaan musuh di saat perang. Seperti larangan pemboman terhadap tempat-tempat kebudayaan dan bersejarah. Bahkan dalam konvensi tersebut juga dinyatakan secara jelas bahwa penjajah sebuah negara bertanggungjawab untuk mengelola institusi-institusi umum termasuk museum dan menindak hukum siapapun yang melakukan penjarahan dan perusakan.
Sayangnya, konvensi tersebut gagal melindungi situs-situs dan benda-benda peninggalan sejarah di saat terjadinya Perang Dunia I. Sementara pada masa Perang Dunia II, Nazi tak juga mengindahkan konvensi tersebut dan tetap melancarkan perusakan dan penjarahan terhadap situs-situs dan benda bersejarah. Akhirnya, setelah perang usai, Alfred Rosenberd, salah seorang pimpinan Nazi Jerman dijatuhi vonis sebagai penjahat kemanusiaan dan penjarah benda-benda purbakala.
Dengan demikian, konvensi perlindungan benda dan situs bersejarah dalam prakteknya gagal merealisasikan tujuan luhurnya. Bahkan hingga kini negara adidaya seperti AS masih menolak meratifikasi Protokol 1949 Jenewa dan Konvensi 1945 Den Haag. Karena itu, saat menginvasi Irak, AS merasa tanpa beban dan halangan untuk melakukan berbagai aksi perusakan dan penjarahan terhadap benda-benda dan situs bersejarah Irak.
Melihat rangkaian fakta tersebut, sangat urgen rasanya jika kini perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan yang lebih ketat dan implementatif untuk mencegah terjadinya aksi-aksi pembasmian kultural. Sebab pengalaman selama ini menunjukkan, peringatan dan pernyataan saja ternyata tidak memiliki keampuhan sama sekali. Ada banyak contoh nyata dari kasus semacam itu. Sebagai misal, ketika pasukan Inggris menyerang Ethiopia pada tahun 1868, London bukan hanya menduduki negara itu tetapi juga menjarah benda-benda bersejarah Ethiopia dan memboyongnya ke Inggris. Hingga kini museum-museum di Inggris masih menyimpan sekitar 40 benda purbakala milik Ethiopia dan menolak mengembalikannya ke negara asal dengan dalih supaya seluruh masyarakat dunia bisa menyaksikan benda-benda bersejarah itu dengan mudah.
Contoh lainnya adalah kasus penjarahan benda-benda bersejarah Iran oleh para intelijen dan pejabat AS dan Inggris sebelum meletusnya Revolusi Islam tahun 1979. Tak heran jika saat ini, Museum Britania di London, Princeton di New Jersey, Metropolitan di New York, dan Perpustakaan Saltykoc Shchedrin di St Petersburg banyak mengoleksi benda-benda bersejarah dan naskah kuno Iran yang sangat berharga.
Penjarahan benda-benda purbakala semacam itu sejatinya bersumber dari watak penjajahan dan imperialisme negara-negara Barat dan upaya mereka untuk mengubah sejarah dan identitas bangsa-bangsa lain. Sesuatu fakta memilukan yang kini kian tampak nyata di hadapan masyarakat internasional. Selain itu, berbagai studi orientalisme dan Islamologi dalam beberapa dekade terakhir yang disponsori oleh negara-negara penjajah semakin melengkapi upaya Barat untuk menggelapkan kecemerlangan sejarah peradaban dunia Timur.(irib/7/4/2011)
Mengkritisi Standar Ganda Barat terhadap Kebangkitan Islam di Timur Tengah
Kebangkitan dan revolusi rakyat di sejumlah negara-negara Arab terus berkobar untuk menumbang rezim-rezim otoriter. Tuntutan kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang bersih dan adil terus berkumandang mulai dari Libya hingga Yaman dan Bahrain. Tentu saja dengan kian makin meluasnya gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah, mau tak mau Barat terutama AS yang selama ini mengklaim dirinya sebagai pejuang demokrasi dan kebebasan terpaksa memberikan dukungan mesti dengan penuh kemunafikan dan motif tersembunyi.Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam rangkaian pidatonya di awal tahun baru Iran 1390 HS baru-baru ini, kerap menyinggung isu transformasi di Timur Tengah dan memaparkan beragam analisa mengenai kebijakan standar ganda AS terhadap revolusi rakyat di dunia Arab.
Ketika sebuah rezim mengabaikan kepentingan dan maslahat nasional serta merendahkan martabat bangsanya lantaran takut terhadap kekuatan arogan semacam AS dan rezim zionis Israel, tentu cepat atau lambat mereka akan menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri. Rakyat niscaya tidak akan tinggal diam begitu saja dan bangkit menghidupkan kembali harga diri negaranya. Situasi inilah yang kini terjadi di negara-negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, Bahrain, dan Yaman.
Dalam pandangan Ayatollah Khamenei, penyebab utama kebangkitan rakyat Mesir dipicu oleh terjalinnya kerjasama luas antara Hosni Mubarak dengan Israel. Rahbar menjelaskan, "Dalam kasus blokade Gaza, jika Hosni Mubarak tidak bekerjasama dengan Israel, tentu Israel tidak akan bisa sebegitu brutalnya menekan Gaza dan melakukan kejahatan yang demikian kejinya. Namun Hosni Mubarak ternyata menjalin kerjasama dan turun ke lapangan. Gerbang keluar-masuk Gaza pun ditutup. Setelah itu tersebar informasi, rakyat Gaza menggali terowongan bawah tanah. Lantas ia pun segera membangun tembok baja setinggi 30 meter hingga di kedalaman bawah tanah untuk membendung terowongan dan menangkal aksi rakyat Gaza. Tindakan itu dilakukan oleh Hosni Mubarak. Rakyat Mesir pun merasa harga dirinya dicederai. Kasus-kasus seperti ini juga terjadi di negara-negara lain".
Rahbar berkeyakinan, partisipasi langsung rakyat dan nuansa keagamaan revolusi rakyat Timur Tengah merupakan ciri utama transformasi akhir di kawasan. Digelarnya demo-demo besar yang umumnya digelar pasca shalat jumat atau berjamaah, teriakan Allahu akbar, peran aktif para ulama dan mubaligh dalam rangkaian aksi unjuk rasa, semakin memperkuat identitas keislaman gerakan kebangkitan rakyat di Timur Tengah. Namun akibat minimnya pengetahuan dan lemahnya analisa para politisi AS mengenai kondisi rakyat regional, mereka pun akhirnya sering melontarkan beragam reaksi dan pandangan yang kontradiktif.
Menyikapi reaksi AS terhadap gerakan revolusi rakyat Timur Tengah itu, Ayatollah Khamenei menuturkan, "Apa yang selalu terlihat kasat mata dari tindakan AS adalah dukungannya terhadap rezim-rezim diktator. Hosni Mubarak dibela sedemikian rupa hingga di akhir waktu yang memungkinkan. Namun ketika tidak memungkinkan lagi, dia pun disingkirkan begitu saja".
Pemimpin besar Revolusi Islam Iran itu menambahkan, "Apa yang menimpa Barat dan AS merupakan kenyataan yang sulit diterima oleh mereka. Mesir merupakan salah satu pilar utama politik AS di Timur Tengah. Washington sangat bergantung pada pilar tersebut. Karena itu, ketika Hosni Mubarak di Mesir atau pun Ben Ali di Tunisia telah hengkang, AS pun berusaha keras mempertahankan sistem kekuasaan yang ada. Para pejabatnya boleh saja berganti, namun sistem harus tetap bertahan. Oleh sebab itu, mereka pun berupaya sebisa mungkin memasang seorang perdana menteri yang bisa dijadikan boneka. Akan tetapi rakyat terus bangkit berjuang dan melumpuhkan konspirasi tersebut. Rezim-rezim buatan itu pun tumbang. Sehingga berkat karunia dan kehendak Ilahi, rangkaian kekalahan AS di kawasan terus berlanjut".
Rahbar mengungkapkan, setelah kehilangan pion-pion politiknya di Mesir dan Tunisia, AS lantas menerapkan dua model konspirasi. Pertama, mempraktekkan politik pragmatis dan kedua melakukan politik rekayasa. Mulanya, Washington berusaha sebisa mungkin mengarahkan transformasi politik di Mesir dan Tunisia untuk kepentingannya. Guna merealisasikan tujuan tersebut, dengan munafiknya AS pun berpura-pura mendukung gerakan revolusi. Namun berkat kesadaran dan kewaspadaan rakyat, kedok hipokrit AS itu pun segera terbongkar.
Gagal merealisasikan politik pragmatisnya, AS lantas menjalankan strategi berikutnya dengan menerapkan politik rekayasa. Strategi itu diterapkan terhadap negara-negara yang menentang hegemoni Paman Sam. Terkait hal ini, Ayatollah Khamenei menjelaskan, "AS berusaha menciptakan revolusi seperti yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya dan negara-negara lainnya untuk kemudian diterapkan di negara-negara seperti Iran dan memunculkan sebuah gerakan yang lebih pantas disebut sebagai dagelan politik. Namun untungnya, bangsa Iran berhasil menggagalkannya".
Menanggapi ajakan dan seruan Presiden AS Barack Obama kepada rakyat Iran untuk melakukan revolusi dan menumbangkan pemerintahan Republik Islam Iran, Rahbar menyebut tindakan presiden AS itu berangkat dari kebodohan dan kelalaiannya. Rahbar menuturkan, "Dia (baca: Presiden AS) menyatakan rakyat yang berkumpul di Lapangan Azadi Tehran tak lain adalah rakyat Mesir yang berada di lapangan Al-Tahrir. Memang benar apa yang dikatakannya. Setiap tahun tanggal 12 Februari, rakyat yang sama berkumpul di Lapangan Azadi meneriakkan yel-yel ‘Matilah AS!'".
Pembantaian dan kezaliman terhadap rakyat tak berdosa Libya merupakan hal yang ditentang oleh siapapun. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Ali Khamenei pun mengutuk keras aksi brutal tersebut. Serangan militer rezim Muammar Gaddafi terhadap para demonstran pro-revolusi dan intervensi militer AS dan sekutunya terhadap Libya, kedua-keduanya merupakan hal yang juga tidak bisa diterima. Rahbar dalam pernyataannya yang ditujukan kepada Barat terutama AS menegaskan, "Jika kalian memang benar-benar tulus membantu rakyat Libya. Semestinya sejak awal kalian bantu mereka. Beri mereka senjata, beri mereka fasilitas! Beri mereka senjata penangkis anti-serangan udara! Tapi sudah sebulan berlalu kalian biarkan rakyat Libya terus-menerus menjadi korban pengeboman. Selama sebulan kalian hanya duduk menyaksikan rakyat dibantai. Lantas kini kalian ingin bertindak?"
Rahbar menilai intervensi militer Barat sejatinya bukan bertujuan untuk membantu rakyat Libya tapi guna merampas minyak dan menarget sejumlah kepentingan lainnya. Ayatollah Khamenei menjelaskan, "Kalian tidak datang untuk membela rakyat. Kalian hanya mengejar minyak Libya. Kalian ingin menduduki negara itu. Kalian ingin menjadikan Libya sebagai pangkalan untuk mengawasi dua pemerintahan revolusioner Mesir dan Tunisia mendatang. Niat kalian sungguh sangat keji!"
Di bagian lain pidatonya, Rahbar mengkritik keras sikap PBB dalam menyikapi gerakan revolusioner rakyat Timur Tengah dan menilai sikap tersebut hanya menguntungkan negara-negara arogan. Dia menilai sikap seperti itu sungguh sangat hina bagi sebuah otoritas yang berfungsi sebagai pembela hak bangsa-bangsa.
Kebangkitan rakyat Bahrain sebagaimana di negara-negara Arab lain, merupakan gerakan revolusioner untuk menumbangkan rezim-rezim diktator. Tuntutan utama mereka sungguh sangat wajar. Mereka hanya menginginkan pemilihan umum yang adil dan bebas. Semua rakyat memiliki hak yang sama untuk memberikan suara. Namun lantaran mayoritas rakyat Bahrain adalah muslim Syiah, maka sejumlah politisi dan kalangan Media di negara-negara Teluk Persia yang merasa kekuasaannya terancam berusaha mengesankan revolusi di Bahrain sebagai konflik antar mazhab, antara Sunni dan Syiah.
Dalam kritikannya mengenai masalah itu, Rahbar menandaskan, "Sekelompok orang jahat berusaha menampilkan kasus di Bahrain sebagai konflik Sunni dan Syiah. Ironisnya, sejumlah kalangan yang dikenal tidak memiliki niat jahat justru termakan oleh isu tersebut. Jika memang di antara mereka masih memiliki iktikad baik, saya nyatakan kepada mereka. Jangan kalian anggap isu tersebut sebagai konflik Sunni-Syiah. Itu merupakan pelayanan terbesar kepada AS. Itu merupakan pelayanan terbesar bagi musuh-musuh umat Islam. Tidak ada konflik antara Syiah dan Sunni!".
Secara umum, di mata Ayatollah Khamenei kebangkitan rakyat Timur Tengah sejatinya beridentitaskan Islam dan memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mewujudkan keadilan, kebebasan, mendirikan pemerintahan yang independen dan bermartabat. Maraknya gerakan kebangkitan Islam di kawasan akhir-akhir ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dibendung lagi. Bahkan Barat pun mengakui bahwa transformasi yang lebih besar di Timur Tengah akan segera lahir.(irib/6/4/2011)
0 comments to "Basmi Warga Arab!!! Gaza Diserang dari Semua Arah, Korban Berjatuhan-"