Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin. |
Ada dua pesan yang dibawa oleh al-Qur’an al-Karim dan selanjutnya disampaikan oleh Rasulullah Saw dan para Washi beliau As. Dua pesan itu adalah kabar gembira dan kabar menakutkan (peringatan). Kabar gembira (basyiran) itu beliau sampaikan buat orang-orang yang beriman. Sedangkan peringatan (nadziran) beliau sampaikan buat orang-orang yang ingkar dan kafir. Sebagaimana Allah Swt telah menegaskan akan menambahkan balasan, ganjaran dan keberkahan bagi orang-orang yang mensyukuri segala pemberian dan nikmat-nikmat-Nya, demikian pula Dia mengancam dengan siksa dan berbagai bencana terhadap orang-orang yang mengkufuri nikmat-nikmat-Nya. Tulisan kali ini mengenai tafsir tematik dan atas ayat-ayat pilihan pada kesempatan kali ini adalah tentang kufur nikmat.
Sehubungan dengan mengkufuri nikmat, Allah Swt berfirman di dalam surat an-Nahl ayat 112 dan 113 sebagai berikut:
وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ بِما كانُوا يَصْنَعُونَ. وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمُ الْعَذابُ وَ هُمْ ظالِمُونَ.
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itulah Allah mengenakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya. Karena itu, mereka dimusnahkan oleh azab Ilahi dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Dua ayat di atas ingin menjelaskan tempat kembali orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah Swt, dan bahkan mereka mengkufurinya. Karenanya Allah Swt menimpakan siksa yang berat kepada mereka.
Penjelasan
Di dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman: (قَرْيَةً وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً)“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri atau kota”. Al-Quran al-Majid menyerupakan dan membuat perumpamaan orang-orang kafir yang mengingkari nikmat-nikmat Allah dengan sebuah kampung[1] berpenduduk yang memiliki kekayaan matertial dan imaterial yang melimpah. Kampung ini dicirikan dengan empat karakter berikut ini:
1. ”(dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman”. (كانَتْ آمِنَةً)
Ciri pertama kampung atau negara ini adalah sebuah kampung atau negara yang aman. Memang, rasa aman adalah termasuk nikmat Ilahi yang paling penting. Karenanya ia didahulukan penyebutannya dari nikmat-nikmat lainnya.
Sebenarnya, apabila suatu tempat atau suatu daerah yang berpenduduk telah kehilangan keamanannya, maka ia juga akan kehilangan sistem ekonomi yang baik. Demikian juga, ia akan kehilangan kenyamaan belajar-mengajar, serta pengembangkan keahlian dan kegiatan industri. Bahkan pelaksanaan ibadah, dan syi’ar-syi’ar agama pun menjadi tidak kondusip dan tidak semarak lagi. Artinya sebuah kegiatan tidak akan bisa berjalan secara maksimal tanpa terciptanya sebuah keamanan.
Masyarakat dan bangsa Indonesia tentu tidak akan lupa ketika menghadapi berbagai problem di tengah-tengah perjuangan suci membela tanah air dan mengusir penjajahan Belanda. Dan termasuk kesulitan yang dialami oleh umat islam pada waktu itu dalam pelaksanaan ibadah. Sebagian kaum muslimin di tengah-tengah shalatnya mendengar suara bom dan tembakan sehingga membuat mereka khawatir dan tidak tenang dalam beribadah. Mereka merasakan ketidaksempurnaan pelaksanaan shalatnya. Karena itu, kondisi aman merupakan kenikmatan yang sangat besar yang berpengaruh terhadap cara pelaksanaan ibadah.
Ketika telapak kaki Ibrahim al-Khalil As menapak di tanah Makkah yang tandus dan kemudian beliau membangun Baitullah al-Haram, beliau As berdo`a untuk penduduk Makkah kelak dengan sebuah do`a yang diabadikan oleh Allah Swt di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 126 sebagai berikut:
وَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آمِنًا وَ ارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ قَالَ وَ مَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيْلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَ بِئْسَ الْمَصِيْرُ.
”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Wahai Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku akan beri kesenangan sementara, tetapi kemudian Aku seret ia secara paksa untuk menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Di dalam ayat ini kita membaca bahwa do`a pertama yang dipanjatkan nabi Ibrahim As untuk penduduk kota ini adalah keamanan.
Di dalam suatu negara, apabila sebagian saja penduduknya melalaikan keamanan, maka seluruh masyarakatnya akan merasakan penderitaan yang berat dan tidak merasa aman dalam menjalani kehidupan. Sesungguhnya perampok-perampok yang bersenjata, baik dengan senjata api atau bukan, tetap dikategorikan sebagai pengganggu dan perusak keamanan, karena ulahnya itu akan menimbulkan akibat yang dahsyat berupa hilangnya kemanan dan ketentraman. Demikian juga orang-orang yang melalaikan keamanan wilayahnya yang luas, mereka dikategorikan sebagai para perusak di muka bumi ini, dan balasan bagi mereka adalah kehancuran dan siksa yang pedih.
2. ”lagi tenteram”. (مُطْمَئِنَّةً)
Sebelum itu, kota tersebut dicirikan sebagai kota yang penuh dengan keamanan, namun keamanannnya tidaklah tetap dan permanen, kemudian ciri berikutnya adalah memiliki keamanan yang tetap dan permanen. Tentram atau mutmainnah yang disebutkan ayat ini menunjukkan pada keamanan yang bersifat tetap dan permanen.
3. ”rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. (يَأْتيها رِزْقُها رَغَداً مِنْ كُلِّ مَكانٍ)
Sebagaimana telah disebutkan tadi bahwa keamanan harus mencakup semua bidang, termasuk diantaranya adalah bidang ekonomi yang sehat dan kuat. Negara yang aman dari gangguan ini pasti akan memberikan rizki kepada penduduknya dari segala arah dan tempat. Ia menyediakan berbagai lahan pekerjaan yang banyak dan bermacam-macam.
4. ”Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri”. (وَ لَقَدْ جاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْهُمْ)
Allah Swt, di samping memberikan kenikmatan-kenikmatan material (keamanan dan ketentraman), juga memberikan kenikmatan-kenikmatan imaterial (maknawi), yaitu berupa pengutusan seorang nabi maksum (terjaga dari dosa) dan seorang bijak dari kalangan mereka sendiri sehingga pengetahuan dan pendidikan mereka menjadi sempurna.
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwa penduduk kota atau negara ini menikmati empat jenis kenikmatan dan hidup dalam kemewahan, hanya saja mereka tidak mau bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat-nikmat-Nya ini.
Allah Swt berfirman: “tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”.
(فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذاقَهَا اللهُ لِباسَ الْجُوعِ وَ الْخَوْفِ)
Penduduk negeri ini telah berlaku kufur dengan tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Bahkan nikmat-nikmat tersebutlah yang telah menyebabkan mereka berlaku sombong, congkak dan egois, setelah berlaku zalim dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut secara benar. Maka, akibat dari sikap semacam itu, turulah azab Ilahi kepada mereka. Sebagai efeknya, Allah Swt memberi mereka makanan yang pahit, yaitu kelaparan dan mencabut kondisi aman dari mereka. Setiap saat mereka dihantui aksi para pencuri dan perampok, kondisi perekonomian yang tidak menentu serta kehidupan melarat akibat dari hilangnya keamanan negeri mereka.
Barangkali timbul pertanyaan di dalam hati dari sebagian kita, bahwa ungkapan “adzâqahâ (Allah merasakan kepada mereka)” tidaklah sesuai dengan ungkapan libâas (pakaian), yang tepat adalah ungkapan albasahâ (-Allah- memakaikannya -kepada mereka-)?
Jawabnya adalah: Terdapat dua poin penting terkait penggunaan kata adzâqa bersama libâs. Berikut ini kami paparkan kedua poin tersebut:
a. Libas (pakaian) mencakupi seluruh badan, demikian juga azab Ilahi telah meliputi seluruh perkampungan atau negara tersebut.
b. Terkait ungkapan adzâqahâ, yang harus diperhatikan adalah bahwa penginderaan dan penyingkapan seseorang kepada sesuatu, itu dilakukan melalui beberapa tahapan;
Seseorang memahami atau menangkap sesuatu itu melalui alat indera pendengaran, sebagaimana ketika ia mendengar suara api, ia akan memahami adanya sebuah kebakaran.
Terkadang seseorang melihat api dan langsung menangkapnya melalui penginderaan mata. Alat penginderaan ini jauh lebih tinggi dari alat indera sebelumnya.
Terkadang ada orang yang menyentuh api sehingga mengetahui betul keberadaannya. Penginderaan seperti ini jauh lebih tinggi dibanding dua cara pengindraaan sebelumnya.
Terkadang juga seseorang memahami sesuatu melalui rasa (dzauq), dan ini jauh lebih sempurna lagi dari pengetahuan melalui ketiga indera di atas. Tujuan penggunaan kata adâqa (dzauq) pada ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kedahsyatan kemampuan mereka dalam memahami dan merasakan adzab Ilahi dan makanan yang pahit tadi. Allah Swt berfirman: ”disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.
)بِما كانُوا يَصْنَعُونَ(
Artinya perbuatan penduduk kampung atau negara tersebut telah menyebabkan turunnya adzab Ilahi. Mereka benar-benar telah memancing datangnya azab yang efeknya akan dirasalan oleh mereka sendiri.
Sebagai contoh, apabila sebuah aturan sudah tidak lagi berfungsi di sebuah masyarakat atau negara tertentu, dan orang-orang kayanya tidak lagi memberikan hak-hak fakir dan miskin, maka keseimbangan ekonomi akan hilang dari masyarakat ini dan efek buruknya akan kembali kepada kelompok kaya itu sendiri. Penyebabnya adalah semata karena keengganan mereka memberikan bantuan dan berinfak kepada saudara-saudaranya yang fakir dan miskin.
Karenanya, dalam sebuah riwayat disebutkan: ”Apabila orang-orang kaya kikir dengan kewajibannya, maka orang-orang fakir akan menjual akhiratnya dengan dunianya”[2].
Artinya bahwa kefakiran telah menyebabkan maraknya tindak pencurian, dan akhirnya berkembang pada hilangnya keamanan di sebuah masyarakat. Demikian ini seperti disebutkan dalam sebuah riwayat: ”jagalah harta-harta kalian dengan sedekah”[3].
Artinya bahwa cara menjaga harta bukanah dengan membangga-banggakannya, melainkan dengan mensedekahkan sebagiannya, sehingga api kefakiran tidak sampai menyala dan membakar keamanan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam harta-harta mereka.
Pesan-pesan ayat
Melalui ayat tersebut, paling tidak ada dua pesan yang bisa kita ambil sebaai ibrat dan pelajaran penting.
1. Azab dan malapetaka adalah akibat perbuatan manusia
Di antara yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an dan terutama dari kedua ayat di atas ialah bahwa problema yang kita hadapi dan malapetaka yang menimpa kita, sebenarnya adalah hasil dari perbuatan kita juga. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi seorang pun.
Misalnya, apabila mayoritas para pemuda di sebuah masyarakat atau negara tidak merasakan kehidupan yang layak, bahkan terancam tidak bisa melakukan pernikahan, padahal negara mempunyai kekayaan yang melimpah, sementara di pihak lain terdapat sekelompok orang yang hidup dengan bergelimpangan fasilitas mewah, mereka memberikan berbagai fasilitas wah bernilai milyaran rupiah serta biyaya pernikahan besar kepada anak-anaknya, maka jika demikian, akan berkembanglah segala keburukan, tindak kriminal dan ketidakamanan. Dengan demikian jelaslah bahwa penyebab segala kebrutalan dan keburukan ini adalah karena individu-indibidu masyarakat atau negara itu sendiri.
Al-Qur’an al-Karim di dalam surat ar-Rum ayat ke 41 menjelaskan sebagai berikut:
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذيقَهُمْ بَعْضَ الَّذي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Sungguh benar, bahwa sumber segala bencana dan problema adalah karena ulah manusia itu sendiri. Seorang ayah yang kerjanya hanya memikirkan bagaimana mengumpulkan harta serta membangga-banggakannya, ia lupa pada pendidikan anak-anak dan keluarganya, jika pada masa berikunya ia menemukan berbagai permasalahan amoral dan malapetaka dari anak-anaknya yang telah menjadi korban NARKOBA, maka janganlah menyalahkan siapapun kecuali dirinya sendiri, karena dia sendirilah penyebab semua problema yang telah menimpanya itu.
Salah seorang ulama kota suci Qum bercerita bahwa pada tahun 1342 HS, yaitu pada masa kekuasaan Reza Pahlevi yang merupakan boneka Amerika pada saat itu, pemerintah melakukan penangkapan terhadap sejumlah politikus dan agamawan. Kemudian mereka dijebloskan ke dalam penjara . Seorang ulama yang termasuk ditangkap dan ditahan itu berkata, "Selama beberapa hari di dalam penjara, kami mendengar suara-suara yang menakutkan. Kami menduga bahwa suara-suara itu adalah akibat dari tekanan yang dilakukan para sipir penjara kepada mereka. Tetapi dugaan kami itu salah, karena kemudian kami ketahui bahwa suara-suara itu adalah teriakan-teriakan para pecandu NARKOBA yang ketagihan dan sudah saatnya untuk mengkonsumsi obat-obat haram dan terlarang tersebut. Namun karena di dalam penjara mereka tidak bisa lagi mendapatkannya, maka mereka merasakan kesakitan yang sangat dahsyat dan berteriak-teriak secara histeris dan menakutkan." Tidak diragukan lagi bahwa kondisi ini adalah akibat dari ulah perbuatan mereka sendiri. Tidak ada yang harus disalahkan, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, para pengguna narkotik itu menyebarkan kerusakan moral di tengah-tengah masyarakat secara luas dan dengan leluasa, mereka menawarkan dan menjual narkotik tersebut kepada para pemuda lainnya sehingga semua pemuda menjadi rusak.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya para musuh Islam telah menempuh berbagai macam cara untuk menjerumsukan para pemuda kita ke dalam sebuah perangkap jahat, dan NARKOBA adalah salah satu dari jalan yang mereka tempuh. Mereka mengetahui bahwa seorang pemuda yang telah mengkonsumsi dan kecanduan obat-obatan narkotika ini akan kehilangan kehendaknya, sehingga ia bisa diarahkan kemana saja sesuai yang mereka inginkan.
2. Apakah kampung itu ada wujudnya?
Yang dapat dipahami dari ayat tersebut ialah bahwa kampung yang memiliki empat karakter tersebut benar-benar ada wujud nyatanya. Karena itu, telah terajdi diskusi dan perbedaan pendapat di kalangan para mufassir dalam menjawab apa nama kampung tersebut.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nama kampung tersebut. Sebagai contoh, di sini saya akan menyebutkan dua nama saja;
1. Beberapa mufassir meyakini bahwa kampung yang dimaksud pada ayat tersbut adalah kota Makkah[4]. Makkah diyakini sebagai perwujudan dari kampung yang aman dan tentram. Sebagaimana dalam kenyataannya, kota ini dianugerahi berbagai macam kenikmatan, meskipun beberapa kenikmatan tidak ada di sana, namun sebagian yang tidak ada itu masih bisa didatangkan dan diinpor dari wilayah dan negara-negara lain yang memilikinya. Karenanya, ia benar-benar memiliki segala macam kenikmatan.
Ketika Rasulullah Saw berhijrah dari Makkah menuju Madinah, Makkah pada saat itu dilanda kekeringan selama tujuh tahun. Malapetaka ini diakibatkan oleh kekufuran penduduknya terhadap nikmat yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada mereka. Kekeringan tersebut telah mendorong Rasulullah Saw untuk mengirimkan bantuan bahan makanan kepada mereka dari kota Madinah. Kekeringan ini pun telah menyebabkan hilangnya rasa aman di dalam kota tersebut.
Sungguh benar, bahwa kufur terhadap nikmat itu akan diikuti oleh azab Ilahi, dan ini merupakan sunnah Ilahiyah yang benar-benar terjadi di setiap tempat dan zaman. Setiap kali kekufuran terhadap nikmati terulang di suatu tempat, maka azab Ilahi pun akan terulang di tempat tersebut. Tidak terkecuali bencana yang menimpa negara kita.
2. Sebagian mufassir lain meyakini bahwa yang dimaksud dengan kota tersebut adalah kota Saba[5], sebagaimana disebutkan di dalam surat Saba. Negara Saba adalah negara yang amat makmur. Di sana terdapat sebuah bendungan bernama Maarib. Dengan adanya bendungan ini, negri Saba berubah menjadi negri yang gemah ripah loh jinawi, dimana kenikmatan berupa makanan dan perhiasan melimpah ruah hingga melebihi kebutuhan penduduknya. Cukup dengan berjalan di jalan-jalannya dan meletakkan wadah di kepala, maka setelah beberapa saat dengan sendirinya wadah tersebut akan dipenuhi beraneka macam buah-buahan di pinggiran jaran.
Sesungguhnya kota ini telah memperoleh berbagai kenikmatan, kenyamanan dan ketentraman. Namun sangat disayangkan, penduduknya lebih memilih mengkufuri nikmat-nikmat ini dan meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Maka Allah Swt mewahyukan kepada tikus-tikus untuk menghancurkan kota ini. Tikus-tikus ini menggerogoti bendungan Maarib tersebut hingga sedikit demi sedikit bendungan ini pun jebol pada malam hari. Airnya membanjiri seluruh wilayah kota dan menghancurkan jalan-jalan, kebun, pepohonan, rumah dan apapun yang ada di dalamnya. Kehancurannya mencapai titik paling parah hingga memaksa penduduknya hijrah ke tempat lain, dan kota tersebut kini tidak lagi bisa dihuni.
Kita yang hidup pada msa sekarang ini, secara nyata dan jelas tengah merasakan buah pengkufuran nikmat Allah Swt. Apabila kita tidak mau memperbaiki hubungan kita dengan Allah Swt, tidak mau bersyukur, tidak mau bertaubat, tidak mau beribadah secara benar dan tetap bergelimpangan dalam maksiat, maka kehancuran negara dan masyarakat kita ini akan semakin parah.
Sebelum perang dunia ke dua, Eropa merupakan negara yang tenggelam dalam berbagai macam kenikmatan. Kota-kotanya makmur dan memiliki kemajuan budaya dan tekonologi luar biasa hebat. Ia memiliki jenis kenikmatan apapun. Namun karena kekufurannya terhadap nikmat, mereka dilanda perang terbuka yang menelan korban jiwa hampir tigapuluh juta jiwa, dan tigapuluh juta lainnya terluka. Efek dari perang tersebut adalah kehancuran sebagian besar wilayah Eropa.
Atas dasar ini, ayat-ayat tersebut merupakan peringatan kepada kita agar tidak mengkufuri nikmat-nikmat Allah, baik materil maupun imateril. Kita betul-betul harus mensyukurinya.
Harapan dan doa saya, semoga apa yang telah kita kaji pada kesempatan pertemuan ini, dapat kita pahami dengan benar dan dapat pula kita amalkan dengan baik dan ikhlas sehingga bisa membuahkan dan melahirkan apa yang kita harapkan dan idam-idamkan, yaitu berupa kemanan dan ketentrama yang sejati dan abadi. [http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=239448]
[1] Istilah qaryah (kampung) dalam al-Qur`an tidaklah berarti sama dengan kota sekarang. Secara umum ia berarti sebuah kawasan yang berpenduduk, baik berbentuk kota besar maupun kota kecil. Istilah qaryah ini dimaksudkan sebagai ibu kota Mesir pada masa nabi Yusuf a.s.
[2] Bihârul Anwar, juz 47, hal. 741. dan Nahjul Balaghah, pada Kalimat_Kalimat Ringkas”, kalimat ke 364.
[3] Ibid, Nahjul Balaghah, kalimat ke 146.
[4] Lihatlah Tafsir Majma` al-Bayân, juz 6, hal. 39. dan At-Tibyân, juz 6, hal. 432.
[5] Lihat tafsir al-Amtsal, juz 8, hal. 311-312.
0 comments to "Pandangan Al-Qur'an Mengenai Kufur Nikmat"