Gelombang kebangkitan rakyat menghantam rezim-rezim diktator di negara-negara Arab yang terbentang dari Afrika Utara hingga pesisir Teluk Persia. Imbasnya, pemimpin diktator Tunisia dan Mesir akhirnya tumbang dan terpaksa melepaskan jabatannya. Di Libya, Barat mengubah kebijakannya dari pendukung utama Gaddafi menjadi penyokong kubu revolusioner.
Di Yaman, meski gelombang protes rakyat semakin membuncah menuntut turunnya Ali Abdullah Saleh dari jabatannya, namun presiden Yaman itu tetap tidak bersedia lengser. Di tengah kebuntuan ini, Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) menggulirkan prakarsa rekonsiliasi antara Pemerintah Saleh dan kubu oposisi. Dilaporkan kedua pihak akan mengirimkan utusan masing-masing dalam pertemuan Riyadh pekan mendatang untuk menandatangani kesepakatan. Dalam prakarsa itu disebutkan, Diktator Yaman Ali Abdullah Saleh akan mundur dan mengakhiri 30 tahun kekuasaannya dengan jaminan lepas dari jeratan hukum. Pada tahap selanjutnya akan dibentuk pemerintahan persatuan nasional.
Di Maroko, Yordania dan Aljazair, bola salju protes rakyat terus menggelinding kencang dan memicu pertumpahan darah antara pengunjuk rasa dan penguasa. Rezim-rezim tidak demokratis itu berupaya memadamkan protes rakyat dengan mengumbar janji-janji reformasi.
Berbeda dengan fenomena di negara-negara Arab yang bergolak, nasib perlawanan rakyat Bahrain lebih rumit karena keterlibatan Saudi dan Amerika di negara itu. Pasalnya, Amerika dan negara-negara Barat yang mengklaim sebagai kampium demokrasi hingga kini tidak mengubah kebijakannya mendukung Dinasti al-Khalifa, meski korban dari pihak rakyat Bahrain terus berguguran.
Sejak Maret lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait mengerahkan pasukan ke Bahrain untuk memperkuat serangan bersenjata militer rezim Manama menumpas protes anti-pemerintah. Hingga kini lebih dari 3.000 orang cidera dalam aksi penumpasan brutal yang dilakukan penguasa Bahrain. Lebih dari 1.000 tentara Arab Saudi dan 500 polisi dari Uni Emirat Arab, yang didukung tank dan helikopter, membantu rezim Manama menumpas aksi protes rakyatnya sendiri yang menuntut keadilan.
Invasi militer Arab Saudi di Bahrain bisa dinilai dari berbagai aspek. Di satu sisi, intervensi tersebut dipandang sebagai peran Arab Saudi sebagai saudara tua bagi negara-negara Arab termasuk Bahrain. Namun di sisi lain relasi Arab Saudi dan Bahrain dalam beberapa dekade berubah menjadi sebuah hubungan tuan dan budak.
Rezim al-Khalifa berkuasa di negara yang mayoritas bermazhab Syiah atas dukungan Arab Saudi. Tidak mengherankan jika Dinasti Saudi memandang Bahrain sebagai "provinsi ke-14". Tidak mengherankan jika Amir Bahrain, Sheikh Hamad bin Isa al-Khalifa menghadiri pertemuan khusus Raja Arab. Tidak hanya itu, dengan seluruh fasilitas mewah yang disediakan rezim al-Khalifa, para pangeran Saudi menghabiskan akhir pekannya di Bahrain yang dikenal sebagai tempat pelesiran terfavorit bagi orang-orang Arab.
Di sisi lain, Bahrain berbatasan dengan wilayah permukiman syiah Arab Saudi. Selama bertahun-tahun, muslim Syiah Saudi sebagaimana di Bahrain menjadi sasaran tekanan dan diskriminasi penguasa monarki Arab itu. Para pejabat teras Riyadh menyadari setiap gejolak sekecil apapun yang terjadi di Bahrain akan berimbas pada Arab Saudi. Untuk itu, Arab Saudi mati-matian membantu rezim Bahrain yang kewalahan menghadapi tuntutan damai rakyatnya sendiri.
Intervensi Arab Saudi di Bahrain bisa dilihat dari perspektif lain. Riyadh memainkan kebijakan luar negeri AS di kawasan Timur Tengah. Posisi Bahrain yang strategis di kawasan sangat penting bagi Washington untuk mengontrol Teluk Persia.
Amir Bahrain menandatangani nota kesepahaman militer dengan AS setahun pasca kemerdekan negara ini pada tahun 1971. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Bahrain menyediakan tanah seluas 40 kilometer persegi untuk kepentingan pangkalan militer AS. Kerjasama militer kedua negara semakin erat pasca penandatangan nota kesepahaman militer tahun 1977. Akhirnya angkatan bersenjata AS mendirikan pangkalan besar di Bandar Salman. Kehadiran militer AS di Teluk Persia semakin meningkat pasca serangan AS ke Irak yang menginvasi Kuwait pada tahun 1991.
Dua tahun kemudian, AS menempatkan komando angkatan laut Timur Tengah di Bahrain. Tidak hanya itu, Pada Juli 1995, Bahrain menjadi tuan rumah armada V AS. Armada besar ini, merupakan pangkalan pesawat tempur permanen AS di Teluk Persia yang dilengkapi kapal selam canggih dan persenjataan modern.
Armada militer AS ini bertugas untuk menjaga kepentingan ilegal AS di kawasan Teluk Persia, Laut Oman, Teluk Aden dan sejumlah bagian di Laut Merah. Saat ini, lebih dari 3000 tentara AS ditempatkan di Bahrain.
Sejatinya intervensi Arab Saudi di Bahrain selain mengkhawatirkan kebangkitan rakyat negara itu, sekaligus mewakili kepentingan Washington di Bahrain. Buktinya, tepat dua hari pasca lawatan mendadak Menteri Pertahanan AS, Robert Gates ke Manama, militer Arab Saudi segera mengirimkan pasukannya ke Bahrain guna membantu rezim Hamad menumpas aksi protes damai rakyat. Sikap bungkam pemerintah Washington menyikapi intervensi militer Saudi dan pembantaian rakyat Bahrain menunjukkan bahwa Arab Saudi menginvasi Bahrain dengan lampu hijau Gedung Putih.
Dimensi ketiga intervensi militer Arab Saudi di Bahrain yang menjadi sorotan sejumlah media adalah permusuhan rezim Riyadh terhadap Republik Islam Iran terkait krisis di Bahrain. Media massa Arab dan Barat, terutama corong media pemerintahan Arab Saudi dan AS, berupaya menjustifikasi invasi Arab Saudi di Bahrain dengan melempar tudingan palsu intervensi Iran di kawasan. Menyikapi tudingan ini, Jurubicara Departemen Luar Negeri Iran Ramin Mehmanparast menegaskan, pernyataan Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) bertujuan menyesatkan opini publik dan menciptakan krisis di sejumlah negara regional.
Jubir deplu Iran itu menilai, tudingan palsu anti-Iran yang termuat dalam pernyataan akhir PGCC merupakan klaim yang sama sekali tidak berdasar dan tidak bisa diterima. Ia menyebut tudingan itu sebagai upaya untuk menyesatkan opini masyarakat internasional terhadap aksi militeristik dan memancing krisis segelintir negara regional.
Tidak sulit membaca intervensi Saudi di Bahrain. Sejak dulu, Arab Saudi memainkan peran penting sebagai saudara tua bagi negara-negara Arab dalam agresi rezim Saddam ke Iran pada perang pertahanan suci yang berlangsung selama delapan tahun. Tidak hanya itu, Arab Saudi mengekor kebijakan Washington di Palestina dan Lebanon. Riyadh juga mendukung perdamaian Palestina-Israel demi melemahkan muqawama Islam di kawasan. Selain itu pemerintah Rezim Saudi adalah pendukung utama rezim diktator Mesir, Tunisia dan Yaman.(IRIB/PH/NA/30/4/2011)
0 comments to "Relasi Bahrain dan Saudi, Antara Budak-Majikan"