Ada beberapa request dari teman-teman (udah lamaaaa..), meminta agar saya bercerita tentang suasana berpuasa dan berlebaran di Iran. Akhirnya, ‘mood’ itu datang juga, sehingga saya bisa menulis lagi
Minimalnya, di mata saya, ada tiga ke-khasan budaya Iran selama Ramadhan.
Pertama, tidak ada tarawih berjamaah di masjid-masjid (?!). Kata orang Iran, tarawih berjamaah itu tidak ada pada zaman Rasulullah, tapi baru diselenggarakan pada zaman Khalifah Umar bin Khatab. Itulah sebabnya mereka tidak bertarawih berjamaah, melainkan sholat sendiri di rumah-rumah. Jadi.., malam-malam di sini, sepiiii… beda dengan situasi Ramadhan di Indonesia yang ramai...hiks... (kangen pulaaaaaangggg!!!)
Kedua, pada malam ke-19,21, dan 23, masjid-masjid, husainiyah, dan rumah-rumah yang memang menyediakan diri untuk ‘open house’, penuh sesak dengan orang-orang semalam suntuk. Menurut orang Iran, ada hadis Rasulullah yang menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar kemungkinan datang di antara tiga malam tersebut (jangan tanya saya hadisnya apa, soalnya saya juga tidak tahu). Mereka semalam suntuk akan melakukan berbagai ibadah, terutama membaca doa Jausyan Kabir yang puanjaaaang (1,5 jam baca tanpa ada selingan), tapi bisa lebih lama karena di sela-sela bacaan doa, si pembaca doa akan menyelipkan munajat (rintihan-rintihan atau syair-syair penyesalan atas dosa-dosa di hadapan Allah SWT). Tak heran bila suasana sangat emosional dan isak tangis terdengar di sana-sini.
Saya sangat suka datang ke Majelis Lailatul Qadar ini. Doa-doa yang dibacakan dalam majelis itu benar-benar indah dan membuat kita diaduk-aduk oleh berbagai perasaan. Terkadang kita merasa rendah dan hina atas segala dosa, terkadang membuat kita menyadari betapa luar biasa kasih sayang Allah dan betapa Allah sangat dekat dengan kita, terkadang membangkitkan semangat untuk menjadi manusia baru esok hari. Tangisan mengalir begitu saja tanpa terkendali. Benar-benar katarsis, bo.
Kekhasan ketiga adalah adanya program nasional Ikramul Aytam (Pemuliaan Anak Yatim). Di Iran ada lembaga amal yang sangat terkemuka, yaitu Komite Imdad (=pertolongan) Imam Khomeini (KIIK). Di tiap bulan Ramadhan, KIIK membuka posko di berbagai kota yang menerima pendaftaran untuk orangtua asuh bagi anak yatim. Daftar anak yatim dari berbagai kota beserta foto, akan disediakan di posko-posko itu, dan setiap orang dipersilahkan memilih, anak yatim mana yang akan mereka asuh. Tidak berarti anak yatim itu dibawa ke rumah, melainkan tiap bulan, kita menyetor uang ke rekening KIIK untuk nanti disalurkan ke anak yatim tersebut. Hubungan si anak dengan orangtua asuhnya kemudian akan dijalin melalui surat atau pertemuan langsung yang difasilitasi KIIK, sehingga orangtua asuh akan mengetahui perkembangan nilai rapor, kesehatan anak, dll.
Hal ini mengagumkan bagi saya karena sulit bagi kita di Indonesia menemukan sebuah lembaga yang menasional dan dipercaya oleh semua kalangan masyarakat. Mungkin karena Indonesia sudah terlalu penuh dengan korupsi, sehingga umumnya, masyarakat sulit bisa percaya pada lembaga apapun. Saya pikir, sumber keberhasilan KIIK adalah kepercayaan masyarakat. Lembaga ini dengan mudah bisa menarik bantuan dari berbagai golongan masyarakat, karena masyarakat merasa yakin, uangnya tidak akan ditilep atau dikorupsi. Kegiatan lembaga ini pun sangat menasional, mulai dari membangun saluran air di desa terpencil, memodali pengangguran agar bisa berusaha sendiri, menyantuni perempuan single parent yang suaminya dipenjara, dll. Khusus di bidang penyantunan anak yatim, karena besarnya animo masyarakat, saat ini di Tehran sudah tidak ada lagi anak yatim yang tidak memiliki orangtua asuh. Jadi, masyarakat Tehran yang ingin mengangkat anak yatim, harus memilih anak dari kota-kota di luar Tehran. Selain itu, saya pikir, kunci kedua keberhasilan KIIK adalah backing penuh dari televisi. Iklan KIIK benar-benar gencar dan televisi pun rajin menayangkan perkembangan kegiatan lembaga ini. Hasilnya, KIIK benar-benar ‘melekat’ di benak masyarakat, menjadi tempat untuk menyalurkan pertolongan, sekaligus menjadi tempat ‘berlindung’ bagi mereka yang membutuhkan pertolongan.
Sementara itu, berlebaran di Iran...kekhasannya...SEPI.... hiks..(jadi pengen pulaaaaang...hiks...hiks...). Harga barang gak naik, karena memang tidak ada peningkatan konsumsi gila-gilaan kayak di Indonesia. Orang-orang tidak merasa perlu beli baju baru untuk Lebaran, tidak perlu heboh bikin kue-kue kering. Yah, sedia makanan biasa saja dan beli aja satu atau dua jenis kue di toko kue. Arus mudik pun nggak meningkat tajam seperti di Indonesia. Makanya saya bilang SEPI. Lebaran kali ini, hiks...bakal terpaksa saya lalui lagi dengan sholat Id di tengah suasana dingin...brrrr... (inget dua tahun lalu, tangan saya sampai gemetar kedinginan waktu sholat Id di lapangan dekat sungai, air sungainya sendiri udah jadi es!).
OK, sekian dulu, segini juga udah kepanjangan ^_^
Sebagai penutup:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1426 H
SEMOGA AMAL IBADAH KITA DI BULAN SUCI INI DITERIMA ALLAH SWT
DAN KITA DIBERI-NYA KESEMPATAN UNTUK BERSUA LAGI DENGAN BULAN TERINDAH INI TAHUN DEPAN.
MOHON MAAF LAHIR BATIN, ATAS KESALAHAN KATA DARI SAYA, YANG SANGAT MUNGKIN TERJADI SELAMA KITA BERINTERAKSI DI DUNIA MAYA INI.
menarik :) trmakasih untuk info onlinenya :)
menarik :) trmakasih untuk info onlinenya :)