Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Bachtiar Effendy, menyatakan prihatin dan khawatir terhadap rasa kebangsaan Indonesia. Menurut Bachtiar, berkaca dari situasi perpolitikan Tanah Air, tak ada lagi etos membangun negara. Fenomena itu, menurut dia, tidak hanya terjadi di penguasa, tetapi juga di seluruh lapisan masyarakat.

"Maaf, kalau terdengar pesimistis. Tapi, komitmen apalagi yang tersisa untuk kita optimistis bahwa rasa kebangsaan dan nasionalisme itu akan terjaga hingga lima tahun ke depan? Lihat saja, bagaimana kita bisa mempertaruhkan kredibilitas pemilu kepada KPU yang tidak kompeten?" ujar Bachtiar dalam diskusi yang digelar Nurcholish Madjid Society bertema "Islam, Negara, dan Demokrasi" di kawasan Pondok Indah, Jakarta, Sabtu (12/9).

Perjalanan reformasi lebih dari 11 tahun dinilai tidak mampu meletakkan fondasi perubahan yang kuat. Bahkan, menurut Bachtiar, para pemburu kekuasaan menunjukkan bagaimana berpengaruhnya kekuatan uang atau power of money untuk meraih sebuah jabatan publik.

"Kebanyakan mereka yang duduk di jabatan publik, seperti anggota DPR, mengandalkan power of money untuk mencapai kekuasaan, menghabiskan miliaran rupiah. Padahal, mereka tidak punya visi membangun bangsa, tapi diuntungkan karena kekuatan uang. Ini peta riil masyarakat Indonesia, semuanya dikendalikan uang dan hanya pragmatisme yang ada," paparnya.

Dengan fenomena ini, ia melanjutkan, "Islam sudah tidak fungsional dalam kehidupan nonspiritual kita. Apakah etos-etos spiritualitas digunakan untuk menyelesaikan permasalahan Lapindo dan masalah sosial lainnya?" kata Bachtiar retorik.

Sementara itu, pakar filsafat Franz Magnis-Suseno mengatakan, kekuatan identitas agama di Indonesia justru bisa mendorong proses demokrasi dan berbangsa. "Kekuatan identitas agama di Indonesia membuat tidak adanya mono-identitas agama. Demokrasi Indonesia juga berkembang sehingga menguatkan ke-Indonesia-an dan nasionalisme," ujar Romo Magnis.[islammuhammadi/mt/kompas]