Home , , � Allah di lecehkan???!!!!

Allah di lecehkan???!!!!

Melecehkan, Sepatu Bertuliskan Allah (Lagi)!

Keds, sebuah merek sepatu kanvas bersol karet, memproduksi sepatu baru dengan tulisan kalimat suci “لا اله الا الله” (Tiada Tuhan Selain Allah) dan “محمد رسول الله” Muhammad rasul Allah! Tentu saja hal ini melecehkan sesuatu yang dianggap oleh miliaran umat muslim sebagai hal suci. Menyikapi produksi ini, pengguna internet muslim menginginkan boikot terhadap sepatu ini. (ABNA.ir)

Sepertinya, sepatu itu bergambar bendera Arab Saudi. Karena sepatu itu juga memproduksi gambar dan tulisan lain seperti “Beauty of Allah”, “I Love Allah”, di kaki! (Lihat: Zazzle) Jangan mancing-mancing deh!


Foto Pertemuan Syekh Tijani dengan Baqir Ash-Shadr Membahas Masalah Syiah

Berikut ini adalah kutipan kisah dari sebuah buku perjalanan spiritual seseorang bermazhab Maliki dari Tunisia yang kemudian berpindah menjadi mazhab Ja’fari (Ahlulbait as.). Buku yang mungkin sudah pernah kita baca dan cukup populer serta telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa menjadi Then I was Guided, ثم اهتديت, dan Akhirnya Kutemukan Kebenaran.

Pertemuan Syekh Muhammad At-Tijani dengan Ayatullah Syahid Baqir Ash-Shadr ini akhirnya membuka keraguan dan kesalahpahaman mengenai beberapa hal tentang mazhab Syiah Ahlulbait, seperti posisi marjak taklid, peringatan Asyura, tanah yang digunakan sebagai tempat sujud, tabaruk, dan lain-lain. Semoga kutipan ini bermanfaat dan foto yang ditampilkan menepis keraguan kisah tersebut.

Bersama Abu Syubbar aku pergi ke rumah Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr. Dalam perjalanan, Abu Syubbar memperlakukanku dengan sangat mesra dan bercerita ringkas tentang beberapa ulama masyhur, taklid dan sebagainya. Setibanya kami di rumah Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr, kudapati rumahnya penuh sesak dengan para thalabah (pelajar hauzah) yang kebanyakannya para pemuda yang memakai serban.

Sayid berdiri menyambut kedatangan kami. Setelah diperkenalkan, beliau menyambutku begitu mesra dan menempatkanku di sisinya. Beliau bertanya tentang Tunisia dan Aljazair dan beberapa ulama yang terkenal seperti Khidhir Husain, Thahir bin ‘Asyur dan lain sebagainya. Aku merasa gembira sekali dengan obrolannya.

Sayed Baqir Ash-Shadr walau memiliki wibawa yang sangat agung di sisi pengikut-pengikutnya, namun kudapati diriku tidak begitu kaku dengannya seakan telah kukenal beliau sejak lama sebelum pertemuan itu. Banyak ilmu yang sempat kutimba dari pertemuan kami pada waktu itu. Kudengar berbagai pertanyaan diajukan kepada Sayid, lalu kemudian dijawabnya dengan bijak. Waktu itu aku betul-betul menyaksikan betapa tingginya nilai mentaklid para ulama yang masih hidup. Karena mereka akan segera menjawab setiap persoalan yang diajukan kepada mereka dengan sejelas-jelasnya.

Sejak saat itu, aku mulai percaya bahwa Syiah adalah juga kaum muslimin yang menyembah Allah Swt. dan beriman kepada Risalah Nabi kita Muhammad saw. Sebelumnya aku masih ragu, dan setan juga menaburkan rasa was-was bahwa segala apa yang kulihat adalah sandiwara semata-mata. Mungkin inilah yang dikatakan oleh mereka sebagai taqiyyah, yakni menampakkan sesuatu yang tidak mereka percayai.

Tetapi sikap demikian akhirnya segera lenyap dari benakku. Karena pikirku tidak mungkin setiap orang yang kulihat dan kusaksikan dengan bilangan yang mencapai ratusan semuanya akan bersandiwara. Untuk apa mereka lakukan itu padaku? Siapa aku? Apa yang mereka harus khawatirkan dariku sehingga mau ber-taqiyyah dihadapanku? Bukankah di sini ada kitab-kitab mereka cetakan lama dan baru. Semua mengesakan Allah dan memuji-muji rasul-Nya Muhammad saw. seperti yang kubaca dalam berbagai mukadimahnya.

Kini aku tengah berada dirumah Sayid Muhammad Baqir as-Sadr, seorang marjak (mujtahid yang diikuti fatwanya) Syiah yang sangat terkenal di Irak dan di luar Irak. Dan setiap kali nama Muhammad disebut, maka semua akan mengangkat suara agak keras membaca salawat: Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad [Ya Allah sampaikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad—ejajufri].

Waktu salat tiba. Kami pergi ke masjid yang terletak di samping rumah. Kami salat Zuhur dan Asar yang diimami sendiri oleh Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr. Ketika itu terasa dalam diriku seakan aku tengah hidup di sekitar para sahabat yang mulia. Di antara dua salat diselingi bacaan doa dengan suara yang sangat memilukan hati. Sungguh terharunya aku dan terkesan sangat dalam. Usai baca doa, secara serentak para jemaah membaca salawat beramai-ramai: Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad. Isi doa semuanya berupa pujian pada Allah Swt., Muhammad serta keluarganya yang suci.

Sayid Shadr tetap duduk di mihrabnya seusai shalat. Sebagian orang datang menyalaminya lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara perlahan atau kadang-kala dengan suara yang agak keras. Sayid juga menjawab setiap pertanyaan dengan perlahan apabila pertanyaannya memang demikian. Dari sana kupahami bahwa pertanyaan tersebut adalah yang berkaitan dengan masalah-masalah pribadi. Apabila jawaban yang diharapkan telah diperoleh, maka sipenanya akan mencium tangannya kemudian pergi. Berbahagialah mereka dengan orang alim yang mulia ini yang ikut membantu menyelesaikan segala permasalahan mereka dan ikut serta dalam suka dan duka mereka.

Sambutan Sayid yang demikian hangat serta perhatiannya yang begitu tinggi membuatku seakan berada di tengah keluargaku sendiri. Kurasa seandainya aku berada bersamanya selama satu bulan saja, niscaya aku akan menjadi Syiah karena melihat akhlaknya yang sangat tinggi, sikap tawaduknya dan kemurahan hatinya. Setiap kali mataku terpandang pada matanya kulihat beliau tersenyum dan memulai menyapaku. Beliau juga menanyakan keadaanku yang mungkin perlu bantuan dan sebagainya. Alhasil, sambutannya padaku sangat mesra sekali.

Selama empat hari aku jadi tamunya. Dan selama itu pula aku tidak berpisah dengannya kecuali saat tidur saja, kendatipun yang datang berziarah atau ulama-ulama yang berkunjung padanya cukup banyak. Aku juga berjumpa dengan orang-orang Saudi di sana. Aku tidak pernah tahu bahwa orang-orang Syiah juga ada di Hijaz. Demikian juga ulama-ulama dari Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Lebanon, Syria, Iran, Afghanistan, Turki dan Afrika.

Peran Marja’ Taqlîd

Sayid berbicara dengan mereka dan membantu hajat-hajat mereka. Semua yang keluar dari rumahnya menampakkan kegembiraan hati. Aku tidak akan pernah lupa pada suatu peristiwa yang kusaksikan di hadapan mataku sendiri dimana Sayed dapat menyelesaikannya sebuah persoalan yang berat dengan begitu bijak. Kukatakan demikian karena ia menyirat suatu pelajaran yang sangat penting agar kaum muslimin tahu betapa ruginya mereka lantaran meninggalkan hukum-hukum Allah.

Ada empat orang datang menghadap Sayid Muhammad Baqir Ash-Shadr. Aku menduga bahwa mereka adalah penduduk Irak, karena logat bahasanya kupahami demikian. Seorang dari mereka telah memperoleh waris sebuah rumah dari datuknya yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Kemudian rumah tersebut dijualnya kepada orang kedua yang juga hadir di sana. Setahun setelah penjualan, datanglah dua orang yang mengaku sebagai
pewaris syar’i (sah) dari si mayit.

Keempat-empat mereka duduk di hadapan Sayed, dan masing-masing mengeluarkan berbagai kertas dan surat bukti. Setelah Sayid membaca surat-surat tersebut dan berbicara sejenak dengan mereka, kemudian dia keluarkan fatwanya seadil-adilnya: si pembeli tetap mempunyai hak atas rumah yang dibelinya; dan si penjual juga harus memberikan hak waris bagian dua saudara tadi dari hasil jualannya. Usai Sayid memberi fatwa empat orang ini kemudian berdiri lalu mencium tangan Sayid dan mereka saling berpelukan tanda damai dan setuju.

Aku sangat terkejut dan seperti tidak percaya. Kutanyakan kepada Abu Syubbar apakah kasusnya telah selesai. Ya, jawabnya. Setiap mereka telah mendapatkan haknya masingmasing. Subhanallâh. Semudah ini dan dalam waktu yang sesingkat ini; hanya beberapa saat saja permasalahan itu dapat diselesaikan! Kasus seperti ini apabila terjadi di negeri kami, paling tidak ia akan memakan waktu sepuluh tahun sampai kadang-kadang sebagian dari mereka telah mati lalu kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Tambah lagi mereka harus bayar biaya pengadilan, pengacara dan lain sebagainya yang kebanyakannya tidak kurang dari nilai rumah itu sendiri. Mula-mula pengadilan umum, kemudian negeri lalu Mahkamah Agung sampai akhirnya semua kecewa setelah melalui serangkaian kekusutan serta biaya yang mahal dan menyogok sana-sini yang tidak sedikit. Disamping sikap permusuhan dan kebencian yang timbul antar keluarga akibat dari semua itu.

“Hal seperti itu juga ada di sini; bahkan lebih dari itu.” Kata Abu Syubbar menjawab. “Maksud Anda?” Tanyaku. “Jika orang mengangkat permasalahan mereka dan mengajukannya kepada pengadilan negeri maka hasilnya seperti yang Anda ceritakan tadi. Namun jika mereka mentaklid seorang marjak agama dan terikat dengan hukum-hukum Islam maka mereka tidak akan mengangkat permasalahan mereka kecuali kepadanya saja. Dan si marjak pada gilirannya akan menyelesaikan masalah mereka dalam waktu yang sangat singkat seperti yang Anda saksikan. Apakah ada hakim yang lebih baik selain daripada Allah bagi orang-orang yang berakal? Sayid Shadr juga tidak memungut sebarang biaya dari mereka. Apabila mereka pergi ke instansi pemerintah yang berkaitan niscaya mereka akan menderita kerugian yang tidak sedikit.”

Subhanallâh. Aku masih tidak percaya apa yang kulihat. Kalaulah mata ini tidak menyaksikannya sendiri mana mungkin aku akan percaya pada kejadian ini.

“Begitulah wahai saudaraku. Kasus ini masih ringan dibandingkan dengan kasus-kasus yang lain yang lebih rumit dan menyangkut nyawa. Tapi para marjak ini dapat menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat.”

“Jadi di Irak ini ada dua pemerintahan, pemerintahan negara dan pemerintahan ulama, begitu?” Tanyaku takjub.

“Tidak. Di sini ada pemerintahan negara saja. Namun kaum muslimin dari mazhab Syiah yang bertaklid pada marjak mereka tidak memiliki sebarang hubungan dengan pemerintahan. Karena ia adalah pemerintahan Ba’ath bukan pemerintahan Islam. Mereka patuh pada hukum-hukum sipil, pajak, dan hal-hal pribadi lainnya. Seandainya terjadi suatu kasus antara seorang muslim yang saleh dengan seorang muslim lain yang tidak saleh, maka pasti ia akan terpaksa mengangkatnya kepada pengadilan negeri. Karena orang kedua ini tidak setuju dengan ketentuan hukum para ulama. Namun jika yang berselisih adalah sesama orang-orang mukmin, maka mereka akan mengembalikannya kepada para marja’. Apa saja yang dihukumkan oleh marja’ tersebut akan diterima oleh semua tanpa ada sebarang keberatan. Itulah kenapa kasus-kasus tertentu dapat diselesaikan oleh para marja’ dalam waktu satu hari, sementara pengadilan negeri mungkin berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.”

Peristiwa itu menggetarkan jiwaku hingga kemudian kurasakan suatu kesadaran untuk rela atas segala hukum Allah Swt. Dari situ aku memahami makna firman Allah yang bermaksud: “Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim. Dan barang siapa yang tidak menghukumkan dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Al-Maidah: 44, 45, 47).

Jiwaku juga memberontak dan memprotes orang-orang zalim yang telah mengubah hukum-hukum Allah Swt. yang adil kepada hukum buatan manusia yang zalim. Bahkan mereka mengejek hukum-hukum Allah dengan cara yang keji. Mereka katakan bahwa hukum Allah adalah barbar dan kejam karena menegakkan hukum hudud yang memotong tangan pencuri dan merajam pezina serta membunuh si pembunuh. Dari mana datangnya teori-teori yang asing seperti ini? Sudah pasti ia datang dari barat dan dari musuh-musuh Islam yang melihat bahwa pelaksanaan hukum-hukum seperti itu berarti tamatnya kekuasaan mereka secara total. Hal ini tiada lain karena mereka sendiri adalah para pencuri, pengkhianat, pezina dan pembunuh. Apabila hukum-hukum Allah dilaksanakan terhadap mereka maka kita sudah aman dari mereka.

Pada hari-hari yang penuh kenangan itu terjadi serangkaian diskusi antara aku dan Sayid Shadr. Kuajukan padanya berbagai pertanyaan, besar atau kecil dari kesimpulan yang kubuat setelah berbagai diskusi dengan teman-teman, baik yang berkaitan dengan akidah, sahabat (semoga Allah meridai mereka) atau kepercayaan mereka akan imam dua belas, Ali dan anak-anaknya dan lain sebagainya yang tidak sama dengan akidah kami.

Penyebutan Nama Imam Ali dalam Azan

Kutanyakan kepada Sayid Shadr tentang Imam Ali, kenapa namanya diucapkan dalam azan dengan sebutan waliullâh. Beliau menjawab, “Amirul Mukminin Ali as. adalah di antara hamba Allah yang dipilih oleh-Nya untuk meneruskan tanggung jawab mengemban risalah setelah para nabi-Nya. Mereka adalah para wasi Nabi. Setiap nabi memiliki wasi, dan wasi Nabi Muhammad saw. adalah Ali bin Abi Thalib. Kami mengutamakannya atas semua sahabat karena Allah dan rasul-Nya mengutamakannya. Dan kami mempunyai dalil akli dan nakli, Alquran dan sunah dalam hal ini. Dalil-dalil ini tidak dapat diragukan kebenarannya, lantaran bersifat mutawatir dan sahih dalam jalur sanad kami, dan hatta dalam jalur sanad Ahlussunah wal Jemaah. Para ulama kami telah menulis berbagai buku tentang hal ini.

Ketika pemerintahan Bani Umayyah coba menghapuskan kebenaran ini dan memerangi Amirul Mukminin Ali dan anak-anaknya serta membunuh mereka bahkan mencaci dan melaknatnya di atas mimbar-mimbar kaum muslimin serta memaksa mereka untuk berbuat serupa, melihat ini maka Syiah Ali dan para pengikutnya, semoga Allah meridai mereka, tetap mengikrarkan bahwa beliau adalah waliullah, karena seorang muslim yang sejati dilarang mencaci waliullah. Hal ini dilakukan sebagai bantahan mereka terhadap penguasa yang zalim saat itu hingga kemuliaan yang sebenarnya dapat dikembalikan kepada Allah, rasul-Nya dan orang-orang mukminin saja; dan biarlah ia wujud sebagai bukti sejarah kepada segenap kaum muslimin yang datang berikutnya, agar mereka tahu tentang kebenaran Ali dan kebatilan musuh-musuhnya.”

“Para fuqaha (ahli fikih) kami mengatakan bahwa syahadat kepada wilayah Ali di saat azan adalah sunah semata-mata, dan dengan niat bahwa ia bukan bagian dari azan atau ikamah. Apabila seorang muazin menganggap bahwa itu adalah bagian dari azan dan ikamah maka azannya dianggap tidak sah. Dan hal-hal sunah dalam ibadah dan muamalat banyak sekali jumlahnya. Seorang muslim akan diberi ganjaran jika melakukannya dan tidak akan berdosa
apabila meninggalkannya. Sebagai contoh, dalam suatu hadis disebutkan bahwa usai mengucapkan syahadat kepada Allah dan Muhammad dalam azan, disunahkan juga bersyahadat (bersaksi) bahwa surga itu adalah benar; neraka itu adalah benar; dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya.”

Kukatakan bahwa para ulama kami mengajarkan bahwa Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah khalifah yang paling utama, kemudian Sayidina Umar Al-Faruq, Sayidina Utsman baru kemudian Sayidina Ali, semoga Allah meridai mereka semua. Sayid diam sejenak. Kemudian berkata: “Mereka boleh berkata apa saja tetapi jauh sekali untuk bisa membuktikannya secara valid. Di samping ia bertentangan dengan apa yang tertulis dalam kitab-kitab mereka yang sahih dan muktabar. Di sana tertulis bahwa manusia yang paling utama adalah Abu Bakar, kemudian Utsman. Tidak ada kata-kata Ali sama sekali. Justru Ali dijadikan sebagai manusia awam semata-mata. Namun para ahli sejarah juga menyebutnya lantaran menyebut-nyebut para khulafa rasyidin saja.”

Tanah Turbah

Aku tanyakan juga tentang tanah yang digunakan untuk sujud, atau yang biasa disebut dengan Turbah Husainiyah. Beliau menjawab: “Pertama-tama wajib diketahui bahwa kami bukan sujud kepada tanah, seperti yang disangka oleh mereka yang benci pada Syiah, tapi kami sujud di atas tanah. Sujud hanya untuk Allah semata-mata. Apa yang terbukti secara dalil bagi kami dan juga di sisi Ahlu Sunnah bahwa yang utama adalah sujud di atas tanah atau di atas sesuatu yang tumbuh dari tanah, tapi bukan sejenis dari bahan makanan. Selain dari itu tidak sah sujud di atasnya. Dahulunya Rasulullah SAW. duduk di atas tanah dan menjadikan sebongkah tanah sebagai tempat sujudnya. Beliau juga mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian juga sehingga mereka sujud di atasnya, dan di atas batu-batu kecil. Baginda melarang mereka sujud di atas ujung bajunya. Hal ini diketahui sangat lumrah sekali di sisi kami.”

“Imam Zainal Abidin dan Sayyid as-Sajidin Ali bin Husain a.s. mengambil tanah dari kuburan ayahnya Abu Abdillah al-Husain as-Syahid sebagai turbahnya. Ini karena tanahnya bersih dan suci dan telah disiram oleh darah Sayyidis-syuhada’ (penghulu para syahid). Dan para syi’ahnya meneruskan kebiasaan ini sehingga ke hari ini. Kami tidak mengatakan bahwa sujud di atas selainnya bermakna tidak sah. Sujud akan sah di atas sebarang tanah atau sebarang batu yang suci, sebagaimana ia juga akan sah sujud di atas tikar atau tempat ambal yang dibuat dari pelepah kurma dan sejenisnya.”

Peringatan Asyura

Kutanyakan lagi tentang peringatan Sayyidina Husain a.s, kenapa Syi’ah menangis dan memukul-mukul dada sehingga berdarah? Bukankah ini haram di dalam Islam. Nabi juga telah bersabda: “Bukan dari golongan kami mereka yang memukul-mukul pipi dan mengoyak-ngoyak baju serta melakukan seperti perbuatan Jahiliah.”

Sayid menjawab : “Hadis itu memang sahih, tapi ia tidak dapat diterapkan untuk peringatan Abu Abdillah Al-Husain. Mereka yang menyeru pada perjuangan Husain dan mengikut jejaknya, perbuatan ini bukan sejenis perbuatan jahiliah. Lalu di dalam mazhab Syiah ada manusia yang beragam, ada yang alim dan ada juga yang jahil. Kesemua mereka mempunyai rasa emosi. Jika di dalam mengingat kesyahidan Husain dan apa yang terjadi kepada keluarganya serta para sahabatnya—yang dibunuh atau yang ditawan—lalu perasaan emosinya menguasai mereka, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Karena niat mereka adalah fi sabilillah semata-mata. Dan Allah memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya sekadar niatnya masing-masing.

Seminggu yang lalu saya membaca suatu kenyataan resmi dari pemerintahan Mesir sempena kematian Gamal Abdul Nasir. Dikatakan bahwa mereka telah mencatat delapan kasus bunuh diri karena mendengar kematian Gamal Abdul Nasir. Ada yang menerjunkan diri dari atas bangunan yang bertingkat; ada yang menerjunkan diri ke bawah rel kereta api dan sebagainya. Adapun mereka yang terluka jumlahnya cukup banyak. Ini saya sebutkan sebagai contoh bagaimana emosi manusia kadang-kadang bisa menguasai manusia itu sendiri.

Jika manusia muslim sampai membunuh diri lantaran kematian Gamal Abdul Nasir, padahal dia mati secara wajar, maka tidak ada hak bagi kita untuk menghukumi bahwa Ahlussunah adalah salah. Dan tidak ada hak bagi Ahlussunah juga menghukumi saudara-saudara mereka dari Syiah salah lantaran menangisi Sayyid Asy-Syuhada Al-Husain. Mereka meratapi penderitaan Husain sampai sekarang. Rasulullah sendiri pernah menangis untuk Husain, dan Jibril juga menangis karena tangisnya Rasulullah.”

Bangunan Masjid dengan Emas

Makam Abu Hanifah

“Kenapa Syiah menghiasi kuburan wali-wali mereka dengan emas dan perak sementara ia haram di dalam Islam?” Tanyaku lagi. “Ini tidak hanya ada di dalam Syiah dan juga tidak haram. Lihatlah masjid-masjid saudara kami dari golongan Ahlussunah, di Irak, Mesir, Turki atau negara-negara Islam yang lain. Rata-rata dihiasi dengan emas dan perak. Begitu juga dengan masjid Rasulullah saw. di Madinah Al-Munawwarah dan Baitullah Al-Haram di Mekah yang setiap tahun dipakaikan dengan perhiasan emas yang baru dengan perbelanjaan berjuta-juta. Ini tidak hanya ada pada mazhab Syiah saja.”

Tabaruk

“Ulama-ulama Saudi berkata bahwa mengusap tangan di atas kubur, minta doa dari orang-orang yang saleh serta mengambil berkat dari mereka semua itu adalah syirik kepada Allah. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?”

“Jika mengusap tangan di atas kubur dan menyebut nama-nama penghuninya dengan niat bahwa mereka memberi manfaat atau mendatangkan mudarat (kerugian), maka tak diragukan lagi ia berbuat syirik. Orang-orang muslim adalah orang yang muwahhid (bertauhid) dan mengetahui bahwa Allah sajalah yang memberi manfaat atau mudarat. Mereka menyeru para wali dan imam as. semata-mata sebagai wasilah atau perantara mereka kepada Allah Swt. Ini tidak syirik. Kaum muslimin, Suni dan Syiah, sepakat dalam hal ini sejak zaman Rasul sehingga sekarang. Melainkan Wahabi atau ulama-ulama Saudi seperti yang Anda sebutkan. Mereka telah melanggar ijmak kaum muslimin dengan mazhab mereka yang baru muncul di abad ini. Mereka telah memfitnah kaum muslimin dengan akidah mereka ini, mengkafirkan mereka dan bahkan menghalalkan darah mereka. Para jemaah haji Baitullah Haram dipukul lantaran mereka berkata: Assalamu Alaika Ya Rasulullah. Tidak diperkenankan siapapun untuk menyentuh kuburan suci Nabi Muhammad saw. Mereka telah berdiskusi dengan ulama kami beberapa kali, tapi mereka tetap sombong untuk menerima kebenaran.”

Syarafuddin Al-Musawi

“Sayid Syarafuddin, seorang di antara ulama Syiah ketika pergi haji ke Baitullah al-Haram di zaman raja Abdul Aziz AlSaud, adalah di antara ulama ke istana raja untuk merayakan Hari Raya Aidul Adha bersama raja. Ketika tiba gilirannya untuk bersalaman dengan raja, dihadiahkannya kepada raja sebuah mushaf Alquran yang bersampul kulit binatang. Raja menerima hadiah mushaf tersebut lalu diciumnya dan diletakkannya di atas dahi sebagai tanda penghormatan dan pentakziman. Sayed Syarafuddin kemudian berkata ketika itu: “Wahai Raja, kenapa Anda mencium kulit dan mengagungkannya. Bukankah ia hanya berupa kulit kambing, tidak lebih?” “Yang kumaksudkan adalah pentakziman kepada Alquran Karim yang ada di dalamnya, bukan kepada kulit ini,” jawab Raja.

Sayid Syarafuddin berkata: “Anda bijak, wahai raja. Begitulah juga ketika kami mencium pintu-pintu kuburan Nabi atau dinding-dindingnya. Kami tahu bahwa itu semua adalah besi yang tidak memberi sembarang manfaat atau mudarat. Kami bermaksud mencium orang yang ada di balik besi dan kayu- kayu itu. Kami bermaksud mentakzimkan Rasulullah saw., sebagaimana Anda bermaksud mentakzimkan Alquran dengan mencium kulit kambing yang membungkus Alquran ini.”

“Para hadirin mengucapkan takbir sebagai tanda kagum atas Sayid ini. Mereka berkata: Anda benar, Anda benar. Akhirnya raja terpaksa mengizinkan para jemaah haji untuk melakukan tabaruk (mengambil berkat) dari peninggalan-peningalan Nabi saw. sehingga datang raja berikutnya dan kemudian dilarang kembali.”

“Perkara yang sebenarnya bukan karena mereka takut kaum muslimin akan syirik kepada Allah. Tetapi disana ada motivasi politik untuk menguasai kaum muslimin dan memperkuat kerajaan mereka. Sejarah adalah sebaik-baik bukti atas apa yang mereka lakukan terhadap umat Muhammad saw. “

Aku tanya juga tentang tarikat-tarikat Sufi. Jawabnya singkat, “Ada yang positif dan ada juga yang negatif. Yang positif seperti membina diri dan mendidiknya untuk sederhana di dalam hidup dan bersikap zuhud atas kenikmatan-kenikmatan dunia serta melatih diri untuk berangkat tinggi ke alam ruh yang suci. Sementara yang negatif seperti menyendiri dan lari dari realitas kehidupan, terbatas hanya berzikir kepada Allah secara lafzi dan sebagainya. Islam seperti yang diketahui mengabsahkan yang positif dan membuang jauh-jauh yang negatif. Kita layak mengatakan bahwa semua prinsip Islam adalah positif.”

Pembicaraan Hati-Ke-Hati Syahid Baqir Shadr kepada Para Ulama

Ayatullah Baqir Ash-Shadr, pada hari-hari terakhir Ramadannya, memberikan ceramah dari hati-ke-hati kepada para ulama agama. Khotbah ini diterjemahkan dalam sebuah buku berjudul “Trends of History in the Quran” oleh penulis yang sama. Inilah sebagian dari pembicaraannya:

“Seseorang bisa mencintai Allah atau mencintai dunia ini. Tapi kedua cinta itu tidak bisa ada dalam satu hati. Marilah kita uji hati ini. Marilah periksa hati kita untuk melihat apakah cinta kepada Allah atau cinta kepada dunia ini yang ada. Jika cinta kepada Allah yang ada di dalam hati kita, marilah kita perdalam. Jika cinta kepada dunia ini yang ada—semoga Allah mencegahnya, marilah kita selamatkan diri kita dari penyakit mengerikan ini.

“Setiap cinta yang ada di inti hati seseorang adalah salah satu dari dua jenis ini. Kita menyebut cinta yang sempurna sebagai cinta tingkat dua dan cinta yang tidak sempurna sebagai cinta tingkat pertama. Untuk memulainya, cinta (tingkat pertama) menjadi dasar bagi perasaan manusia, emosi dan hasrat. Setelah mendapati pekerjaan atau kebutuhan mendesak, seseorang segera kembali pada objek cintanya, karena cinta menempati pusat pikiran, perasaan dan sentimen.

“Dalam kasus cinta tingkat dua, seluruh perhatian manusia ditarik oleh objek cintanya dan tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian darinya. Dia tidak pernah lalai dari memikirkan kekasihnya.

“Kedua jenis cinta ini ditemukan dalam hal kecintaan mulia kepada Allah. Cinta tingkat pertama muncul di hati orang beriman yang hatinya terbebas dari kekotoran masalah pokok dunia ini. Segera setelah mereka terbebas dari keterikatan, mereka kembali pada keraguan yang merupakan objek cinta mereka.

“Adapun cinta tingkat kedua, ditemukan dalam hati nabi dan para imam. Kalian semua tahu Imam Ali bin Abi Thalib, yang makamnya ada di sekitar kita (Najaf). Manusia besar ini berkata, ‘Saya tidak pernah melihat hal kecuali saya melihat Allah sebelumnya, setelahnya dan bersamanya.’ (qablahu wa ba’dahu wa ma’ahu).

“Sebenarnya, hal ini karena cinta pada Allah menempati hati dan nuraninya dan sehingga tersembunyilah segala sesuatu darinya. Bahkan ketika dia melihat manusia, dia melihat Allah. Ketika dia melihat karunia Allah, dia mengingat-Nya. Ikatan ini dengan Allah selalu hadir di depan matanya, karena Allah yang benar-benar dia cintai dan kepada-Nya harapan dan cita-cita diarahkan. Dia tidak pernah mengizinkan siapapun untuk mengalihkan perhatiannya dari Allah.”

“Cinta dunia juga mencapai tahap di mana seseorang tidak melihat apapun selain dunia di belakang, depan dan bersamanya. Apapun yang dia lakukan, dia melakukannya untuk sedikit keuntungan duniawi. Dia tidak bisa mengabdikan dirinya sendiri untuk amal saleh lebih dari beberapa hari. Inilah cinta tingkat dua pada dunia. Imam Shadiq mengatakan, ‘Dunia ini seperti air laut. Semakin seseorang meminumnya, semakin haus dia.’

“Itulah cinta kepada Allah yang menjadi dasar keberanian dan kekuatan Imam Ali. Keberaniannya tidak berasal dari buasnya binatang. Keberaniannya berasal dari iman dan cinta kepada Allah. Dia berusia 60 tahun lebih ketika melawan Khawarij dan sendirian membunuh 4.000 orang dari mereka. Dia juga berada pada puncak keberanian sekaligus kesabaran dan tidak menekan apa yang menjadi haknya. Dia tetap diam ketika diminta oleh Allah untuk mengabaikan haknya. Pada saat itu, ia berada dalam kondisi terbaik hidupnya. Hati nuraninya menyala dengan api pemuda. Tapi Islam menyuruhnya untuk tetap diam dan bersabar, meskipun pelanggaran terhadap hak-haknya.

“Setelah semua itu, apa dunia ini bagi kita? Ia adalah kumpulan imajinasi dan hal-hal khayalan. Kata-kata Harun Ar-Rasyid sangat mengesankan. Kita mengutuknya siang dan malam. Kita mengatakan bahwa kita lebih baik, lebih saleh dan lebih bertakwa daripadanya. Apakah dunia Harun Ar-Rasyid telah ditawarkan kepada kita dan kita menolaknya? Jika tidak, bagaimana bisa kita mengaku lebih saleh daripadanya. Dunia yang ditawarkan kepada kita bukan seperti milik Harun. Ia jauh lebih terbatas dan kecil tidak terbandingkan. Ia sementara dan singkat, tidak luas dan banyak seperti Harun. Demi dunia ini, ia telah memenjarakan Imam Musa Al-Kazhim! Apa kita yakin jika kita mendapatkan dunia ini, kita tidak akan membuang Imam ke dalam penjara? Sudahkah kita menguji diri sendiri dan menanyakan pada diri sendiri? Apakah dunianya Harun pernah ditawarkan kepada kita sehingga kita tahu kita lebih saleh?

“Di dunia ini, tidak akan ada kebenaran kecuali di sana ada rida Allah. Jika Imam bekerja untuk keuntungan duniawi, maka ia akan menjadi orang yang paling menderita. Tapi ketika ia bekerja untuk Allah, ia berkata pada akhir hidupnya ‘Demi Tuhan Kakbah, saya orang yang beruntung.’ Dunia ini bukan untuk siswa teologi. Seorang siswa yang mencari dunia ini bisa mendapatkan dunia ini atau akhirat. Oleh karena itu, adalah tugas kita sebagai siswa untuk membatasi upaya kita mencari akhirat bagi dunia ini yang tiada nilainya bagi kita.

“Kita harus memikirkan tentang kematian kita setiap saat. Pada saat kematiannya, ayah saya tidak setua saya sekarang (1). Saudara saya wafat pada usia lebih muda dari saya sekarang ini. Saya telah melewati rentang waktu kehidupan saya (2).

“Kita memohon kepada Allah untuk membersihkan hati kita, dan menyinarinya dengan keimanan. Semoga Dia mengubah pikiran kita agar lebih mencari rida-Nya dan memenuhi hati kita dengan cinta, takwa, dan iman pada-Nya. Semoga Dia membantu kita berdasarkan pengajaran kitab-Nya, amin.”

Sumber/Penerjemah: ejajufri © 2010

0 comments to "Allah di lecehkan???!!!!"

Leave a comment