Home , , � Bank Syariah,Bank Yahudi,Bank Kristen,Bank Hindu

Bank Syariah,Bank Yahudi,Bank Kristen,Bank Hindu

Mufti Suriah Bicarakan Masa Depan Bank Syariah

Oleh: Mohamed Al-Hamazani

Dekrit Mufti Suriah, Dr. Ahmad Hassoun, untuk mengubah nama Islamic banking menjadi partnership ‘kemitraan’ telah menggemparkan dunia keuangan Islam dan pendukungnya. Dr. Hassoun membenarkan seruannya untuk mengubah nama menjadi kemitraan dengan fakta kekhawatirannya mendengar “Bank Yahudi” atau “Bank Kristen” di masa depan, karena sekarang ada orang-orang yang menyerukan untuk membentuk “Bank Hindu”.

Dalam wawancara dengan Asharq Al-Awsat mengenai masa depan perbankan Islam, Dr. Hassoun mengatakan, “Kita harus memikirkan universalitas sebelum kita dikuasai dan dihancurkan oleh globalisasi. Urusan perbankan dan keuangan tunduk pada aturan syariah dan tidak memihak. Oleh karena itu, mengingat hal tersebut dan cara-cara berinvestasi, ketika kita berbicara tentang kemitraan dalam bisnis kita ingin lembaga itu didasari oleh nilai-nilai etika dan iman.” Dr. Hassoun menambahkan, “Kita ingin lembaga ini didasari oleh nilai-nilai etika dan iman; bukan besaran dananya.”

Mufti Suriah melanjutkan, “Kita tidak ada masalah dengan keterlibatan kerja sama dengan berbagai macam bank, selama hal itu sesuai dengan prinsip kemitraan. Pembiayaan yang menggabungkan perbankan tradisional [konvensional] dan perbankan Islam [syariah] diperbolehkan jika didasari pada kemitraan. Iman turun dari Allah untuk melayani manusia, dan bukan untuk mengeksploitasinya; biarkan iman memfasilitasi kehidupan manusia, dan bukan untuk membelenggu kehidupannya.”

[Asharq Al-Awsat] Apa penilaian Anda mengenai konferensi perbankan Islam terakhir di Suriah?

[Dr. Hassoun] Sejak dikeluarkannya keputusan legislatif yang menyetujui pendirian perbankan Islam, Suriah telah mengadakan konferensi khusus mengenai masalah ini, dan memberikan karakter ilmiah mengenai praktik sebenarnya dari bank yang beroperasi di Suriah. Ini adalah konferensi kelima lembaga keuangan dan perbankan Islam.

Konferensi ilmiah meningkatkan kesadaran kultur para pengamat dan mereka yang tertarik pada hal ini. Melalui konferensi, pengalaman praktis dipertukarkan, sebagai tambahan penelitian ilmiah teoritis, sehingga peran menjadi terpadu untuk menekan kemajuan ekonomi dalam arah yang benar dan tepat.

Melihat fakta bahwa konferensi tidak berhenti karena tugas telah dimulai pada lembaga keuangan dan perbankan Islam di lebih dari satu negara muslim dan Arab, dan melihat situasi bank-bank tersebut, lembaga keuangan Islam mendapatkan banyak manfaat dengan mensponsori konferensi ilmiah. Selain itu, konferensi membuka jalan bagi institusi untuk berkenalan dengan para ahli—baik dibidang ilmu pengetahuan, keahlian praktis atau yang terlibat kegiatan ekonomi.

Baru-baru ini, Suriah telah memasuki wilayah ekonomi dan operasi perbankan yang didasari oleh kemitraan antara modal keuangan dan usaha; hal ini menjadi hal penting dalam keanekaragaman kegiatan ekonomi, dan memperluas kegiatan ekonomi.

Di Suriah, kami memiliki sektor publik dan sektor kerja-sama [publik-swasta]. Sekarang, sektor swasta telah memainkan perannya di masyarakat dalam operasi pembangunan yang komprehensif. Kemitraan lembaga keuangan bank ini memainkan peran penting dalam menarik investasi domestik, regional, dan internasional, khususnya dalam memperluas pergerakan modal di antara negara dunia. Kami berharap mendapatkan pemikiran yang positif dalam masyarakat secara umum, dan masyarakat daerah pada khususnya, dan di Suriah, yang telah membuka pintunya untuk investasi yang sehat.

[Asharq Al-Awsat] Apa pendapat Anda mengenai kinerja perbankan Islam dalam beberapa tahun terakhir?

[Dr. Hassoun] Keamanan merupakan kebutuhan hidup manusia. Keamanan dibagi menjadi jaminan kesehatan tubuh, dan jaminan keuangan ekonomi; dua hal ini mengarah pada keamanan psikologi dan keyakinan. Hal ini diambil dari firman Allah Swt. kepada Adam as. di surga: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (QS. 20: 118-119) Memuaskan rasa lapar adalah keamanan tubuh, dikatakan “tidak pula dari panas matahari” merujuk pada jaminan kesehatan, dan ayat selengkapnya merujuk pada keamanan psikologi.

Dalam pembicaraan saya tentang bank, saya menyebutnya kemitraan, karena saya ingin lembaga ini melakukan tugas mereka berasal dari keinginan untuk bertukar manfaat, dan memenuhi kepentingan bersama, dan tidak mengeksploitasi yang lain. Kemitraan dalam bisnis dan keuntungan membuat manusia aman dalam hidupnya, karena dalam hal ini Allah Swt. akan berada disampingnya sebagai dalam hadis qudsi [firman Tuhan yang disampaikan Nabi]: “Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak selama mereka tidak mengkhianati rekannya, dan jika salah satu mengkhinati yang lain, Aku meninggalkan kemitraan mereka.”

Inilah apa yang Nabi saw. lakukan di awal kegiatan perdagangannya pada perjalanan musim panas dan dingin. Beliau adalah pihak yang menawarkan usahanya, kerjanya, dan keahliannya dalam kemitraan dengan modal Khadijah [istri pertama Nabi], pebisnis-wanita masanya yang mencari seseorang untuk menginvestasikan uangnya pada orang jujur dan terpercaya, sampai akhirnya dia menemukan kekasih kita Muhammad saw.

Jika dasar kerja lembaga keuangan dan perbankan Islam bukan kejujuran dan rasa saling percaya dalam kemitraan dan bisnis, nasib bank-bank ini akan sama dengan yang lainnya, mereka akan tersandung dan mungkin mengarah pada kebangkrutan.

Telah disadari bahwa lembaga keuangan dan perbankan Islam harus menghindari beberapa aspek krisis keuangan dunia agar tidak tenggelam dalam hutang, dan tidak melibatkan diri secara ekstensif dalam hipotik (mortgages). Namun, dampak krisis ekonomi dunia pada mereka telah terlihat, kecuali mereka pindah dari konsep keenness—untuk memperoleh kembali modal mereka dengan cepat—kepada konsep kerja sama dalam bisnis, dan menghubungkan deposito kepada investasi jangka-panjang yang menguntungkan masyarakat dan pembangunan.

[Asharq Al-Awsat] Ada kritik bahwa bank-bank Islam tidak membawa sesuatu yang baru dalam hal bagi-hasil yang tinggi, dan juga keterbatasan kontribusi sosial bank kepada mereka yang berpenghasilan terbatas. Apakah Anda sependapat dengan pendapat ini? Bagaimana Anda melihat realita perbankan Islam yang semakin tersebar-luas?

[Dr. Hassoun] Pertama, mari kita sepakati bahwa lembaga keuangan dan perbankan Islam didasari pada kemitraan dalam bisnis, dan membagi-hasil investasi berdasarkan kesepakatan persentase, dan karenanya mereka adalah bank kemitraan.

Tata-nama ini (bank kemitraan) membuat kita keluar dari kerangka kerja yang terbatas menuju cakrawala yang lebih luas di mana seseorang berpartisipasi dengan sesamanya dalam bisnis, pembiayaan, dan investasi.

Terlepas dari kenyataan bahwa perbankan Islam tidak mengecualikan siapapun untuk bekerja sama dengannya karena latar belakang agama atau etnik, hanya saja nama atau kata [Islam] mungkin memberikan non-muslim kesan bahwa lembaga ini mengesampingkan kelompoknya dari bekerja sama dengan mereka.

Kritik yang ditujukan kepada perbankan Islam adalah kritik nyata yang tidak bisa diabaikan, dan membutuhkan banyak pemikiran. Hal ini karena orang berharap lembaga ini membantu mereka dalam bisnis, dan tidak menjadi beban berat yang menghalangi mereka mencapai harapan, atau setidaknya sebagian dari harapan mereka.

Kritik tidak hanya mengenai persentase [bagi-hasil] yang tinggi, tapi juga metode pembiayaan yang lain, seperti penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan dan metode sejenis di mana penerima kontrak [nasabah] ini dibebani biaya tambahan dan beban di atas keuntungan yang bank ingin raih, seperti biaya transfer kepemilikan, walaupun penyusunan kontrak menyatakan bahwa setiap pihak menanggung beban untuk propertinya sendiri.

Dalam bagi-hasil pembelian [sebuah properti], bank harus mentransfer kepemilikan kepada dirinya sendiri, bertanggung jawab atas properti, dan menjaminnya sehingga kontrak menjadi sah dan tidak hanya formalitas. Karenanya harus menanggung beban dan biaya transfer kepemilikan; pada bagian ini, salah jika membebani penerima kontrak [nasabah] dengan biaya ini.

Kami berusaha untuk menyelesaikan masalah ini (pengenaan ulang biaya transfer kepemilikan) dengan pemerintah sehingga jika transfer kepemilikan dari bank kepada nasabah berlangsung dalam jangka waktu tertentu, beban harus ditanggung satu pihak, dan tidak diulang.

Hal yang sama berlaku pada biaya-beban kontrak penyewaan yang berakhir dengan kepemilikan, seperti dalam kasus kepemilikan pertama pada bank, dan menerima properti dari pemilik asli, dan sebelum mengirimnya dengan berakhirnya kepemilikan pada klien, biaya dan beban harus ditanggung oleh bank, dan tidak benar jika membebani penerima uang pada mereka.

Terkait dengan pembiayaan kepada mereka yang pendapatannya terbatas, perbankan Islam belum mencapai tingkat hubungan luas dengan berbagai sektor masyarakat.

Jika bank lain hanya berurusan dengan mereka yang memiliki modal dengan memberinya fasilitas kredit dalam pertukaran jaminan yang mereka sanggupi, perbankan Islam belum mampu—kecuali cara-cara tertentu—menghilangkan kendala ini untuk mencapai tingkat sosial dan ekonomi yang kurang mampu.

Pembenaran teknis untuk ini adalah penjagaan dana umat muslim dan penabung. Database yang diperlukan untuk perluasan itu masih belum mencukupi. Tingkat risiko mungkin lebih tinggi, tapi kami katakan: perbankan Islam tidak mampu untuk mencapai tujuan semua pihak, khususnya mereka yang berhubungan dengannya; tidak cukup untuk mempertimbangkan mereka yang punya modal, sebagaimana dengan kualifikasi ilmiah dan keahlian juga harus ikut dalam rencana kerja perbankan Islam.

[Asharq Al-Awsat] Beberapa mazhab fikih atau organisasi syariah disalahkan karena terlalu puas dengan perbankan Islam. Bagaimana sebenarnya ini? Bagaimana Anda menjelaskan keanggotaan beberapa syekh di sejumlah bank? Apakah Anda pikir organisasi syariah itu mempunyai cukup waktu untuk mempelajari produk yang ditawarkan perbankan Islam?

[Dr. Hassoun] Dalam penilaian interpretasi fikih secara umum, khususnya yang berhubungan dengan keuangan, harus dicatat ada dua pemikiran: pemikiran yang membangun dari sumber dan pemikiran yang membenarkan. Kami percaya masing-masing pemikiran memiliki tempat dan wilayah intelektual. Sebelum mengambil sebuah tindakan, pemikiran yang membangun dari sumber harus berlaku, dan menjelaskan aturan syariah berdasarkan bukti nyata dan jelas tanpa pengecualian atau pembenaran, karena fatwa di sini memberi kekuatan kepada tujuan dan pencapaiannya dari awal.

Namun, jika sudah dilakukan, dengan mengabaikan pelaku sumber syariah, dan kemudian dia mencari fatwa untuk menyelamatkannya dari kesalahan yang dilakukan, pada saat itu, mufti mencari jalan keluar, meskipun dengan mengandalkan bukti-bukti lemah atau pembenaran yang dibuat-buat, untuk memperbaiki perbuatan orang yang melakukan kesalahan.

Pembagian fatwa antara sumber dan pembenaran lebih tepat dalam kasus individu daripada lembaga, yang seharusnya tidak memulai perbuatan apapun kecuali setelah memastikan sumber syariahnya jauh dari pembenaran. Hal ini terutama sekali benar karena ada organisasi pengawas syariah yang fatwanya dipercayai lembaga, dan keputusan organisasi syariah mengikat lembaga keuangan dan perbankan Islam berdasarkan hukum di beberapa negara, termasuk Suriah.

Oleh karena itu, dewan direksi lembaga keuangan dan perbankan Islam tidak perlu beroperasi berdasarkan pemikiran pembenaran, karena seolah-olah dewan ini berusaha untuk menipu organisasi syariah. Kaidah fikih mengatakan, “Menilai sesuatu merupakan bagian dari mengaturnya.”

Pengaturan kasus dan kejadian dilakukan oleh dewan direksi eksekutif kepada organisasi pengawasan syariah untuk mengetahui aturan syariahnya. Dikatakan bahwa: “Pertanyaan yang baik adalah setengah dari jawaban.” Semakin dapat dipercaya dan transparan penjelasan masalah itu, semakin baik penjelasan aturan syariah yang diberikan oleh organisasi yang bertanggung jawab untuk menjaga aturan syariah.

Sedangkan pemikiran yang membangun dari sumber, kami menganggapnya sangat dibutuhkan, tapi mereka butuh kehadiran sebuah departemen untuk penelitian dan studi mendalam yang dihubungkan kepada organisasi pengawasan syariah. Tugas departemen semacam ini adalah menciptakan produk baru dan metode inovasi pembiayaan dan investasi yang mendapat persetujuan organisasi syariah…

Di sini, kami mengatakan bahwa produk baru mungkin tidak memiliki hak kekayaan intelektual yang dilindungi oleh syariah dan undang-undang.

Adapun bagi yang puas dengan lembaga keuangan dan perbankan Islam, masalah ini tidak lebih dari bahwa organisasi syariah bertindak sesuai dengan hukum fikih: “segala sesuatu pada asalnya diperbolehkan,” kecuali hal-hal yang sudah dilarang. Hal-hal yang dilarang adalah seperti riba, kecurangan, gharar (ketidakpastian), tadlis (penipuan), dan semacamnya. Sedangkan yang dibolehkan jauh lebih banyak dari itu. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi syariah mengizinkan dewan direksi untuk berbuat dalam hal-hal yang dibolehkan yang mungkin dilihat orang orang sebagai kepuasan.

Adapun kehadiran anggota organisasi pengawas syariah di lebih dari satu lembaga keuangan, memiliki aspek positif dan negatif. Aspek positifnya diwakili oleh pengalaman praktis lebih lama dan pemahaman fikihnya lebih banyak, yang memotivasi lembaga untuk memanfaatkan kehadiran mereka; aspek positif semakin banyak organisasi pengawasan syariah memasukkan individu yang ahli dan berkualifikasi tinggi secara bersama dengan individu baru yang dapat mengambil manfaat bersama-sama.

Aspek negatifnya mungkin lembaga keuangan dan perbankan Islam akan kehilangan energi pemuda dan orang-orang baru berkualitas ilmiah, dan karenanya kelompok ini tidak menemukan kesempatan untuk menunjukkan harapan dan aspirasi mereka melalui penawaran produk keuangan dan investasi; sehingga institusi dan bank menjadi kehilangan sumber dana dan hasil kerja yang dipenjara dalam ide-ide generasi baru.

Saya menyarankan bahwa jumlah [lembaga keuangan] yang sesuai seharusnya dialokasikan bagi setiap ahli ekonomi syariah, sama seperti yang dilakukan dalam penelitian akademis dan ilmiah, dan dalam mengawasi tesis ilmiah di universitas; tidak ada pengawas yang dibolehkan untuk memiliki lebih dari beberapa murid untuk mengawasi tugas mereka untuk menjaga waktu si pengawas, dan untuk memastikan kualitas kerja. Dengan cara yang sama, sejumlah lembaga keuangan dan perbankan Islam harus ditentukan dewan pengawas syariah dan ahlinya di dunia Arab dan muslim.

Hari ini di Suriah, Dewan Penasihat Syariah Keuangan dan Kredit (Bank Sentral Suriah) telah didirikan. Ini adalah komisi tertinggi yang mengawasi kinerja perbankan Islam, dan menindaklanjuti sidang dewan pengawas syariah di setiap bank Islam. Tujuannya untuk mengurangi kesenjangan dalam fatwa antara dewan dan memudahkan situasi bagi masyarakat. Suriah telah memulai ketika yang lain mengakhir, memanfaatkan dari pengalaman dan keahlian mereka, dan maju dengan percaya diri dan selayaknya.

[Asharq Al-Awsat] Ada perbedaan antara satu bank Islam dan lainnya dalam hal fatwa dan izin beberapa produk. Bagaimana Anda melihat perbedaan ini, seperti obligasi perbankan terorganisir, yang dilarang oleh Akademi Fikih Islam tapi dibolehkah oleh beberapa syekh?

[Dr. Hassoun] Salah satu tantangan yang dihadapi lembaga keuangan dan perbankan Islam adalah masalah fatwa dan perbedaan pendapat di antara dewan pengawas syariah setiap bank. Perbedaan fatwa adalah hal alami di manapun dan kapanpun, karena semua orang tidak bisa dipaksa melakukan hal yang sama. Hal ini telah menjadi aksiomatis sejak zaman Nabi, dan akan tetap demikian hingga hari akhir. Semua prinsip-prinsip dasar dan umum telah disepakati, tapi masalah sisi dan rincian terdapat ketidaksepakatan.

Hal ini membenarkan sejumlah mazhab fikih, delapan di antaranya disetujui oleh Akademi Fikih Islam. Mazhab ini disetujui, dan dibolehkan dalam keadaan khusus untuk bekerja sesuai dengan penilaian interpretasi dari mazhab selain yang delapan.

Saya percaya di satu negara tidak boleh ada fatwa yang berbeda dalam masalah transaksi keuangan dan juga perbankan Islam. Hal ini agar penerima [nasabah] tidak merasa ada kontradiksi dalam kerja bank, dan fatwa tidak menjadi salah satu alat kompetisi yang mungkin tidak jujur, dan hanya bertujuan meraih keuntungan lebih. Fatwa perbankan tidak menjadi masalah individu, masing-masing bekerja sendiri, tapi ia adalah masalah bersama dan masyarakat.

Sumber/Penerjemah: ejajufri © 2010
Sumber: Asharq Al-Awsat
Catatan: Dunia internasional menggunakan istilah Islamic banking, sedangkan Indonesia biasa menerjemahkannya menjadi perbankan syariah, bukan perbankan Islam.
Artikel Terkait: (Video) Mufti Besar Suni Suriah: “Tragedi Asyura Harus Diungkap!”

0 comments to "Bank Syariah,Bank Yahudi,Bank Kristen,Bank Hindu"

Leave a comment