Tahun ini, hubungan diplomatik Indonesia dan Republik Islam Iran memasuki usia 60 tahun. Selama enam dekade tersebut, banyak kemajuan yang telah dicapai baik dalam konteks kerja sama ekonomi, politik, sosial budaya, pariwisata, dan kerja sama strategis lainnya. Hubungan kerja sama kedua negara selama ini selalu berpegang pada prinsip politik luar negeri yang saling menghormati, sejajar, dan setara.
Sebagai sesama negara muslim, hubungan bilateral Indonesia dan Republik Islam Iran tidak semata-mata bertujuan pragmatis untuk kepentingan masing-masing negara, melainkan juga visi bersama untuk menciptakan tata dunia baru yang adil.
Sebagaimana dilansir Kompas, dalam rangka memperingati 60 tahun hubungan diplomatik kedua negara tersebut, Ketua DPD RI, Irman Gusman, Selasa (27/4/2010) di Museum Nasional Jakarta, membuka The International Historical and Culture Relations Between Indonesia-Iran. Menurut Irman Gusman, melihat perkembangan terakhir hubungan diplomatik kedua negara, hubungan kerja sama bilateral di segala bidang perlu ditingkatkan lagi.
Dalam seminar yang juga dihadiri oleh Prof Dr Ali Akbar Velayati, Penasehat Pemimpin Spritual Bidang Hubungan Luar Negeri dan Mantan Menteri Luar Negeri Iran Tahun 1981-1997, Irman juga mengungkapkan bahwa jalinan kerja sama itu jangan hanya berhenti pada level atas, namun harus sampai pada level yang lebih mengakar ke jantung bangsa, seperti kerja sama antarpengusaha dan organisasinya, lembaga pendidikan dan kebudayaan, ataupun komunitas terkecil.
Karena kerja sama kedua negara baru akan terjalin erat dan nyata jika terjadi kontak intensif pada semua level. Bukan hanya antarpemerintah.Tak kalah pentingnya adalah hubungan antarpengusaha, antarkomunitas, sampai level masyarakat dan individu.
Tujuannya adalah memberikan peluang dan menjembatani keinginan kuat kedua negara untuk berinteraksi lebih intensif, sehingga kita mampu menciptakan peluang untuk bersinergi yang kemudian mendorong peningkatan kesejahteraan bagi kedua negara.
Irman juga menekankan dalam pidatonya bahwa momentum ini harus digunakan untuk mengembangkan hubungan bilateral yang saling menghormati dan tetap bekerja sama secara dinamis dan terbuka.
Secara historis hubungan Indonesia dan Iran sudah terjalin ratusan tahun silam, ketika kerajaan Sriwijaya menjalin kerjasama dengan kerajaan Persia.
Persamaan budaya terlihat dari beberapa bahasa melayu yang diadopsi dari bahasa farsi Iran, hikayat-hikayat rakyat Indonesia yang bernuansa Iran seperti Amir Hamzah dan Muhammad Hanafiah dan perayaan asyura yang dilakukah warga di daerah Bengkulu dan Padang, Sumatera untuk memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad Saw Husain bin Ali, di padang Karbala.
Di bidang Ekonomi pun, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad telah menandatangani lima nota kesepahaman salah satunya, kerjasama di bidang perdagangan.
Indonesia dan Iran juga sedang intensif menyelesaikan berbagai permasalahan seperti terorisme, perubahan iklim, kerusakan lingkungan, krisis pangan, energi dan air. (antara, kompas,28/4/2010)
Rakyat Sengsara, Koruptor Dimanja
Pada saat rakyat sengsara, aparatur negara malah memanjakan para koruptor. Di saat sejumlah daerah di Indonesia mengalami kekeringan, rakyat diminta untuk berhemat dan bersabar. Namun, pada saat yang sama pula para koruptor dipelakukan istimewa dengan berbagai kemudahan dan kenyamanan. Penjara disulap menjadi hotel berbintang dengan segala fasilitasnya.
Kekeringan di Nusa Tenggara Timur telah menyebabkan ratusan ribu keluarga petani amat menderita, bahkan membuat anak-anak mereka "kering kerontang".
Kantor berita Antara melaporkan, lahan pertanian tanaman pangan seluas 94.603 hektar di 17 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur gagal panen, menyusul kekeringan akibat curah hujan yang tidak menentu sejak Januari 2010.
Kekeringan di Flores Timur, menurut Wakil Bupati Yoseph Laga Doni Herin, terjadi di sembilan dari 19 kecamatan. Adapun di Manggarai Timur, berdasarkan keterangan Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Ignasius Tora, kekeringan melanda enam kecamatan.
Pemantauan yang dilakukan Kompas di sejumlah tempat menunjukkan, fakta yang sesungguhnya terjadi justru lebih banyak lagi wilayah yang kekeringan. Pulau Flores, misalnya, kekeringan terjadi di Kabupaten Nagekeo, Ende, Sikka, dan Flores Timur.
Petani tak berdaya menghadapi bencana ini. Panen paksa pun dilakukan meski hasilnya sangat mengiris hati. Dari lahan sekitar satu hektar, misalnya, Mustafa Jando (59) dan Siti Hawa Mena (45) hanya mendapatkan padi sekitar 3 kg. Padahal, ladang itu diandalkan untuk menopang kebutuhan pangan keluarganya dalam setahun.
Cuaca tahun ini tak bersahabat. Saat hujan turun, November 2009, petani beramai-ramai menanam secara adat. Di luar dugaan, cuaca tiba-tiba panas terik.
Kriminalitas pun mulai meningkat di perkampungan karena urusan perut sudah tidak bisa ditahan lagi. Pencurian hasil kebun merebak di sejumlah tempat.
Padahal, kampung itu sebelumnya boleh dibilang aman dan tenteram.
Ironisnya, dalam kondisi sulit itu masih ada juga pihak yang mencari keuntungan. Kepala Desa Pondu, Kecamatan Knatang, Sumba Timur, misalnya, kedapatan menjual beras raskin sebanyak 3,4 ton kepada pedagang dengan harga Rp 4.000 per kg.
Di saat rakyat menghadapi kelaparan, negara melalui aparaturnya sibuk dengan berbagai upaya pemanjaan terhadap para koruptor. Semakin besar uang negara yang dirampok, semakin penting dan terhormat para perampok itu diperlakukan.
Media Indonesia dalam editoralnya hari ini (kamis,29/4) menyoroti perlakukan istimewa terhadap para koruptor. Entah dengan kekuasaan, maupun dengan uangnya, para koruptor menikmati seluruh privilese untuk memuaskan nafsu keserakahan. Mereka mengikat uang dan kekuasaan dalam sebuah jejaring politik yang sekarang dikenal dengan mafia.
Ketika para koruptor ini kemudian ditangkap dan diperiksa, mereka kembali menikmati privilese itu. Diperiksa di ruang khusus, oleh penyidik khusus, dan keluar masuk melalui pintu khusus pula.
Kalau mereka sial, masuklah ke penjara. Tetapi di sana mereka menikmati pula keistimewaan. Tidak dicampur dengan penjahat lain. Kenikmatan duniawi tetap disuguhkan. Seorang Artalyta, misalnya, menyulap ruang penjara dengan uang sendiri untuk memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan yang dikehendaki.
Privilese yang dinikmati koruptor itulah yang menjadi salah satu sebab korupsi tidak pernah surut. Bahkan bertambah dalam skala dan jumlah, di tengah retorika perang terhadap korupsi. Elitisme kejahatan yang diperlihatkan negara menguburkan efek jera.
Penjara sekarang ini, terutama kepada para koruptor, telah menghilangkan banyak sekali dimensi menghukum dan diganti oleh dimensi kemanusiaan dan pemanjaan. Padahal semua tahu, tatkala seseorang dimasukkan ke dalam penjara karena kejahatan yang dilakukan, orang itu kehilangan sejumlah haknya.
Dalam rangka terus memuliakan koruptor, pemerintah mendirikan penjara khusus koruptor di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta. Penjara khusus berlantai tiga itu lebih nikmat jika dibandingkan dengan penjara yang dihuni para terhukum lainnya.
Salah satu alasan dibangun penjara khusus koruptor adalah untuk memenuhi standar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Alasan itu makin memperjelas diskriminasi negara terhadap terhukum nonkorupsi.
Bila alasan untuk memenuhi standar PBB, mengapa tidak didahulukan para terhukum kelas maling ayam yang bertumpuk-tumpuk dalam satu ruang sempit seperti barang mati?
Para koruptor itu sesungguhnya tidak membutuhkan prioritas pemenuhan standar PBB karena di penjara yang diurus dengan semangat korup, para koruptor dengan uangnya tetap bisa membeli dan membayar kenikmatan dan kenyamanan. Semua orang tahu itu.
Korupsi akan sulit diperangi selama negara tidak memiliki komitmen menghukum seberat-beratnya para koruptor. Indonesia sekarang sedang mengubah persepsi terhadap koruptor dari penjahat menjadi pahlawan. Korupsi tidak lagi diperlakukan sebagai kejahatan, tetapi kebajikan.
Selama penjara tidak memperlihatkan aspek sebagai lembaga yang menghukum dan menakutkan, selama itu kejahatan terutama korupsi tidak akan surut. Celakanya, negara justru memelihara elitisme kejahatan. (Antara, kompas,media Indonesia,29/4/2010)
SBY: Indonesia Dukung Nuklir dan Tolak Sanksi Iran
IRNA-Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia menyatakan dukungan tetap Indonesia atas program damai nuklir Iran dan mengatakan, "Indonesia serius menolak penjatuhan sanksi terhadap Iran."
SBY hari Kamis (29/4) saat menerima Reza Taghipour, Menteri Komunikasi dan Teknologi Komunikasi menambahkan, "Kami mendukung dan menyambut baik kerjasama konstruktif Republik Islam Iran dengan Badan Tenaga Atom Internasional."
Menteri Komunikasi dan Teknologi Komunikasi Iran mengunjungi Jakarta dan bertemu dengan Presiden SBY dalam rangka menyerahkan surat undangan Presiden Mahmoud Ahmadinejad kepada SBY untuk menghadiri KTT G-15 di Iran yang akan diselenggarakan 17 Mei mendatang.
Presiden SBY setelah menyatakan selamat datang kepada Taghipour dan delegasi menilai hubungan erat dan akrab dua negara menjadi pertanda keinginan dua pemerintah untuk memperluas kerjasama di segala bidang.
Seraya menyinggung sejumlah pertemuannya dengan Ahmadinejad, Presiden SBY juga mengirimkan salam kepada Presiden Iran dan menyatakan harapannya bagi berlanjutnya pertemuan-pertemuan ini. Dijelaskannya, "Dalam pelbgai kesempatan yang ada, saya terus berusaha bertemu dengan sahabat saya Ahmadinejad. Saya juga mengharapkan kemajuan Iran sekaligus menyatakan kesiapan Indonesia bekerjasama dengan Iran di bidang sains-teknologi dan di bidang lainnya."
Presiden Republik Indonesia juga menyambut baik penanaman modal Iran di Indonesia di sejumlah sektor seperti sains, teknik dan perminyakan seraya mengatakan, "Saya harap target 1 miliar dolar perdagangan dua negara segera tercapai."(IRIB/MZ)
0 comments to ""Indonesia serius menolak penjatuhan sanksi terhadap Iran.""