Home , , , , , , � Kasus Nuklir Iran

Kasus Nuklir Iran

Kasus Nuklir Iran, Menuju Masa Depan Cerah

Tahun 2002 masalah nuklir sipil Iran masih dalam tahap uji coba yang kemudian dibesar-besarkan oleh kelompok-kelompok munafik Iran di luar negeri. Menyusul pendudukan Irak tahun 2003 dengan alasan ingin memusnahkan senjata pemusnah massal dan memberantas terorisme, proyek Iranophobia mulai digulirkan oleh Barat dalam bentuk ketakutan akan keberhasilan Iran menggapai teknologi nuklir.

Padahal, dalam butir keempat Traktat Non Proliferasi Nuklir (NPT) telah diakui secara resmi hak setiap penandatangan NPT untuk memiliki teknologi nuklir untuk tujuan-tujuan damai.

Sebelum kemenangan Revolusi Islam, Iran melakukan aktivitas nuklir sipilnya dalam bentuk kerjasama dengan negara-negara Barat termasuk Amerika, Jerman, Perancis dan Rusia. Namun pasca kemenangan Revolusi Islam, tekanan bertubi-tubi muncul dari negara-negara ini dengan mengeluarkan pernyataan, resolusi, dan pelbagai laporan dari sejumlah lembaga internasional seperti Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan Uni Eropa. Tapi seperti biasanya, semua tuduhan dan klaim kosong ini dijawab secara transparan oleh Republik Islam Iran.

Di tahun-tahun ini, Tehran menjadi tuan rumah yang baik bagi kunjungan tim investigasi IAEA yang terkadang datang tiba-tiba. Menyusul perundingan Saadabad (Istana Kepresidenan Iran), Republik Islam Iran secara sukarela melakukan penundaan aktivitas nuklirnya selama 20 bulan termasuk menyegel instalasi UCF Isfahan dan juga menerima kode 1/3 dari urutan cabang NPT. Berdasarkan hal ini, para investigator IAEA berhak kapan saja untuk memeriksa instalasi nuklir Iran.

Mahmoud Ahmadinejad tahun 2005 terpilih sebagai Presiden Republik Islam Iran. Ahmadinejad menerima penyerahan jabatan dari pemerintah kubu Reformasi dalam kondisi di mana ia mengkritik keras kebijakan mereka menunda aktivitas nuklir Iran.

Benar, Ayatollah Sayyid Ali Khamenei berkali-kali menekankan untuk menindaklanjuti hak nuklir sipil Iran. Sekaitan dengan hal ini, Rahbar di hari pertama bulan Tir 1383 (21 Juni 2004) saat bertemu dengan para ilmuwan Iran mengeluhkan langkah-langkah sebagian anasir dalam negeri yang berusaha mengikuti niat Amerika dalam masalah nuklir. Beliau juga menyinggung propaganda musuh terkait semakin dekatnya Iran membuat bom atom dan mengatakan, "Dengan propaganda yang dilakukan ini mereka ingin mendoktrin dengan lisan lain bahwa tidak ada manfaatnya Iran berusaha untuk memanfaatkan teknologi nuklir. Mereka tidak akan berhasil. Dan patut disayangkan sebagian antek-antek asing yang hina dalam negeri namun penuh klaim kembali mengulangi ucapan-ucapan semacam ini. Mereka yakin bahwa tidak ada jalan lain untuk memanfaatkan energi nuklir selain mencium tangan Amerika."

Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menyebut alasan utama aksi kontroversial Amerika terkait aktivitas nuklir Iran sebagai kecemasan musuh terhadap bangsa dan negara ini yang ingin menasionalisasikan ilmu dan teknologi nuklir di Iran dan upaya para ilmuwan Iran untuk menjadmin bahan bakar yang dibutuhkan reaktor nuklir Bushehr.

Transformasi penting di Timur Tengah seperti semakin perkasanya Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Palestina, semakin tenangnya situasi pemerintah Irak, penyelenggaraan periode kedua pemilu Presiden Afghanistan, dan kekalahan 33 dan 22 hari Zionis Israel serta kemajuan Iran di pelbagai bidang termasuk ilmu dan teknologi nuklir, nano teknologi, satelit Omid, stem sel (sel buncah) dan lain-lainnya membuat George W. Bush, Presiden Amerika waktu itu cenderung mengusulkan perundingan dengan Iran, namun Republik Islam Iran tidak tunduk pada segala bentuk prasyarat seperti penghentian pengayaan uranium dalam setiap perundingan.

Dalam situasi yang demikian, Barack Obama menjadi Presiden Amerika dengan klaim ingin melakukan perundingan tanpa syarat. Beberapa waktu setelah menjabat sebagai Presiden Amerika, dalam sebuah wawancaranya Obama mengatakan, "Bila negara-negara seperti Iran ingin membuka kepalan tangannya, mereka akan menyaksikan uluran tangan kami."

Namun krisis kehadiran Amerika di Irak dan Afghanistan memaksa negara ini untuk berinteraksi dengan Iran tanpa syarat. Di sini Republik Islam Iran memberikan jawaban konstruktif untuk melakukan kerjasama di bidang pemberantasan terorisme sekalipun Amerika masih tetap melanjutkan sikapnya yang ambigu dan standar ganda.

Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika pasca kemenangan kembali Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilu presiden Iran terpaksa menolak upaya penjatuhan sanksi lebih berat terhadap Iran dan bersamaan dengan itu Kate Wiseman, mantan anggota AIPAC menilai perundingan dengan Iran sebagai satu-satunya solusi. Dikatakannya, "Pada akhirnya kita harus menerima program sipil nuklir Iran. Sudah terlambat untuk menghentikan program ini secara keseluruhan. Oleh karenanya, kita harus menciptakan hubungan dengan Iran agar Iran menyepakati investigasi internasional." Richard Murphy, mantan Deputi Menteri Luar Negeri Amerika juga menyinggung ucapan Robert Gates, Menteri Pertahanan Amerika bahwa program nuklir Iran tidak punya solusi militer dan harus diselesaikan lewat diplomasi."

Sekalipun Mohammad ElBaradei, mantan Dirjen Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) berkali-kali menegaskan bahwa program nuklir sipil Iran hanya diperuntukkan untuk tujuan-tujuan damai, namun negara-negara anggota kelompok 5 + 1 yang mencakup Amerika, Perancis, Inggris, Rusia, Cina ditambah Jerman yang berusaha menjadi penengah internasional untuk menindaklanjuti masalah nuklir Iran berusaha mengulur-ulur waktu. Dengan demikian, mereka berharap dapat menekan Iran mengambil sikap pasif. Usaha ini berusaha menciderai citra Iran di tingkat internasional, khususnya untuk meraih dukungan negara-negara anggota Gerakan Non Blok (GNB) terkait aktivitas nuklir sipilnya.

Iran tidak tinggal demikian. Dengan menyerahkan paket usulannya, semua konstelasi politik yang diharapkan Barat berubah dan menguntungkan Iran. Pengumuman mendadak berita pembangunan instalasi kedua pengayaan nuklir Iran di Fordo (18 bulan sebelum penyuntikan bahan bakar) oleh Presiden Ahmadinejad saat melawat New York dan kunjungan Mohammad ElBaradei ke Iran kembali menyentakkan dunia. Kejadian ini membuat dunia yakin betapa kemajuan Iran tidak dapat dikembalikan ke belakang dan membuktikan transparansi Iran dalam urusan program nuklir. Langkah Iran akhirnya membuat Barat bersikap pasif.

Pertemuan negara-negara anggota kelompok 5 + 1 di Jenewa dihadiri juga oleh Saeed Jalili, Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Republik Islam Iran. Menurut Jalili, sebuah kesempatan dan ujian bagi pihak-pihak yang berdialog dengan Iran untuk dapat menarik perhatian Iran terkait pelbagai masalah, termasuk masalah jaminan bahan bakar reaktor riset Tehran.

Usulan ini disambut baik oleh sebagian negara termasuk Rusia, Perancis, dan Amerika dan siap menjamin bahan bakar reaktor riset Tehran. Sekalipun telah menyatakan kesiapannya menjamin kebutuhan bahan bakar reaktor ini, Barat tetap saja melakukan tekanan politik yang membuat proses alami jaminan bahan bakar IAEA untuk konsumsi medis Iran berkali-kali mengalami kebuntuan. Sikap Iran yang siap menyerahkan bahan 3,5 persennya untuk ditukarkan dengan bahan bakar yang telah diperkaya 20 persen di Iran di bawah pengawasan IAEA, ternyata masih dimanfaatkan Barat untuk menekan Iran.

Saat memperingati Hari Ulang Tahun Kemenangan Revolusi Islam Iran Ke-31, Iran menyatakan telah memproduksi uranium 20 persen dan telah memasuki tahapan selanjutnya untuk dikonsumsi. Tampaknya kekokohan Iran ini membuat Ban Ki-moon, Sekjen PBB menyatakan, masalah nuklir Iran harus diselesaikan dengan dialog dan perundingan damai.

Pelbagai ancaman hardware dan software yang dilakukan Barat terhadap Iran dan langkah-langkah busuk mereka seperti meneror ilmuwan nuklir Iran, namun hal itu tidak menggemingkan sikap Iran untuk tetap meraih kemajuannya di bidang nuklir sipil. Iran juga tetap akan memanfaatkan energi nuklir sipil untuk tujuan-tujuan damai.

Berlanjutnya upaya Iran untuk mencari tempat yang ideal untuk membangun instalasi nuklir baru dan juga pengoperasian reaktor Bushehr tahun ini disertai penelitian luas terkait jaminan keamanan instalasi ini ditambah kemajuan sains dan teknik industri terkait teknologi menghembuskan berita gembira nuklir. Dengan demikian, slogan "Tekad Eksta dan Usaha Ekstra" yang disampaikan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei bakal terealisasikan di tahun ini.


Demi Tarik Insinyur Iran, AS Palsukan Dokumen


Majid Kakavand (tengah) sedang keluar dari pengadilan di Paris

Demi memenangkan klaimnya di pengadilan Perancis dan ekstradisi Insinyur Iran, Majid Kakavand, Amerika Serikat tak segan-segan memalsukan dokumen.

Press TV melaporkan, Majid Kakavand, insinyur 37 tahun asal Iran pada 20 Maret 2009 ditangkap di bandara udara Paris usai menghabiskan masa liburannya di Perancis. Penangkapan tersebut atas permintaan Amerika Serikat (AS).

AS menuntut ekstradisi Majid Kakavand dan proses pengadilan baginya digelar di Washington dengan dakwaan melanggar kedaulatan Gedung Putih. AS mengklaim bahwa selama berada di Iran, Kakavand melakukan transaksi besar produk AS melalui sebuah perusahaan Malaysia.

Menurut para pengamat, mengingat Perancis tidak memiliki hukum yang melarang perdagangan biasa dengan Iran, maka masuknya barang seperti ini dari Paris ke Tehran bukan termasuk kejahatan. Tak hanya itu, draf syarat kejahatan dua pihak untuk mengekstadisi Kakavand ke AS dengan sendirinya batal.

Pengadilan Perancis berulang kali meminta pengadilan AS memberikan informasi lebih soal klaimnya menegenai Majid Kakavand. Namun karena tidak mampu memberikan bukti, maka AS dengan berani memalsukan dokumen.

Di sisi lain, pihak keamanan Perancis mengakui bahwa dakwaan yang disusun untuk menjerat Majid Kakavand sangat lemah, oleh karena itu Kakavand harus sergera dibebaskan. Situs www.expatica.com pada 31 Maret 2010 mengutip pengacara Kakavand menulis, sejumlah dokumen termasuk email adalah palsu, karena tidak memiliki tanggal.

0 comments to "Kasus Nuklir Iran"

Leave a comment