Nih dia "Teologi Horor"
Beberapa hari lalu saya (http://www.facebook.com/home.php?#!/notes/muhsin-labib/nih-dia-teologi-horor/423890380729) dan kedua adik saya, Ibrahim dan Musa, diundang untuk berbincang dengan seorang tamu. Ternyata dia adalah pengusaha sukses dari suku Khajeh. Dia telah membawahi lebih dari 50 lembaga sosial yang bergerak dalam bidang advokasi dan penyaluran bantuan sosial berupa masjid, klinik, rumahsakit, sekolah, irigasi, penghijauan dan sebagainya di daerah-daerah konflik yang merugikan kelompok minoritas Muslim di seluruh dunia, terutama Afrika dan Asia. Yang paling mengharukan adalah laporannya tentang kondisi minoritas Syiah di Afghanistan, terutama Heraat.
Sejak Taliban berkuasa, katanya, lebih dari 20 ribu manusia yang dianggap kafir telah dibunuh, dan para wanitanya disiksa, sebagian besar payudaranya dipotong oleh gerombolan orang-orang yang melakukan shalat sebelum melakukan aksi kebiadaan itu. Hampir dalam setiap keluarga Syiah ada 3 anak yang mati kelaparan karena hidup dalam kawasan tandus, terpencil dan dikucilkan. Yang lebih membuat kesal, tidak ada peliputan yang adil terhadap kondisi mereka. Taliban benar-benar representasi dari pemuja "teologi horor" (Yang ingin mengetahui lebih jauh tentang lembaga sosial ini, anda bisa visit www.comfortaid.org)
Apa hubungan antara dan agama? Francois Houtart sejak semula enggan memastikan apakah kekerasan (violent) terkandung dalam agam ataukah tidak. Sebab menurutnya, dalam kenyataannya, akar kekerasan bisa ditemukan dalam teks-teks agama. Ekspansi yang dilakukan terhadap bangsa lain dengan dalih ‘pemabebasan”, dianggapnya sebagai indikator akan adanya hubungan antara agama dan kekerasan secara faktual.
Salah satu manifestasi kekerasan struktural adalah kekerasan politik bernuansa agama yang diganti dengan sejumlah terma yang berkonotasi negatif, seperti fundamentalisme, terorisme, radikalisme dan fanatisme.
Fundamentalisme (agama), menurut J.J. Tamayo-Acosta dicirikan sebagai sikap memaksakan (bahkan dengan kekerasan) agama dan kepercayaannya kepada seluruh umat manusia. Kitab Suci adalah motor penggerak. Ia ditafsir (atau lebih tepat diterapkan) secara hurufiah, tanpa mempertimbangkan arti hermeneutisnya berupa aktualisasi pesan untuk situasi kini.
Terlepas dari polemik seputar benar dan tidaknya terminologi "fundamentalisme", terorisme dan sejenisnya, teologi kekerasan yang dianut para pemuja kekerasan adalah teologi Wahhabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.].. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Syria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashra selama 4 tahun
Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni Segala yang dianggapnya tidak dilakukan Nabi, dianggap bid’ah. Tapi ia sendiri tidak melakukan penelitian yang cermat terhadap biografi Nabi. Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain, kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang bahkan teroris.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadi. Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.
Penaklukan-penaklukan dilakukan, terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ'. Seorang penulis Wahhâbi menulis: ‘Pengikut Ibnu Su’ûd mengepung dan kemudian menyerbu ke kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan rumah-rumah. Harta rampasan [ghanîmah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di Karbalâ’
Muhammad Finati, seorang mualaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah ‘Utsmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahhâbi menulis : ‘Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, .dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka.’
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh
Kerajaan Inggris membantu Wahhâbi dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Su’ûd menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan ‘Utsmaniyyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia
Umumnya kaum intelektual dan ulama Sunnî – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafoar [majâz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’ân maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selain sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: ‘Kullu bid’ah dhalâlah wa kullu dhalâlah fî n-nâr’, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Dengan demikian, bid’ah hanyalah euphemism, kata pelembut, untuk ‘kafir’. Misalnya, mereka menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunût, talqîn. tahlîl, istighâtsah berzikir berjamaah, membaca budah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Pada masa awalnya, di tempat asalnya, Saudi, mereka menolak penggunaan telepon, radio dan televisi, karena dianggap bid’ah.
Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minîn Hadîjah, tempat tinggal Nabi dihancurkan. Kalau tidak diprotes kaum Muslimin sedunia, kuburan Nabi sudah dihancurkan pula. Maka orang tidak heran tatkala kaum Thaliban menghancurkan kuil Buddha di Afghanistan. Dan kita dapat menduga bahwa kalau mereka ini berkuasa, semua peninggalan sejarah kita akan mereka ratakan dengan tanah.
Tidaklah mengherankan, bila pengeboman masjid-masjid di Najaf dan Karbala yang memakan banyak korban tidak memancing empati dan solidarotas mereka untuk mengecam. Sebaliknya, karena semangat fanatisme kemazhaban yang berlebiha, ketika Falujjah digempur tentara AS, mereka berbondong-bondong melakukan eksi demo di seluruh kota.
Di Indonesia, misalnya, kaum Nahdhiyyîn ‘kebingungan’, karena kaum Wahhabi juga menamakan diri mereka juga Ahlussunnah Waljamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh penganut keempat mazhab Sunnah, mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-akhir ini mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti kaum Nahdhiyyîn.
Kaum Nahdhiyyîn di Maluku, misalnya merasa tertekan tatkala ‘Lasykar Jihad Ahlussunnah Wal Jumâ’ah’ melarang mereka membuat foto, membaca tahlil dan lain-lain seperti disebut di atas. Malah merajam anggota mereka yang ‘berzina’ secara primitif dalam negara hukum RI yang mempermalukan kebanyakan kaum Muslimin di dunia.
Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia yang dilakukan oleh kaum fundamentalis wahhabi, yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Beberapa hari lalu, Konjen AS di Jeddah menjadi sasaran pengemboman dan penyanderaan.
Daftar Pustaka
[1] ‘Utsmân bin Bisyr, Unwân al-Majd fî Târîkh Najd , akkah, 1349, jilid 1, hlm 121-122]
[2] Mohammad Jawad Moghinyah, al-Wahhabiyah fi al-Mizan, hal. 217, Dar Al-Ta’aruf, Beirut]
[3] Ahmad Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, 3, Helmi Isik Kitabevi, Istanbul, Turkey].
[4] O. Hashem, artikel “Sejarah Teologi Kekerasan dalam Islam, Pandangan Ahlussunnah Waljamaah, Wahhabi dan Khawarij”
[5] Galtung, Johan, On the Social Cost of Modernization: Social Disintregation, Atomie /Anomie and Social Development, Atomie / Anomie and Social Development, dalam Devolopment and Change, Vol. 27, No. 2, 1996.
[6] Houtart, Francois, Kultus Kekekrasan atas nama Agama, Suatu Panorama, sebagaimana dikutip Thomas Santoso dalam Kekerasan agama tanpa agama, Pustaka Utan Kayu, 2002, hal. 11.
I like your theme of choice for web journal however need to recommend you for sharing some more data with respect to your subject so we can comprehend your idea all the more unmistakably. e commerce web designing
SYIAH itu memang sesat menyesatkan, saya sangat setuju Syiah itu diharamkan di indonesia