Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dodi Ambardi mengategorikan sikap dan perilaku politik parpol di pansus menjadi tiga tipe, yakni oposisi, pemerintah, dan pseudokoalisi. Parpol oposisi adalah PDIP, Gerindra, dan Hanura. Parpol pemerintah adalah Partai Demokrat dan PKB. Sedangkan Golkar, PKS, PPP, dan PAN dikategorikan pseudokoalisi. "Meski menjadi bagian dari kekuatan pemerintah, partai-partai pseudokoalisi terlihat telah memberikan keputusan konklusif bahwa Boediono dan Sri Mulyani bersalah," tutur Dodi. PAN sebenarnya ikut mendukung opsi A atau sejalan dengan Demokrat dan PKB. Namun, menurut dia, PAN sejak awal termasuk sangat kritis dalam menyikapi kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan bailout (dana talangan) Bank Century. Bahkan, dalam kesimpulan awal pansus, PAN termasuk fraksi yang menganggap kebijakan itu penuh dengan pelanggaran. "Patron utama PAN, Amien Rais, juga berkali-kali mengatakan betapa janggalnya kebijakan bailout kepada media serta meminta Boediono dan Sri Mulyani untuk mundur," ucap Dodi. Dia lantas menyatakan, survei LSI per April 2010 menunjukkan bahwa partai-partai oposisi dan pseudokoalisi ternyata tidak mendapatkan insentif politik nyata berupa peningkatan dukungan publik. Dodi menyebut satu per satu perolehan dukungan publik parpol-parpol tersebut. Yakni, Golkar 11 persen, PDIP 9 persen, PKS dan PPP masing-masing 3 persen, PAN 2 persen, serta Gerindra dan Hanura masing-masing 1 persen (selengkapnya lihat grafis). "Pascapansus, dukungan kepada partai oposisi atau pseudokoalisi cenderung turun daripada hasil Pemilu 2009," papar Dodi. Dodi menambahkan, untuk menjadi oposisi yang signifikan secara politik di tingkat massa, parpol harus punya kekuatan kredibel jika dibandingkan dengan pemerintah di mata pemilih. Termasuk, tokoh-tokoh utama di balik kekuatan oposisi tersebut. Membangun kredibilitas, papar Dodi, tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan hanya berangkat dari satu kasus, seperti Bank Century saja. Data survei LSI terbaru tersebut dikumpulkan pada 3-13 April lalu secara nasional melalui wawancara tatap muka terhadap 1.320 responden. Adapun margin of error-nya 3 persen pada derajat kepercayaan 95 persen. Dana survei itu bersumber dari Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) yang menaungi LSI. Sementara itu, Amir mengatakan bahwa kelompok oposisi maupun pseudokoalisi mungkin menganggap sikap mereka heroik. Namun, masyarakat yang punya penilaian lain justru tidak mengapresiasi sikap itu. Di pihak lain, Ade menyatakan kaget dengan temuan tersebut. Sebelumnya, dia optimistis karena data LSI per Maret 2010 menunjukkan bahwa Golkar mendapatkan 14 persen dukungan publik. "Tapi, tidak usah terlalu ambil pusing. Pemilu masih lama, masih empat tahun lagi. Masih banyak waktu untuk melakukan perubahan," papar dia. Ganjar mengingatkan, tren dukungan publik terhadap Demokrat juga cenderung terus turun, dari 32 persen per Februari 2010 menjadi 29 persen per Maret 2010, lalu 27 persen per April 2010. "Jadi, semuanya turun," ucap Ganjar. Menurut dia, setelah kasus Century, rakyat sebenarnya terus memotret perilaku partai. "Mulai ada kebosanan ketika terkesan hanya prosedural. Mulai isu peti es, power sharing, hingga bagi-bagi kue." Itu berarti SBY tidak hanya memimpin lembaga eksekutif sebagai presiden, tetapi juga memimpin hampir 75% suara di DPR yang dimiliki enam partai koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB). Harus pula ditambahkan bahwa tiga partai dari koalisi itu tidak hanya mendapat kursi di kabinet, tetapi di antara mereka ada yang mendudukkan sendiri ketua umum mereka sehingga mereka pun merupakan anak buah langsung Presiden Yudhoyono di kabinet. Mereka adalah Ketua Umum PAN Hatta Rajasa (menko perekonomian), Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (menteri agama), dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (menteri tenaga kerja dan transmigrasi). Tak kalah penting adalah mencermati makna politik di belakang apa yang disebut sekretariat bersama alias sekber. Di situ tersembunyi sedikit-dikitnya dua makna, yaitu koordinasi dan sentralisasi, yang dalam satu napas dapat dirumuskan sebagai garis komando. Garis komando politik itu pada intinya dipimpin SBY sebagai ketua sekber, dengan Aburizal Bakrie alias Ical sebagai ketua harian. Ini artinya, di dalam tubuh sekber, Ical selaku Ketua Umum Golkar menjadi bawahan SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Maka, empat ketua umum partai telah menjadi anak buah SBY. Siapa pun tahu ketua harian adalah komandan operasi sehari-hari. Dialah yang menggerakkan mesin politik sehari-hari. Dari satu sisi, hal itu bukti tersendiri tingginya kepercayaan (atau pulihnya kepercayaan) SBY kepada Ical. Tetapi dari sisi lain, hal itu menunjukkan kuatnya transaksi politik. Sekber Partai Koalisi lahir di Cikeas, kediaman pribadi SBY pada Kamis (6/5), hanya dua hari setelah Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatan menteri keuangan. Sri Mulyani adalah seteru Ical karena Sri Mulyani berani tegas terhadap kepentingan bisnis Ical. Fakta lain pun harus ditambahkan, yaitu begitu Sri Mulyani mundur dari jabatannya, bertiuplah kencang bahwa Golkar tidak akan meneruskan lagi kasus Century. Padahal, sebelumnya Golkar termasuk yang bersikeras. Dari sudut sejarah sebenarnya tiada perkara yang baru. Dari 'sono'-nya, sepanjang hayat hidupnya, Golkar bukan partai oposisi. Golkar adalah partai yang cinta kekuasaan dan sangat menikmati hidup bergelimang kekuasaan. Kritis dan keras dalam kasus Century di DPR 'post factum' sekarang harus dilihat semata sebagai alat tawar. Dan berhasil. Begitulah, penyeragaman dan hegemoni terbentang di depan mata. DPR akan menjadi tukang ketuk maunya pemerintah yang disetir melalui satu markas komando yang mendominasi suara dan kepentingan. Dengan nada pahit kita mesti bilang, sejarah Orde Baru menjelang terulang kembali. Sumber: jawapost,irib,berbagai sumber lainnyaMengapa Pamor Parpol Kian Menurun?
Home � Berita , Breaking News � Sejarah Orde Baru terulang kembali
Sejarah Orde Baru terulang kembali
Posted by cinta Islam on 5:22 PM // 0 comments
Kecurigaan publik terhadap para politisi tak pernah selesai. Kasus Bank Century yang sempat menumbuhkan harapan di hati rakyat tentang kejujuran elit politik di Indonesia. Namun seperti ditulis Jawa Pos, sikap kritis atau beroposisi dalam Pansus Hak Angket Bank Century ternyata belum mampu mendongkrak pengaruh positif publik terhadap sejumlah partai politik (parpol). Jika dibandingkan dengan perolehan suara dalam pemilu legislatif pada April 2009, tingkat elektabilitas parpol-parpol tersebut justru turun.
Mengkhawatirkan Munculnya Orba Jilid II
Publik terus memantau kinerja para politisi termasuk Presiden. Ada kekhawatiran bahwa SBY berusaha mengontrol seluruh kekuatan politik di dalam negeri. Editorial Media Indonesia mengulas hal ini. Kekhawatiran itu muncul dengan terbentuknya Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi, yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, yang juga adalah presiden, kepala negara, dan kepala pemerintahan.
Yang juga perlu digarisbawahi, sekber itu merupakan wadah permanen. Padahal koalisi yang menjunjung tinggi konstituen mestinya bergantung kepada isu dan
program. Bukankah tiap-tiap partai membawa isu dan program masing-masing yang dijanjikan kepada rakyat sewaktu pemilu? Bukankah tiap-tiap partai seharusnya membela isu dan program itu di parlemen? Bukan di lembaga nonkonstitusional yang bernama Sekber Koalisi Partai!
0 comments to "Sejarah Orde Baru terulang kembali"