Propaganda anti-Islam semakin digalakkan di Barat. Akan tetapi upaya itu malah berdampak kontraproduktif. Akibatnya, masyarakat Barat lebih cenderung ke spiritualitas, bahkan mereka senang mempelajari agama Islam. Hal ini tentunya membuat kekhawatiran tersendiri bagi negara-negara pengklaim pendukung demokrasi, kebebasan dan hak-hak sipil masyarakat muslim.
Perancis termasuk negara yang ada di posisi terdepan dalam membatasi ruang gerak ummat Islam. Meski Perancis disebut-sebut sebagai negara pengklaim pembela hak-hak perempuan, namun kondisi wanita, khususnya kalangan minoritas dan imigran, sangat mengkhawatirkan. Pemerintah Perancis berlindung pada klaim menjaga hak-hak perempuan muslimah, meratifikasi undang-undang yang membatasi ruang gerak perempuan muslimah dalam menerapkan ajaran-ajarannya seperti pemakaian jilbab.
Perancis termasuk negara terbesar yang mengklaim diri sebagai pembela hak-hak asasi manusia dan kebebasan. Namun apa yang dilakukan negara ini untuk hak-hak muslimah? Pada tanggal 11 April 2011 Perancis menerapkan undang-undang kontroversial yang melarang burqa. Berdasarkan undang-undang tersebut, polisi Perancis dibenarkan menangkap perempuan yang mengenakan burqa di tempat umum. Tidak hanya itu, mereka juga dikenakan denda 150 Euro. Sementara itu, laki-laki yang memaksa istrinya atau saudara perempuannya akan diganjar penjara selama setahun dan dikenai denda uang sebesar 30 ribu Euro. Sebelumnya, pemerintah Perancis juga meratifikasi undang-undang yang isinya melarang masuknya perempuan berjilbab ke sekolah-sekolah. Dengan aturan itu, para perempuan yang berjilbab terpaksa menanggalkan jilbab mereka.
Pada tahun 1983, Perancis bergabung dalam Konvensi Anti-Diskriminasi Perempuan. Meski demikian, masih banyak pelanggaran perempuan di negara ini. Pada pasal 20 Konvensi Anti-Diskriminasi Perempuan tercantum bahwa penggunaan pakaian agamis di sekolah-sekolah tidak seharusnya menjadi penghalang untuk aktivitas belajar dan partisipasi sosial. Sementara itu, pemerintah Perancis malah memberlakukan pengetatan serius bagi para perempuan yang berjilbab. Padahal penduduk muslim di Perancis sebesar 6 juta warga. Dengan demikian, Perancis dapat dikatakan sebagai negara yang mempunyai penduduk muslim terbesar di 27 negara anggota Uni Eropa.
Bersamaan dengan maraknya kebijakan anti-Islam dan pembatasan ruang gerak muslim di Perancis, lembaga-lembaga internasional seperti Amnesti Internasional, mengkritik keras larangan burqa di tempat-tempat umum. Sejumlah anggota Amnesti Internasional dalam wawancara mereka dengan Kantor Berita AFP menyatakan bahwa larangan burqa itu sama halnya dengan pencabutan kebebasan beragama bagi muslimah.
John Dalhuisen, seorang pakar yang aktif di Amnesti Internasional, mengatakan, "Dalam konteks kaidah universal, hak-hak yang berhubungan dengan kebebasan beragama mempunyai konsekuensi bahwa masyarakat mempunyai hak pilih untuk berpakaian. Hal ini tak dapat dijadikan sebagai argumentasi untuk menilai buruk dan baiknya cara berpakaian bagi sebagian kecil dan besar masyarakat. Jika tidak, itu sama halnya pembatasan hak."
Pada intinya, para aktivis hak asasi manusia (HAM) berkeyakinan bahwa ratifikasi sejumlah undang-undang seperti larangan burqa berkontradiksi dengan Konvensi Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa yang menjamin hak kebebasan manusia.
Jilbab dalam pandangan Islam mempunyai hukum wajib. Aspek jilbab sebagai ajaran Islam sama sekali tak dihiraukan oleh pemerintah Perancis. Veil, sebuah buku berbahasa Inggris yang ditulis sejumlah penulis dan pakar, mengungkapkan dan mengkritik pandangan keliru sejumlah politisi Barat terkait jilbab yang dikenakan muslimah.
Buku itu juga memuat wawancara para perempuan muslimah dengan Karen Hughes, Mantan Deputi Departemen Luar Negeri AS. Disebutkan, "Para perempuan dengan lantang dan transparan kepada Hughes mengatakan, jilbab tidak membuat posisi mereka rendah. Barat harus menyadari bahwa musuh terbesar di tingkat global bagi hak perempuan muslimah bukanlah agama dan simbol-simbolnya, tapi musuh sebenarnya adalah kemiskinan, pendidikan minimum dan neo-imperialisme.'
Pakaian setiap orang mencerminkan keyakinan, nilai dan budaya. Jilbab dalam Islam mencerminkan nilai dan keyakinan seorang muslimah. Lebih dari itu, Jilbab juga dapat dikatakan sebagai sikap perempuan yang siap beraktivitas di publik dengan menutupi tubuhnya. Dengan ungkapan lain, Islam menawarkan jilbab sebagai solusi bagi wanita untuk melakukan aktivitas di tengah masyarakat tanpa adanya gangguan hawa nafsu dari kaum laki-laki. Dengan cara itu, perempuan dapat melakukan aktivitas sosial dengan sehat. Inilah yang dikehendaki Islam untuk menjaga kehormatan perempuan melalui jilbab.
Sementara itu, Barat tetap mempopulerkan budaya telanjang dan bebas seks dan cenderung menjadikan perempuan sebagai daya tarik bagi birahi kaum laki-laki. Dengan alasan kekhawatiran atas menyebarnya budaya Islam, Barat malah menjadikan jilbab sebagai bentuk pelanggaran hukum. Para perempuan berjilbab pun dikesankan menjadi korban pengekangan dan tidak mempunyai kebebasan.
Mr Hempher, seorang mata-mata terkenal asal Inggris, ketika berbicara soal tujuan Barat untuk memberangus Jilbab, mengatakan, "Perempuan muslimah mempunyai pakaian jilbab yang kokoh. Karena jilbab itu, kefasadan tak dapat menembus perempuan muslimah yang berjilbab. Untuk itu, perempuan muslimah harus dikeluarkan dari pakaian jilbabnya."
Sebagaimana diketahui, memakai jilbab bagi perempuan muslimah adalah wajib. Hukum itu bertujuan supaya perempuan aman dari pandangan laki-laki bukan muhrim. Allah Swt menekankan jilbab dan harga diri perempuan dalam surat Nur ayat 31 dan surat Al Ahzab ayat 59.
Dengan jilbab itu, muslimah yang berjilbab merasa lebih nyaman dan aman. Hal ini telah terbukti di seluruh penjuru dunia. Lebih dari itu, muslimah merasa lebih percaya diri dan terhormat. Jilbab telah menjadikan perempuan sebagai sosok manusia, bukan lagi dipandang dengan sudut pandang hawa nafsu.
Wendy Shelit, penulis asal AS menyinggung kondisi Barat yang tidak aman dan menyebut jilbab sebagai faktor yang diharapkan untuk menjaga keamanan bagi para perempuan. Dikatakannya, "Kami berada dalam kondisi sensitif dari sisi budaya. Barat kini tengah menghadapi kehancuran sosial. Generasi baru yang diliputi kebebasan tanpa batas, malah menghendaki nilai-nilai fitrah."
(irib/18/4/2011)
0 comments to "Jilbab dan Anti-Islam di Barat"