Home � � Melacak Peta Human Trafficking di Indonesia [2]

Melacak Peta Human Trafficking di Indonesia [2]

Kasus perdagangan manusia (human trafficking) kerap dikaitkan dengan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Selain itu, hal yang paling mudah terpikirkan adalah korban yang ternyata mayoritas anak-anak yang dijadikan pekerja seks komersil (PSK). Menurut sebuah sumber, motif adopsi anak pada keluarga modern di sejumlah negara maju menjadi salah satu penyebab dagangan para trafficker laris manis. Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan bahkan rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya. Sementara itu di sisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan.

Misalnya saja, berita hilangnya 300 anak pascatsunami di Aceh yang kabarnya dilarikan oleh sebuah LSM. Banyak pihak menduga anak-anak itu dilarikan ke Amerika.

Selain itu, selama tahun 2007 misalnya, Gugus Tugas Antitrafiking Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (GTA MNPP) menemukan ada 500 anak Indonesia yang diperdagangkan ke Swedia.

Para trafficker tidak hanya mengambil anak-anak usia balita, usia sekolah atau remaja saja. Janin pun bisa mereka tampung. Laporan dari sumber tersebut menyebutkan, di perbatasan Indonesia-Malaysia misalnya, pada tahun 2003 harga orok bermata sipit dan berkulit putih dihargai sekira 18.000-25.000 Ringgit Malaysia. Sedangkan untuk orok bermata bundar dan kulit gelap dihargai 10.000-15.000 Ringgit Malaysia.

Memperkerjaan anak-anak kerap dianggap menguntungkan karena perusahaan tidak perlu membayar tinggi. Anak-anak korban trafficking bahkan bisa tidak dibayar sama sekali. Mereka hanya diberikan tempat tidur dan makanan. Itu pun tidak layak.

Keuntungan perusahaan yang berlipat ganda itu kemudian melahirkan konsep perbudakan di sejumlah negara.

Anak-anak juga sering dipekerjakan untuk kepentingan eksploitasi seksual. Mereka dijadikan pelacur maupun bentuk eksploitasi lainnya. Sebuah sumber menyebutkan, Organisasi buruh Internasional (ILO) memperkirakan 30 persen dari 240 ribu pekerja seks komersial di Indonesia tahun 2004 adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun.

Di Malaysia, jumlah pekerja seks komersial ?cilik' yang berasal dari Indonesia, yang berhasil dicatat Kepolisian Diraja Malaysia pada tahun 2001 berjumlah 2.451 orang, tahun 2002 sebanyak 2.151 orang, tahun 2003 sebanyak 2.112 orang, dan tahun 2004 sebanyak 2.158 orang.

Data di Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan saat ini ada 3 juta TKW di luar negeri. Sepuluh persen diantaranya bermasalah, seperti soal pembayaran gaji yang tidak beres, menjadi korban kekerasan, dan permasalahan dokumen. Dari jumlah yang bermasalah, sekira 30 ribu hingga 60 ribu orang merupakan TKW korban trafficking yang mayoritas masih masuk kategori usia anak-anak.

Tags:

0 comments to "Melacak Peta Human Trafficking di Indonesia [2]"

Leave a comment