Fenomena Tentara Anak (1)
Ketika Anak-Anak Dipaksa Jadi Pejuang
Mantan tentara anak tinggalkan kamp Dudhauli, Nepal (Foto: Daylife)
TENTARA anak bukan muncul ke permukaan pada memanaskan konflik berdarah di Benua Afrika. Sejak zaman dulu, anak-anak digunakan sebagai para petempur yang tangguh dalam konflik bersenjata.
Bahkan bisa dikatakan perang tidak bisa dipisahkan dengan tentara anak. Di mana pun dan kapan pun! Sejarah telah mencatat itu. Awalnya anak-anak secara tidak langsung telah turut serta dalam konflik bersenjata. Pada waktu itu anak-anak hanya dapat dikatakan sebagai penggembira, yakni sebagai penabuh genderang perang. Dari sinilah perkembangan menuju sesuatu yang tidak baik: anak-anak mulai direkrut menjadi kadet sebuah angkatan perang. Pada akhirnya dimulailah babak baru sebuah fenomena anak-anak yang tergabung dalam angkatan perang.
Yang pertama menerapkan pemanfaatan tentara anak adalah Yunani Kuno. Sparta merupakan negara yang didasarkan pada masyarakat militeristik. Tak ayal, anak-anak kecil pun dipaksa keluar dari rumah dan dilatih menjadi militer yang andal. Dengan mengandalkan mitos bahwa orang Sparta adalah pejuang perang menjadi anak-anak semakin semangat. Kemudian Kesultanan Otoman, Turki, pada 1300-an juga dicatat memiliki sejarah terkait tentara anak. Kesultanan Otoman menculik anak-anak lelaki yang beragama Kristen dan mereka dicuci otak agar loyal kepada Sultan, penguasa Kesultanan Otoman. Dengan latihan yang keras, anak-anak itu menjadi unit elite militer di Timur Tengah dan Eropa.
Mereka disebut dengan nama Janissaries. Amerika Serikat pun pernah memanfaatkan anak-anak dalam medan pertempuran. Pada 1861, Presiden Abraham Lincoln mengumumkan bahwa anak-anak lelaki di bawah usia 18 tahun dapat masuk barisan tempur dengan perhatian penuh dari orang tuanya. Setahun kemudian dia melarang tentara anak-anak masuk dalam pasukan perang. Data yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch, sekira 300.000 tentara di bawah usia 18 tahun sekarang ini berperang dalam konflik bersenjata di 30 negara.
Sumber lain mengatakan saat ini ada lebih dari 300.000 anak-anak di bawah usia 18 tahun ikut berperang di lebih dari 60 negara. Banyak dari mereka remaja, namun tidak sedikit juga yang baru berusia 10 tahun, bahkan kurang. Mereka kadang bertindak lebih kejam ketika menghadapi lawan-lawannya. Berdasarkan konvensi internasional, tentara anak dilarang. Pasal 38 Konvensi Hak Anak tahun 1989 mewajibkan negara sebagaimana dikatakan di dalam Pasal 77 (2) Protokol Tambahan I meletakkan kewajiban pada para pihak yang terlibat konflik untuk tidak merekrut anak-anak yang belum mencapai 15 tahun ke dalam angkatan bersenjata dan melibatkan mereka secara langsung dalam pertempuran.
Pasal 4 ayat 3 Protokol Tambahan II 1977 Konvensi Jenewa 1949, yang digunakan bagi konflik internal suatu negara, anak-anak yang usianya belum mencapai 15 tahun tidak dapat direkrut ke dalam angkatan perang atau di dalam kelompok-kelompok yang terlibat atau ambil bagian dalam suatu konflik. Pemanfaatan untuk membantu kegiatan konflik bersenjata atau bahkan justru menggunakan anak-anak untuk berada di garis depan suatu konflik bersenjata tidak saja melanggar Hukum Humaniter Internasional tetapi juga melanggar Hukum Internasional, yakni Konvensi Hak Anak (The Convention on the Rights of the Child) yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 November 1989.
Kemudian Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 182 tahun 1999 juga memberikan pengaturan mengenai perlindungan anak dalam sengketa bersenjata, khususnya mengenai perekrutan anak untuk digunakan dalam sengketa bersenjata.(Koran SI/Koran SI/mbs
Fenomena Tentara Anak (2)
"Kami Semua Ingin Menjadi Rambo"
“USAI makan pagi, kami berbaris menghadap sang kopral. Sang kopral mengambil senjata dari dalam peti kayu dan memberikannya padaku. Sejenak aku ragu, tapi dia mendorongkan senjata itu ke dadaku.
Dengan tangan gemetar, aku menerima senjata itu, memberi hormat kepadanya, dan berlari ke belakang barisan, masih menggenggam senjata itu tapi takut melihatnya. Kami dibawa ke sebuah kebun pisang, tempat belajar menusuk pohon pisang dengan bayonet. Kami diminta membayangkan pohon-pohon itu sebagai musuh yang kejam: para pemberontak yang telah membunuh orang tua kami dan yang bertanggung jawab atas semua yang telah menimpa kami.”
Demikian salah satu kutipan dalam memoir yang ditulis Ismael Beah, mantan tentara anak, dalam “A Long Way Gone”. Beah menceritakan ketika usianya 12 tahun saat ia direkrut menjadi tentara anak-anak propemerintah di Sierra Leone. Beah dilatih menjadi tentara anak yang melawan para pemberontak. Untuk memicu keberaniannya, Beah dan kawan-kawannya disediakan berbagai jenis narkoba seperti amfetamin, mariyuana, dan campuran kokain dengan bubuk mesiu yang dikenal dengan nama brown-brown membuatnya menjadi pembantai yang kejam.
Selain dipengaruhi dengan doktrin dan narkoba, para tentara anak pun diajak berimajinasi dengan menonton film perang dan kepahlawanan, seperti film Rambo: First Blood, Rambo II, dan Commando. “Kami semua ingin menjadi Rambo; kami tak sabar mempraktikkan teknik-tekniknya,” demikian tulis Beah. Itu semua dijalani selama dua tahun. Meski akhirnya dewi fortuna berpihak padanya karena dia pindah ke Amerika Serikat dan menamatkan sekolah. Hingga dia meraih gelar sarjana muda bidang ilmu politik. Bukan hanya Beah semata yang pernah menjadi tentara anak.
Ceritanya pun hampir sama, kebanyakan mereka diculik dan dipaksa menjadi kepanjangan tangan para pemerintah atau pemberontak. “Kami dalam perjalanan pulang dari sekolah ketika bertemu dengan para pemberontak. Mereka memaksa kami membawa barang mereka dan memerintahkan kami ikut mereka,” ungkap Jean Vierre, nama samaran seorang anak yang berusia 16 tahun yang terjebak dalam pertempuran di wilayah timur Republik Demokratik Kongo, seperti dikutip dari BBC. Namun, dia bersama kawannya berhasil melarikan diri setelah dua hari diculik, dan mereka sempat melihat sesama anak-anak dalam situasi yang sama.
Sulit bagi mantan tentara anak bisa melupakan pengalaman hidupnya di tangan kaum pemberontak.“Saya waktu itu tahu benar, saya akan mati karena tertembak atau penyakit karena tidak ada obat atau perawatan yang tersedia. Saya tidak suka itu. Tetapi tidak ada jalan keluar bagi saya saat itu. Saya hanya menunggu hari kematian saja sehingga semuanya bisa berakhir,” papar John, salah satu mantan tentara anak di Kongo. Memang, tentara anak diidentikkan dengan bocah lelaki Afrika yang memegang senjata. Tapi, tentara anak sebenarnya bukan hanya di Afrika.
Salah satunya adalah Sri Lanka. Adalah Vinojan, salah satu anak yang harus menelan pil pahit pengalaman menjadi tentara anak. Dia terpaksa bergabung dengan kelompok pemberontak Macan Tamil untuk menyelamatkan kakaknya dari wajib militer pemberontak. Vinojan terpaksa bergabung dengan pejuang pemberontak Macan Tamil pada 2007 untuk menggantikan kakaknya yang baru berusia 18 tahun. Keluarganya sempat menghindari panggilan Macan Tamil tersebut dengan bersembunyi di hutan. Namun, Vinoja tak bisa melepaskan diri dari wajib militer ala Macan Tamil.
“Kami semua ketakutan dan selalu ingin mundur. Saya tidak pernah mengarahkan tembakan ke siapa pun, saya selalu menembak secara acak,” tutur Vinojan. Bagi para tentara anak yang ingin melarikan diri akan selalu ditakut-takuti. “Salah satu teman saya ditutup matanya, diperintahkan berlutut, dan ditembak di hadapan kami,” tutur Vinojan. Setelah Macan Tamil bertekuk lutut kepada pasukan pemerintah, Vinoja hanya ingin menjadi orang biasa saja. Kini, Vinoja dan para mantan tentara anak bisa mengecap pendidikan, meskipun terlambat.
“Anak-anak itu memiliki niat yang keras untuk belajar. Mereka tidak ingin berbicara mengenai masa lalunya yang kelam. Mereka ingin melupakannya. Kami pun berusaha untuk memotivasi anak-anak yang sebelumnya kurang beruntung itu,” kata salah satu guru di Sri Lanka yang mendidik para mantan tentara anak, seperti dikutip dari BBC.(Koran SI/Koran SI/mbs)
Fenomena Tentara Anak (3)
Dari Tradisi Sampai Penculikan
Tak semua anak-anak di seluruh dunia ini bisa menikmati masa kanakkanaknya. Di beberapa belahan, mereka justru dieksploitasi, tak hanya fisik, mereka bahkan harus merelakan nyawa mereka sebagai tentara.
Bocah berusia sembilan tahun itu tampak kikuk saat duduk di belakang meja yang penuh mikrofon dan kilatan kamera dari segala sisi di sebuah ruang konferensi hotel yang padat. Di atas meja tempat Akram –bocah itu– duduk tergantung sebuah poster besar yang memperlihatkan seorang bocah laki-laki Yaman dengan pakaian tradisional warna cokelat, memegang sebuah detonator di salah satu tangannya, sementara tangan lainnya mengangkat bajunya yang memperlihatkan adanya paket bom yang diikatkan di kakinya. Di bawahnya tertulis, ”Katakan tidak pada eksploitasi anak untuk operasi penghancuran dan terorisme.”
Akram baru saja tertangkap. Pemerintah menyatakan, bocah berusia sembilan tahun itu ditangkap karena diduga akan menjadi seorang pelaku bom bunuh diri. Di tubuhnya, ditemukan sebuah bom saat dia berada di Kota Tua Saada, kawasan utara Yaman yang menjadi markas klan Houthi. Selama lima tahun, klan itu telah memimpin pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah di Ibu Kota Sanaa. Dengan kaki diikat bahan peledak di kedua kakinya dan sebuah detonator di tangannya, foto itu tampaknya memperlihatkan kekejaman peningkatan perang itu, seorang anak dipaksa membawa bom oleh pemberontak yang tidak melakukan apapun untuk mencegah korban dan menghentikan teror.
“Memanfaatkan anak-anak untuk perang itu salah,” ujar Akram buka suara dalam konferensi itu. Eksploitasi Akram sebagai tentara anak di Yaman itu tak terlalu aneh. Budaya anak-anak di bawah 18 tahun membawa senjata di masyarakat pribumi Yaman sudah mendarah daging. Beberapa kelompok pemerhati hak perlindungan anak memperkirakan beberapa ribu anak terlibat dalam perang bersenjata. “Kami punya omongan di sini,” ujar Ahmed al-Gorashi, ketua Seyaj, LSM lokal yang berusaha mencegah penggunaan tentara anak, kepada Al Jazeera.
“Kalau Anda sudah cukup umur membawa jambiya (belati tradisional yang biasa diselipkan di ikat pinggang pria Yaman) maka, Anda sudah cukup umur untuk bertarung bersama suku Anda. Dan, anak-anak membawa jambiya sejak berusia 12 tahun.” Di seluruh kawasan pinggiran Yaman, bahkan sudah umum melihat bocah laki-laki berusia 13 atau 14 tahun membawa Kalashnikov saat mereka menumpang bak belakang pik upbersama suku mereka.
Tidak ada data akurat tentang berapa jumlah anak yang digunakan sebagai tentara di Yaman. Menurut Ketua Dar as-Salaam Organisation to Combat Revenge and Violence –LSM lokal– Abdul- Rahman al-Marwani, setidaknya 500-600 anak tewas atau luka-luka saat terlibat langsung dalam perang antarsuku di Yaman tiap tahunnya.
Masalah tentara anak di Yaman sekarang sudah menjadi perhatian komunitas internasional dan badan hak anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNICEF, yang telah ditugasi untuk melaporkan masalah itu. Yaman adalah sebuah bagian di Konvensi Hak Anak dan diratifikasi pada 2007 kedua protokol opsionalnya yang mensyaratkan agar negara melakukan apa saja yang mereka bisa untuk mencegah anak di bawah 18 tahun terlibat langsung dalam peperangan. Kegagalan mencegah anak ikut serta dalam konflik dianggap sebagai kejahatan perang oleh jaksa di Pengadilan Kriminal Internasional.
Sementara itu, di Pakistan, baru-baru ini pasukan keamanan setempat menyelamatkan puluhan anak-anak yang direkrut paksa Taliban sebagai tentara anak di Provinsi North West Frontier. Beberapa pejabat mengungkapkan, anak-anak itu dilatih untuk menjadi pelaku bom bunuh diri dan memperingatkan masih ada ratusan lainnya yang disandera Taliban. “Mereka sudah dicuci otak dan dilatih sebagai pelaku bom bunuh diri, tapi sembilan yang saya temui tampaknya ingin kembali ke kehidupan normal,” papar Letnan Jenderal Nadeem Ahmed, kepala kelompok pendukung khusus yang bertugas menangani kembalinya pengungsi di Swat Valley dan kawasan sekitarnya.
“Tampaknya ada sekitar 300-400 anak yang diambil paksa atau dilatih Taliban.” Mayor Nasir Ali, juru bicara pasukan di Swat, mengungkapkan sebagian besar anak-anak yang diselamatkan dibawa dari sebuah kamp latihan Taliban saat penggerebekan, beberapa di antaranya menyerahkan diri secara suka rela. “Kesaksian dari anak-anak ini adalah bahwa masih ada banyak kasus seperti ini,” ujarnya, saat dikutip BBC. “Kami meminta dan kembali meminta kepada publik, kepada orang tua, jika mereka tahu kasus seperti ini, mereka harus mengontak kami. Kami janji akan melakukan yang terbaik untuk mengembalikan mereka.”
Seorang menteri di Provinsi North West Frontier, Bashir Ahmad Bilour, mengungkapkan, puluhan anak yang diculik berusia 6-15 tahun. “Mereka disiapkan secara mental. mereka dicuci otak pada sebuah pandangan ekstrem bahwa mereka siap membunuh orang tua mereka yang mereka sebut kafir,” papar Bilour. Kepada Al Jazeera, analis politik dan pertahanan Fakhar Rehman, mengungkapkan ada beberapa laporan ke polisi tentang penculikan tidak hanya di Swat, tapi juga di Waziristan Utara dan Selatan.
“Baru-baru ini, ketika kesepakatan damai terjadi antara militan dan pemerintahan provinsi untuk pemberlakuan hukum Syariah, anak-anak diculik dan digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri atau Taliban mengancam orang tua mereka untuk memberikan anak laki-laki untuk direkrut,” papar Rehman. Banyak anak lain yang dilaporkan hilang dari orang tuanya yang mengatakan anak mereka diculik Taliban. “Kami belum melihat usaha pemerintah menyelesaikan masalah ini,” paparnya.
Dari Nepal, lebih dari 200 tentara anak pada Selasa (5/1/2010) sudah mulai meninggalkan kamp hutan mereka sebagai bagian dari kesepakatan damai yang mengakhiri pertumpahan darah empat tahun lalu antara Maoist dan pemerintah. Kelompok itu adalah yang pertama dari hampir 4.000 mantan tentara Maoist, sebagian berusia di bawah 18 tahun saat kesepakatan itu ditandatangani pada 2006, yang meninggalkan kamp hutan di seluruh Nepal bulan depan dan berusaha memulai hidup baru.
Dengan mengenakan kalung bunga, mantan pejuang anak-anak itu meninggalkan kamp, melambaikan tangan pada mantan komandan angkatan bersenjata Maoist Pasang di kamp di sekitar 100 km tenggara Kathmandu. Mantan tentara anak-anak, sebagian besar sudah berusia 20-an sekarang, meninggalkan kamp itu dengan lima bus dan menuju ke desa mereka. Pembebasan tentara anak ini akan membuat Maoist dihapus dari daftar PBB mengenai organisasi yang menggunakan anak-anak dalam konflik.
Kelompok HAM mengungkapkan bekas pemberontak itu merekrut anak-anak itu secara paksa saat terjadi konflik, kadang dengan meminta satu orang dari tiap rumah di kawasan yang mereka kuasai, meski beberapa ada yang bergabung secara suka rela. “Pembebasan anak-anak muda ini mengirimkan pesan simbolik untuk tahun baru,” papar Gillian Mellsop, wakil UNICEF untuk Nepal, kepada AFP. “Bukan hanya karena anak-anak ini bisa mendapatkan hidup mereka, tapi juga menandai dimulainya awal dekade baru untuk Nepal sehingga mereka bisa maju untuk mewujudkan masa depan yang lebih stabil dan damai.”
Sementara, Fatin Abbas dari Harvard University, yang telah menulis berbagai macam makalah tentang Afrika, mengungkapkan, Afrika adalah episenter fenomena tentara anak. UNICEF memperkirakan ada 33.000 anak laki-laki dan perempuan terlibat dalam perang di Kongo. Sementara, selama perang sipil di Sierra Leone dari 1991-2001 antara pemerintah dan Front Persatuan Revolusioner, 80 persen pejuangnya berusia antara 7-14 tahun. “Dalam dua perang sipil yang telah meremukkan Liberia antara 1989 dan 2003, 70 persen tentara pemerintah dan pemberontak adalah anak-anak,” ungkap Abbas, dikutip UPI.
Di Somalia, puluhan anak-anak, paling muda berusia 8 tahun, direkrut dan dilatih gerakan Islam al-Shebab untuk memerangi Pemerintahan Federal Transisional. Sementara sebelum pemberontakan Tamil di Sri Lanka berakhir pada Juli 2009, UNICEF melaporkan lebih dari 6.000 kasus rekrutmen anak oleh pemberontak Pembebasan Macan Tamil Eelam antara 2003-2008.
Macan Tamil mempertahankan brigade bayi dengan anggota paling muda berusia 11 tahun. Riset yang dilakukan di El Salvador, Etiopia dan Uganda memperlihatkan bahwa hampir sepertiga tentara anak yang disurvei adalah anak perempuan.(Koran SI/Koran SI/mbs)
Home � Berita , Serba Serbi � Tentara Anak....
Tentara Anak....
Posted by cinta Islam on 3:18 PM // 2 comments
Kalo anak jadi tentara, senjatanya bisa macam-macam. termasuk nangis dan ada yg paling dahsyat. dengan pake senjata "ngencingi"
makasih atas komennya ya saudaraku