Antara Teheran dan Gaza
Oleh: Dina Y. Sulaeman*
[Dimuat di harian Singgalang (Padang) edisi hari ini (19/1/2009)]
Agaknya, kata “Poros Setan” yang pernah diucapkan George W. Bush (Amerika dan sekutunya setan besar) sudah sering didengar warga dunia. Yang dimaksud dengan “Poros Setan” oleh Bush adalah Iran, Suriah, dan Korea Utara. dianggap ‘setan’ oleh Bush karena mendukung Hamas, sebuah organisasi yang oleh AS dan sekutunya dikategorikan sebagai ‘teroris’. Padahal, bila kita sedikit saja membaca sejarah Palestina, dengan segera kita akan menangkap siapa yang teroris dan siapa yang menjadi korban teroris. Meski pembagian wilayah Israel-Palestina sudah ditetapkan oleh PBB tahun 1947 melalui Resolusi 181, namun Israel tak pernah berhenti memperluas wilayahnya. Tahun 1967, Israel bahkan menjajah Jalur Gaza dan Tepi Barat (dua kawasan terpisah yang sudah ditetapkan PBB sebagai wilayah Palestina).
Melalui perundingan Oslo 1993-1995, Israel bersedia mengembalikan sebagian wilayah jajahannya itu kepada Otoritas Palestina. Namun, di luar proses perundingan itu, Israel tak pernah henti memperluas wilayahnya dengan cara mendirikan permukiman Yahudi di atas ladang-ladang dan reruntuhan rumah orang-orang Palestina. Hal ini bertentangan dengan Konvensi Jenewa IV pasal 29 menyebutkan, “pihak penjajah tidak boleh memindahkan sebagian penduduknya di kawasan yang sedang dijajahnya.” Berlanjutnya pembangunan permukiman Israel itu (yang disertai dengan perebutan tanah, penyerangan kepada perkampungan-perkampungan Palestina di sekelilingnya) membuat PBB akhirnya pada bulan April 2005 mengeluarkan ‘kutukan’, namun tanpa sanksi apapun. Sehingga tetap saja Israel bergerak mencaplok tanah orang-orang Palestina. Bulan Agustus 2008, Human Right Watch kembali mengeluarkan pernyataan kecaman atas pembangunan permukiman, dengan menyebutnya sebagai “pelanggaran serius atas hak asasi warga Palestina.”
Lalu, tidakboleh kah bangsa Palestina berhak berjuang untuk merebut kembali tanah air mereka? Bahkan kenyataannya, mereka kini berjuang bukan untuk merebut kembali tanah air, melainkan untuk mempertahankan secuil tanah yang masih tersisa. Dan salahkah bila ada negara Islam seperti Iran memutuskan untuk mem-backing Hamas, pejuang garis depan di Palestina?
Bukti-bukti dukungan Iran kepada Hamas memang sangat banyak dan jelas. Pada bulan Desember 1990, untuk pertama kalinya,pimpinan Hamas diundang secara resmi ke Tehran dalam rangka Konferensi Palestina yang memang tiap tahun diadakan di kota itu. Tahun 1992, delegasi Hamas dipimpin Dr. Musa Abu Marzuk datang lagi ke Teheran dan dalam kunjungan itu, Iran menjanjikan bantuan 30 juta US Dollar. Pimpinan PLO saat itu, Yasser Arafat, dikabarkan tak menyukai adanya bantuan ini. Loncatan besar dalam hubungan Iran-Hamas tampak saat almarhum Syeikh Ahmad Yassin pada Maret 1998 melakukan kunjungan resmi ke Teheran. Selain pemerintah, masyarakat Iran menyambut kedatangan beliau dengan sangat antusias, tanpa memperdulikan perbedaan mazhab di antara mereka. Selanjutnya, Iran selalu mengeluarkan pernyataan dukungan kepada Hamas, dan Hamas pun menyebut Iran sebagai “partner strategis”-nya.
Puncaknya, tahun 2006, ketika Hamas menang pemilu demokratis pertama di Palestina dan menguasai parlemen, AS dan Uni Eropa menghentikan suplai bantuan mereka kepada Palestina. Padahal, Hamas sangat membutuhkan dana internasional untuk menjalankan roda pemerintahannya. Pada saat itu, Iran langsung menyediakan diri untuk menyumbang 50 juta Dollar per tahun kepada Hamas.
Kini, ketika Israel membabi-buta menyerang Jalur Gaza, kawasan yang luasnya hanya separoh kota Padang, tak heran bila Iran disebut-sebut. Betapa tidak, kelompok Hamas yang diprediksi hanya memiliki ratusan personil bersenjata minim, ternyata mampu bertahan meski tiga pekan penuh diserang secara masif. Jauh di luar dugaan Rezim Zionis yang memprediksi bahwa Hamas bisa lumpuh total hanya dalam dua-tiga hari. Padahal, sebelumnya, selama 18 bulan Gaza sudah diblokade total dari darat, laut dan udara. Bahkan suplai makanan dan obat pun seringkali dilarang masuk ke Gaza dalam era blokade 18 bulan itu. Wilayah yang sudah sekarat itu ternyata mampu menahan serangan dari puluhan ribu pasukan Israel bersenjata super lengkap.
Sebagian analis Timur Tengah di media-media Barat menuding Iran berada di balik kekuatan Hamas. VOA News dalam situsnya (6/1/2009) mengutip pendapat Reva Bhalla, analis Timur Tengah yang menyebut bahwa Iran menggunakan jaringan canggih Hizbullah untuk menyelundupkan senjata ke Gaza. Los Angeles Times (4/1/2009) menurunkan artikel provokatif yang membela aksi pembunuhan massal di Gaza dengan judul “In Gaza, the Real Enemy is Iran”. Menurut penulisnya, Yossi Klein Halevi, pengaruh Iran sudah sangat besar di Timur Tengah dan jika Israel berhasil menyingkirkan Hamas, Israel akan mampu meningkatkan kekuatan-kekuatan anti Iran di Timur Tengah. Halevi juga menyatakan bahwa jika Hamas kalah, artinya Iran juga kalah, sehingga Presiden Obama akan mampu menekan Iran dalam proses diplomasinya.
VOA News kemudian mengarahkan opini bahwa di balik semua dukungan Iran kepada Hamas adalah hitung-hitungan politik semata, apalagi Ahmadinejad akan bertarung lagi dalam pemilu Juni 2009. Hal ini dibantah oleh cendikiawan Iran yang mengajar di Syracuse University, Mehrzad Boroujerdi. Menurutnya, dalam pemilu di Iran, rakyat lebih mempertimbangkan faktor ekonomi dalam negeri, bukan politik luar negeri. Kandidat yang diperkirakan akan membawa perbaikan ekonomi lebih disukai rakyat Iran. Menurut saya, pendapat Boroujerdi sangat tepat. Saya menyaksikan dua proses pemilu di Iran, tahun 2001 dan 2005, yang dimenangkan Khatami dan Ahmadinejad. Selama masa kampanye, isu Palestina sama sekali tidak menjadi jargon. Agenda perbaikan ekonomi dan peningkatan lapangan kerja-lah yang menjadi pusat perhatian dalam arena kampanye.
Seiring dengan semua riuh-rendah persaingan politik dalam negeri, Palestina selalu menjadi bagian dari langkah Iran. Siapapun presiden yang terpilih, Palestina selalu mendapat porsi besar dalam kebijakan politik luar negerinya. Setiap sholat Jumat selalu didahului oleh yel-yel spontan para jamaah ‘Marg Bar Amrika, Marg Bar Israil!’ (Matilah Amerika, Matilah Israel!). Sebelum dan sesudah sholat Jumat, kotak sumbangan untuk rakyat Palestina selalu diedarkan.
Setiap bulan Ramadhan, selalu diadakan demo besar-besaran di seantero negeri, untuk mendukung Palestina. Pembelaan kepada Palestina seolah telah menjadi bagian kehidupan bangsa Iran dan lepas dari kecenderungan politik atau perbedaan mazhab.
Kini, ketika masyarakat dunia, baik itu muslim maupun non muslim tersentak dan menangis menyaksikan kebrutalan tentara Israel di Gaza, muncul pertanyaan, mengapa Iran tidak menggunakan kekuatan militernya secara langsung? Mengapa Iran tidak menggunakan rudal jarak jauhnya yang mampu menjangkau Tel Aviv itu? Bukankah aksi Israel sudah amat sangat biadab?
Jawaban resmi atas pertanyaan ini dari pemerintah Iran memang tidak ada. Namun, bila kita mengamati berbagai analis Barat yang seolah ‘menunggu’ kedatangan pasukan Iran di Gaza, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa memang Gaza disiapkan untuk menjadi jebakan maut bagi Iran. Kebrutalan Israel di Gaza yang sudah sampai ke luar kemampuan manusia normal untuk menyerapnya, seolah menguji ketahanan mental Iran, sejauh mana masih bisa diam. Bila Iran terprovokasi untuk melemparkan rudal Shahab-nya ke Israel, dengan segera, citra Iran sebagai negara teror yang selama ini diplot Barat, akan terbukti. Sanksi-sanksi untuk Iran yang selama ini sangat alot diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB karena banyaknya dukungan kepada Iran, dengan segera akan berjatuhan. Bahkan bukan tak mungkin, AS akan segera punya alasan untuk melancarkan serangan militer ke Teheran.
Namun sejauh ini, para pemimpin Iran tampaknya masih mempertahankan kepala dinginnya. Pemimpin Revolusi Islam Iran, Ayatullah Khamenei, hanya mengeluarkan seruan jihad kepada kaum muslimin di seluruh dunia dan fatwa haram melakukan transaksi bisnis apapun yang menguntungkan Zionis (termasuk, larangan membeli barang-barang produk perusahaan yang terbukti menyerahkan keuntungannya kepada Zionis). Padahal, puluhan ribu pemuda Iran sudah menyatakan siap diberangkatkan ke Palestina untuk berperang. Konsep jihad dan mati syahid memang menjadi paradigma bagi sebagian besar masyarakat Iran, yang dimotori oleh Tragedi Karbala yang secara rutin tiap tahun diperingati rakyat Iran.
Ahmadinejad pun sejauh ini melanjutkan pernyataan-pernyataan kerasnya terkait Israel, termasuk di antaranya menyebut Mesir sebagai partner Israel dalam menghabisi penduduk Gaza. Tindakan Mesir menutup pintu perbatasannya dengan Gaza membuat suplai makanan dan obat-obatan sangat terhambat padahal penduduk Gaza sudah sangat sekarat. Ahmadinejad juga menyeru negara-negara dunia agar memutuskan hubungan dengan Rezim Zionis serta mengajak negara-negara Arab memboikot suplai minyak ke Israel dan sekutunya. Selain itu, Ahmadinejad sangat aktif mengirim delegasinya ke berbagai negara Arab dengan tujuan membujuk pimpinan negara-negara itu agar mau melawan Israel dengan cara-cara boikot dan pemutusan hubungan dengan Israel. Israel adalah negara yang sangat bergantung pada bantuan dana dari konglomerat-konglomerat Zionis yang menguasai perdagangan dunia. Bila kaum muslimin kompak memboikot produk-produk perusahaan Zionis, bisa dipastikan Israel akan kolaps/bangkrut/runtuh/musnah dengan segera.
Keputusan politik yang diambil Iran tampaknya sangat tepat. Akhirnya, Sabtu (17/1/2009) PM Israel, Ehud Olmert, mengumumkan gencatan senjata sepihak. Padahal, di awal perang, Olmert sesumbar tak akan berhenti menyerang sebelum Hamas dilumpuhkan. Namun, koresponden Press TV melaporkan dari Gaza (18/1/2009), meski Olmert telah menyatakan gencatan senjata, tentara Israel masih terus menghujani Gaza dengan bom fosfor putih (yg menimbulkan luka bakar mengerikan di tubuh manusia, dan sesungguhnya dilarang dipakai dalam perang). Dan memang, bila dicermati, deklarasi gencatan senjata Olmert itu sangat pincang karena dia jelas menyatakan tidak akan menarik pasukannya dari Gaza. Hamas sendiri diberitakan menolak deklarasi gencatan senjata sepihak itu dan menyatakan tidak akan berhenti berjuang sampai seluruh tentara Israel angkat kaki dari Jalur Gaza dan Israel menghentikan blokadenya atas Jalur Gaza yang sudah berlangsung sekitar 19 bulan.
Karena itu, dunia internasional hendaknya tak begitu saja memaafkan Israel dan menganggapnya telah menghentikan perang.
Keadilan harus diberikan kepada ribuan warga Palestina yang telah menjadi tumbal dalam genosida tiga pekan itu dan Israel harus digiring ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
0 comments to "Poros setan dan Setan Besar"